Kamis, 17 Oktober 2019

BLATER DHUWUR

BLATER DHUWUR
Toto Endargo

   Blater adalah nama sebuah Desa di Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga. Desa subur yang dialiri oleh dua buah sungai yaitu Sungai Jompo dan Sungai Ponggawa. Blater adalah nama yang baik karena dalam Bahasa Jawa kata “blater” berarti “ramah”, juga diterjemahkan sebagai “pandai bergaul”. Jika nama adalah doa maka kata “blater” menjadi sebuah nama dan doa yang baik bagi wilayah dan masyarakat Blater. Sifat keblateran akan membawa masyarakatnya untuk dapat meningkatkan diri di pergaulan yang lebih luas, meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya, tentu saja muaranya membawa kemajuan bagi masyarakat Desa Blater.

  Layaknya sebuah wilayah tentu punya kisah yang unik untuk dijadikan sebagai cerita menarik bagi warga dan anak-cucunya. Lewat telusur yang panjang, dialog di berbagai kegiatan. Melalui percakapan dengan beberapa peraga yang punya rekaman kisah dari para orang-orang tua, tentang dukuh ini, maka tersusun dan tertulislah kisah unik Dukuh Blater Dhuwur dan sekitarnya dilihat dari segi “sejarah”-nya.

   Kadipaten Wilahan
   Pada sekitar tahun 1700 ada seorang pejabat dari Kadipaten Pasirluhur, yang karena kecewa dengan kebijakan Adipati Kandhadaha, melarikan diri ke wilayah di sebelah timur Gunung Gora, nama Gunung Slamet sebelumnya. Pejabat tersebut bernama Kyai Wilah. Kyai Wilah lalu mukim di suatu tempat dan membuat wilayah tersebut menjadi lebih ramai dan maju, layaknya sebuah kadipaten kecil. Akhirnya wilayah tersebut dikenal sebagai Kadipaten Wilahan. Wilahan yang kemudian menjadi Wilangan berada di Desa Klapasawit, Kalimanah.
   Ketenteraman Kadipaten Wilahan selalu diganggu oleh seorang benggol penjahat yang bernama Julangdipa. Namun akhirnya Benggol Julangdipa dapat diredam bahkan terbunuh oleh pasukan Kyai Wilah. Untuk menaklukkan Julangdipa, Kyai Wilah dibantu para kerabatnya yang berasal dari Mataram yaitu Raden Jangkung, Raden Surya Permana Sakti, dan seorang “ponggawa” keraton bernama Bekel Probo Saketi. Benggol Julangdipa terbunuh di Kali Ponggawa dengan cara dipanah berulang-ulang. Sebenarnya ketiga sahabat Kyai Wilah ini awalnya hanya ingin berkunjung namun akhirnya kerasan berada di Kadipaten Wilahan, bahkan melegenda menjadikan ada nama Ponggawa untuk sebuah sungai dan Kalimanah untuk sebuah dusun.
   Wiradipati - Arsadipati
   Seiring dengan waktu ceritera tentang indah dan suburnya tanah di sekitar Kadipaten Wilahan sampai juga ke tedhak-turun Bekel Probo Saketi yang berada di tlatah Mataram. Mendengar dan tertarik tempat perantauan nenek-moyangnya maka ada dua orang kakak beradik yang berniat, ingin juga untuk ikut mukim di sebelah timur Gunung Gora. Maka dengan naik kuda dua bersaudara ini melakukan perjalanan dari wilayah Mataram menuju ke barat hingga sampai ke wilayah Kadipaten Wilahan. Kedua kakak beradik agak kecewa sebab sesampainya di wilayah Kadipaten Wilahan ternyata kadipaten ini sudah tidak seramai seperti yang dibayangkannya. Kyai Wilah dan para sahabatnya pun sudah meninggal dunia.
   Kakak beradik ini hadir di Wilayah Wilahan sekitar tahun 1887. Sang kakak bernama Wiradipati (19 tahun) dan adiknya bernama Arsadipati (17 tahun). Sama seperti para perantau jaman dahulu, masih banyak hutan dan lahan yang tersedia, maka kakak beradik ini pun ingin membuka hutan, membuat ladang dan pesawahan untuk pemukiman baru. Tempat yang dipilih adalah tempat yang dekat dengan sungai karena sungai digunakan sebagai sarana pengairan ladang pertanian.
   Ternyata di sebelah timur Kadipaten Wilahan ada sebuah wilayah yang berkenan di hati kedua kakak-beradik ini. Wilayahnya dialiri oleh dua buah sungai. Di selatan dialiri Sungai Jompo dan di utara dialiri Sungai Ponggawa. Saat itu sudah ada pemukiman yaitu Desa Blater dan Desa Jompo.
   Sungai yang berada di sebelah utara sungainya lebih besar namun di wilayah ini penghuninya justru belum sebanyak yang ada di sebelah selatan. Maka atas perkenan tetua Desa Blater, Wiradipati dan Arsadipati diarahkan untuk membuat pemukiman baru di sebelah Sungai Ponggawa, yang masih sedikit penghuninya. Saat itu hal aturan tanah, menggunakan tatanan “pratigundhala” artinya tanah harus dikerjakan atau digarap dengan benar, tidak boleh menyia-nyiakan lahan persawahan. Tetua desa diberi hak untuk menghukum penggarap yang menyia-nyiakan sawah, misal sawah tidak digarap atau terlambat saat mengerjakan sawahnya.
   Dari cerita masyarakat setempat, Wiradipati mendengar bahwa wilayahnya pernah disinggahi beberapa tokoh tersohor, antara lain: Ki Astra Buka, Ki Atas Angin dan Ki Raga Bau serta tokoh putri dari Surakarta bernama Nyai Kilisuci. Namun tidak terceritakan peran ke empat tokoh tersebut, walau keempatnya, konon, pernah saling bertemu. Sampai saat ini keempat tokoh ini tetap diyakini sebagai leluhur desa. Bahkan entah diambil dari peristiwa apa, tanggal 12 bulan 12 tahun 22 ( 1922 atau 1822; hasil terawang?? ) diyakini sebagai hari lahir wilayah tersebut.
   Dusun Kangen
   Wiradipati dan Arsadipati pun kemudian bertempat tinggal disitu dan mempunyai istri dari penduduk setempat, sejak menikah panggilan untuk keduanya cukup Ki Wira dan Ki Arsa. Jarak rumah mereka tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua ratus meter. Ki Wira berada di sebelah barat, kini disebut Dusun Blater Legok, Blater dan Ki Arsa di sebelah timur, kini disebut Dusun Kadisana, Sidakangen. Dari perkawinan mereka hanya Ki Wira yang memiliki keturunan.
   Untuk memperluas lahan pertanian Ki Wira kemudian membuka lahan di sebelah barat. Ki Arsa tetap di wilayah timur. Di wilayah barat Ki Wira menemukan sebuah tempat yang menurutnya istimewa, di bawah pohon Sprih dan yang di sekitarnya terdapat unur. Ki Wira sangat paham bahwa tempat yang dihuni oleh unur adalah tempat yang baik untuk bersemedi. Semedi adalah perilaku untuk memohon perlindungan kepada penghuni wilayah setempat dan sekitarnya. Karena merasa cocok dengan tempat tersebut, maka semakin hari, semakin tekun Ki Wira berada di sebelah barat, akibatnya menjadi jarang bertemu dengan Ki Arsa.
   Ki Arsa tetap berada di sebelah timur bersama istrinya. Dan dusun pun semakin ramai, Ki Arsa dijadikan sebagai tetua di dusun tersebut. Karena kesibukan masing-masing semakin hari semakin jarang Ki Arsa bertemu dengan Ki Wira. Jika ingin ke tempat kakaknya, ingin berbincang, alasan Ki Arsa selalu sama yaitu; “Kangen!”. Rasa rindu inilah yang kemudian menjadi nama dusun yang dipimpinnya, Kangen. Kangen artinya rindu. Kalau rasa rindunya tak tertahan maka Ki Arsa berkunjung ke barat dusun, ke tempat semedi Ki Wira, sehingga di samping berbincang juga melakukan ritual semedi bersama.
   Pundhen Blater Dhuwur
   Tempat Ki Wira sering semedi kebetulan berada di tempat yang tinggi, maka disebut Blater Dhuwur. Disebut “dhuwur” sebab setiap kali Sungai Ponggawa banjir tempat semedi tersebut tidak terkena dampak banjir. Lain dengan wilayah Kangen yang jika Sungai Ponggawa meluap maka sebagian dusun Kangen terendam air. Karena keberadaannya itulah maka daerah tempat Ki Wira semedi disebut sebagai Pundhen Blater Dhuwur (dhuwur = tinggi).
   Bahwa umumnya di setiap pundhen akan muncul unur. Unur menjadi pertanda yang baik jika di sebuah tempat semedi muncul unur. Unur adalah semacam rumah semut yang dibuat dari tanah. Kalau rayap membuat rumah dari kayu yang lapuk, berwarna putih kekuning-kuningan, unur rayap terpendam di dalam tanah. Unur pundhen juga dibuat oleh semacam semut atau rayap, namun unurnya berwarna coklat kehitam-hitaman, dan menyembul di permukaan tanah. Tinggi unur bisa sampai satu meter lebih dan kadang tidak hanya satu unur, kadang ada beberapa unur. Tempat bersemedi Ki Wira pun bermunculan unur. Kini tempat “Mbah Gedhe” atau "Mbah Kwasa" ini menjadi sebuah tempat yang di keramatkan.
   Saat ini tempat yang berunur itu telah dipugar dalam bentuk bangunan “cungkup”, populer dengan nama Punden Blater Dhuwur. Banyak yang menyebutnya sebagai “Candi Blater Dhuwur”, kata candi merujuk pada tempat pemakaman, jika di tempat tersebut tidak ada pemakaman maka tepatnya hanya disebut sebagai “pundhen”, yaitu tempat untuk merawat dan menghormati para leluhur.
   Dalam cungkup ada tiga ruang, ruang pertama sebagai pendapa ukuran + 3,5 kali 3 meter, terlihat ada unur menempel di tembok utara, di selatan ada tempat untuk sesaji dan gundukan bakaran kemenyan. Ruang kedua ukuran 1 kali 1,5 meter di sebelah utara tampak kosong. Ruang ketiga ukuran 1 kali 2 meter, kosong namun lantainya seperti “jlewagan” persegi. Konon dulu "jlewagan" tersebut terisi air, kini kering. Secara keseluruhan tidak terlihat adanya makam seseorang. Jadi hemat penulis tempat tersebut adalah bukan “candi” tapi “pundhen”, tempat khusus untuk dapat berhubungan dengan para leluhur.
   Karangso - Karangtangkil
   Diceritakan bahwa Ki Wira suka berkunjung untuk sekedar mengenal wilayah di sekitar Blater Dhuwur. Suatu ketika Ki Wira diiringi beberapa petani berkunjung ke gerumbul sebelah selatan desa. Karena udara sangat panas maka Ki Wira beristirahat di sebuah rumah yang ada di gerumbul tersebut. Rumah tempat Ki Wira beristirahat memiliki pekarangan yang luas dan tampak subur. Ki Wira sangat berkesan apalagi saat beliau dijamu oleh penduduk setempat, sayur dari daun mlinjo (so). Saking berkesannya dengan rasa daun mlinjo, dan saat itu Ki Wira dalam keadaan istirahat (ngaso), maka desa tersebut diberi nama Dusun Karangso. Karang dari kata pekarangan atau lahan yang banyak pohon besar dan so dari kata “ngaso” atau nama lain dari daun mlinjo “so”.
   Suatu hari Ki Wira berkunjung lagi ke gerumbul di selatan desa. Belum sampai ke Dusun Karangso, ia beristirahat di bawah sebatang pohon mlinjo yang berada di sebelah sebuah rumah. Ki Wira tertarik dengan buah dari pohon mlinjo yang berwarna merah dan kuning. Mungkin itu satu-satunya pohon mlinjo di gerumbul tersebut. Lalu Ki Wira mengatakan bahwa buah mlinjonya bagus sekali. Tiba-tiba salah seorang yang ada di rumah tersebut mengatakan bahwa itu bukan mlinjo, tapi tangkil. Ki Wira tertegun dan berkata “Ini mlinjo!” Penduduk itu pun mendebat lagi, “Bukan! Itu tangkil!”.
   Ki Wira berpikir bahwa orang yang diajaknya bicara adalah orang yang tak mau mengalah, ngeyel. Ki Wira sangat yakin bahwa itu adalah mlinjo. Beruntung ada seserang yang menerangkan bahwa nama tangkil adalah sebutan mlinjo dalam bahasa Sunda. Dari peristiwa “ngeyelnya” seseorang tersebut maka Ki Wira berkenan untuk memberi nama dusun di sebelah Karangso dengan nama Dusun Karangtangkil. Karang dari kata “pekarangan” dan tangkil nama lain dari “mlinjo”.
   Melihat peristiwa munculnya nama Karangso dan Karangtangkil dan jasa atas berkembangnya Dusun Blater Dhuwur maka sudah sepantasnya jika jalan yang kini menghubungkan Blater Dhuwur dengan Karangtangkil – Karangso diberi nama Jalan Wiradipati.
   Setelah keduanya membangun desa, ternyata Ki Wira lebih dahulu meninggal dunia. Ki Wira minta dimakamkan tidak jauh dari Punden Blater Dhuwur dan harus dekat dengan Sungai Ponggawa. Maka jasad Ki Wira pun dimakamkan di makam Desa Blater, ada yang menamai sebagai Setana “Kembang Mawar”, ada pula yang menyebutnya Setana Kalong, karena dulu banyak kalong yang bergantungan di batang dan ranting pohon suren. Tapi barangkali lebih tepat diberi nama Pesarean Ki Wiradipati.
   Sepeningal Ki Wira maka rasa rindu Ki Arsa terhadap kakaknya semakin menjadi-jadi. Ketika berada di rumahnya di Dusun Kangen. Ki Arsa sering bicara sendiri, mengenang kakaknya yang telah tiada dengan ucapan: Sida kangen, sida kangen! Maksudnya sepeninggal kakaknya maka terjadilah rasa rindu yang menjadi-jadi. Sida, kelakon = terjadilah; kangen = rindu. Demikianlah pada akhirnya Dusun Kangen sedikit berubah menjadi Dusun Sidakangen, kini bukan dusun lagi tapi menjadi desa, Desa Sidakangen, dipimpin oleh Kepala Desa. Dan nama Arsadipati diabadikan sebagai nama jalan di Desa Sidakangen yang membujur dari barat ke timur sampai perbatasan dengan Desa Karangpetir, sedang Wiradipati dijadikan nama jalan yang membujur dari ujung utara ke selatan. 
   Dahulu masih ada peninggalan Ki Wira dan Ki Arsa yaitu perangkat pakaian kuda. Ada pelana, sanggurdi, ladam, dan tali kekang. Kuda Ki Arsa bernama Bandharaga maka tempat kubur kuda bersama pakaiannya disebut Makam Bandharaga berada di wilayah Sidakangen. Sedang kuda Ki Wira bernama Bandhariya, makam kuda beserta pakaiannya di Makam Bandhariya terletak di wilayah Blater Tanah Garing. Sayang makam Bandhariya telah digempur dan dijadikan sawah garapan.
   Pamali Blater Dhuwur
   
Makam Ki Wiradipati - Blater Dhuwur
Sepeninggal Ki Wira, Ki Arsa pun menjadi sering bersemedi di Pundhen Blater Dhuwur. Mengingat kehidupan keseharian Ki Wira sebagai petani maka untuk menghormati kakaknya itu, Ki Arsa menginginkan penduduk Blater Dhuwur menjadi petani juga. Bahkan Ki Wira pernah mengatakan bahwa beliau lebih suka jadi petani atau pedagang dari pada menjadi pegawai atau ponggawa pangreh praja (pemerintahan).
   Bahwa ada sebuah makam di Blater Dhuwur, tempat dimakamkannya pembantu dekat Benggol Julangdipa, penjahat di Kadipaten Wilahan. Ketika Julangdipa terbunuh ia kemudian menyerahkan diri dan mohon agar tidak dianiaya apa lagi dibunuh. Ki Sardula telah insaf dan ingin memperbaiki hidupnya untuk mengabdi ke masyarakat, namun para ponggawa Kadipaten Wilahan mengabaikan permohonan itu, ia tetap dianiaya sampai luka parah. Dalam keadaan luka parah, di malam hari, ia sempat melarikan diri, lari ke arah timur dan sampai ke Desa Blater. Oleh orang-orang Blater ia ditolong namun karena lukanya ia pun meninggal dunia.
 
Cungkup Ki Arsadipati & Ki Wiradipati
Pembantu Benggol Julangdipa ini, yang sesungguhnya bukan orang sembarangan, punya kesaktian mumpuni, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, ia sempat berpesan dua hal. Pertama minta agar dikubur di tempat yang sepi. Maka dikuburlah jasadnya di Blater Dhuwur yang saat itu masih sangat sepi, jauh dari pemukiman. Kedua ia dendam terhadap para ponggawa kadipaten yang mengabaikan permohonannya, ia tetap disiksa sampai luka parah. Konon kubur Ki Sardula inilah cikal-bakal pesarean di Blater Duwur.  
   Karena perlakuan yang tidak menyenangkan itulah maka pembantu Benggol Julangdipa ini mengucapkan pamali (kutukan); “besok, para ponggawa atau pangreh praja, anak-turun dari mereka yang telah menyiksaku, jika sampai mendekati makamku, maka akan tertimpa kemalangan, diturunkan pangkatnya atau jabatannya”. Hikmah dari pamali ini sebenarnya adalah agar setiap pejabat atau pamong praja, bahkan setiap orang, tidak berlaku sombong, tidak menyepelekan sesuatu, tidak menantang keberadaan sesuatu, dan hendaknya berlaku sopan serta menghormati seseorang atau sesuatu, yang tampak maupun yang tidak tampak.
   Dengan pamali ini maka pernah terjadi beberapa orang pegawai negeri diberhentikan dari status kepegawaiannya dan seorang tentara diturunkan pangkatnya, setelah memasuki wilayah Blater Dhuwur, diyakini semua itu karena terkena pamali para leluhur Blater Dhuwur. Demikianlah yang sering diceritakan oleh orang-orang di wilayah Blater Dhuwur, namun sejak sekitar tahun 1990, pamali ini semakin pudar. Walau demikian masih ada juga yang tetap meyakininya.
  Keturunan Ki Wiradipati
  Keturunan Ki Wiradipati, anak dan cucu, yang masih tercatat dalam ingatan masyarakat desa Blater dan Sidakangen adalah sbb:
   1. Nyi Marjinah bersuami Ki Kartasemita, keturunannya: Ki Tir Thokol, Nyi Karsinah, Ki Jarwan, Nyi Sukinah, Nyi Ratini, Ki Darso dan Ki Misdan
   2. Ki Mertawikrama beristri Nyi Mertawikrama, keturunannya: Ki Parto Sudinawati, Ki Sarno, Nyi Mukinah, Ki Wasman, Nyi Sutiyem, Nyi Sudimah, Ki Ralim, Nyi Sutinah, Ki Suwarno
   3. Ki Karya beristri Nyi Karya, tidak memiliki keturunan.
   4. Ki Ranagrana beristri Nyi Ranagrana, keturunannya: Nyi Lendrek.
   5. Nyi Darilah bersuami Ki Arsamenawi, keturunannya: Ki Lamireja Templang, Ki Yasamerja, Ki Partareja, Ki Sutiarjo, Ki Minareja, Ki Salman, Nyi Kaminah
   6. Ki Marta beristri Nyi Marta, tidak memiliki keturunan.

Blater, 17 Oktober 2019

Jika ada yang berminat untuk menyempurnakan isi tulisan ini, mangga! Penulis dengan senang hati menerima.
Terimakasih untuk: Mbah Ratini, Mbah Sukarya-Karangso, Pak Rasman-Karangtangkil, Bu Suwarsih, Bu Rominah, Pak Jasrun, Pak Slamet, Mas Jono, Pak Tanwir - Blater Dhuwur, Pak Slamet-Sidakangen, Pak Sardiman-Sidakangen, Pak Salimin-Sidakangen, Mbah Narti-Kadisana

1 komentar: