Minggu, 13 Oktober 2019

DESA SLINGA KALIGONDANG

DESA SLINGA KALIGONDANG
Toto Endargo
Asal Usul Nama Slinga
Sungai Klawing di Tepi Desa Slinga
Ada sebuah cerita kenapa desa ini diberi nama Slinga. Slinga konon awalnya adalah Si Linga, dari tiga kata: si adalah kata sandang, ling dari kata uling dan nga dari kata lenga. Uling adalah nama hewan sejenis belut namun wujudnya lebih besar (belut, sidat, pelus, uling/moa). Lenga atau minyak yang dimaksud disini adalah cairan yang keluar dari tubuh uling.
Desa Slinga memiliki tujuh wilayah dusun yaitu Slinga, Randegan, Siabang, Pegedongan, Pagedangan, Karangpetir dan Karanggandul. Nama Slinga diawali dari hadirnya seekor uling atau pelus besar, yang suatu hari diam-diam masuk ke dusun. Karena sangat laparnya ia pun mencari mangsa, dan, ya Allah, yang ditemuinya di sebuah rumah adalah seorang bayi. Segera saja sang.bayi diterkam dan dibawa merayap ke liang rumahnya di suatu tempat yang menjadi rumah si Uling.
Pundhen Gunung Padhang - Slinga
Si bayi menjerit hingga terdengar oleh orang tuanya. Orang tuanya segera mengejar ke arah lari si uling, mengikuti jejak bercak darah yang berwarna merah, abang. Dia lari sambil menunjuk-nunjuk warna merah darah sambil berkata dengan gagap: bang ... abang ... abang! Dan beberapa orang pun ikut berlarian mengikuti jejak merah atau abang.
Dari kata abang-abang inilah maka dusun setempat diberi nama dusun Si Abang, menjadi Siabang. Uling membawa sang bayi masuk ke liangnya. Orang-orang bingung untuk menyelamatkan sang bayi. Liang dengan pintu dari batu wadhas, keras, tak mungkin untuk digali, dan tak cukup untuk dimasuki orang dewasa. Karena putus asa dan marah maka lubang masuk liang itu segera ditutup dengan batu sebanyak banyaknya dengan maksud agar uling tidak bisa keluar, tidak lagi dapat mencari mangsa dan akhirnya pasti akan mati.
Benar!
Setelah beberapa pekan ada hal yang aneh keluar dari liang uling yang di-bingpet dengan batu-batuan itu. Orang tua si bayi adalah orang yang paling setia menengok keadaan liang uling itu. Setiap hari ditengoknya tumpukan batu di pintu liang. Ia sayang sekali kepada anaknya.
Ternyata dari sela tumpukan batu keluar cairan seperti minyak, orang tua si bayi seketika sangat terkejut, sangat heran, dan dengan tergagap-gagap ia lari ke dusun dan memberi tahu para tetangganya.
"Uling ...lenga. uling ...lenga!"
Maksudnya dari liang uling mengalir minyak. Karena disampaikan dengan tergesa dan gagap maka yang terdengar oleh orang-orang hanya kata: "ling...nga, ling ...nga!" Begitulah, maka kata "linga" menjadi Si Linga, Silinga dijadikan nama dukuh yang berdekatan dengan dukuh Siabang.
Pada akhirnya diyakini bahwa uling atau pelus besar telah tewas bersama sang bayi di liang yang sudah di-bungpeti dari luar dengan batu-batuan tersebut. Kini kata Silinga menjadi Slinga. Demikian secuil cerita yang saya dengar dari salah satu warga Desa Slinga.

Gunung Padhang Desa Slinga
Desa Slinga punya pundhen, namanya Pundhen Gunung Padhang. Walau namanya pakai gunung, ternyata pundhen ini berada di tempat yang relatif datar.
Tempat Bima Beristirahat
Pundhen Gunung Padhang - Slinga
Slinga bagian barat dibatasi oleh sungai Klawing. Dalam cerita kuno sungai Klawing digali oleh para Kurawa. Kurawa sangat kecewa karena sungai yang digalinya tidak sampai ke laut selàtan, hanya sampai di tempuran Congot, Desa Kedungbenda. Sedang sungai Serayu yang dibuat oleh Pandhawa berhasil sampai ke laut selatan. Kurawa malu, kalah canggih dibanding Pandawa. Kurawa lalu membuat jebakan. Sungai Klawing diisi dengan hewan gaib, bernama Menyangga gunanya untuk mencelakai Pandhawa dan para keturunannya kalau menyeberanginya.
Konon suatu hari Bima berjalan menyusuri lembah Klawing. Sampailah ke suatu tempat yang banyak pohon Nagasari. Di tempat itu Bima beristirahat sambil membersihkan kuku saktinya dari debu dan tanah yang menempel di seluruh badannya. Rontokan kuku dan debu tanah dari Bima ternyata menjadi sebuah onggokan tanah.
Pundhen Gunung Padhang - Slinga
Keberadaan Bima disitu diketahui oleh para kurawa. Kurawa menantang Bima dari seberang sungai, dengan maksud agar Bima menyeberangi sungai. Jika menyeberang, Bima akan celaka karena diserang oleh Menyangga. Bima tahu kurawa berniat menjebaknya, maka Bima tidak melayani tantangan Kurawa. Bima selamanya tidak mau menyeberangi Sungai Klawing. Onggokan tanah dari rontokan kuku dan debu tanah dari Bima inilah yang nantinya jadi Pundhen Gunung Padhang.
Gunung Padhang
Pundhen Gunung Padhang - Slinga
Alkisah ada tokoh pengikut pangeran Dipanegara yang kalah perang. Palagan perangnya di sekitar Selanegara. Karena kalah maka melarikan diri ke arah barat. Dalam pelariannya malam hari, tokoh ini bersama prajuritnya dibuat terheran-heran karena melihat ada bukit kecil yang memancarkan cahaya terang. Dengan mengendap-endap didekatinya bukit itu. Ternyata pusat cahaya terang itu dari gundukan tanah mirip gunung di bawah pohon Nagasari. Gundukan tanah tersebut diberi nama Gunung Padhang. Lalu mereka beristirahat di tempat itu. Sebagian prajurit berniat untuk menjadi petani. Maka senjata prajurit Dipanegara yang ingin jadi petani itu, dikubur di sekitar gundukan tanah yang bercahaya di malam hari itu. Lalu tepi-tepi gundukan dibenteng berkeliling semacam pondasi dengan ukuran sekitar 12 x 12 meter.
Pundhen Gunung Padhang - Slinga
Siang harinya ketika rombongan prajurit akan meninggalkan Gunung Padhang datang ratusan burung gagak yang membentuk semacam payung di atasnya. Rupanya burung gagak pun menghormati keberadaan Gunung Padhang.
Sejak saat itu Gunung Padhang menjadi tempat untuk berprihatin meminta berkah. Banyak orang luar kota yg datang. Mereka bersemedi di bawah pohon Nagasari. Setiap tahun ada acara ngubengi punthuk Gunung Padhang. Kini semuanya sudah berlalu, bahkan tak sebatang pun pohon Nagasari tumbuh di sekitarnya. Jaman telah lupa dengan kearifan alam.
Demikianlah sedikit cerita tutur tinular tentang keberadaan Pundhen Gunung Padhang di Desa Slinga.

Ki Sudasena – Slinga
Konon Ki Sudasena adalah cikal bakal penduduk di wilayah Slinga. Beliau mukim sebelum ada nama Siabang dan Slinga. Ki Sudasena datang saat wilayah ini masih berupa hutan lebat. Hutan di pinggir sungai adalah penuh berkah. Perhitungannya di hutan penuh dengan umbi-umbian, unggas, dan binatang buruan. Sedang sungai memenuhi kebutuhan air untuk mandi dan masak, ada juga ikan air tawar dan udang. Dua tempat yang sangat cukup untuk memenuhi konsumsi dan kebutuhan harian.
Dikisahkan dalam perjalanan awal dari luar wilayah, Ki Sudasena dan rombongannya merasa lelah, jadi berhenti, atau mandheg. Tempat Ki Sudasena "mandheg" beristirahat itu lalu dijadikan pemukiman, diberi nama Dusun Randegan dari kata mandheg, andhegan.
Pohon Kedhawung atau Pohon Petir
Setelah beberapa waktu penduduk Randegan bertambah, Ki Sudasena membuat pemukiman baru di tempat yang banyak ditumbuhi pohon petir, kedawung, sejenis petai dan mlandingan, maka pemukiman baru itu diberi nama Dusun Karangpetir.
Seiring dengan waktu yang terus berjalan, penduduk setempat banyak yang menanam pohon pisang maka dusun tersebut dikenal dengan nama Pagedangan, dari kata "gedhang" atau pisang.
Kemajuan penduduk desa dalam bertani dan berkebun menjadikan beberapa penduduknya membuat semacam gubuk atau panggok di luar pemukiman. Gubuk dibangun cukup menggunakan bambu, walau pun kecil namun gubuk dibuat sebagus mungkin. Mereka menyebutnya sebagai rumah yang bagus atau gedhong. Akhirnya di antara gubuk-gubuk itu menjadi pemukiman, tempat itu dikenal dengan nama Dukuh Pagedhongan.
Demikianlah sedikit kisah tentang Ki Sudasena sebagai cikal-bakal Desa Slinga. Barangkali Ki Sudasena dan rombongannya adalah prajurit Dipanegara yang kalah perang dan tidak kembali ke Mataram. Cerita nenek, kakek moyang saya Ki Mangundirana juga prajurit Dipanegara yang kalah perang, akhirnya mukim di wilayah Mangunegara - Citrakusuma.

Menyangga
Menyangga dari Ki Sholeh Pati
Menyangga telah disinggung di atas sebagai makhluk gaib yang didatangkan oleh Kurawa. Duluuu, ketika kecil, saya sudah dinasehati agar hati-hati kalau mandi di sungai, sebab di sungai ada mahluk yang bernama Menyangga. Nasehat lama, turun temurun. Ada sejak dulu kala.
Konon Menyangga, awalnya hanya ada di Kali Klawing. Menyangga memiliki kaki dan tangan berwujud seperti rambut panjang, sepanjang sungai, gunanya untuk membelit dan menenggelamkan orang sebagai banten sungai.
Nenek saya bilang, seluruh sungai dimungkinkan ada Menyangganya. Cukup menakutkan, terutama kalau sedang sendirian di sungai.
Kenapa ada Menyangga?
Karena dendam Kurawa terhadap Bima. Bimalah yang mengalahkan Kurawa pada saat lomba menggali sungai. Lomba diselenggarakan oleh Guru Drona.
Kali Klawing dibuat, digali oleh para Kurawa. Kali Serayu dibuat oleh Pandhawa. 
Untuk mencelakai Pandhawa maka Kali Klawing diisi dengan mahluk gaib, Menyangga. Tugasnya adalah menenggelamkan para Pandhawa dan keturunannya jika menyeberangi Kali Klawing. Bahkan juga yang membenci Kurawa. Maka berhati-hatilah saat berada di Kali Klawing. Tetap sopan dan jangan sombong. Jangan menjelek-jelekan orang lain atau sesuatu. Jangan sok jago renang.
Jadi kalau ada orang yang tenggelam di Sungai Klawing kemungkinannya adalah karena dikerjai oleh Menyangga. Lagian, percaya atau tidak, setiap tempat pasti ada penghuninya, mereka juga butuh untuk diakui dan dihargai keberadaannya.
He he .. ada cerita, bahwa yang mampu mengendalikan Menyangga adalah Yuyu Kangkang. Dan Yuyu Kangkang ternyata juga ada di Kali Klawing.

Pangpung Sipanjer - Slinga 
Pesarean Sipanjer
Cerita saat Slinga masih menjadi desa yang cukup terasing. Di pinggir sungai Klawing, rumah penduduk masih jarang dan berjauhan. Slinga adalah desa penghasil gula jawa, gula kelapa, bahkan juga gula aren. Untuk kebutuhan mengolah badheg, ngindel badheg, nggodhog nira sambil dikoleh-koleh sampai niranya njendhel, memerlukan banyak kayu bakar. Oleh karena itu para penderes mempunyai aktivitas rutin yaitu:
1.     Repek, mencari kayu bakar
2.     Nderes, menek pohon kelapa untuk mengambil nira; dan
3.     Ngindel, memasak nira sampai jadi gula. 
Repek itu nggolet suluh, mencari kayu bakar. Bisa dengan cara menebang pohon, berarti batang, cabang dan rantingnya jadi kayu bakar. Dari pohon kelapa; blukang, blarak, manggar, mancung, cumplung, bluluk, bathok dan tepes jadi suluh. Dari pohon bambu; dongklak bambu, bodholan pager, bekas jaro, ontob dan bekas lanjaran.
Pangpung.
Pangpung adalah cabang atau ranting pohon yang sudah kering dan lapuk sehingga baik untuk suluh. Ada yang masih menempel di pohonnya ada yang sudah jatuh ke tanah, ada juga yang kemangsang di pohon lain.
Bagi orang desa keberadaan pangpung sangat mudah ditandai, detengeri. Semua pangpung dari ranting pohon umumnya nglawer, ireng, dawa, dan tanpa daun.
Jalan masuk ke Si Panjer
Alkisah seorang penderes setelah ngindel badheg merasa begitu puas karena indelannya berjalan mulus. Gula Jawa yang dicetaknya pakai bumbung, potongan bambu, menghasilkan gula yang bagus, keras dan renyah. Jika gagal masak, jadi gula gemblung, yang benyek, ireng dan sulit dicetak.
Sang penderes pergi repek ke Dusun Randegan. Hari masih sore, sinar matahari terhambat oleh rimbunnya pepohonan. Dalam pandangannya, pada sebuah pohon Laban dia melihat sebatang pangpung yang nglawer. Dia pun menek pohon tersebut dengan sangat pelan, hanya tiga meter di atas tanah. Posisi badan nempel di pohon, pegangan tangan kiri, tangan kanan diraihkan ke pangpung.
"Ceg!" yang dikira pangpung nglawer terpegang dengan kuat dan segera ditarik dengan sepenuh tenaga. 
"Gerrk... hek!" bunyi yang terdengar saat pangpung di tarik, lalu ada gejolak meronta hebat dari benda yang dikira pangpung. Gronjalan. Ternyata yang ditariknya adalah ekor seekor anak harimau jantan yang menjelang dewasa. Naasnya sang harimau, kepalanya sedang berada pada posisi di antara cabang pohon, sehingga ketika ekornya ditarik ke bawah lehernya jadi terjepit dan tercekik cabang pohon.
Sang penderes sadar bahwa yang ditariknya adalah ekor harimau maka segera saja kedua kakinya melingkari pohon, kaki digunakan untuk tetap menempel di batang pohon, tangan kiri digunakan juga untuk memegangi ekor harimau. Ketika harimau meronta-ronta, maka semakin kuat ekor ditarik ke bawah, semakin tercekik leher harimau. Jantung sang penderes pun berdegup sangat keras.
Dalam usahanya mengalahkan harimau sang penderes seperti kepanjer, tetap menempel di batang pohon sambil terus memegangi ekor harimau.
Beberapa lama kemudian ada penderes lain yang lewat ke tempat itu. Melihat ada orang diam saja menempel di pohon dengan kedua tangan seperti memegang tali dia bertanya.
"Kang, rika lagi ngapa sie kaya wong kepanjer neng wit?" tanya penderes yang baru datang. Dia heran, karena tak segera ada jawaban. Didekatinya penderes yang sedang menempel di pohon.
Si Panjer penuh dengan pohon Kamboja
"Lho, Kang, kuwe nyekeli apa?" pertanyaannya, dengan heran.
"Macan" jawaban pelan dari penderes yang menempel di pohon sambil melepaskan ekor harimau. Rupanya karena sangat kelelahan, menaklukkan harimau yang lama meronta-ronta, kini kaki pun tak kuat menahan berat tubuh.
"Krosak .... gedebug!" sang penderes jatuh ke tanah. Jatuh, berdebum.
Penderes yang baru datang segera mendekatinya. Diperiksa. "Kaaangg! Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" ucap penderes yang baru datang.
Penderes penakluk harimau telah meninggal karena stres, ketakutan dan kelelahan. Harimau pun ternyata telah tewas tercekik di cabang pohon. Sampyuh, keduanya mati bersama.
Nah, kisah kepanjernya sang penderes saat menaklukkan harimau itulah maka makam tempat sang penderes dimakamkan, di Dusun Randegan, diberi nama sebagai Makam Sipanjer.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar