MAJAPAHIT, MANGUNEGARA, CITRAKUSUMA
Toto Endargo
Kisah ini menarik sebab mengungkapkan sisi lain dari perjuangan Pangeran Diponegoro saat memasuki wilayah Purbalingga sampai dengan keberadaan sebuah trah yang menjadi penduduk utama Dusun Citrakusuma.
***
![]() |
Mangundirana - Singanegara |
Seperti
dusun-dusun di sekitarnya, dusun ini dipenuhi dengan pohon-pohon tinggi semacam
kelapa, dukuh, jengkol, sengon dan lain-lain. Ada sawah walau sedikit tapi
subur. Pengairan lancar karena ada saluran irigasi dari bendungan Kali Paku,
dhawuhan Kedhung Keder di Dusun Citrakusuma. Air mengalir membelah dusun
Tuanwisa, Pesawahan dan berakhir di Majapahit.
![]() |
Eyang Putri Wirjodihardjo |
Prajurit Diponegoro
Tertulis
dalam sejarah bahwa pada sekitar tahun 1825 - 1830 ada peristiwa perang
Diponegoro. Di Bumi Purbalingga disebut Perang Bithing. Pasukan Diponegoro
melawan Pasukan Belanda yang dibantu oleh pasukan dari beberapa kadipaten
sekitar Banyumas. Bahkan secara jumlah dapat dikatakan perang antara Pasukan
Diponegoro melawan prajurit Purbalingga - Banyumas. Prajurit Diponegoro
terdesak. Kocar-kacir dan harus menyelamatkan diri agar tidak gugur di medan
perang.
Perang
Bithing terjadi di sekitar Selanegara, Selakambang, dan Sinduraja namun paling
ramai terjadi di sekitar Gembrungan. Di sekitar tepi Kali Lebak. Prajurit Diponegoro
yang terdesak melarikan diri ke arah utara. Pelarian prajurit Diponegoro ini terpecah
menjadi dua. Pecahan pertama dipimpin oleh Ki Singanegara dan yang kedua dipimpin
oleh Ki Mangundirana.
Saat
itu tentu saja wilayah kecamatan Kaligondang mayoritas masih alas gung liwang
liwung. Banyak wilayah yang belum perpenghuni. Para prajurit Diponegoro yang
terdesak segera masuk ke hutan di sekitar peperangan.
Ki Singanegara
Ki
Singanegara beserta para prajuritnya memilih melarikan diri ke arah utara. Hingga
sampai di sebuah hutan yang banyak batu berserakan. Karena merasa aman maka Ki
Singanegara bersama prajuritnya beristirahat, duduk di batu-batu yang kebetulan
berserakan itu. Begitu terkesannya dengan kenyamanan saat istirahat, terhindar
dari kejaran prajurit Purbalingga Ki Singanegara berkenan memberi nama tempat tersebut
dengan nama Selanegara. Selanegara dari kata “sela” yang berarti batu dan “negara”
nama belakang Ki Singanegara. Saat kebetulan bertemu dengan seseorang yang
sedang mencari buah-buahan di tengah hutan, maka nama Selanegara itu dipesankan
kepada penduduk asli tersebut, “Beritahukan bahwa wilayah ini sudah diberi nama
Desa Selanegara!”
Dari
Selanegara rombongan pasukan Ki Singanegara berjalan terus ke utara dan kembali beristirahat
di suatu tempat. Dalam perjalanan ke utara ini pasukan Ki Singanegara sempat
memberi nama dua padukuhan di antaranya adalah Beji dan Kalibenda. Beji karena
Ki Singanegara sempat melewati sebuah kubangan besar berisi air bening, dan
sekarang disebut sebagai Dukuh Beji. Kali benda karena ada kubangan air di
bawah pohon Benda yang besar.
Saat
istirahat, dalam perenungannya, Ki Singanegara dalam hati pun bertekad kelak
akan mendirikan sebuah negara. Hingga keluar ucapannya bahwa suatu saat ia akan
menempati sebuah wilayah yang cocok dan segera mendirikan sebuah negara. “Sida
dadi negara!” ucapnya. Maka tempat itu pun diberi nama desa Sidanegara. Dan
salah satu prajuritnya disuruh untuk tinggal dan membuat pemukiman baru di
tempat itu.
Ki
Singanegara terus berjalan ke utara hingga masuk ke wilayah yang banyak pohon Andong.
Pohon andong berjajar seperti pagar dan menghalangi perjalanannya. Maka
prajuritnya disuruh untuk membabat jajaran pohon andong itu. Setelah diterabas
dan terbebas dari rumpun andong maka wilayah tersebut diberi nama Pagerandong.
Saat
seorang prajurit dapat menangkap sepasang ayam hutan, Ki Singanegara sangat
senang. Namun tak lama kemudian ayam betinanya mati. Merasa kasihan terhadap
pasangannya maka si ayam jantan dilepaskan dan memberi nama tempat itu sebagai
Dukuh Siduda. Ketika ingat kepada istrinya yang bernama Tanjungsari, maka
memberi nama wilayah yang dilewatinya sebagai Dukuh Tanjungsari.
Perjalanan
terus ke utara dan menyeberangi Sungai Gintung. Rupanya perjalanan Ki
Singanegara dapat ditebak oleh beberapa prajurit sandi dari Kadipaten
Purbalingga, sehingga terjadi pertempuran sengit di sekitar pertemuan Sungai
Kuning dengan Sungai Tambra. Prajurit Purbalingga kalah dan melarikan diri. Konon
di sekitar pertemuan Sungai Kuning dan Sungai Tambra ini, dahulu sering
ditemukan perlengkapan kuda dan bekas tapak-tapak kuda yang diduga bekas-bekas
pertempuran para prajurit berkuda.
Ternyata
prajurit Purbalingga sudah tidak ingin melanjutkan perang sehingga pasukan Ki
Singanegara merasa aman. Kemenangan ini dianggap sebagai jalan untuk mendirikan
sebuah negara, menguatkan niatnya membangun negara maka wilayah tersebut diberi
nama Mangunarsa. Ki Singanegara merasa sudah lelah dan cukup aman dari gangguan
prajurit Purbalingga, ia kemudian mengira-ira, melihat-lihat daerah mana yang
sesuai untuk bermukim, tempat berdiskusi dan memandang luasnya wilayah itu
diberi nama Dukuh Sawangan.
Ketika
sedikit berjalan ke arah utara lagi Ki Singanegara sangat yakin dapat
mendirikan sebuah negara kecil yang aman. Wilayah tersebut diberi nama Mergasana.
Mergasana dari kata Margasasono. Merga atau marga artinya jalan atau penyebab;
sasono artinya tempat istimewa atau istana. Ki Singanegara pun akhirnya
mendirikan sebuah negeri tak jauh dari Mergasana, diberi nama Kertanegara,
artinya negeri yang aman tenteram.
Ki Mangundirana
Pecahan
yang kedua dipimpin oleh Ki Mangundirana, pelariannya tidak lurus ke utara
namun agak ke barat, sehingga masuk ke wilayah Arenan. Untuk menghindari bertemu
dengan prajurit Purbalingga atau penduduk setempat, prajurit Diponegoro ini
menyamar menjadi petani.
Ingat
saat merayap-rayap menghindari musuh Ki Mangundirana memberi nama sebuah tempat
sebagai Dukuh Grumung. Pasukan terus menyusup ke barat sampai di suatu wilayah
yang terdapat sungai kecil namun airnya sangat jernih. Mereka istirahat dan
berpikir langkah selanjutnya. Mereka merasa sudah terpisah dari pasukan induk.
Melihat para prajuritnya berpikir sampai dahinya berkerut maka sungai kecil di
tempat itu diberi nama Kali Sikerut. Nama berikutnya adalah Kalimenir dan sama
seperti Ki Singanegara, Ki Mangundirana juga memberi nama suatu tempat dengan
nama Dusun Kalibenda. Ketika menemukan banyak pohon pisang Ki Mangundirana
memberi nama Pagedangan untuk wilayah tersebut.
Untuk
membuang jejak maka pasukan Ki Mangundirana berjalan ke barat dan menyeberangi
Sungai Klawing. Di barat sungai Ki Mangundirana mendirikan pemukiman dan
memberi nama Banjaran. Hal tersebut karena Ki Mangundirana merasa sedih telah
melakukan perjalanan jauh dan terlunta-lunta. Ki Mangundirana di tempat
tersebut menceriterakan kembali perjalanannya kenapa beliau berjuang membela
Pangeran Diponegoro. Ki Mangundirana sudah merasa lelah dan tidak ingin lagi
bertempur. Ia ingin menjadi rakyat biasa yang mengolah alam untuk kesejahteraan
bersama. Banjaran, artinya bercerita perjalanan seseorang dari awal sampai
akhir.
Ki Mangundirana
berpikir bahwa semua prajuritnya dapat hidup senang di wilayah tersebut karena
alamnya subur dan banyak sungai. Puluhan ribu tempat dapat dijadikan sebagai
pemukiman, dari kata puluhan ribu tempat itulah muncul nama dukuh Mandalaksa.
Karangpakel
menjadi nama sebuah dusun yang dilewati para prajurit yang ingin menjadi petani
ini, mereka berebut pakel, buah mangga yang belum matang. Kisahnya ada pohon
mangga hutan, Ki Mangundirana minta buah mangga tersebut, ternyata buah mangga
belum matang, ketika dicoba, tetap dimakan, rasanya kecut, sangat asam. Karena
kesan asam terhadap buah mangga muda ini, Ki Mangundirana berkenan memberi nama
wilayah itu dengan nama Dukuh Karangpakel.
Ketika
pasukannya istirahat di sebuah sungai dekat Dusun Karangpakel para prajuritnya
bertekad menjadi rakyat biasa kembali, usai sudah predikat prajurit, lebaran
atau bubaran, munculah sebuah nama untuk sungai tersebut sebagai Sungai Lebaran
dan kini menjadi Kali Lembarang.
Dukuh
berikutnya yang sempat diberi nama adalah Dukuh Bangsa. Setelah mengamati
wilayah yang subur dan sesuai untuk pemukiman para prajurit dari pasukan Ki Mangundirana
ini, mereka bulat-bulat berpikir untuk tidak ingin lagi kembali ke Mataram.
Mereka akan menjadi penduduk setempat. Mereka harus mencoba bergaul dengan
masyarakat sekitar, membantu rakyat bertani, mendirikan rumah, dan beternak.
Karena mereka sesungguhnya prajurit maka hal keterampilan dan pengetahuan mereka
lebih mampu dibanding orang-orang desa yang dibantunya. Demikianlah maka para
prajurit Pangeran Diponegoro, pimpinan Ki Mangundirana yang desersi ini
diterima oleh masyarakat setempat.
Majapahit
Mereka
menikah dengan wanita desa dan mendirikan perkampungan sendiri. Konon karena
ada yang menemukan pohon maja yang berasa pahit di pinggir sungai. Kampungnya sengaja
diberi nama Dusun Majapahit. Bagi para mantan prajurit, nama Majapahit adalah
nama yang sangat dikenal. Di samping karena adanya pohon maja itu, nama
Majapahit sengaja digunakan sebagai pertanda bahwa mereka bukanlah orang asli
setempat. Mereka keturunan dari prajurit Mataram dan leluhur mereka adalah para
prajurit dari Negeri Majapahit.
Seiring
dengan waktu karena para mantan prajurit itu cenderung mencari pemukiman yang
lebih ramai maka dusun Majapahit ditinggalkan dan terasing. Mereka menuju ke dusun
di dekatnya yang merupakan pusat kadipaten yaitu Kadipaten Onje. Desa yang segera
berkembang di sekitar dusun Majapahit karena dibantu dibimbing oleh mantan para
prajurit itu adalah Desa Onje, Banawati, Karangturi, Pesawahan, Tuanwisa,
Mangunegara dan Citrakusuma. Sedang yang
di sebelah selatan Dusun Majapahit adalah Desa Banjaran, Sawangan, Tambangan
dan Petemon.
Ki Mangundirana
tidak lama di wilayah Majapahit. Majapahit hanya sebagai awal menyatunya mereka
dengan masyarakat setempat. Ternyata Ki Mangundirana lebih nyaman bermukim di
wilayah Mangunegara. Ki Mangundirana memiliki seorang anak yaitu Ki
Cakradirana. Ki Cakradirana mempunyai dua keturunan yaitu Ki Gandanegara dan Ki
Gandakusuma. Ki Gandanegara bertempat tinggal di Mangunegara. Sedang Ki
Gandakusuma bertempat tinggal di Citrakusuma. Anak dari Ki Gandanegara adalah
Ki Bangsadipa. Ki Bangsadipa menurunkan Ki Wangsareja. Ki Wangsareja dikenal sebagai lurah Desa
Mangunegara.
Adapun
Ki Gandakusuma mempunyai anak bernama Ki Wangsawijaya, Ki Wangsawijaya punya keturunan
bernama Ki Arsawijaya. Ki Arsawijaya menjadi lurah Desa Citrakusuma.
Kedhung Beruk - Tuanwisa
Ada sedikit kisah
menarik yang terjadi saat Ki Gandanegara masih berjaya. Ki Gandanegara bertempat tinggal di Desa Mangunegara. Kisah pertengkaran
penduduk karena berebut batang kayu Jengkol.
Dukuh
Mangunegara memang cukup unik karena di dalam dukuh Mangunegara beberapa RT
memiliki nama khusus, istilahnya kolom, kolom adalah bagian dari dusun. Misal
nama Kolom Siaren untuk nama RT IV, Kolom Karangjengkol untuk RT VII. Dekat
Kedhung Keder adalah Kolom Mindren, RT V. Lalu dimana Kolom Mangunegara?
Mangunegara aslinya adalah di sekitar Kedhung Beruk.
Kedhung
Beruk adalah nama sebuah lubuk atau kedhung yang berada di aliran Sungai Paku. Bentuk
kedhungnya seperti beruk, cekung membulat seperti cekungan atau bulatan bathok
kelapa. Beruk sendiri adalah nama alat penakar beras. Dibuat dari bathok buah
kelapa atau juga bisa dari bathok buah maja. Saat itu belum ada nama Tuanwisa yang
ada hanya Dukuh Kedhungberuk. Sekarang, letak Kedhung Beruk ada di sebelah
timur jembatan yang menghubungkan Dusun Mangunegara dengan Dusun Tuanwisa.
Suatu
hari dua orang Dukuh Kedhungberuk bertengkar rebutan batang kayu Jengkol. Kebetulan
yang satu rumahnya di utara sungai Paku sebut saja namanya Kang Turus dan yang
satu rumahnya di sebelah selatan Sungai Paku, sebut saja namanya Kang Suren.
Kang
Turus telah menebang pohon Jengkol yang masih muda belum ber-galih, tengah batang kayu belum keras, belum berwarna
kecoklat-coklatan. Ia bermaksud akan mengganti salah satu tiang rumahnya dengan
kayu Jengkol itu. Kayu belum sempat ditratasi, belum dipotong-potong cabang dan
rantingnya, dia tinggalkan karena harus pergi ke sawah merawat tanaman.
Sementara itu Kang Suren sedang butuh kayu bakar. Dengan tanpa pamit ke yang
punya kayu, kayu dipotong-potong ukuran kayu bakar. Kang Suren berpikir bahwa
batang pohon jengkol itu oleh Kang Turus juga akan dibuat kayu bakar. Kalau untuk
bangunan pasti dipilih kayu yang lebih keras, seperti kayu Trembesi,
Mlandingan, Jati atau bahkan Glugu sekalian. Sebagian potongan kayu Jengkol pun
sempat diangkut ke rumah Kang Suren yang ada di selatan sungai.
Namun
tak terkatakan, betapa marahnya Kang Turus melihat kayunya sudah
dipotong-potong tanpa pemberitahuan. Terjadi pertengkaran mulut. Kata-kata Kang
Suren yang menyakitkan adalah: “Orang-orang utara sungai adalah orang-orang
lugu yang tidak maju, karena membuat tiang rumah dari kayu yang tidak layak
pakai, kayu yang sebaiknya hanya jadi kayu bakar”. Kang Turus tidak kalah
menyakitkan, ia berkata: “Orang-orang selatan sungai hidupnya sengsara, tidak
punya modal, suka nunut, suka nebeng milik orang utara sungai”. Pertengkaran
menjadi-jadi dan timbul kehebohan di pinggir Kedhung Beruk. Pertengkaran
tersebut akhirnya sampai ke telinga Ki Gandanegara. Ki Gandanegara terkenal
kesaktiannya. Apa yang diucapkan bisa langsung terjadi.
Setelah
mendengar kisah asal mula pertengkaran dan apa yang diucapkan oleh kedua orang
yang rumahnya berseberangan sungai itu maka Ki Gandanegara mengucapkan pamali.
Pamali pertama adalah untuk orang-orang Kedhungberuk, yang di utara sungai.
Orang-orang Kedhungberuk, tidak bakalan maju jika tetap hidup di Kedhungberuk.
Kalau ingin maju harus keluar dari dukuh Kedhungberuk.
Pamali
kedua untuk orang-orang di selatan sungai, melecehkan orang lain dan menganggap
sebuah kayu tidak berharga. Sudah berusia lanjut (tua) namun tidak bisa menata
kata, kata-katanya bagaikan bisa (wisa). Pamalinya adalah orang-orang di
selatan sungai sulit untuk kaya dan berjaya. Sedang pamali ketiga berhubungan
dengan hari, peristiwa pertengkaran itu terjadi pada hari Senen Pahing, maka
dipesankan agar orang-orang keturunan kedua orang yang bertengkar itu agar
hati-hati jika punya kepentingan di hari Senen Pahing.
Pada
akhirnya nama Dukuh Kedhungberuk lama kelamaan tidak dipakai lagi, mereka lebih
suka disebut sebagai Dukuh Mangunegara. Sedang dukuh di sebelah selatan sungai
kini dikenal dengan nama Tuanwisa (Tua-Wisa).
Hal
hari Senen Pahing sampai sekarang orang-orang Tuanwisa, Mangunegara, dan Onje
masih ada yang masih ngugemi, mematuhinya. Bersikap sangat hati-hati ketika mereka
bebergian atau punya kegiatan penting di hari Senen Pahing.
Mengenai
pamali bagi orang di utara sungai konon sampai sekarang masih bisa dibuktikan. Memang
wajar kalau ingin maju, ingin berjaya ya keluar dusun, sekolah dan kuliah di
luar kota. Kalau ingin berniaga ya harus berniaga di wilayah yang lebih luas,
di luar dusun.
Lalu
pamali untuk orang Tuanwisa, konon tahun-tahun dulu juga masih bisa dibuktikan
dan dapat disebut contohnya. Orang yang sudah berusaha dan tampaknya akan
menjadi orang sukses dan berjaya, tiba-tiba saja sakit atau terkena kendala
secara mendadak. Semoga dan sepertinya, sekarang pamali itu sudah punah dan
tinggal menjadi cerita bagi anak cucu tentang kisah yang terjadi jaman kuna, kisah
di jaman nenek dan kakek moyangnya. Sekarang jaman maju, jaman internet, semua
orang punya hak untuk berjaya dan bisa sukses.
Jambe Ndalem - Mangunegara
![]() |
Punden Jambe Ndalem |
![]() |
Makam Ki Gandanegara dan Nyi Sekar Melati |
Maka ada yang sempat bercerita bahwa di wilayah Mangunegara ada tiga makam yang bertebaran namun sesungguhnya itu adalah makan dari satu tokoh yang sama. Itulah Ki Gandanegara. Kenapa harus dipisahkan? Ki Gandanegara ingin melindungi wilayah Mangunegara dari alam gaib, syaratnya adalah tubuhnya harus dipisahkan. Jika tidak dipisahkan beliau tidak akan meninggal, akan tetap hidup, mungkin beliau punya ajian Aji Pancasona. Konon pemilik Aji Pancasona (panca = lima, sona = anjing) bisa mati jika raganya dipotong-potong dan di kubur, kuburnya harus terpisah oleh sungai.
![]() |
Punden di Dukuh Jambangan |
Dukuh
Jambangan dengan Dusun Pengalang-alangan jaraknya sekitar satu setengah kilo
meter. Candi atau makam di Dusun Jambangan ini letaknya dekat sebuah sungai.
Sungai yang dekat dengan makam samparan Ki Gandanegara itu, diberi nama Kali Ganda. Secara geografis
letak Candi Jambangan dengan Makam Jambe Ndalem memang di samping dipisah jarak
yang jauh, juga dipisahkan oleh sungai Ganda dan Sungai Paku. Tapi antara Jambe
Ndalem dengan candi di tengah sawah Pengalang-alangan tidak dipisah oleh sungai
hanya letaknya yang berbeda, satu di lembah bawah dan yang satu di bagian
dataran atas.
Pengasuh
Ki Gandanegara bernama Embah Gople. Mbah Gople bertugas melayani seluruh
kebutuhan Ki Gandanegara dan Nyi Sekar Melati. Ada dua hewan gaib yang selalu
muncul di sekitar Punden Jambe Ndalem yaitu serombongan semut dan sekelompok
anjing. Dulu setiap kali, menjelang magrib, rombongan anjing Ki Gandanegara ini
sering muncul beriringan di pematang sawah. Hal semut selalu muncul merambati
para peziarah atau pemohon tuah di makam Ki Gandanegara ini. Semut-semut itu
terasa merambati tubuh tapi kalau dilihat tidak tampak wujudnya. Anjing tidak mengganggu namun jika
diperhatikan lama kelamaan akan menghilang secara gaib.
Jangan
coba-coba membunuh hewan apapun di sekitar Punden Jambe Ndalem, walau itu
berbentuk semut apalagi ular. Begitu pamali yang beredar di Punden Jambe
Ndalem. Konon sering kejadian seseorang yang dengan sengaja membunuh hewan di
sekitar punden dan kemudian tiba-tiba meninggal dunia, maka sangat dipercaya
pembunuhan hewan itulah yang menjadi penyebab meninggalnya orang tersebut,
kuwalat. Wingitnya Jambe Ndalem dibuktikan oleh seorang bladong, penebang
pohon. Pernah menebang pohon laban di sekitar makam. Pohon tidak juga roboh
walaupun sudah terpotong penuh, sudah tugel-gel, padahal bagian atas pohon yang
tingginya sekitar lima belas meter itu tidak ada yang dapat dianggap menghambat
robohnya pohon. Gaib! Blandong harus membuat upacara khusus dengan doa khusus,
sekitar lima belas menit baru kemudian pohon tersebut berkenan roboh. Wingit!
Namun
demikian ada yang berpendapat bahwa ketiga makam itu adalah makam tiga peraga
yang berbeda. Yang ada di makam Jambe Ndalem adalah utuh tempat Ki Gandanegara dan
istrinya Nyi Sekar Melati dimakamkan. Siapa bisa jawab? Menjadi catatan bahwa
Ki Gandanegara sering pula disebut sebagai Ki Mangunjaya. Sedang saudaranya Ki Gandakusuma sering disebut sebagai Ki Mangunkusuma.
Kyai Langes
Ki
Mangundirana punya anak bernama Ki Cakradirana. Ki Cakradirana punya dua anak Ki
Gandanegara dan Ki Gandakusuma. Ki Gandanegara di Mangunegara. Sedang Ki Gandakusuma atau Kyai Langes bermukim di Citrakusuma. Sebutan kyai menunjukkan bahwa Ki Gandakusuma adalah orang yang mendalami Agama Islam, mengajar dan mengamalkannya. Memiliki pengaruh dan menjadi panutan bagi
masyarakat sekitar.
Langes
adalah nama kotoran berwarna hitam, mirip serbuk, begitu halus yang diakibatkan
karena adanya pembakaran minyak tanah. Dahulu di desa belum ada alat penerangan
yang lebih canggih dari sebuah lampu senthir. Lampu senthir itu sudah bagus
dibanding dlupak. Senthir bahan bakarnya minyak tanah sedang dlupak minyak
kelapa. Senthir, agar sinarnya terang maka delesnya atau sumbu apinya harus
besar. Semakin besar sumbu senthir maka semakin banyak minyak tanah yang
terbakar. Semakin banyak minyak yang terbakar semakin banyak pula menghasilkan
asap minyak tanah. Asap minyak tanah inilah yang terbang, seperti asap rokok,
memenuhi ruangan dan setiap kepulan asap apabila menempel ke suatu benda pasti meninggalkan
bekas lapisan hitam. Itulah langes!
Setiap
hari Kyai Langes mengajari penduduk desa hal-ikhwal Agama Islam. Di sebuah
surau yang kini jadi masjid. Sebagai penerang, saat membaca Al Quran, di malam
hari digunakanlah lampu senthir bersumbu besar. Maka tidak heran setiap pagi
wajah Ki Gandakusuma sering terlihat penuh dengan langes. Ruangan tempat
membaca Al Quran pun dindingnya tampak banyak bercak hitam berhiaskan warna
langes. Karena perilaku dan peristiwa tersebut maka Ki Gandakusuma dikenal
dengan nama Kyai Langes.
Kyai
Langes adalah salah satu dari trahnya yang berhasil dan selamat menunaikan
ibadah haji ke Mekah di jaman itu. Konon jaman dulu berangkat dan pulang haji
itu lamanya minimal sampai satu setengah tahun. Karena belum ada kendaraan bermesin.
Harus naik dokar, naik kuda, jalan kaki, naik kapal, naik onta dan harus
menunggu jadwal kapal yang tidak menentu. Selama di perjalanan dan selama di
tanah Arab, harus mukim di tempat singgah dan mencari penghidupan.
Terus-menerus belajar agama di segala tempat, selama naik kapalpun terus belajar agama.
Saat mukim di tanah Arab juga mempelajari Agama Islam dan belajar bahasa Arab.
Tak heran para haji jaman dulu mampu dan mumpuni mengajarkan ilmu Agama Islam
dan Al Quran, karena mendalaminya secara maksimal.
Lamanya
perjalanan naik haji ini menjadikan Kyai Langes mengenal berbagai pengetahuan
yang dapat diterapkan di desa. Pengetahuan Kyai Langes terutama diturunkan
kepada anak dan cucunya. Adapun anak Kyai Langes adalah Ki Wangsawijaya. Ki
Wangsawijaya punya anak bernama Ki Arsawijaya. Ki Arsawijaya turunan ke lima
dari Ki Mangundirana dan Ki Arsawijaya menjadi lurah di Desa Citrakusuma.
Kyai
Langes yang merintis berbagai kegiatan di desa. Budaya yang sebagian dibawa
oleh para prajurit Diponegoro. Sayangnya karena saat itu masyarakat belum punya
budaya ingin maju maka pengetahuan membaca, menulis, membatik, membuat makanan,
membuat kolam, membuat alat permainan, berkesenian semua dianggap sebagai
kegiatannya para piyayi. Masyarakat umum menganggap dirinya tidak layak untuk
beraktivitas macam-macam.
Di sebelah timur desa ada tempat yang disebut kolom
Bak atau Ngebak. Kata Bak itu adalah karena dulu di sana ada bak sungguhan atau
kolam permanen yang digunakan untuk mudul, mencuci kain batik untuk
menghilangkan malam yang menempel setelah dilakukan pewarnaan. Jadi di desa itu
ada kegiatan wanita membuat kain batik tulis. Ada pula budaya ngantih, membuat
benang dari kapuk randu, lalu membuat kain tenun kasar, minimal membuat lancing.
Dan dulu umumnya para penderes dan petani, tidak menggunakan celana pendek,
tapi cukup hanya lancingan. Sebuah kain tenun kasar bikinan desa seperti
ciutan, diubat-ubet sedemian rupa menjadi penutup aurat laki-laki.
Konon
desa Citrakusuma dulu setiap kali juga dipasang sendaren dan kitiran, sehingga
suasana desa begitu meriah, terdengar bunyi musik alami. Sendaren adalah peluit
bambu, atau sawangan yang dibuat dari selonjor bambu. Tiap ruas bambu dibuat
lubang sedemikian rupa sehingga jika terkena hembusan angin menimbulkan bunyi
sebuah nada. Ruas yang satu dengan ruas yang lain berbeda nada. Letak lubang
tiap ruas berbeda-beda, ada yang menghadap ke barat, timur, utara dan selatan.
Minimal ada lima nada. Maka dari manapun arah angin bertiup sendaren pasti akan
berbunyi siang malam. Sendaren dipasang tegak lurus di sebuah pohon yang tinggi,
agar mendapat tiupan angin yang kuat dan yang mampu menggetarkan udara di bibir
lubang bambu.
Hal
kitiran atau baling-baling dibuat sedemikian rupa sehingga selalu menghadap ke
arah angin datang. Ketika baling-baling berputar akan mengeluarkan bunyi yang
juga tiada henti seiring bertiupnya angin. Baling-baling dipasang di luar desa,
di sawah. Di samping sebagai musik alam juga dimanfaatkan untuk menakut-nakuti
burung pemakan padi.
Bunyi-bunyian
berikutnya adalah di tengah sawah, memanfaatkan air crowokan di salah satu
pematang. Sebatang bambu yang panjangnya sekitar 40 cm dengan satu ruas
ditengahnya. Dibawah ruas ditusukkan as dari bambu juga. Dipasang sedemikian
rupa di bawah crowokan sehingga jika bambu bagian atas sudah penuh air, bambu
njengit ke depan, air tumpah dan bagian belakang bambu melesat turun menghantam
batu sehingga bunyi cethak-cethok sepanjang hari. Bunyi ini juga digunakan
untuk mengusir hewan pemakan padi muda. Itulah tinggalan budaya dari Kyai
Langes yang sempat turun ke anak-cucunya.
Lurah Citrakusuma
Di
awali dari Perang Bithing dan pelarian para prajurit Diponegoro, lalu dari para
prajurit ini akhirnya beranak cucu di sekitaran Dusun Majapahit. Satu di antara
warengnya, atau turunan ke lima, ada yang bernama Ki Arsawijaya.
Dengan
urutan nama yang terceritakan adalah Ki Mangundirana, Cakradirana, Kyai Langes,
Ki Wangsawijaya, dan keturunan ke limanya adalah Ki Arsawijaya dan menjadi
lurah di Desa Citrakusuma.
Jika
dilihat dari garis laki-laki maka Ki Arsawijaya bukanlah keturunan Adipati
Onje. Tapi dari keturunan prajurit Diponegoro, prajurit Mataram, Ki
Mangundirana.
Ki
Arsawijaya menjadi lurah di Citrakusuma hanya satu periode karena Desa Citrakusuma
harus bergabung dengan Desa Mangunegara (lihat cerita Mangunegara,
Citrakusuma, Banawati). Eyang Arsawijaya sempat memperluas surau untuk menjadi masjid
yang luas. Adapun pendapa kelurahan Citrakusuma ada di selatan surau. Pendapa menhadap ke utara.
Jaman Eyang Arsawijaya di desa Citrakusuma mulai ada makanan semacam tempe, gethuk, jongkong, bungkil, mendoan, inthil, ondhol dan makanan model desa yang lain. Ayam goreng masih setahun sekali. Telur ceplok adalah makanan mewah. Roti adalah makanan asing. “Roti itu makanannya Ratu Wilhelmina, ratu Negeri Belanda!” kata Eyang Putri Wiryodiharjo pakai Bahasa Banyumasan.
Jaman Eyang Arsawijaya di desa Citrakusuma mulai ada makanan semacam tempe, gethuk, jongkong, bungkil, mendoan, inthil, ondhol dan makanan model desa yang lain. Ayam goreng masih setahun sekali. Telur ceplok adalah makanan mewah. Roti adalah makanan asing. “Roti itu makanannya Ratu Wilhelmina, ratu Negeri Belanda!” kata Eyang Putri Wiryodiharjo pakai Bahasa Banyumasan.
Ki
Wangsawijaya, ayahnya Ki Arsawijaya, berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah
Arab dan wafat di tanah suci, dimakamkan di sana. Lalu saat Ki Arsawijaya
berangkat naik haji ke Mekah, juga dipanggil Allah SWT di tanah suci, juga
dimakamkan di Tanah Arab. Oleh karena itu Makam Desa Citrakusuma hanya ada satu
punden yaitu Makam Kyai Langes atau Ki Gandakusuma.
Menyimak
berpulangnya para haji jaman dulu-dulu. Barangkali inilah awalnya mengapa orang
yang berangkat haji harus dikunjungi, bersalaman, berpamitan, minta maaf, minta
didoakan, dan lain-lain, lalu diantarkan beramai-ramai, karena bisa jadi saat
mengantar, itulah pertemuan antar mereka yang terakhir. Menunaikan ibadah haji
jaman dulu butuh waktu lama, sulit transportasi, sulit komunikasi, sulit pula
akomodasi sehingga bisa terlunta-lunta bahkan sangat mungkin meninggal di Tanah
Arab. “Buyut Arsawijaya munggah kaji, payu
neng kana. Seda neng Mekah!” kata
Eyang Putri Wiryodiharjo. Istilah payu
digunakan untuk pengganti kata ‘dipanggil
Yang Maha Kuasa saat menunaikan ibadah haji’. Kini, mengantar calon haji
beramai-ramai telah menjadi budaya di tanah air.
Dari
Lurah terakhir di Desa Citrakusuma ini, Ki Arsawijaya memiliki keturunan 9
orang, beserta para cucunya; yakni:
1. Eyang Kakung Martawireja – Karangmangu: Kusmini
2. Eyang Putri Kaji Tohir – Citrakusuma.
-
3. Eyang Putri Tadiwirya – Citrakusuma; Mulyadiwirya, Robingah, Ngapiyah
4. Eyang Putri Dasiyem Wiryodihardjo – Citrakusuma; Sungimah, Suma, Suwandi, Suratmi, Suwarni, Suwondo, Sugito, Harsono, Suharti, Hartono.
5. Eyang Putri Sardiyem Sanreja – Ngebak; Ratmini, Kasan Muhadi, Muheni, H. Sadali,
Moch. Kalyubi, Surtinah, Tolingah, Barudji
6. Eyang Kakung Purwosarjono – Mangunegara; Murniati, Susanto Ngudiardjo, Mustirah, Budiono, Sudiono, Purnomo, Lili Purwanti, Sukrisno, Slamet Riyadi.
7. Eyang Kakung Adiatmojo – Citrakusuma; Nitiadi, Adiati Retnaningsih, Adiyanto, Wahyuni, Hastuti,
Bambang Waluyono, Edi Suripto, Widodo Sulistiyono, Heri Budi S, Titie Haryati.
8. Eyang Putri Yasadiwirya – Ngebak; Mujawad, Sechani, Marliah, Musniah,
Matruni, Sumaryo.
9. Eyang Putri Raminah Makmur – Citrakusuma; Mutmainah, Subadyo, Sutarmi, Muthohar.
===
Demikianlah sebuah cerita tutur yang semoga bermanfaat bagi anak turun Ki Mangundirana.
Terimakasih untuk Pak Lik Purnomo, Mbah Mulyadimeja, Mas Miswono, Pak Agus Triyanto yang telah membantu dan melengkapi cerita ini.
Maturnuwun mas toto telah membantu menulis sebuah cerita turun-temurun leluhur yang sangat bagus & menarik. Membantu Mengupas tuntas mengenai babad mangunegara terutama garis keturunan dari Arsawijaya.
BalasHapusbani.sanredja@gmail.com
Semoga garis turun temurun yg sudah jelas bisa di sambung kembali sebagai ajang silaturahmi
BalasHapus