Rabu, 27 September 2017

PAHLAWAN KORAN TENGADAH

PAHLAWAN KORAN TENGADAH
Toto Endargo

Pahlawan koran tengadah, tiga kata sebagai judul tulisan ini. Judul ini diambil dari tiga hal yang menarik saat mengamati suasana di perempatan Patung Pahlawan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Salahsatu tempat keramaian lalulintas yang ada di Kota Purbalingga.
Kata pahlawan diambil dari kata Patung Pahlawan Panglima Besar Jenderal Soedirman; koran dari kata Penjual Koran dan tengadah dari kata Tangan Tengadah. Sebuah potret nyata dari situasi yang ada di Purbalingga dan bahkan ada di banyak tempat. Kombinasi antara perjuangan dan ironi. Ada persamaannya namun ada pula unsur ironi di dalamnya, ada hal yang bertolak belakang dengan yang seharusnya terjadi. 
Pahlawan
Patung Pahlawan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Jenderal Soedirman jelas telah berjuang di medan perang, berjuang di bidang politik, punya kekuatan dan strategi jitu untuk memenangkan perang. Ikhlas bhakti bagi negeri, bukan untuk kepentingan pribadi tapi untuk kepentingan nusa dan bangsa. Jenderal Soedirman menangis saat diberi jabatan Panglima TNI karena menurut beliau jabatan tersebut berhubungan dengan tanggung jawab yang sangat berat dan besar. Tanggung jawab terhadap tanah air, rakyat Indonesia dan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Nilai-nilai inilah yang harus jadi cermin dan diteladani oleh Bangsa Indonesia, rakyat yang sekarang menikmati damainya kemerdekaan. Jenderal Soedirman adalah pahlawan; orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya, membela kebenaran dan pejuang yang gagah berani. Di antara maksud dibangunnya Patung Pahlawan Jenderal Soedirman, adalah agar nilai-nilai luhur yang telah beliau tunjukkan itu dapat diteladani oleh seluruh masyarakat, khususnya oleh masyarakat yang melihatnya.
Koran
Penjual koran adalah salah satu pemberi warna khas yang ada di keramaian lalulintas di sekitar Patung Pahlawan Jenderal Soedirman. Berjuang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan hidup yang lain. Sejak pagi sudah aktif di perempatan jalan. Menyiapkan makanan dan kopi susu di median jalan. Menawarkan koran, menunjukkan berita yang dianggap menarik dan heboh. Tidak semua orang suka membaca koran karena secara perlahan koran tergerus oleh arus informasi digital. Berita melalui koran cenderung kalah cepat dengan berita dari TV dan internet. Sang Penjual koran tetap bersemangat, gigih berjuang mengais rejeki dari para pembeli koran. Rejeki berapa pun disyukuri. Ada peristiwa transaksi jual beli, simbiosis mutualisme, hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
Tengadah
Warna lainnya adalah orang yang menyelip-selip di antara kendaraan yang sedang berhenti menunggu lampu lalulintas berwarna hijau dengan tangan tengadah. Maksudnya jelas yaitu sang peminta-minta. Krida lumahing asta; kridha artinya gerakan - lumahing berasal dari kata lumah yang berati telentang - asta artinya tangan. Gerakan menengadahkan tangan. Esensi dari kegiatan "kridha lumahing asta" adalah perilaku yang mencerminkan sikap hanya ingin menerima, berharap atau menuntut untuk menerima. Krida lumahing asta (KLA) sebagai lawan dari sikap suka memberi dan rela berkorban. Bagaimana kegiatan KLA? Hampir mirip si penjual koran. Hanya saja waktu untuk berkegiatan lebih lama. Penjual koran hanya sampai pukul 9 – 10, pagi hari. KLA bisa sampai senja. Penjual koran harus tegas menawarkan koran, KLA harus telaten dan harus bersikap memelas. Penjual koran mendapat rejeki dari uang yang didapat hari itu, lalu dipotong oleh modalnya, yaitu harga koran dari agen. Sedangkan KLA uang yang diterimanya bersih masuk ke kanthong pribadi - atau ada koordinatornya? Berapa pendapatan penjual koran dan berapa pendapatan KLA dalam sehari? Silakan hitung-hitung sendiri, mencongak!

Begitulah secara singkat ada tiga hal yang mewarnai kehidupan di perempatan dekat terminal Purbalingga itu. Dari sekedar tulisan di atas maka dapat pula disimpulan bahwa Patung Jenderal Soedirman adalah media untuk menyebarkan nilai totalitas jiwa kepahlawanan, ikhlas berjuang, berbakti, berkorban untuk nusa dan bangsa; penjual koran adalah figur yang dengan bermodal koran mengais rejeki demi kesejahteraan keluarga, sedangkan KLA hanya bermodal tangan tengadah dan sikap memelas, meminta rejeki demi kesejahteraan pribadi.
Teladan dan Ironi
Hal yang sedikit yang perlu direnungkan adalah: Sudah sampaikah tujuan patung didirikan, yaitu diteladaninya nilai-nilai juang Jenderal Soedirman oleh kita semua? Menjadi sebuah hal yang disayangkan jika tak peduli dengan keteladanan Jenderal Soedirman. Bagaimana dengan KLA? Rasanya menjadi sebuah ironi jika masih ada KLA yang tanpa “modal” mendapatkan banyak rejeki di sekitar Patung Jenderal Soedirman. Menjadi sebuah ironi pula saat ada pelanggaran terhadap rambu lalulintas, secara sengaja, di bundaran tersebut. Keberadaan KLA di bawah Patung Pahlawan Panglima Besar Jenderal Soedirman adalah kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan.

Patung besar, sebesar itu, sebagai lambang kepahlawanan Panglima Besar, Jenderal Besar Soedirman ternyata ada saatnya tidak terlihat. Ada saatnya lambang menjadi tak bermakna, yang terlihat hanya sebuah patung, bangunan mati penghias jalanan kota.

Semoga tulisan ini mampu mengingatkan bahwa patung pahlawan kebanggaan Kota Perwira, Purbalingga itu punya makna yang harus digali dan diteladani oleh kita semua.


Purbalingga, 26 September 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar