BABAD JATI TUKUNG - #1
Toto Endargo
Kecombrang, Sunda dan Onje
Kecombrang.
Nama lain dari kecombrang adalah honje (Sunda), bongot (Bali) kincung (Sumatera Utara) asam celaka (Tanah Karo) patikala (Sulawesi Selatan) ada juga yang menyebutnya sebagai bunga rias dan kumbang sekkala. Kecombrang bunganya sangat elok, degradasi dari warna merah cerah dan berkombinasi dengan warna putih. Kecombrang adalah bentuk bunga dari tumbuhan yang bernama burus (etlingera elatior), kecombrang muncul setahun sekali dan akhirnya akan menjadi sebongkah biji-bijian yang berwarna menarik juga. Kecombrang di Banyumas digunakan sebagai sayuran, selain mengandung air juga terdapat nutrisi berupa: kalium, kalsium, fosfor, magnesium, dan zat besi.
Sunda adalah nama suku yang berada di
Jawa Barat. Banyumas adalah wilayah perbatasan antara Suku Sunda dan Suku Jawa.
Jawa berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jadi wajar jika wilayah Onje, atau
Purbalingga ada unsur dari bahasa Sunda, ada nama pemukiman dari bahasa Sunda.
Banyak nama pemukiman yang diambil dari nama tanaman atau nama buah. Onje atau
honje adalah salah satu nama yang diambil dari unsur tanaman, dan dijadikan
nama pemukiman di wilayah timur Gunung Slamet, di tepi sebuah sungai, Kali
Klawing, itulah Onje atau Honje.
Jadi nama Onje, tepatnya adalah “Honje”,
dari Bahasa Sunda, kalau di Jawa namanya
kecombrang, nama bunga dari rumpun
burus. Memang budaya Sunda cukup dominan di wilayah Banyumas. Dan ada beberapa
nama di wilayah Purbalingga yang menggunakan bahasa Sunda, misal nama Cipaku,
Cikarang, Galuh, Bodas Karangjati, hal ini menunjukkan bahwa wilayah Purbalingga
dan sekitarnya sejak dahulu sudah terpengaruh budaya Sunda.
Siapa yang memberi nama Onje? Jika
pemberi nama Onje adalah Ki Tepusrumput maka kemungkinannya Ki Tepusrumput
berasal dari Sunda atau Jawa Barat. Jika pemberi nama Onje bukan Ki Tepusrumput
maka dapat dipastikan bahwa wilayah ini sejak dulu kala memang telah dihuni oleh
keturunan dari Suku Sunda.
Babad Jati Tukung adalah judul tulisan
ini, diambil dari tiga hal yang ada di Onje, yaitu Buku Babad Onje, Pundhen
Jati Ragas dan Gunung Tukung. Ketiganya ada di Desa Onje, Mrebet, Purbalingga. Dari
ketiga hal tersebut sepertinya memiliki satu muara yang sama yaitu keadaan yang
tidak nyaman, suasana keprihatinan.
Dalam tulisan Babad Jati Tukung ini, ada tiga hal yang dibicarakan. Pertama bercerita
tentang sulitnya mengenal Babad Onje. Sejarah Kadipaten Onje yang berakhir
tragis, mengenaskan, sehingga untuk membaca bukunya saja seperti dipersulit,
menggunakan banyak syarat, apalagi untuk mementaskannya dalam sebuah
pertunjukan, misal kethoprak. Kedua tentang Jatiragas yang menjadi nama
pundhen, kata ragas dalam bahasa Jawa sama dengan murang, gugur daun, atau
meranggas. Pohon yang meranggas berarti pohon itu dalam keadaan tidak sehat,
berprihatin. Ketiga tentang Gunung Tukung, kata tukung umumnya untuk unggas,
misal ayam. Ayam tukung berarti ayam yang tidak sempurna karena tidak punya
ekor bahkan tidak punya brutu. Jadi hemat penulis ketiga hal di atas, kisah,
nama pundhen, nama bukit, sama-sama memiliki “roh” keprihatinan yang mendalam,
yang diawali dan diakibatkan oleh peristiwa tragis di Kadipaten Onje.
Bersambung ke: Babad Jati Tukung #2
.
Blater, 17 November 2019 Bersambung ke: Babad Jati Tukung #2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar