BABAD JATI TUKUNG - #2
Toto Endargo
Babad
Onje.
Sejak kecil penulis sudah mengenal
Babad Onje dan sedikit tentang Desa
Onje. Sekitar tahun 1964 sudah mengunjungi watu lumpang atau batu dakon,
masjid onje yang masih berpandasi benteng batu, belum disemen. Mengunjungi
pohon nangka, pohon blimbing, dan arca batu. Menikmati pemandangan orang
menyeberang Kali Klawing, Kedhung Nini, Kedhung Dhukuh dan Kedhung
Pertelu. Kesan wingit sangat terasa.
Penduduk desa belum sepadat sekarang. Air di sungai masih terasa sejuk dan sangat
jernih. Arca batu masih di lahan kosong, di bawah pohon dukuh dan jauh dari
rumah penduduk.
Seingat penulis pohon blimbing
“ajaib”, bukan hasil okulasi, yang konon separo pohon buahnya berasa manis, dan
yang separo lagi berasa masam, yang ditunjukkan oleh teman, diameter batangnya,
waktu itu, masih sekitar 20 cm, ada di pekarangan jauh dari rumah penduduk. Rumah
penduduk saat itu mayoritas masih berlantai tanah, tembok bata adalah hal yang
langka. Pohon nangka “ajaib” juga teramati, pohon nangka ada di pinggir sungai,
dulu belum ada jembatan, sungai di bawah airnya tampak deras dan jernih, pohon
nangka tampak sudah tua, diameternya kira-kira 50 cm. Konon pohon nangka ini
sakti kalau ada yang berani memasang paku di batangnya, maka keesokan harinya
paku itu sudah keluar dari tempatnya yang tertusuk. Batu dakon, atau watu
lumpang, konon jumlah lubangnya kalau dihitung bisa berubah-ubah jumlahnya.
Gawatnya Onje benar-benar terbayang di benak penulis saat itu, saat tahun
1960-an. Dan tentu saja saya dengar juga kisah tragis di rumah kadipaten yang konon
tertulis di sebuah buku, Buku Babad Onje.
Babad Onje dikenal sebagai kisah
“larangan”, babad yang wingit. Tidak sembarang orang atau suatu kelompok berani
mementaskan Babad Onje. Misal ada kelompok kethoprak yang berani mengambil
lakon Babad Onje maka banyak syarat yang harus dipenuhi, jika tidak terpenuhi
maka “dipastikan” ada yang celaka atau tertimpa musibah. Ngeri! Oleh karena
itu, sepertinya, belum pernah ada Group Kethoprak yang berani mementaskan Babad
Onje.
Dari kecil penulis sudah mendengar
bahwa untuk membuka apalagi membaca Buku Babad Onje, harus melalui syarat yang
banyak. Katanya buku Babad Onje disimpan di Masjid Onje, berarti “gawat” Buku
keramat, di tempat yang wingit. Masjid Onje itu wingit dan gawat keliwat-liwat.
Penulis kecil, saat itu harus ndremimil, berdoa saat lewat di gang sebelah
masjid Onje. Konon dulu, barangsiapa berani membakar potongan kayu, serpihan
dinding, atau bagian dari Masjid Onje, walau sudah lapuk, maka rumah pembakar
itu akan benar-benar kebakaran. Jadi kalau ada kebakaran rumah di Desa Onje,
maka kemungkinannya karena, sengaja atau tidak, membakar serpihan kayu dari
Masjid Onje, walau mungkin sudah lapuk.
Kata Pak Dhe Notohardjono, di tahun
1965-an, konon untuk membaca Buku Babad Onje harus ada sajen bentuk bunga,
minuman, kemenyan dan harus menyembelih ayam jago yang berbulu putih mulus.
Harus menggunakan pakaian adat Jawa, pakai bebed, surjan dan blangkonan. Rebyeg
temen, nggane! Sehingga tidak setiap orang bisa membaca buku itu. Kalau
membacanya setiap hari berarti menyembelih ayam jago putih setiap hari juga.
Kini dari hasil baca-baca dan
tanya-tanya, ternyata tidak begitu keliru yang dulu diceritakan oleh Pak Dhe, saat
penulis masih ingusan. Buku Babad Onje kini dikenal dengan nama buku Punika Serat Sejarah Babad Onje. Benar,
ada syarat yang cukup berat untuk membuka dan membaca buku tersebut. Selain harus
disediakan kesukaan dari Ki Adipati Anyokrowati, daging ayam Jago Jawa yang berbulu
putih mulus, tapi juga harus ada ikan dari Sungai Klawing, teh pahit dan air
putih, juga harus diawali dengan Surat Al Fatihah dan doa keselamatan. Dan ternyata bagi yang tidak mahir huruf Arab
Pegon dan bahasa Jawa Kuna, jangan harap bisa baca dan paham makna, sebab buku Punika Serat Sejarah Babad Onje, berbahasa
Jawa Kuna dan bentuk tulisannya menggunakan huruf Arab Pegon.
Barangkali sengaja dengel-ngel, sengaja dipersulit, karena dengan berbagai syarat yang sulit maka sejarah
Kadipaten Onje yang menceriterakan peristiwa tragis, pembunuhan terhadap dua
istri sekaligus, tidak terbaca sembarang orang. Padahal hal pembunuhan di
lingkungan, semacam, kerajaan tidak hanya di Onje. Di Singasari, ada Ken Arok yang
membunuh Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, di Mataram, juga ada, Panembahan
Senapati menewaskan putra mantunya, Ki Ageng Wanabaya. Jadi peristiwa yang
mengenaskan tidak hanya terjadi di Onje, tidak perlu terlalu dirahasiakan.
Blater, 17 November 2019
Bersambung Ke : Babad Jati Tukung #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar