Kamis, 21 November 2019

BABAD JATI TUKUNG - #2

BABAD JATI TUKUNG - #2
Toto Endargo

Babad Onje.
Sejak kecil penulis sudah mengenal Babad Onje dan sedikit tentang Desa  Onje. Sekitar tahun 1964 sudah mengunjungi watu lumpang atau batu dakon, masjid onje yang masih berpandasi benteng batu, belum disemen. Mengunjungi pohon nangka, pohon blimbing, dan arca batu. Menikmati pemandangan orang menyeberang Kali Klawing, Kedhung Nini, Kedhung Dhukuh dan Kedhung Pertelu.  Kesan wingit sangat terasa. Penduduk desa belum sepadat sekarang. Air di sungai masih terasa sejuk dan sangat jernih. Arca batu masih di lahan kosong, di bawah pohon dukuh dan jauh dari rumah penduduk.
Seingat penulis pohon blimbing “ajaib”, bukan hasil okulasi, yang konon separo pohon buahnya berasa manis, dan yang separo lagi berasa masam, yang ditunjukkan oleh teman, diameter batangnya, waktu itu, masih sekitar 20 cm, ada di pekarangan jauh dari rumah penduduk. Rumah penduduk saat itu mayoritas masih berlantai tanah, tembok bata adalah hal yang langka. Pohon nangka “ajaib” juga teramati, pohon nangka ada di pinggir sungai, dulu belum ada jembatan, sungai di bawah airnya tampak deras dan jernih, pohon nangka tampak sudah tua, diameternya kira-kira 50 cm. Konon pohon nangka ini sakti kalau ada yang berani memasang paku di batangnya, maka keesokan harinya paku itu sudah keluar dari tempatnya yang tertusuk. Batu dakon, atau watu lumpang, konon jumlah lubangnya kalau dihitung bisa berubah-ubah jumlahnya. Gawatnya Onje benar-benar terbayang di benak penulis saat itu, saat tahun 1960-an. Dan tentu saja saya dengar juga kisah tragis di rumah kadipaten yang konon tertulis di sebuah buku, Buku Babad Onje.
Babad Onje dikenal sebagai kisah “larangan”, babad yang wingit. Tidak sembarang orang atau suatu kelompok berani mementaskan Babad Onje. Misal ada kelompok kethoprak yang berani mengambil lakon Babad Onje maka banyak syarat yang harus dipenuhi, jika tidak terpenuhi maka “dipastikan” ada yang celaka atau tertimpa musibah. Ngeri! Oleh karena itu, sepertinya, belum pernah ada Group Kethoprak yang berani mementaskan Babad Onje.
Dari kecil penulis sudah mendengar bahwa untuk membuka apalagi membaca Buku Babad Onje, harus melalui syarat yang banyak. Katanya buku Babad Onje disimpan di Masjid Onje, berarti “gawat” Buku keramat, di tempat yang wingit. Masjid Onje itu wingit dan gawat keliwat-liwat. Penulis kecil, saat itu harus ndremimil, berdoa saat lewat di gang sebelah masjid Onje. Konon dulu, barangsiapa berani membakar potongan kayu, serpihan dinding, atau bagian dari Masjid Onje, walau sudah lapuk, maka rumah pembakar itu akan benar-benar kebakaran. Jadi kalau ada kebakaran rumah di Desa Onje, maka kemungkinannya karena, sengaja atau tidak, membakar serpihan kayu dari Masjid Onje, walau mungkin sudah lapuk.
Kata Pak Dhe Notohardjono, di tahun 1965-an, konon untuk membaca Buku Babad Onje harus ada sajen bentuk bunga, minuman, kemenyan dan harus menyembelih ayam jago yang berbulu putih mulus. Harus menggunakan pakaian adat Jawa, pakai bebed, surjan dan blangkonan. Rebyeg temen, nggane! Sehingga tidak setiap orang bisa membaca buku itu. Kalau membacanya setiap hari berarti menyembelih ayam jago putih setiap hari juga.
Kini dari hasil baca-baca dan tanya-tanya, ternyata tidak begitu keliru yang dulu diceritakan oleh Pak Dhe, saat penulis masih ingusan. Buku Babad Onje kini dikenal dengan nama buku Punika Serat Sejarah Babad Onje. Benar, ada syarat yang cukup berat untuk membuka dan membaca buku tersebut. Selain harus disediakan kesukaan dari Ki Adipati Anyokrowati, daging ayam Jago Jawa yang berbulu putih mulus, tapi juga harus ada ikan dari Sungai Klawing, teh pahit dan air putih, juga harus diawali dengan Surat Al Fatihah dan doa keselamatan.  Dan ternyata bagi yang tidak mahir huruf Arab Pegon dan bahasa Jawa Kuna, jangan harap bisa baca dan paham makna, sebab buku Punika Serat Sejarah Babad Onje, berbahasa Jawa Kuna dan bentuk tulisannya menggunakan huruf Arab Pegon.
Barangkali sengaja dengel-ngel, sengaja dipersulit, karena dengan berbagai syarat yang sulit maka sejarah Kadipaten Onje yang menceriterakan peristiwa tragis, pembunuhan terhadap dua istri sekaligus, tidak terbaca sembarang orang. Padahal hal pembunuhan di lingkungan, semacam, kerajaan tidak hanya di Onje. Di Singasari, ada Ken Arok yang membunuh Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, di Mataram, juga ada, Panembahan Senapati menewaskan putra mantunya, Ki Ageng Wanabaya. Jadi peristiwa yang mengenaskan tidak hanya terjadi di Onje, tidak perlu terlalu dirahasiakan.
                            
                                                          Blater, 17 November 2019

Bersambung Ke : Babad Jati Tukung #3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar