Kamis, 21 November 2019

BABAD JATI TUKUNG - #3

BABAD JATI TUKUNG - #3
Toto Endargo

Pundhen Jati Ragas.
Jati adalah nama pohon yang punya kelebihan dibandingkan dengan pohon lain. Kayu jati lebih berharga, lebih kuat, lebih perkasa, lebih tahan terhadap lingkungan. Kayu jati menjadi bahan yang baik untuk bangunan dan perabotan. Istana kerajaan dan masjid besar sejak dahulu kala pasti memilih kayu jati sebagai bahan bangunan. Jadi jati adalah kayu istimewa, punya kedudukan tinggi. Ibarat masyarakat, dia adalah bagian masyarakat yang berkedudukan tinggi. Orang kebanyakan sering diibaratkan sebagai pohon jarak, maka ada ungkapan “Tunggak Jati mati, tunggak Jarak mrajak”.

Ragas adalah kata yang merujuk pada keadaan sebuah pohon sudah tidak berdaun, daunnya berguguran. Berguguran karena musim gugur bisa juga berguguran karena berpenyakit. Jika karena musim gugur maka daunnya akan rimbun kembali. Tapi jika berpenyakit maka pohon akan mati. Pohon yang berpenyakit atau tak lagi dapat mengatasi keadaan, misal kemarau yang panjang, terjadilah pohon itu ragas, daunnya habis tinggal batang, cabang dan ranting yang berdiri tegak tanpa kehidupan dan akhirnya akan tumbang. Jika di masyarakat adalah mereka yang sudah tidak mampu lagi mengatasi keadaan dan akhirnya hidup terpuruk.
Jadi nama Jatiragas kemungkinannya adalah nama simbolis untuk menggambarkan surutnya sebuah trah yang awalnya terpandang dan akhirnya terpuruk. Dari buku Babad Onje terceritakan betapa terhormatnya Kadipaten Onje, sebuah wilayah yang sangat jauh dari pusat ibukota Kerajaan Pajang, dipimpin oleh putra kandung Raja Pajang, Sri Sultan Hadiwidjaya. Bukankah Raden Ore-ore atau Adipati Anyakrapati II adalah putra kandung Sultan Hadiwidjaja dari garwa selir, putri Adipati Menoreh? Oleh karena itulah keberadaan Kadipaten Onje sangat memenuhi hukum legalitas sebagai wilayah yang terkemuka. Namun ternyata begitu pendek usia kejayaan Kadipaten Onje, bagai pohon Jati yang cepat meranggas. Hanya dipimpin oleh dua orang adipati, pertama olah Ki Tepus Rumput, Adipati Anyakrapati I, dan yang kedua oleh Raden Ore-ore, Adipati Anyakrapati II. Setelah itu surut, bagaikan Kerajaan Pajang masa kejayaan hanya saat diperintah oleh Sultan Hadiwidjaya alias Joko Tingkir, hanya satu periode pimpinan. Onje ternyata nunggak semi dengan Pajang.
Pundhen Jatiragas berada di puncak bukit, untuk mencapainya, umumnya lewat jalan setapak yang membujur di lereng bukit bagian barat, dari Jembatan Kedhung Dukuh, sedikit ke utara, atau ke kiri, akan tampak pematang besar membelah ladang, sawah, lalu tampak “lidhigan” yang menembus lebatnya pohon-pohon keras. Ikuti jalan tanah setapak sampai ke puncak bukit, lalu belok kanan, di bawah dua pohon besar, berpagar rumpun pepohonan kecil-kecil, di situlah Pundhen Jatiragas berada. Pertama sekali penulis ke pundhen Jatiragas bersama Mbah Mulyadimeja (78th), dari Dukuh Banawati, Onje, menerabas rumpun perdu dari arah Dusuh Pagendolan, sebelah timur bukit.
Sebuah tempat yang menyendiri di punggung bukit, suasananya demikian sunyi, karena banyak pohon-pohon tinggi di lereng bukit maka sulit untuk melihat pemandangan alam, yang ada adalah suasanan wingit dan sunyi. Udara masih segar. Pundhen Jatiragas menempati arena berbentuk segi empat sama sisi, sekitar 7 meter. Tempatnya rata, ada delapan batu nisan, yang tiga masih jelas terlihat berpasangan, yang dua tidak berpasangan, kemungkinannya terpendam, atau tercecer. Jadi kemungkinannya dulu ada lima makam, batu nisannya dari batu kali, sederhana banget, hanya satu batu nisan yang istimewa, paling tinggi, dan dibuat dari batu yang dibelah-belah sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti ujung tombak, mirip “menhir”, batu hasil olahan, misal dipahat, diratakan, atau dikepras dan dipasang tegak.
Saat ini ada terlihat bekas pangkal pohon, tinggal onggokkan kecil, konon itu adalah “dhongklak” kayu, dari Pohon Jati yang dulu tumbuh dan berdiri di Makam Pundhen Jatiragas. Pohon Jati yang berumur ini sampai berlubang di pangkalnya, keistimewaan dari Pohon Jati ini adalah memang, konon, benar-benar ranggas, tidak berdaun, namun pohon ini tetap hidup dan meninggi. Kenapa meranggas? Sejak kapan meranggas? Keberadaan Pohon Jati yang tumbuh tak berdaun inilah rupanya yang menjadikan nama pundhen ini diberi nama Pudhen Jatiragas.
Lalu siapa saja yang dimakamkan di puncak bukit ini? Dari cerita yang terceritakan bukan makam manusia, Pundhen Jatiragas adalah makam piyandel Kadipaten Onje. Piyandel atau andalan sebuah kadipaten, semacam keris, tombak, dan berbagai barang lain yang mempunyai kesaktian dan kemampuan untuk melindungi keberadaan kadipaten, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Diyakini bahwa kemandirian sebuah wilayah harus dilengkapi dengan piyandel semacam Songsong Tunggul Naga, Tombak Kyai Plered, Keris Naga Sasra, Sabuk Inten, Setan Kober, Sikoro Welang, Kyai Sengkelat, Empu Gandring, Cincin Ampal, Gada Wesi Kuning dan lain-lain. Piyandel Kadipaten Onje sampai saat ini belum ada satupun nama piyandel yang terceritakan dan tercatat oleh penulis.
Pundhen Jatiragas adalah salah satu tempat “ngalap berkah”, namun rupanya hanya orang-orang tertentu yang berziarah ke Jatiragas. Barangkali karena tempatnya yang terpencil di puncak bukit, di seberang Sungai Klawing, menjadikan Pundhen Jatiragas tidak sepopuler Masjid Sayid Kuning, Makam Adipati Onje, Makam Medang, Kedung Pertelu atau bahkan Arca Batu.
Pundhen Jatiragas tingkat kewingitannya menjadi pertimbangan masyarakat Onje, untuk memasuki wilayah pundhen dengan radius sekitar 200 meter saja harus “kulanuwun”. Hindari berpikir negatif apalagi sempat terucap dan terwujud dalam perbuatan, bisa “kualat”. Tidak setiap orang berani memasuki kebun, pekarangan, di arena Jatiragas yang mayoritas masih lebat dengan pepohonan liar. Walau hanya sekedar mencari kayu bakar pun harus tetap menjaga sopan-santun, sama seperti adab orang ziarah. Untuk perempuan dalam siklus haid, sangat dilarang hadir di lingkungan Pundhen Jatiragas.
Penulis pernah suatau kali, sekitar pukul sebelas siang, matahari begitu terik, sendirian di kebun kopi yang cukup lebat, sekitar 50 meter di bawah pundhen, memetik buah kopi. Perlu kewaspadaan yang tinggi dalam kelebatan “hutan” perdu, takut ada ular atau celeng lewat. Masih banyak jejak telapak kaki celeng atau babi liar yang mengacak-acak wit boled tahun dan dhukiran mereka mencari serangga semacam gasir. Tiba-tiba didepan saya ada bunyi “kresek” tidak begitu keras, dan di depan saya sudah berdiri seseorang. Wujud orang beneran, bertelanjang dada, bagian bawah menggunakan lancingan, ubed-ubedan kain putih yang sudah kusam kekuningan, baunya nduleg irung, bau antara kemenyan dan bunga-bunga sesajian. Saya kaget, tapi wajah dan sorot mata orang itu juga menggambarkan kekagetan, mungkin tidak menyangka di kesunyian dan kelebatan hutan perdu, di tempat yang terkenal wingit ada saya, yang manusia, sendirian, thil, dhewekan! Sadar ada manusia langka, segera saya mengambil kamera HP, dan segera memilih aplikasi kamera, ternyata kecepatan menyiapkan kamera dengan kecepatan berlalunya orang asing ini tak berimbang. Orang langka ini berjalan seperti berkelebat di kebun perdu, tanpa jejak, kaki seperti ringan melangkah. Hanya sedikit bagian belakangnya yang kena jepret, itu saja jaraknya sudah jauh, jadi seperti bayangannya saja yang sempat terekam. Hemat saya dia datang dari gerumbul yang pekat, bukan jalan orang, melintas di depan saya, dan segera masuk ke gerumbul yang pekat dan juga bukan jalan orang. Untuk diketahui pekatnya rumpun pohon di hutan bawah Pundhen Jatiragas saat itu benar-benar rimbun, banyak pohon Laban, Bandhotan, Salak, Burus Liar dan paling banyak Rumpun Gendani yang rata-rata tingginya tiga-meteran, tidak mudah menerobos kepekatan pohon-pohon perdu itu. Siapa sosok manusia yang mengagetkan saya itu? Belum ada yang tahu, bahkan mayoritas mereka hanya tersenyum. Mungkinkah salah satu penghuni di sekitar Jatiragas?   


Blater, 17 November 2019
Bersambung ke : Babad Jati Tukung #4


Tidak ada komentar:

Posting Komentar