BABAD JATI TUKUNG - #3
Toto Endargo
Pundhen
Jati Ragas.
Jati adalah nama pohon yang punya
kelebihan dibandingkan dengan pohon lain. Kayu jati lebih berharga, lebih kuat,
lebih perkasa, lebih tahan terhadap lingkungan. Kayu jati menjadi bahan yang
baik untuk bangunan dan perabotan. Istana kerajaan dan masjid besar sejak
dahulu kala pasti memilih kayu jati sebagai bahan bangunan. Jadi jati adalah
kayu istimewa, punya kedudukan tinggi. Ibarat masyarakat, dia adalah bagian
masyarakat yang berkedudukan tinggi. Orang kebanyakan sering diibaratkan
sebagai pohon jarak, maka ada ungkapan “Tunggak Jati mati, tunggak Jarak
mrajak”.
Ragas adalah kata yang merujuk pada
keadaan sebuah pohon sudah tidak berdaun, daunnya berguguran. Berguguran karena
musim gugur bisa juga berguguran karena berpenyakit. Jika karena musim gugur
maka daunnya akan rimbun kembali. Tapi jika berpenyakit maka pohon akan mati.
Pohon yang berpenyakit atau tak lagi dapat mengatasi keadaan, misal kemarau
yang panjang, terjadilah pohon itu ragas, daunnya habis tinggal batang, cabang
dan ranting yang berdiri tegak tanpa kehidupan dan akhirnya akan tumbang. Jika
di masyarakat adalah mereka yang sudah tidak mampu lagi mengatasi keadaan dan
akhirnya hidup terpuruk.
Jadi nama Jatiragas kemungkinannya
adalah nama simbolis untuk menggambarkan surutnya sebuah trah yang awalnya terpandang
dan akhirnya terpuruk. Dari buku Babad Onje terceritakan betapa terhormatnya
Kadipaten Onje, sebuah wilayah yang sangat jauh dari pusat ibukota Kerajaan
Pajang, dipimpin oleh putra kandung Raja Pajang, Sri Sultan Hadiwidjaya.
Bukankah Raden Ore-ore atau Adipati Anyakrapati II adalah putra kandung Sultan
Hadiwidjaja dari garwa selir, putri Adipati Menoreh? Oleh karena itulah
keberadaan Kadipaten Onje sangat memenuhi hukum legalitas sebagai wilayah yang
terkemuka. Namun ternyata begitu pendek usia kejayaan Kadipaten Onje, bagai
pohon Jati yang cepat meranggas. Hanya dipimpin oleh dua orang adipati, pertama
olah Ki Tepus Rumput, Adipati Anyakrapati I, dan yang kedua oleh Raden Ore-ore,
Adipati Anyakrapati II. Setelah itu surut, bagaikan Kerajaan Pajang masa
kejayaan hanya saat diperintah oleh Sultan Hadiwidjaya alias Joko Tingkir,
hanya satu periode pimpinan. Onje ternyata nunggak semi dengan Pajang.
Pundhen Jatiragas berada di puncak
bukit, untuk mencapainya, umumnya lewat jalan setapak yang membujur di lereng
bukit bagian barat, dari Jembatan Kedhung Dukuh, sedikit ke utara, atau ke kiri,
akan tampak pematang besar membelah ladang, sawah, lalu tampak “lidhigan” yang menembus lebatnya
pohon-pohon keras. Ikuti jalan tanah setapak sampai ke puncak bukit, lalu belok
kanan, di bawah dua pohon besar, berpagar rumpun pepohonan kecil-kecil, di
situlah Pundhen Jatiragas berada. Pertama sekali penulis ke pundhen Jatiragas
bersama Mbah Mulyadimeja (78th), dari Dukuh Banawati, Onje, menerabas rumpun
perdu dari arah Dusuh Pagendolan, sebelah timur bukit.
Sebuah tempat yang menyendiri di
punggung bukit, suasananya demikian sunyi, karena banyak pohon-pohon tinggi di
lereng bukit maka sulit untuk melihat pemandangan alam, yang ada adalah
suasanan wingit dan sunyi. Udara masih segar. Pundhen Jatiragas menempati arena
berbentuk segi empat sama sisi, sekitar 7 meter. Tempatnya rata, ada delapan
batu nisan, yang tiga masih jelas terlihat berpasangan, yang dua tidak
berpasangan, kemungkinannya terpendam, atau tercecer. Jadi kemungkinannya dulu
ada lima makam, batu nisannya dari batu kali, sederhana banget, hanya satu batu
nisan yang istimewa, paling tinggi, dan dibuat dari batu yang dibelah-belah
sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti ujung tombak, mirip “menhir”, batu
hasil olahan, misal dipahat, diratakan, atau dikepras dan dipasang tegak.
Saat ini ada terlihat bekas pangkal
pohon, tinggal onggokkan kecil, konon itu adalah “dhongklak” kayu, dari Pohon Jati yang dulu tumbuh dan berdiri di
Makam Pundhen Jatiragas. Pohon Jati yang berumur ini sampai berlubang di
pangkalnya, keistimewaan dari Pohon Jati ini adalah memang, konon, benar-benar
ranggas, tidak berdaun, namun pohon ini tetap hidup dan meninggi. Kenapa
meranggas? Sejak kapan meranggas? Keberadaan Pohon Jati yang tumbuh tak berdaun
inilah rupanya yang menjadikan nama pundhen ini diberi nama Pudhen Jatiragas.
Lalu siapa saja yang dimakamkan di
puncak bukit ini? Dari cerita yang terceritakan bukan makam manusia, Pundhen
Jatiragas adalah makam piyandel Kadipaten Onje. Piyandel atau andalan sebuah
kadipaten, semacam keris, tombak, dan berbagai barang lain yang mempunyai
kesaktian dan kemampuan untuk melindungi keberadaan kadipaten, baik yang tampak
maupun yang tidak tampak. Diyakini bahwa kemandirian sebuah wilayah harus
dilengkapi dengan piyandel semacam Songsong Tunggul Naga, Tombak Kyai Plered,
Keris Naga Sasra, Sabuk Inten, Setan Kober, Sikoro Welang, Kyai Sengkelat, Empu
Gandring, Cincin Ampal, Gada Wesi Kuning dan lain-lain. Piyandel Kadipaten Onje
sampai saat ini belum ada satupun nama piyandel yang terceritakan dan tercatat
oleh penulis.
Pundhen Jatiragas adalah salah satu
tempat “ngalap berkah”, namun rupanya hanya orang-orang tertentu yang berziarah
ke Jatiragas. Barangkali karena tempatnya yang terpencil di puncak bukit, di
seberang Sungai Klawing, menjadikan Pundhen Jatiragas tidak sepopuler Masjid
Sayid Kuning, Makam Adipati Onje, Makam Medang, Kedung Pertelu atau bahkan Arca
Batu.
Pundhen Jatiragas tingkat
kewingitannya menjadi pertimbangan masyarakat Onje, untuk memasuki wilayah
pundhen dengan radius sekitar 200 meter saja harus “kulanuwun”. Hindari
berpikir negatif apalagi sempat terucap dan terwujud dalam perbuatan, bisa “kualat”. Tidak setiap orang berani
memasuki kebun, pekarangan, di arena Jatiragas yang mayoritas masih lebat
dengan pepohonan liar. Walau hanya sekedar mencari kayu bakar pun harus tetap
menjaga sopan-santun, sama seperti adab orang ziarah. Untuk perempuan dalam
siklus haid, sangat dilarang hadir di lingkungan Pundhen Jatiragas.
Penulis pernah suatau kali, sekitar
pukul sebelas siang, matahari begitu terik, sendirian di kebun kopi yang cukup
lebat, sekitar 50 meter di bawah pundhen, memetik buah kopi. Perlu kewaspadaan
yang tinggi dalam kelebatan “hutan” perdu, takut ada ular atau celeng lewat.
Masih banyak jejak telapak kaki celeng atau babi liar yang mengacak-acak wit boled tahun dan dhukiran mereka mencari serangga semacam gasir. Tiba-tiba didepan
saya ada bunyi “kresek” tidak begitu keras,
dan di depan saya sudah berdiri seseorang. Wujud orang beneran, bertelanjang
dada, bagian bawah menggunakan lancingan,
ubed-ubedan kain putih yang sudah
kusam kekuningan, baunya nduleg irung,
bau antara kemenyan dan bunga-bunga sesajian. Saya kaget, tapi wajah dan sorot
mata orang itu juga menggambarkan kekagetan, mungkin tidak menyangka di
kesunyian dan kelebatan hutan perdu, di tempat yang terkenal wingit ada saya,
yang manusia, sendirian, thil, dhewekan! Sadar ada manusia langka, segera saya
mengambil kamera HP, dan segera memilih aplikasi kamera, ternyata kecepatan
menyiapkan kamera dengan kecepatan berlalunya orang asing ini tak berimbang.
Orang langka ini berjalan seperti berkelebat di kebun perdu, tanpa jejak, kaki
seperti ringan melangkah. Hanya sedikit bagian belakangnya yang kena jepret,
itu saja jaraknya sudah jauh, jadi seperti bayangannya saja yang sempat
terekam. Hemat saya dia datang dari gerumbul yang pekat, bukan jalan orang,
melintas di depan saya, dan segera masuk ke gerumbul yang pekat dan juga bukan
jalan orang. Untuk diketahui pekatnya rumpun pohon di hutan bawah Pundhen
Jatiragas saat itu benar-benar rimbun, banyak pohon Laban, Bandhotan, Salak,
Burus Liar dan paling banyak Rumpun Gendani yang rata-rata tingginya
tiga-meteran, tidak mudah menerobos kepekatan pohon-pohon perdu itu. Siapa
sosok manusia yang mengagetkan saya itu? Belum ada yang tahu, bahkan mayoritas
mereka hanya tersenyum. Mungkinkah salah satu penghuni di sekitar Jatiragas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar