Benteng Missier dan Pager Banawaty: Dua Lapisan Pertahanan di Onje (1681)
Pada akhir abad ke‑17, wilayah barat daya Banyumas menjadi salah satu titik strategis dalam perebutan pengaruh antara VOC dan kekuatan‑kekuatan lokal Jawa. Kawasan Onje, yang terletak di tepi Sungai Klawing, dikenal masyarakat setempat sebagai pusat Kadipaten dengan sistem pertahanan tradisional yang disebut Pager Banawaty. Struktur ini berupa benteng bumi dengan parit melingkar dan dinding tanah yang mengelilingi permukiman inti kadipaten, khas pertahanan lokal Jawa pada masa itu.
Pada 16 Desember 1681, pasukan VOC di bawah komando Kommandeur Couper melancarkan operasi untuk merebut daerah Onje. Dalam laporan resmi VOC disebutkan bahwa kawasan ini memiliki dua lapis pertahanan: lapisan luar berupa Pager Banawaty dengan panjang keliling mencapai 1.021 roeden (kira‑kira 3.440 meter), dan lapisan dalam berupa benteng inti yang kemudian diperkuat dan diubah menjadi bastion gaya Eropa.
Peta bird’s‑eye view bertajuk Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier yang kini tersimpan di Nationaal Archief, Den Haag (VEL1255), memperlihatkan dengan jelas kedua lapisan pertahanan tersebut. Benteng inti VOC, yang kemudian dikenal sebagai Benteng Missier, dibangun di tengah bekas pusat kadipaten dan dikelilingi oleh struktur Pager Banawaty. Benteng VOC berbentuk persegi dengan empat bastion di sudutnya, parit lebar, dan gerbang utama bergaya Vauban, sedangkan Pager Banawaty tampak sebagai dinding tanah yang lebih rendah dengan parit luar tidak simetris — ciri khas benteng bumi lokal.
Keberadaan peta ini menjadi bukti penting bahwa VOC tidak membangun dari nol, melainkan memanfaatkan tata letak pertahanan lokal yang sudah ada, sambil memperkenalkan sistem bastion Eropa untuk memperkuat kedudukannya di perbatasan Banyumas–Priangan. Penaklukan dan pembangunan benteng ini juga menandai integrasi daerah Banyumas barat ke dalam jaringan pertahanan kolonial VOC di Jawa Tengah.
Peta Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier dibuat sekitar tahun 1695 oleh kartografer VOC Isaac de Graaff sebagai bagian dari laporan teknis pasca‑penaklukan. Peta berukuran 53 × 74 cm ini kini dapat diakses melalui portal daring Atlas of Mutual Heritage (https://www.atlasofmutualheritage.nl) dan menjadi salah satu dokumen penting untuk memahami sejarah perbentengan kolonial di Banyumas.
Sumber: Nationaal Archief, VEL1255, Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier, ca. 1695, Atlas of Mutual Heritage. Diakses Juli 2025.
Benteng Missier di Onje: Warisan Dua Lapisan Pertahanan Banyumas
Latar Sejarah: Banyumas di Persimpangan Zaman
Pada paruh kedua abad ke‑17, wilayah Priangan, Banyumas, dan sekitarnya menjadi medan konflik besar antara kekuatan‑kekuatan lokal Jawa dengan Kompeni VOC. Setelah berhasil menguasai Batavia (Jakarta) sejak 1619 dan kemudian pesisir utara Jawa, VOC mulai bergerak ke pedalaman Jawa Barat dan Jawa Tengah untuk mengendalikan jalur ekonomi dan jalur militer yang penting.
Banyumas pada waktu itu bukanlah daerah kosong. Wilayah ini merupakan bagian dari kekuasaan Kadipaten yang sudah mapan, dengan pusat‑pusat pemerintahan lokal seperti Pasirluhur, Wirasaba, hingga Onje. Masing‑masing kadipaten memiliki sistem pertahanan sendiri, umumnya berupa pager bumi atau benteng tanah, dikelilingi parit dan ditumbuhi pohon‑pohon bambu atau semak berduri. Salah satu sistem pertahanan lokal yang terkenal di Onje disebut masyarakat sebagai Pager Banawaty. Benteng ini tidak besar, namun cukup untuk melindungi pemukiman inti kadipaten dari serangan luar.
VOC di Banyumas: Perebutan Onje, 1681
Setelah
pecahnya Perang Priangan (1677–1700), VOC berusaha memutus dukungan daerah
pedalaman Jawa Tengah terhadap perlawanan di Jawa Barat. Salah satu operasi
penting terjadi pada 16 Desember 1681, ketika pasukan VOC di bawah
komando Kommandeur Couper menyerang dan berhasil menguasai pusat kadipaten
Onje. Dalam laporan VOC disebutkan bahwa daerah ini memiliki dua lapis pertahanan:
1 Lapisan luar: Pager Banawaty, berupa pagar tanah panjang dengan
parit, melingkari pemukiman.
2 Lapisan dalam: benteng inti kadipaten yang lebih kecil.
VOC melihat potensi strategis lokasi Onje: berada di tepi Sungai Klawing, dekat jalur penghubung antara Priangan Barat dan Banyumas Timur. Maka, setelah berhasil menguasai daerah ini, VOC memutuskan untuk memperkuat pertahanan lokal dengan membangun benteng permanen bergaya Eropa di atas lokasi bekas benteng kadipaten.
Benteng Missier: Dua Dunia dalam Satu Situs
Benteng VOC ini kemudian dikenal dalam dokumen‑dokumen Belanda sebagai Vesting Missier (Messier). Kata “Missier” sendiri tampaknya merupakan transliterasi Belanda atas nama lokal “Mesir” — nama yang masih dikenal masyarakat Onje hingga sekarang untuk salah satu dukuh di sana.
Benteng Missier dibangun dengan teknik Eropa ala Vauban, berbentuk persegi panjang dengan empat bastion di sudut‑sudutnya, dikelilingi parit besar. Di dalam kompleks benteng terdapat barak, gudang mesiu, dan kantor komandan. Benteng ini sepenuhnya meniru pola pertahanan kolonial Belanda, tetapi secara nyata berdiri di atas fondasi pola pertahanan lokal: Pager Banawaty. Dalam peta VOC dari tahun 1681 (kemudian dilukis ulang sekitar 1695 oleh Isaac de Graaff), kedua sistem pertahanan ini tampak jelas: benteng VOC di tengah, dengan lapisan luar yang lebih rendah, tidak simetris — itulah sisa Pager Banawaty.
Dengan demikian, situs ini menyatukan dua warisan: tradisi pertahanan lokal Jawa dan arsitektur kolonial Eropa. VOC tidak sepenuhnya menghapus pola lama, melainkan memanfaatkan kontur dan sistem yang sudah ada.
Peta Bersejarah: Bukti Visual
Peta berjudul Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier, koleksi Nationaal Archief Den Haag (VEL1255), memperlihatkan secara detail konfigurasi benteng Missier beserta Buyten‑wercken (istilah Belanda untuk pertahanan luar, yang setara dengan Pager Banawaty). Peta ini menunjukkan bahwa VOC memang cermat dalam memilih lokasi strategis, sekaligus menghormati pengetahuan lokal tentang pertahanan.
Konteks Budaya: Warisan Memori Desa
Hingga kini, nama “Mesir” tetap digunakan oleh masyarakat Onje untuk menyebut salah satu dukuh di desa itu. Memori tentang Pager Banawaty pun masih hidup dalam cerita rakyat, meski samar‑samar. Masyarakat masih mengenal bekas‑bekas parit tua di sawah atau jalan yang diyakini sebagai sisa benteng lama. Situs ini bukan hanya saksi bisu kolonialisme, tetapi juga simbol kegigihan lokal yang diakui bahkan oleh pihak penjajah.
Hal Penting untuk Desa Onje
Situs
Benteng Missier tidak hanya relevan bagi sejarawan dan arkeolog, tetapi juga
bagi warga Onje sendiri:
✅ Mengingatkan bahwa desa Onje pernah
menjadi pusat pertahanan penting pada masa lalu.
✅ Bukti kontribusi daerah Banyumas
dalam sejarah nasional.
✅ Menjadi modal budaya untuk
memperkuat identitas lokal dan memperkenalkan warisan desa ke dunia luar.
Penutup: Warisan yang Layak Dilestarikan
Benteng Missier adalah contoh bagaimana dua dunia — Jawa dan Eropa — bertemu dalam satu situs kecil di Onje. Lapisan‑lapisan tanah dan batu di sana bercerita tentang perlawanan, penaklukan, adaptasi, dan kesinambungan. Dengan mengenali sejarah ini, masyarakat desa tidak hanya melestarikan cerita, tetapi juga menghidupkan kembali harga diri sebagai bagian dari sejarah besar Banyumas.
Sumber utama: Nationaal Archief, VEL1255, Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier, ca. 1695, Atlas of Mutual Heritage. Diakses Juli 2025.
Catatan tentang Interpretasi Peta VOC dan Kondisi Lapangan Dukuh Mesir
Hasil pembacaan terhadap peta Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier (ca. 1695) menunjukkan bahwa kartografer VOC menggambarkan lokasi Benteng Missier di tepi sebuah sungai yang tampak membelah deretan pegunungan atau tebing‑tebing tinggi. Gaya penggambaran ini seolah memberi kesan bahwa benteng didirikan di lokasi yang sangat strategis, terlindungi secara alami oleh kontur alam yang terjal.
Namun, hasil observasi lapangan yang dilakukan di Dukuh Mesir, Desa Onje — yang selama ini diyakini sebagai lokasi benteng tersebut — menunjukkan kondisi bentang alam yang berbeda. Sungai Klawing di kawasan ini hanya melintas di dataran rendah mengalir lurus sejak dari kejauhan, dan tidak ditemukan ciri‑ciri tebing terjal atau pegunungan terbelah alur sungai sebagaimana tergambar dalam peta VOC.
Perbedaan ini dapat dipahami dalam konteks sejarah kartografi VOC pada abad ke‑17. Peta‑peta kolonial Belanda umumnya bersifat skematis dan kadang menekankan aspek propaganda visual, dengan sengaja menggambarkan medan yang “sulit” atau “mengesankan” untuk menunjukkan kehebatan taktik militer Kompeni.
Kartografer seperti Isaac de Graaff lebih mementingkan keterbacaan strategis daripada akurasi topografis geometris. Dengan demikian, ilustrasi sungai yang membelah pegunungan dalam peta Benteng Missier tampaknya lebih merupakan representasi simbolik daripada gambaran literal dari kontur lapangan yang sebenarnya.
Meskipun begitu, lokasi Dukuh Mesir, Onje, tetap konsisten dengan sumber sejarah tertulis maupun tradisi lisan masyarakat setempat, yang menyebutkan keberadaan bekas benteng VOC di kawasan ini. Jejak‑jejak arkeologis berupa gundukan tanah, sisa parit, serta nama dukuh Mesir masih berdiri hingga kini memperkuat dugaan bahwa disinilah situs asli Benteng Missier yang dimaksud dalam dokumen VOC. Oleh karena itu, interpretasi peta VOC perlu dipandang dengan pemahaman historis‑kritis, sambil tetap menghargai nilai simbolik dan dokumenter yang terkandung di dalamnya.
Catatan tentang Gapura Bata Bergaya Candi Bentar di Situs Dukuh Mesir
Salah satu elemen paling mencolok di kawasan situs Dukuh Mesir saat ini adalah sebuah gapura bata bergaya “candi bentar” yang berdiri di tepi jalan desa menuju area bekas benteng. Bagi pengunjung awam, keberadaan gapura ini sering disangka sebagai bagian dari sisa‑sisa arsitektur kuno atau peninggalan asli dari Benteng Missier yang dibangun VOC pada akhir abad ke‑17. Padahal, hasil penelusuran sejarah dan informasi dari masyarakat setempat mengungkapkan bahwa gapura tersebut baru dibangun sekitar tahun 2015 sebagai bagian dari proyek penghias kawasan situs, bukan merupakan bagian dari struktur pertahanan kolonial maupun benteng lokal masa lalu.
Fakta ini penting dicatat dalam rangka meluruskan pemahaman publik dan menghindari kekeliruan interpretasi. Benteng Missier yang tercatat dalam dokumen VOC lebih banyak berupa gundukan tanah, sisa parit, dan mungkin bekas fondasi bangunan barak dan bastion, tanpa adanya arsitektur monumental seperti gapura bata merah bergaya Majapahit atau Bali. VOC sendiri dalam catatan sejarah membangun benteng‑benteng dengan gaya sederhana, fungsional, menggunakan bata dan tanah, serta kayu untuk bagian atap dan struktur dalamnya.
Dengan demikian, meskipun gapura bata tersebut kini menjadi salah satu penanda lokasi situs dan memiliki nilai estetika sebagai elemen modern, secara historis tidak ada kaitan langsung dengan Benteng Missier. Oleh sebab itu, interpretasi sejarah situs ini tetap perlu didasarkan pada jejak‑jejak fisik yang lebih otentik dan didukung oleh dokumen serta tradisi lisan setempat.
Salam. Toto Endargo