Selasa, 15 Juli 2025

Benteng Missier dan Pager Banawaty: Dua Lapisan Pertahanan di Onje (1681)

 


Benteng Missier dan Pager Banawaty: Dua Lapisan Pertahanan di Onje (1681)

Pada akhir abad ke‑17, wilayah barat daya Banyumas menjadi salah satu titik strategis dalam perebutan pengaruh antara VOC dan kekuatan‑kekuatan lokal Jawa. Kawasan Onje, yang terletak di tepi Sungai Klawing, dikenal masyarakat setempat sebagai pusat Kadipaten dengan sistem pertahanan tradisional yang disebut Pager Banawaty. Struktur ini berupa benteng bumi dengan parit melingkar dan dinding tanah yang mengelilingi permukiman inti kadipaten, khas pertahanan lokal Jawa pada masa itu.

Pada 16 Desember 1681, pasukan VOC di bawah komando Kommandeur Couper melancarkan operasi untuk merebut daerah Onje. Dalam laporan resmi VOC disebutkan bahwa kawasan ini memiliki dua lapis pertahanan: lapisan luar berupa Pager Banawaty dengan panjang keliling mencapai 1.021 roeden (kira‑kira 3.440 meter), dan lapisan dalam berupa benteng inti yang kemudian diperkuat dan diubah menjadi bastion gaya Eropa.

Peta bird’s‑eye view bertajuk Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier yang kini tersimpan di Nationaal Archief, Den Haag (VEL1255), memperlihatkan dengan jelas kedua lapisan pertahanan tersebut. Benteng inti VOC, yang kemudian dikenal sebagai Benteng Missier, dibangun di tengah bekas pusat kadipaten dan dikelilingi oleh struktur Pager Banawaty. Benteng VOC berbentuk persegi dengan empat bastion di sudutnya, parit lebar, dan gerbang utama bergaya Vauban, sedangkan Pager Banawaty tampak sebagai dinding tanah yang lebih rendah dengan parit luar tidak simetris — ciri khas benteng bumi lokal.

Keberadaan peta ini menjadi bukti penting bahwa VOC tidak membangun dari nol, melainkan memanfaatkan tata letak pertahanan lokal yang sudah ada, sambil memperkenalkan sistem bastion Eropa untuk memperkuat kedudukannya di perbatasan Banyumas–Priangan. Penaklukan dan pembangunan benteng ini juga menandai integrasi daerah Banyumas barat ke dalam jaringan pertahanan kolonial VOC di Jawa Tengah.

 

 Peta Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier dibuat sekitar tahun 1695 oleh kartografer VOC Isaac de Graaff sebagai bagian dari laporan teknis pasca‑penaklukan. Peta berukuran 53 × 74 cm ini kini dapat diakses melalui portal daring Atlas of Mutual Heritage (https://www.atlasofmutualheritage.nl) dan menjadi salah satu dokumen penting untuk memahami sejarah perbentengan kolonial di Banyumas.

Sumber: Nationaal Archief, VEL1255, Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier, ca. 1695, Atlas of Mutual Heritage. Diakses Juli 2025.

 





Benteng Missier di Onje: Warisan Dua Lapisan Pertahanan Banyumas

Latar Sejarah: Banyumas di Persimpangan Zaman

Pada paruh kedua abad ke‑17, wilayah Priangan, Banyumas, dan sekitarnya menjadi medan konflik besar antara kekuatan‑kekuatan lokal Jawa dengan Kompeni VOC. Setelah berhasil menguasai Batavia (Jakarta) sejak 1619 dan kemudian pesisir utara Jawa, VOC mulai bergerak ke pedalaman Jawa Barat dan Jawa Tengah untuk mengendalikan jalur ekonomi dan jalur militer yang penting.

Banyumas pada waktu itu bukanlah daerah kosong. Wilayah ini merupakan bagian dari kekuasaan Kadipaten yang sudah mapan, dengan pusat‑pusat pemerintahan lokal seperti Pasirluhur, Wirasaba, hingga Onje. Masing‑masing kadipaten memiliki sistem pertahanan sendiri, umumnya berupa pager bumi atau benteng tanah, dikelilingi parit dan ditumbuhi pohon‑pohon bambu atau semak berduri. Salah satu sistem pertahanan lokal yang terkenal di Onje disebut masyarakat sebagai Pager Banawaty. Benteng ini tidak besar, namun cukup untuk melindungi pemukiman inti kadipaten dari serangan luar.

VOC di Banyumas: Perebutan Onje, 1681

Setelah pecahnya Perang Priangan (1677–1700), VOC berusaha memutus dukungan daerah pedalaman Jawa Tengah terhadap perlawanan di Jawa Barat. Salah satu operasi penting terjadi pada 16 Desember 1681, ketika pasukan VOC di bawah komando Kommandeur Couper menyerang dan berhasil menguasai pusat kadipaten Onje. Dalam laporan VOC disebutkan bahwa daerah ini memiliki dua lapis pertahanan:
1 Lapisan luar: Pager Banawaty, berupa pagar tanah panjang dengan parit, melingkari pemukiman.
2 Lapisan dalam: benteng inti kadipaten yang lebih kecil.

VOC melihat potensi strategis lokasi Onje: berada di tepi Sungai Klawing, dekat jalur penghubung antara Priangan Barat dan Banyumas Timur. Maka, setelah berhasil menguasai daerah ini, VOC memutuskan untuk memperkuat pertahanan lokal dengan membangun benteng permanen bergaya Eropa di atas lokasi bekas benteng kadipaten.

Benteng Missier: Dua Dunia dalam Satu Situs

Benteng VOC ini kemudian dikenal dalam dokumen‑dokumen Belanda sebagai Vesting Missier (Messier). Kata “Missier” sendiri tampaknya merupakan transliterasi Belanda atas nama lokal “Mesir” — nama yang masih dikenal masyarakat Onje hingga sekarang untuk salah satu dukuh di sana.

Benteng Missier dibangun dengan teknik Eropa ala Vauban, berbentuk persegi panjang dengan empat bastion di sudut‑sudutnya, dikelilingi parit besar. Di dalam kompleks benteng terdapat barak, gudang mesiu, dan kantor komandan. Benteng ini sepenuhnya meniru pola pertahanan kolonial Belanda, tetapi secara nyata berdiri di atas fondasi pola pertahanan lokal: Pager Banawaty. Dalam peta VOC dari tahun 1681 (kemudian dilukis ulang sekitar 1695 oleh Isaac de Graaff), kedua sistem pertahanan ini tampak jelas: benteng VOC di tengah, dengan lapisan luar yang lebih rendah, tidak simetris — itulah sisa Pager Banawaty.

Dengan demikian, situs ini menyatukan dua warisan: tradisi pertahanan lokal Jawa dan arsitektur kolonial Eropa. VOC tidak sepenuhnya menghapus pola lama, melainkan memanfaatkan kontur dan sistem yang sudah ada.

Peta Bersejarah: Bukti Visual

Peta berjudul Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier, koleksi Nationaal Archief Den Haag (VEL1255), memperlihatkan secara detail konfigurasi benteng Missier beserta Buyten‑wercken (istilah Belanda untuk pertahanan luar, yang setara dengan Pager Banawaty). Peta ini menunjukkan bahwa VOC memang cermat dalam memilih lokasi strategis, sekaligus menghormati pengetahuan lokal tentang pertahanan.

Konteks Budaya: Warisan Memori Desa

Hingga kini, nama “Mesir” tetap digunakan oleh masyarakat Onje untuk menyebut salah satu dukuh di desa itu. Memori tentang Pager Banawaty pun masih hidup dalam cerita rakyat, meski samar‑samar. Masyarakat masih mengenal bekas‑bekas parit tua di sawah atau jalan yang diyakini sebagai sisa benteng lama. Situs ini bukan hanya saksi bisu kolonialisme, tetapi juga simbol kegigihan lokal yang diakui bahkan oleh pihak penjajah.

Hal Penting untuk Desa Onje

Situs Benteng Missier tidak hanya relevan bagi sejarawan dan arkeolog, tetapi juga bagi warga Onje sendiri:
Mengingatkan bahwa desa Onje pernah menjadi pusat pertahanan penting pada masa lalu.
Bukti kontribusi daerah Banyumas dalam sejarah nasional.
Menjadi modal budaya untuk memperkuat identitas lokal dan memperkenalkan warisan desa ke dunia luar.

Penutup: Warisan yang Layak Dilestarikan

Benteng Missier adalah contoh bagaimana dua dunia — Jawa dan Eropa — bertemu dalam satu situs kecil di Onje. Lapisan‑lapisan tanah dan batu di sana bercerita tentang perlawanan, penaklukan, adaptasi, dan kesinambungan. Dengan mengenali sejarah ini, masyarakat desa tidak hanya melestarikan cerita, tetapi juga menghidupkan kembali harga diri sebagai bagian dari sejarah besar Banyumas.

 

Sumber utama: Nationaal Archief, VEL1255, Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier, ca. 1695, Atlas of Mutual Heritage. Diakses Juli 2025.

 

Catatan tentang Interpretasi Peta VOC dan Kondisi Lapangan Dukuh Mesir

Hasil pembacaan terhadap peta Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier (ca. 1695) menunjukkan bahwa kartografer VOC menggambarkan lokasi Benteng Missier di tepi sebuah sungai yang tampak membelah deretan pegunungan atau tebing‑tebing tinggi. Gaya penggambaran ini seolah memberi kesan bahwa benteng didirikan di lokasi yang sangat strategis, terlindungi secara alami oleh kontur alam yang terjal.

Namun, hasil observasi lapangan yang dilakukan di Dukuh Mesir, Desa Onje — yang selama ini diyakini sebagai lokasi benteng tersebut — menunjukkan kondisi bentang alam yang berbeda. Sungai Klawing di kawasan ini hanya melintas di dataran rendah mengalir lurus sejak dari kejauhan, dan tidak ditemukan ciri‑ciri tebing terjal atau pegunungan terbelah alur sungai sebagaimana tergambar dalam peta VOC.

Perbedaan ini dapat dipahami dalam konteks sejarah kartografi VOC pada abad ke‑17. Peta‑peta kolonial Belanda umumnya bersifat skematis dan kadang menekankan aspek propaganda visual, dengan sengaja menggambarkan medan yang “sulit” atau “mengesankan” untuk menunjukkan kehebatan taktik militer Kompeni.

Kartografer seperti Isaac de Graaff lebih mementingkan keterbacaan strategis daripada akurasi topografis geometris. Dengan demikian, ilustrasi sungai yang membelah pegunungan dalam peta Benteng Missier tampaknya lebih merupakan representasi simbolik daripada gambaran literal dari kontur lapangan yang sebenarnya.

Meskipun begitu, lokasi Dukuh Mesir, Onje, tetap konsisten dengan sumber sejarah tertulis maupun tradisi lisan masyarakat setempat, yang menyebutkan keberadaan bekas benteng VOC di kawasan ini. Jejak‑jejak arkeologis berupa gundukan tanah, sisa parit, serta nama dukuh Mesir masih berdiri hingga kini memperkuat dugaan bahwa disinilah situs asli Benteng Missier yang dimaksud dalam dokumen VOC. Oleh karena itu, interpretasi peta VOC perlu dipandang dengan pemahaman historis‑kritis, sambil tetap menghargai nilai simbolik dan dokumenter yang terkandung di dalamnya.

Catatan tentang Gapura Bata Bergaya Candi Bentar di Situs Dukuh Mesir

Salah satu elemen paling mencolok di kawasan situs Dukuh Mesir saat ini adalah sebuah gapura bata bergaya “candi bentar” yang berdiri di tepi jalan desa menuju area bekas benteng. Bagi pengunjung awam, keberadaan gapura ini sering disangka sebagai bagian dari sisa‑sisa arsitektur kuno atau peninggalan asli dari Benteng Missier yang dibangun VOC pada akhir abad ke‑17. Padahal, hasil penelusuran sejarah dan informasi dari masyarakat setempat mengungkapkan bahwa gapura tersebut baru dibangun sekitar tahun 2015 sebagai bagian dari proyek penghias kawasan situs, bukan merupakan bagian dari struktur pertahanan kolonial maupun benteng lokal masa lalu.

Fakta ini penting dicatat dalam rangka meluruskan pemahaman publik dan menghindari kekeliruan interpretasi. Benteng Missier yang tercatat dalam dokumen VOC lebih banyak berupa gundukan tanah, sisa parit, dan mungkin bekas fondasi bangunan barak dan bastion, tanpa adanya arsitektur monumental seperti gapura bata merah bergaya Majapahit atau Bali. VOC sendiri dalam catatan sejarah membangun benteng‑benteng dengan gaya sederhana, fungsional, menggunakan bata dan tanah, serta kayu untuk bagian atap dan struktur dalamnya.

Dengan demikian, meskipun gapura bata tersebut kini menjadi salah satu penanda lokasi situs dan memiliki nilai estetika sebagai elemen modern, secara historis tidak ada kaitan langsung dengan Benteng Missier. Oleh sebab itu, interpretasi sejarah situs ini tetap perlu didasarkan pada jejak‑jejak fisik yang lebih otentik dan didukung oleh dokumen serta tradisi lisan setempat.

Salam. Toto Endargo

Jumat, 04 Juli 2025

Stop Bullying Sekolah: Saatnya Kita Bela Institusi Pendidikan

 Stop Bullying Sekolah: Saatnya Kita Bela Institusi Pendidikan

Oleh: Toto Endargo

Kita semua sepakat: bullying itu berbahaya. Itulah mengapa kampanye Stop Bullying digalakkan di sekolah-sekolah — demi melindungi siswa dari kekerasan psikologis dan sosial.

Tapi, ada satu bentuk bullying yang kerap diabaikan: bullying terhadap sekolah itu sendiri.

Di era digital, sebuah unggahan sepihak bisa meluluhlantakkan nama baik sebuah sekolah. Tanpa klarifikasi, tanpa data, hanya berdasarkan narasi personal yang kemudian diviralkan. Komentar netizen pun datang berbondong-bondong, menekan, menghujat, bahkan menuntut sanksi — tanpa proses, tanpa tabayyun.

Sekolah bukan hanya bangunan. Di dalamnya ada guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan ratusan siswa lain yang tidak tahu-menahu. Ketika satu isu meledak secara sepihak di dunia maya, seluruh institusi diseret ke medan persekusi. Reputasi hancur, semangat kerja runtuh, dan layanan pendidikan terganggu.

Yang lebih menyedihkan:
Setelah semua itu terjadi, hanya ada satu kata yang datang dari pelaku penyebaran — “maaf.”
Tanpa pertanggungjawaban. Tanpa pemulihan. Dan publik pun sudah terlanjur menghakimi.

Mengapa sekolah — yang seharusnya jadi tempat tumbuhnya etika — justru tak dilindungi dari perilaku tak beretika?

Kita perlu bicara serius tentang ini. Perlu ada Gerakan Stop Bullying terhadap Sekolah, yang membawa tiga agenda utama:

  1. Literasi Etika Digital di Masyarakat
    Bukan semua konten layak diviralkan. Perlu budaya digital yang membedakan kritik membangun dengan ujaran menghancurkan.
  2. Regulasi Perlindungan Institusi Pendidikan
    Sekolah juga berhak atas reputasi baik. Mereka butuh perlindungan hukum dari hoaks, framing jahat, dan tekanan viral yang tidak proporsional.
  3. Jalur Mediasi dan Restorasi Publik
    Jika ada kesalahan, benahi secara adil. Tapi jika tuduhan keliru, harus ada mekanisme yang memulihkan nama baik sekolah secara terbuka.

Kita tidak sedang membela sekolah yang salah. Kita sedang membela hak semua sekolah untuk tidak difitnah. Kita sedang memperjuangkan ruang aman bagi para guru dan pendidik agar tetap bisa bekerja dengan tenang dan bermartabat.

Lembaga publik bukan entitas tanpa wajah. Di dalamnya ada guru, perawat, petugas lapangan, pemikir kebijakan, para relawan — manusia biasa yang bekerja untuk masyarakat. Ketika mereka diserang secara brutal, yang rusak bukan hanya satu nama, tapi juga kepercayaan sosial yang menjadi fondasi kehidupan publik kita.

Sekolah adalah tempat anak-anak belajar adab. Jika kita sendiri memperlakukan sekolah secara semena-mena, apa yang sebenarnya kita ajarkan? Kritik adalah hak. Tapi penghakiman yang merusak bukanlah kebenaran.

Kini saatnya kita bertanya:
Kalau kita sepakat bullying terhadap siswa adalah kekerasan, kenapa kita diam saat lembaga publik dibully tanpa dasar?

Sudah waktunya publik lebih cerdas.
Sudah saatnya sekolah juga dilindungi.
Mari hentikan budaya main hakim digital terhadap institusi pendidikan.
Stop Bullying Sekolah! Sekarang!

Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha

 Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha

Jataka Tales atau Kisah Jataka adalah cerita-cerita moral dan spiritual yang menggambarkan kehidupan Sang Buddha dalam berbagai reinkarnasi — bisa sebagai manusia, hewan, atau makhluk lain.

Terdapat 547 hingga 550 kisah Jataka dalam tradisi Theravada (Pali Canon), dan masing-masing mengandung pesan moral atau nilai kebajikan seperti kemurahan hati, kebijaksanaan, dan pengorbanan.

Kata "Jataka" berasal dari bahasa Sanskerta (Sanskrit: जातक, Jātaka) dan bahasa Pali, yang merupakan bahasa kuno yang digunakan dalam teks-teks Buddhis awal.

Secara harfiah, "Jataka" berarti "kelahiran" atau "kisah kelahiran." Namun dalam konteks Buddhisme, Jataka merujuk pada kumpulan kisah tentang kehidupan lampau Buddha Gautama sebelum ia mencapai pencerahan.

Relief-relief cerita semacam ini ada di kaki dan tubuh Candi Mendut, bersama cerita lainnya seperti “Angsa dan Kura-Kura” serta “Dua Burung Betet”. Mereka digali dari tradisi Pañcatantra dan Jataka, bertujuan memberikan ajaran moral dan spiritual melalui bentuk visual bagi umat peziarah. Berikut tujuh cerita singkatnya:

 

Kisah Kura-Kura dan Angsa: Relief Penuh Makna di Candi Mendut

Pada suatu masa, hidup seekor kura-kura di sebuah danau yang mulai mengering karena kemarau panjang. Dua angsa sahabatnya merasa iba dan ingin menolong. Mereka punya rencana cerdik: membawa kura-kura terbang menuju danau lain yang masih penuh air. Mereka menjepit sebatang tongkat dengan paruh mereka, dan kura-kura diminta menggigit bagian tengahnya erat-erat—dengan satu syarat: tidak boleh membuka mulut selama perjalanan.

Ketika mereka terbang melintasi desa dan ladang, orang-orang terperangah melihat pemandangan aneh itu. Ada yang tertawa, ada pula yang berseru kagum. Kura-kura, yang mendengar sorak-sorai dari bawah, merasa bangga. Ia ingin menyombongkan diri dan mengklaim bahwa idenya lah yang cemerlang. Lupa akan perjanjian, ia pun membuka mulut untuk bicara—dan terjatuh dari ketinggian.

Nahas, tubuhnya menghantam tanah. Ia mati seketika dan akhirnya dimangsa serigala.

Relief di Candi Mendut yang menggambarkan kisah ini mengandung pesan mendalam. Kesombongan dan keinginan untuk dipuji bisa membawa kehancuran. Terkadang, diam lebih bijak daripada bicara yang tak perlu. Dalam ajaran Buddha, kisah ini menjadi cermin bagi umat untuk melatih kerendahan hati dan pengendalian diri. Sebuah pengingat sunyi dari masa lalu yang masih relevan hingga kini.

 

Kisah Brahmana dan Kepiting dalam Kendi: Pelindung Tak Terduga

Di sebuah desa, seorang brahmana hendak melakukan perjalanan jauh melintasi hutan lebat. Ibunya yang sudah tua memperingatkan, “Hutan itu berbahaya, Nak. Banyak perampok dan binatang buas. Bawalah kepiting besar ini dalam kendi berisi air sebagai penjaga.” Meskipun terdengar aneh, sang brahmana menghormati ibunya dan menurut.

Perjalanan dimulai. Ia berjalan menyusuri hutan dengan kendi berisi air dan seekor kepiting besar di dalamnya. Benar saja, di tengah hutan sunyi, seorang perampok muncul, mengacungkan senjata, siap merampas harta dan mungkin membunuhnya.

Namun, saat bahaya mengancam, sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepiting dalam kendi meloncat keluar dan langsung menjepit leher si perampok dengan capitnya yang kuat. Perampok itu berteriak kesakitan dan lari tunggang langgang, meninggalkan sang brahmana yang selamat tanpa luka sedikit pun.

Dengan hati penuh syukur, sang brahmana pulang dan memeluk ibunya. Ia sadar, bukan hanya kepiting yang menyelamatkannya, tapi juga kasih sayang dan nasihat ibunya.

Relief kisah ini di Candi Mendut mengajarkan bahwa nasihat orang tua bisa menjadi pelindung sejati. Kadang, penjaga datang dari hal yang tampak remeh atau kecil. Kepiting dalam kendi menjadi simbol kesetiaan, keberanian, dan mukjizat dari kepercayaan. Sebuah pelajaran bijak dari kisah Jataka yang abadi.

 

Kisah Brahmana dan Kepiting Sungai: Balas Budi yang Menyelamatkan

Dalam perjalanan spiritualnya, seorang brahmana yang bijak dan penuh welas asih menemukan seekor kepiting yang kelelahan di atas batu, kepanasan dan hampir mati. Tanpa ragu, ia mengambil kepiting itu dan membawanya ke tepi sungai, lalu melepaskannya ke air agar bisa hidup kembali. Setelahnya, sang brahmana beristirahat di bawah pohon rindang di tepi sungai dan tertidur pulas.

Tanpa ia sadari, bahaya mengintai. Seekor ular dan seekor gagak, yang telah lama bersekongkol, melihat brahmana sebagai mangsa. Ular ingin mematuknya, sementara gagak berniat memakan matanya. Namun, rencana jahat itu terdengar oleh si kepiting yang tak jauh dari sana.

Tergerak oleh rasa terima kasih, kepiting pun menyusun siasat. Ia mendekati ular dan gagak, lalu berpura-pura membantu. “Panjangkan dulu leher kalian agar lebih mudah menyerang,” ujarnya licik. Saat keduanya lengah dan menurut, dengan cepat si kepiting mencapit mereka hingga mati.

Brahmana pun terbangun dan selamat dari bahaya, tanpa tahu bahwa nyawanya telah diselamatkan oleh makhluk kecil yang pernah ia tolong.

Relief kisah ini di Candi Mendut menyampaikan pesan mendalam: kebaikan sekecil apa pun tidak pernah sia-sia. Kepiting menjadi simbol balas budi, cinta kasih, dan kekuatan karma. Sebuah pengingat bahwa welas asih sejati akan berbalik menjadi pelindung di saat paling tak terduga.

 

Kisah Dharmabuddhi dan Dusthabuddhi: Kebenaran yang Tak Bisa Disembunyikan

Dharmabuddhi dan Dusthabuddhi adalah dua sahabat yang pergi berdagang ke negeri jauh. Mereka sukses, memperoleh banyak harta dan sepakat menyembunyikannya di hutan, agar aman hingga mereka kembali ke rumah. Namun, Dusthabuddhi yang berhati busuk diam-diam mengambil semua harta lebih dulu dan, dengan wajah tak bersalah, menuduh Dharmabuddhi sebagai pencuri.

Ia menyeret sahabatnya itu ke pengadilan dan mengusulkan sebuah siasat licik, “Mari kita tanyakan pada pohon saksi di hutan. Ia akan menunjukkan siapa yang mencuri.” Tanpa sepengetahuan siapa pun, Dusthabuddhi telah menyuruh ayahnya bersembunyi di dalam pohon untuk bersuara dan menuduh Dharmabuddhi.

Ketika mereka datang ke pohon itu, terdengarlah suara dari dalam batang, menyebut Dharmabuddhi sebagai pelakunya. Namun Dharmabuddhi, yang bijaksana, merasa ada keanehan. Ia pun berkata, “Pohon ini tidak adil. Jika ia sakti, maka biarlah terbakar.” Api dinyalakan. Ketika bara menyala, ayah Dusthabuddhi panik dan keluar dari dalam pohon, membuka seluruh tipu daya mereka.

Kebenaran pun terungkap. Dusthabuddhi dihukum, dan Dharmabuddhi dibebaskan serta dipulihkan nama baiknya.

Relief kisah ini di Candi Mendut menyampaikan pesan kuat: Kejujuran mungkin diuji, tetapi tidak bisa dikalahkan. Niat jahat, meski disembunyikan rapi, akhirnya akan terbakar oleh kebenaran. Karma akan bekerja sebagaimana mestinya.

 

Kisah Dua Burung Betet: Cerminan dari Lingkungan Hidup

Dahulu kala, seekor induk burung betet tinggal di hutan bersama dua anaknya. Namun, suatu hari badai hebat memisahkan kedua anak burung itu. Burung pertama terdampar di rumah seorang perampok, tumbuh besar di tengah kekerasan dan kata-kata kasar. Sedangkan burung kedua ditemukan dan diasuh oleh seorang resi—pertapa bijak yang hidup dalam damai dan kebajikan.

Tahun-tahun berlalu, kedua burung tumbuh dewasa. Meski bersaudara, kepribadian mereka berubah sangat berbeda.

Suatu hari, seorang raja tersesat di hutan. Ia tiba di rumah perampok dan melihat burung pertama hinggap di ranting. Betet itu berteriak nyaring, “Cepat tangkap dia! Rampas kudanya!” Raja kaget dan segera melarikan diri.

Tak lama, sang raja tiba di pertapaan. Di sana, burung kedua berkata dengan lembut, “Selamat datang, Tuan. Silakan duduk dan beristirahat. Sang Resi akan segera menyambut Anda.”

Raja tercengang: dua burung yang tampak serupa, namun begitu berbeda sikapnya. Ketika ia bertanya, sang resi menjelaskan, “Keduanya bersaudara. Tapi yang satu tumbuh di tengah kekerasan, yang lain dalam kedamaian. Seperti manusia, burung pun dibentuk oleh lingkungannya.”

Relief kisah ini di Candi Mendut menjadi pengingat bahwa perilaku tidak hanya berasal dari asal usul, tapi dari lingkungan dan pembiasaan. Pendidikan, pergaulan, dan suasana hati akan membentuk ucapan dan tindakan. Sebuah ajaran moral yang tetap relevan hingga kini.

 

Kisah Mahajanaka Jataka: Pangeran Bijaksana yang Tak Kenal Menyerah

Pada masa lampau, Buddha terlahir sebagai Pangeran Mahajanaka, putra dari Raja Mahasammata, penguasa Mithila yang adil dan bijaksana. Namun, tahta ayahnya direbut secara licik oleh saudaranya sendiri, dan Mahajanaka kecil bersama ibunya harus melarikan diri dan hidup dalam pengasingan.

Meski tumbuh jauh dari istana, Mahajanaka mewarisi kebijaksanaan dan tekad kuat dari garis leluhurnya. Ketika dewasa, ia bertekad merebut kembali kerajaan yang menjadi haknya. Namun ia memilih cara yang terhormat: bukan dengan peperangan, tetapi dengan kemampuan dan kecerdikan.

Untuk mempersiapkan diri, Mahajanaka berdagang ke luar negeri dengan tujuan mengumpulkan kekayaan sebagai modal politik. Namun, nasib buruk menimpanya—kapal yang ditumpanginya karam di tengah lautan. Penumpang lain pasrah diterjang ombak, namun Mahajanaka menolak menyerah. Ia berenang terus-menerus selama tujuh hari tujuh malam, dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Melihat semangat dan ketekunan luar biasa itu, Dewi Laut Manimekhala turun tangan. Ia menyelamatkan Mahajanaka dan membawanya ke daratan—tepat di negeri Mithila yang dahulu menjadi tanah leluhurnya.

Pada waktu itu, Raja Mithila yang berkuasa sedang mencari penerus yang layak karena tidak memiliki keturunan. Mahajanaka, dengan kebijaksanaan, sopan santun, dan kecakapannya, berhasil melewati berbagai ujian dan diangkat sebagai raja.

Sebagai penguasa, ia memerintah dengan adil, melindungi rakyat, dan menegakkan kebenaran. Namun seiring waktu, Mahajanaka mulai merenungi kehidupan. Ia sadar bahwa kekuasaan bersifat sementara, dan penderitaan manusia tak akan selesai hanya dengan menjadi raja.

Akhirnya, Mahajanaka melepaskan tahta, meninggalkan kemewahan duniawi, dan memilih hidup sebagai pertapa. Ia mencari makna sejati kehidupan dalam ketenangan batin dan kebijaksanaan.

Pesan Moral: Kisah ini mengajarkan bahwa ketekunan, keberanian, dan kebajikan akan membawa seseorang mengatasi rintangan sebesar apa pun. Kepemimpinan sejati tidak terletak pada kekuasaan, melainkan pada pelayanan dan kebijaksanaan. Dan pada akhirnya, pencarian makna hidup jauh lebih mulia daripada sekadar meraih tahta.

Relief Mahajanaka Jataka yang terpahat di dinding candi seperti Mendut menjadi pengingat abadi akan nilai-nilai luhur ini.

 

Kisah Suvarnasama Jataka: Bakti Seorang Anak pada Orang Tuanya

Pada suatu masa, Buddha terlahir sebagai Suvarnasama, seorang pemuda berhati mulia yang tinggal bersama kedua orang tuanya yang sudah tua dan buta. Mereka hidup sederhana di dalam hutan, jauh dari keramaian, menjalani kehidupan penuh ketenangan dan kesucian.

Sejak kecil, Suvarnasama menunjukkan kebajikan yang luar biasa. Ia merawat ayah dan ibunya dengan kasih sayang tanpa batas. Setiap hari ia mengambil air dari sungai, mencari buah-buahan dan dedaunan, serta memastikan kedua orang tuanya hidup nyaman meski dalam keterbatasan. Suaranya lembut, tindakannya penuh hormat, dan doanya selalu dipanjatkan demi kesehatan orang tuanya.

Suatu hari, saat mengambil air di sungai, Suvarnasama terlihat oleh Raja Piliyakkha yang sedang berburu. Raja, yang tidak tahu bahwa Suvarnasama adalah manusia, mengira ia adalah makhluk gaib penjaga hutan. Tanpa berpikir panjang, raja memanahnya. Suvarnasama jatuh seketika, terluka parah.

Ketika raja mendekat, ia terkejut mendapati bahwa yang ia panah adalah seorang manusia muda yang penuh welas asih. Dalam keadaan sekarat, Suvarnasama tidak menyimpan dendam. Dengan suara lemah, ia hanya berkata, “Tolong… rawatlah orang tuaku. Mereka buta dan menunggu air yang kubawa.”

Raja terhenyak. Hatinya luluh mendengar permintaan mulia itu. Ia segera pergi ke gubuk Suvarnasama, menemui kedua orang tua yang menanti dalam gelap. Ketika mereka tahu anak tercinta mereka tertembak, jeritan pilu menggema.

Namun karena kekuatan cinta dan kebajikan Suvarnasama yang tulus, keajaiban pun terjadi. Doa orang tua yang begitu dalam menggugah langit. Lukanya sembuh, dan penglihatan kedua orang tuanya pun pulih kembali.

Pesan Moral: Kisah ini mengajarkan pentingnya bakti kepada orang tua (Pāli: mātāpitu upaṭṭhāna), yang merupakan salah satu kebajikan utama dalam ajaran Buddha. Kebaikan yang dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih, akan membuahkan hasil tak terduga. Suvarnasama menjadi simbol cinta tanpa syarat, kesabaran, dan kesetiaan seorang anak, yang kekuatannya mampu melampaui penderitaan dan bahkan membangkitkan keajaiban.

Relief kisah ini di Candi Mendut bukan sekadar cerita indah, tapi pengingat tentang kekuatan kasih sayang dalam bentuknya yang paling murni.

 

Kisah Hariti: Berjanji Melindungi Anak-Anak, Pelindung Ibu Dan Keluarga.

Hariti adalah sosok yang menarik dalam mitologi Buddhis, dan ia digambarkan secara khas dalam relief Candi Mendut, sebuah candi Buddha yang terletak di dekat Candi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini dibangun sekitar abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra.

Siapa itu Hariti?

Hariti awalnya adalah seorang yakshini (makhluk supranatural perempuan dalam tradisi Hindu-Buddha) yang dikenal sebagai pemakan anak-anak. Namun, setelah bertemu dengan Buddha, ia mengalami transformasi spiritual.

Dalam cerita Buddhis, Hariti menculik dan memakan anak-anak orang lain karena merasa kehilangan empati setelah memiliki banyak anak sendiri. Buddha kemudian "menculik" salah satu anak Hariti, sehingga ia merasakan penderitaan para ibu yang kehilangan anak. Setelah menyadari penderitaannya sendiri dan mendapatkan pencerahan, Hariti bertobat dan berjanji melindungi anak-anak serta menjadi pelindung ibu dan keluarga.

---

Penggambaran Hariti dalam Relief Candi Mendut

Dalam relief di Candi Mendut, Hariti digambarkan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1.     Bersama anak-anaknya: Ia tampak duduk anggun dikelilingi oleh beberapa anak kecil yang memanjat tubuhnya atau bermain di sekitarnya. Ini menandakan perannya sebagai pelindung anak-anak dan ibu.

2.     Berpakaian anggun: Hariti mengenakan perhiasan dan pakaian bangsawan, mencerminkan statusnya yang tinggi setelah menjadi dewi pelindung.

3.     Ekspresi lembut dan penuh kasih: Tidak seperti gambaran awalnya sebagai pemakan anak-anak, relief ini menonjolkan sisi keibuannya—simbol perubahan moral dan spiritual yang telah ia alami.

4.     Relief mendetail: Ukiran gaya Jawa Kuno ini menampilkan kehalusan teknik pahat dan detail ornamen khas seni Buddha abad ke-8.

---

Makna Simbolik

Penggambaran Hariti di Candi Mendut bukan sekadar dekorasi. Ia membawa pesan moral dan spiritual tentang:

·        Transformasi diri: Dari kejahatan menjadi kebaikan melalui pencerahan.

·        Perlindungan dan kasih sayang: Terutama terhadap anak-anak dan keluarga.

·        Peran ibu dalam masyarakat: Ia dianggap sebagai lambang ibu ideal yang penuh kasih dan pelindung.

---

Posisi Relief

Relief Hariti di Candi Mendut terletak di sisi samping dinding candi bagian luar. Ia adalah salah satu dari beberapa relief tokoh penting dalam Buddhisme Mahayana yang menghiasi candi ini.

---

 

Relief sebagai Media Pembelajaran

Relief-relief yang tersebar di kaki dan tubuh Candi Mendut, bersama cerita lainnya seperti “Angsa dan Kura-Kura” serta “Dua Burung Betet”. Mereka digali dari tradisi Pañcatantra dan Jataka, bertujuan memberikan ajaran moral dan spiritual melalui bentuk visual bagi umat peziarah.

Tips Melihat Relief:

·        Letaknya di panel-panel kecil di sisi kaki candi; terkadang posisi figur ular, gagak, brahmana, dan kepiting bersusun.

·        Perhatikan bagaimana kepiting digambarkan aktif, dengan capit jelas menangkap ular/gagak.

·        Relief ini tersusun secara naratif, bak “komik batu”: awal (pertemuan), tengah (rencana jahat), dan akhir (penyelamatan).

Di Candi Mendut, relief-relief di sekitar tangga dan bilik pintu tidak selalu berhubungan langsung dengan satu cerita, melainkan mencakup beberapa kumpulan kisah Jataka (kelahiran Buddha dalam bentuk hewan atau manusia) dan cerita moral lainnya. ===