Rabu, 16 Desember 2020

SAYA PUN CAKEP

Cerita Remaja 
SAYA PUN CAKEP 
toto endargo 

Senin, 15 Agustus 2005 
Lapangan upacara SMP Negeri 2 Purbalingga 
"Kenapa dalam anggota Paskibra ini ada nama Galih? Bikin resah saja!" gerutu Nunik, sesaat setelah lirikan matanya menatap wujud Galih! 
“Kenapa pula aku jadi tak suka padanya?” tanyanya dalam hati, “Apa salahnya?” 
Pokoknya sebel! 
Siang itu, bagi Nunik, siang yang sangat menyebalkan. Latihan upacara begitu melelahkan! Langit sangat cerah, menjadikan tak seberkaspun sinar matahari terhambat untuk sampai ke bumi. 
Suhu udara menjadi menyengat! 
Panas!
Beruntung bagi Nunik karena ia kebagian peran khusus, peran yang tidak harus berpanas-panasan dalam latihan upacara ini. Nunik masih sempat berteduh di bawah pohon glodhogan di tepi lapangan. Rugi kan, kalau kepanasan! Nunik dapat menjadi bertambah hitam, bahkan mungkin bisa menjadi wulung, karena gosong. Padahal bagi remaja putri, kulit gosong bukan hal yang diinginkan. Hehe..., maunya tetap mulus. Kalaupun hitam itu karena takdir saja. Bagi Nunik hitampun, dia tetap cakep, manis. Walau cakep tapi tetap tak boleh menggerutu, kan! 
Biar! 
Menyebalkan! 
Bagaimana lagi, ini tugas sekolah, harus diikhlasi, dihayati dan dihormati. Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) upacara memperingati hari kemerdekaan adalah hal yang penting. Apa boleh buat, di siang yang terik ini, Nunik tetap berpanas-ria bersama teman-temannya, anggota Paskibra. 
Pada akhirnya waktu juga yang selalu menyelesaikan masalah. Pukul 14.05 latihan upacara selesai. Tidak tahulah hasilnya, memuaskan atau tidak. Yang penting semua sudah lega. 
Upacara resminya, besok hari Rabu pagi, sekarang kan baru hari Senin. Masih ada waktu untuk penyempurnaan. Dan yang paling penting Rabu besok harus prima. Semua harus sesuai rencana. Langkah kaki harus menyesuaikan diri agar kompak dan benar. Tidak boleh salah, tidak boleh bagongan, dan yang penting tidak boleh sakit. Jaga kondisi tubuh agar sehat sampai akhir jaman. 
Semangat, sampai akhir. 
Selasa, 16 Agustus 2005 
Nunik berjalan di trotoar berpaving. Ia harus pulang ke rumahnya. Sangat jauh jika harus berjalan kaki. Jika bersepeda jaraknya bisa dikatakan sedang-sedang saja. Tapi jika naik angkutan pedesaan yang biasa disebut sebagai angkot, rutenya harus berputar. Paling ideal adalah jika ada teman yang mau mengantarkannya. Lumayan cepat, walaupun harus belok kanan dan belok kiri sampai empat kali, yang penting cepat sampai. 
Di pelosok dusun. 
Ah, apapun yang terjadi inilah jalan yang harus ditempuhnya tiap hari. Itulah peruntungan Nunik yang punya orang tua, bikin rumah saja milih di tepi dusun, lahan primitip, ketilep lagi. 
Nunik tersenyum masam ketika ingat Galih saat meledeknya tentang rumahnya yang di tepi dusun. 
“Nunik, rumahmu kok dipelosok amat!” kata Galih 
“Suka-suka!” jawab Nunik dengan nada tidak suka. 
“Kalau di Sumatera, lima meter lagi pasti sudah hutan lindung!” 
“Pelecehan! Aku juga tak ingin kamu ke tempatku!” jawab Nunik sewot. 
“Jangan-jangan, kalau aku ke tempatmu, harus membongkok bongkokan badan agar tidak terkena jemuran tetangga!” ledek Galih lagi. 
“Siapa bilang?” tanya Nunik dengan tatapan mata sedikit tajam. 
“Dhini yang bilang, rumahmu sangat sulit untuk dipetakan. Anak Pramuka yang mahirpun nggak akan mampu menggambar peta jalan menuju ke rumahmu!” 
“Suka-suka!” jawab Nunik marah, pasti bukan Dhini yang bilang begitu. 
Nunik lalu lari menuju kelasnya, menghindari ledekan Galih. 
“Sebel! Biadab benar anak itu!” kata batinnya. 
-- 
Ledekan Galih selalu saja bergayut di benak Nunik. Sehingga kapan saja, wujud Galih seakan selalu mengikutinya. Itulah polah cerdas dari Galih untuk mengusik kesendirian Nunik. 
Rumus yang dipraktekan Galih sangat sederhana, buatlah kesan mendalam agar seseorang selalu mengingatnya. Mungkin dengan perilaku yang baik, sopan, tapi bisa juga dengan cara meledeknya. Meledek, namun tetap dalam koridor yang terbatas dan terukur. Hindari perilaku yang dapat menghasilkan rasa dendam kesumat berkepanjangan. Untuk Nunik, Galih menggunakan kedua pola itu meledeknya dan berusaha berbuat baik padanya. 
Nunik anaknya tidak begitu tinggi, kulitnya cenderung kuning langsat, rambutnya dipotong pendek. Kalau pakai jepit rambut Nunik tampak lucu, rambutnya yang terjepit bagai rumpun padi habis kena banjir, rambutnya rebah rata-ta. Lucunya lagi, rambutnya yang agak kaku itu, jadi saling berebut mencuat satu-satu dari sela-sela jepitan rambut. 
Uh, Nunik yang berada di trotoar tergagap ketika sebuah angkutan pedesaan lewat di depannya. Beruntung yang lewat bukan angkot jurusan yang diinginkannya. Dan Nunik akhirnya naik angkot berikutnya yang masih kosong. Ia duduk sendiri di tempat penumpang. Di depan hanya Pak Sopir. Nunik kenal dengan sopir itu karena sering naik angkot-nya. Panas masih menyengat! Nunik sendiri dalam sebuah kendaraan angkutan pedesaan. 
“Hem, murah amat ini kendaraan! Seribu perak sendirian!” 
Rasa haus menyentuhnya. Mau minum, tapi beli minuman malu. Lalu Nunik berkhayal, jika ada seorang pangeran, datang menjemputnya, memberinya minuman segar, mengantarnya pulang dengan mobil putih ber-AC. 
Hehe, tapi pangeran itu harus cakep dan cakap, artinya di samping wajahnya ganteng , dia juga harus punya kecakapan yang mapan. Khayalan! Nunik sadar bahwa ia bukan Cinderella. Namun demikian ia ingin juga, suatu saat, ini menjadi hal yang nyata. 
Ingin menjadi kenyataan! 
.
Angkot berhenti di Pasar Purbalingga dekat pertigaan. Pak Sopir turun mencari penumpang. Nunik termangu sendiri, didekapnya tas sekolahnya. Suasana cukup lengang. Sepi penumpang. Ada rasa khawatir di hati Nunik, kalau-kalau angkot ini ngetem-nya terlalu lama. Bisa-bisa ia pingsan sebelum sampai ke rumah, perutnya kemruwuk, kehausan dan kelaparan. 
Panas semakin menyengat. Ada banyak penjual makanan dan minuman yang terlihat di matanya. Ia tak suka jajan. Ia menghela nafas panjang. Nunik membayangkan perjalanan pulang kali ini. Bahwa nanti setelah turun dari angkot, ia harus berjalan sebentar, mengambil sepeda, lalu sepedaan melewati jalan di tengah sawah yang terik. Belok kanan, belok kiri, belok .... ! Ah, ia merengut, Nunik ingat ledekan Galih tentang rumahnya. Galih menganggap rumahnya begitu terpencil dan berada di gang sempit. 
“Uh, anak itu biadab amat!” gumamnya perlahan. 
Tadi Galih juga ikut latihan upacara sebentar, tapi Galih tugas utamanya hanya menyiapkan alat-alat upacara. Tugas yang ringan. Di saat latihan Galih ada di pinggir lapangan, nonton doang! Gangguin anak-anak. Cuma herannya Nunik, Galih itu ada-ada saja caranya supaya didekati teman-teman Nunik. 
Sebenarnya Nunik dulu suka Galih tapi tak tahulah sekarang ada rasa nggak suka, risih kalau ketemu Galih. Tapi setiap kali pula Nunik sadar, ia tak bisa membenci Galih. Ada sesuatu yang mengikatnya. Nunik tersenyum geli, ia tak suka Galih , tapi sekarangpun sedang melamunkan Galih anak kelas 3E itu. Dan walau dalam bentuk ledekan, rasanya Galih selalu benar dalam setiap katanya. 
--- 
“Nunik kuharap kau tak membenciku!” kata Galih lima hari yang lalu. 
“Kenapa?” tanya Nunik datar, wajahnya dimiringkan, matanya berkedip. 
“Percayalah aku tak akan mengganggumu! Ada Wilis di sisiku. Kau tahu itu!” 
“Kalau aku benci?” debat Nunik. 
“Terserah kau! Tapi aku yakin kau tak akan membenciku. Kalau marah, iya! Bisa! Tapi kalau benci, rasanya nggak!” tukas Galih 
“Kalau bisa?” debat Nunik lagi. 
“Itu hakmu, aku tidak akan berkomentar akan hal kebencianmu!” jawab Galih datar. 
Benar kata Galih, bagaimana mau membencinya sementara setiap saat wajah Galih hadir di benaknya. Saat berbincang itu, Galih berbaju putih, rambutnya dibuat agak berbeda dengan hari kemarinnya, rambutnya sedikit disasak agak tinggi, dan tampak semakin cakep. Tatapan matanya masih tajam dan pasti mampu membangkitkan rasa jengah bagi siapapunyang ditatap Galih. Dan diakui atau tidak, Nunik merasa bahwa setiap kali ditatap Galih, walau dari jauh, tetap saja ia harus tersenyum tanpa diminta. 
Begitu terkesannnya Nunik kepada Galih. 
Galih Kusuma! 
Ah, Nunik sadar ia melamun. 
Angkot masih kosong, hanya ada Nunik. Pak Sopir muncul dari dalam pasar, datang membawa kantong sayuran. Sayuran kemudian ditaruhnya di atap mobil. Dan iseng Nunik menatap arah ke belakang mobil, jalan Kominot ini lurus ke timur, sedikit belok di depan rumah makan Bandung. 
Ups, dada Nunik terguncang. Tampak Galih naik sepeda motor, sendirian. Segera Nunik menutup mukanya dengan tas sekolahnya. Galih lewat di depannya. Astaga, mata tajamnya seakan menyentuhnya. Ternyata Galih sempat melihat dan tahu Nunik ada di angkot, di depan pasar itu, sendirian. 
Galih tersenyum cerah, ia menghentikan motornya di sisi depan mobil angkot. Tetap di atas motornya. Menatap tajam Nunik. Mulutnya berkomat-kamit sambil nunjuk-nunjuk boncengan, bahasa isyarat 
“Pulang! Bonceng aku, ya!” ajaknya dengan isyarat 
“Tidak!” jawab Nunik dengan isyarat juga 
“Iya lah! Ayo!” isyarat Galih 
“Tidak!” jawab Nunik tegas dengan isyarat juga. 
Galih tersenyum iya cukup bijaksana tak memaksa Nunik. Galih berlalu. Nunik sendiri lagi, ia melamun, “Seandainya Galih masih sendiri tentu aku akan bersedia duduk di belakangnya” begitu kata hati Nunik. 
“Sayang sudah ada Wilis di sisi Galih” lanjutnya. 
.
Nunik ingat kata-kata Dhini teman sebangkunya saat duduk-duduk di tempat duduk selatan ruang guru 
“Sayang, ya.., Galih sudah jadian sama Wilis, seandainya belum aku pasti ikut kompetisi memperebutkan dia. Minimal sampai semifinal, syukur final dan jadi juara!” kata Dhini. Busyet, jatuh hati, diibaratkan seperti kompetisi sepakbola. 
“Sadar! Jangan mimpi! Kamu ngomong apa, Dhin?” sergah Nunik 
“Galih itu lho, cakep, sabar, bisa untuk curhat, bisa nyanyi, lucu! Ah, lengkaplah!” puji Dhini atas keberadaan Galih. 
“Ada lagi!” kata Nunik, “Idenya banyak!” 
“Nah, kamu tahu itu! Mbok kamu saja yang sama Galih! Kamu kan dekat sama Galih!” saran Dhini dengan nada sedikit tidak ikhlas. 
“Gombal! Sorry! Tidak mau!” jawab Nunik tegas. 
“Tidak, apa mau?” goda Dhini. Nunik terdiam, ada rasa sangsi dari dalam hatinya. Sebenarnya dia benci apa tidak sie, kepada Galih? Ada rasa ragu di dalam dirinya. 
Huh! 
Lamunan Nunik terputus ketika Pak Sopir datang lagi sambil membawa kantong sayuran. Ditaruhnya juga di atap mobil. Sementara angkot masih kosong hanya ada Nunik yang jadi penumpang. 
Kini mata Nunik terbeliak lagi. Tatapan matanya menangkap wujud Galih. 
“Masya Allah!” gumamnya perlahan. Galih hadir lagi di belakangnya. Galih muncul dari sisi pasar. Rupanya Galih hanya berputar. 
Galih sekarang berhenti persis di samping jendela angkot. Galih turun dari motornya. Nunik tetap di angkot, tidak turun. Dari jendela Galih menyapa Nunik. Nunik begitu risih. Bagaimana kalau Galih memaksanya! 
“Nunik langsung belanja ya?” tanya Galih, “Apa sekarang Nunik jualan sayuran?” kata Galih, menggoda Nunik. Hehe, satu penumpang dengan dua karung sayuran di atap angkot, rasanya sangat pantas kalau Galih berkata bahwa sayuran itu milik Nunik. 
“Bukan! Bukan milikku” jawab Nunik cepat-cepat dengan sedikit gagap. 
Galih tersenyum 
“Mau pulang bersamaku?” tanya Galih lembut 
“Tidak!” jawab Nunik masih agak tergagap, “Terima kasih!” 
“Ya sudah, Nunik. Assalamualaikum!” kata Galih, sangat sopan 
“Salam!” jawab Nunik singkat. 
Galih pun berlalu. Sedang bayangannya tetap ada di benak Nunik sampai di rumah. “Sungguh luar biasa polahnya Galih terhadapku” gumam Nunik. Nunik geleng-geleng kepala. “Mengganggu orang saja!” 
Malam pun datang. Malam tujuhbelasan, ada kegiatan di desanya tapi Nunik memilih tetap di rumah, menjaga stamina untuk kegiatan esok. Nunik terbaring di kamarnya yang nyaman. 
Kembali ada bayangan Galih mengganggunya, kini tergambar di langit-langit kamar. Nunik tersenyum. Ada perasaan aneh yang mengalir di nadinya, merasuki hatinya dan rasa itu membuatnya seperti terbang. Indah dan mempesona. Nunik memiringkan badan, ditariknya ujung kain selimutnya, membenarkan letak dekapan tangannya ke guling yang didekapnya. Ia tersenyum. Nunik tidur dengan bibir tersenyum. 
Rabu, 17 Agustus 2005 
Matahari subuh menyapa rumahnya. Rumah kelima dari ujung timur. Menjadi rumah kelima yang lebih awal disapu matahari pagi. Tempat Nunik termasuk gerumbul di ujung dusun, sebelah timur. 
“Selamat pagi, Galih Kusuma!” gumamnya perlahan sambil menggeliat bangun. Ia heran kenapa harus menyebut nama Galih. Harusnya, untuk negaranya. 
“Selamat Pagi, Indonesia!” ucapnya lembut, “Hari ini adalah hari Rabu 17 Agustus 2005” lanjutnya. Nunik sadar, ia adalah salah satu petugas Paskibra, Upacara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI Ke-60, di sekolahnya. 
Nunik kini mengenakan seragam, berbaju putih-putih dengan segala atributnya. Nunik bercermin. 
“Galih, aku cantik enggak?” tanyanya lirih, di tatapnya wajahnya yang tampak di cermin. Ia merengut dan kemudian tersenyum sendiri. 
Di hari yang istimewa ini, Nunik sangat berharap, bahwa Galih akan mengagumi pesona dirinya. “Yang cakep bukan hanya Wilis Anindya, Nunik Rengganis juga cakep!” kata batinnya. Semburat warna merah kini terpantul di wajahnya. Di cermin itu Nunik tampak cantik sekali. Galih Kusuma pasti terpesona saat menatapnya. Ada gelora semangat di dalam dirinya. 
“Galih negara ini sudah merdeka, saya juga merdeka. Aku boleh mengagumimu, boleh suka kamu, tapi berhak juga menolak semua rasa itu!” 
Nunik adalah warga negara yang cakep, cantik, manis dan merdeka! 
“Merdeka!” teriaknya, sambil diangkatnya kepalan tangannya. 
“Dirgahayu Indonesiaku!” ucapnya mantap. 
Ada bayangan Galih, ternganga terpesona.
Saya pun cakep, Galih! 
Nunik tersenyum. 
Bangga! 



Purbalingga 17 Agustus 2005 

*) terima kasih kepada pemberi ide cerita ini



Tidak ada komentar:

Posting Komentar