Minggu, 08 November 2020

AKHIR ASAKU

Cerita remaja
AKHIR ASAKU
Toto Endargo


   SMP Negeri 2 Purbalingga, punya semacam selasar atau serambi yang panjang, dari ujung utara dekat Ruang Tata Usaha sampai kelas 3F di dekat Ruang Laboratorium IPA. Serambi atau emperan kelas tempat para siswa berjalan, hilir mudik keluar ataupun masuk kelas. Serambi kelas Tiga C, punya kenangan yang tidak dapat kuhilangkan dari ceruk terdalam ingatanku. Remaja putri yang kukagumi ternyata terlalu cantik untukku.
   
   Hari Selasa, Juni 2001, 
   Ratih Cahyaningsih saat itu memakai seragam OSIS, sama seperti aku. Seragam sekolah bawahan warna biru atas putih dengan atribut OSIS di dada kiri. Di lengan baju ada tulisan SMP Negeri 2 Purbalingga. Tidak setiap anak dapat mengenakan seragam semacam ini secara resmi kalau tidak terdaftar di sekolah. Alhamdulillah aku dan Ratih sudah sampai di kelas tiga. Baru naik, rapot juga belum kami kembalikan ke sekolah. Kini kami bersama dalam kegiatan rutinitas setiap menjelang awal tahun, ada pendaftaran siswa baru, khususnya untuk kelas satu baru. Kelas satu sebagai pengganti para siswa kelas tiga kemarin yang sudah lulus dan melanjutkan sekolah di tingkat yang lebih atas.
   Sungguh hari-hari yang mengesankan karena kami Pengurus OSIS diperkenankan untuk membantu sekolah agar pelaksanaan Penerimaan Siswa Baru (PSB) berjalan lancar dan aman. Begitu bijaksananya para pembina, mengajari kami untuk ikut berbakti melayani masyarakat. Ikut terlibat dalam kegiatan lokal sekolahan, namun bersifat nasional, sebab bulan ini setiap sekolah di seluruh negeri melaksanakan penerimaan siswa baru. Belajar ikut bertanggungjawab, belajar sabar, belajar cermat memeriksa dokumen, belajar mengambil keputusan saat manemui hal yang di luar perkiraan.
   Hari ini bagiku sangat mengesankan, di jadwal petugas aku ditempatkan di loket 2 bersama Ratih. Loket 2 berada di serambi kelas Tiga C. Ratih Cahyaningsih remaja putri dengan rambut diponi. Berdagu lancip, berhidung mungil. Giginya rapi, bibirnya atasnya sedikit menguncup jika sedang berbicara. Senyumnya manis menghiasi pipinya yang halus dan tampak kuning langsat. Aku terpikat! Sebetulnya tidak cuma aku yang terpesona menatap pesona yang dipancarkan oleh Ratih. Gadis khas Jawa, seperti namanya juga sangat Jawa, menggunakan kosa kata dari Bahasa Jawa. Ratih Cahyaningsih, sepertinya bermakna Dewi Kecantikan yang memiliki cahaya kasih sayang. Duh, indah sekali arti namanya. Dan gadis manis ini biasa dipanggil Ratih.
   Bertugas dalam satu meja bersama Ratih adalah hal yang secara diam-diam diidamkan anak-anak putra. Sedikit sifat manja dari Ratih, kadang justru menjadi daya tarik bagi anak-anak putra dan guru putra untuk menggodanya. Ternyata kecantikan Ratih tidak hanya dikenal di SMP Negeri 2 Purbalingga, di luar sekolah pun banyak pula yang mengenal Ratih sabagai gadis yang penuh daya tarik. Jika Ratih sedang memakai baju remaja atau ABG, pakai kaos lengan pendek, dipadu celana jean. Ah, dia tampak lenjang, sangat menarik, ah kata yang tepat adalah seksi.
   Ketika kesibukan berkurang karena hari sudah siang, tak tahu ide dari mana Ratih bertanya padaku dengan polosnya, tanpa ada beban dosa.
   “En, apa setiap remaja putra bisa dengan cepat jatuh hati?” tanyanya padaku. Aku berpikir sejenak. Membayangkan tingkah remaja putra secara umum.
   “Tidak semua pria seperti itu! Kenapa?” kataku balik bertanya
   “Aku punya teman putra, dia rupanya suka padaku!” Deg, ada guncangan di detak jantungku. Ada rasa tidak nyaman menyergapku. Cemburu.
   “Lalu kamu gimana?” suaraku saya buat wajar, berusaha tanpa getar karena menahan rasa cemburu.
  “Ya, gimana? Anaknya si baik. Agak besar, kulitnya sedikit hitam, lumayan cakep!” Astaghfirullah, batinku. Kenapa Ratih berkata tentang cowok cakep menurutnya.
   “Sekolahnya dimana?” tanyaku.
   “Sekolahnya di SMU! SMU Negeri 1 Purbalingga" jawabnya dengan mata membesar, menatapku. Rival yang berat, cowoknya cakep, SMU 1, setidak-tidaknya pasti anak pinter.
   “Punya nama?” tanyaku lagi. 
   “Ya, punya. Namanya Raditya, panggilannya Adit!”
   “Ih, bagus juga namanya. Raditya? Nama lengkapnya siapa?”
   “Enggak, pokoknya yang kutahu Raditya. Titik!” jawabnya sambil mengangkat ujung telunjuknya di depan dada. Bibir atas mulutnya menguncup. Menggemaskan.
   “Sudah berapa lama kamu kenal dia?” tanyaku, sangat penasaran.
   “Sejak kenalan si sudah delapan bulan, tapi katakan saja, akrabnya baru tiga bulan. Apa pendapatmu untuk ukuran kenal selama tiga bulan?” tanyanya sambil menatapku. Wajahnya polos, seperti tanpa dosa. Padahal dia kini sedang menumpahkan peluru yang bakal membuatku tidak bisa tidur berhari-hari. 
   “Ah itu terserah hati kamu. Itu hakmu!” Jawabku setenang mungkin. Jawaban yang harus aku katakan sebagai ungkapan keputus-asaan.
   “Maksudmu?” tanya Ratih sambil membasahi bibirnya dengan sedikit ujung lidahnya.
   “Maksudku. Kau mau menerima atau menolak itu hakmu!” jawabku
   Ratih mengangguk-anggukan kepala. Mungkin sedang membayangkan kehadiran Raditya di hatinya. Sedangkan aku, dalam keadaan terlempar ke lembah nelangsa. 
   Ratih, Ratih! Mendengar curahan hati Ratih demikian itu, seakan ada seribu sembilu mengiris kalbu. Langit hari itu jadi tidak secerah hari kemarin. Kegiatan hari itu pun berakhir.
   Aku tercenung sendiri. Rencanaku jalan berdua dengan Ratih di saat pulang, kubatalkan. Ku biarkan Ratih pulang bersama teman-temannya. Aku ingin sendiri. Kutinggalkan sekolah di siang hari yang sudah cukup larut. Aku jadi ada rasa risih saat mengucapkan kata Raditya.
=== 

   Hari Jumat sore.
  Jumat sore adalah jadwal beberapa kegiatan ekstrakurikuler. Banyak anak yang hadir di sekolah, di lapangan Basket. Di sisi barat, sore ini Ratih ikut melatih anak-anak kelas satu. Ratih memakai baju putih dengan lengan pendek, saku dikanan-kiria agak besar . Celananya jean biru. Aku juga kebetulan berbaju putih dengan hiasan merah di kanan-kiri dada. Ratih tampak cantik sekali, ketawanya cerah. Aku tertegun menatapnya. 
   “Cantik sekali di sore ini!” sapaku. Ratih tersenyum. Matanya berkedik 
   “Alhamdulillah, kamu juga tampak berseri-seri” jawabnya, membuat aku sedikit bangga.
   “Tapi kalah dengan keceriaanmu. Apa penyebabnya?” tanyaku sambil menatap wajahnya.
   “Aditya datang ke rumahku. Aku sedang belajar. Ibuku bilang, ’itu ada temanmu yang gendut’. Masya Raditya dibilang gendut.” Oh, ternyata anaknya gendut. Cakep aku, dong! Sombongku di dalam hati.
   “Terus kamu menemui juga, kan” tanyaku, walau sesungguhnya saya berharap Ratih tidak menemui kedatangan Raditya.
   “Iya. Kutemui!" jawabnya seperti menampar mukaku,"Yah, bagaimana lagi. Ia datang sebagai tamu! Resmi, pakai salam segala!" begitu renyah suara Ratih.
   “Baguslah kamu! Cerita apa saja dengannya?” selidikku
   “Macam-macam tapi seputar sekolah saja. Cara berceritanya lucu, saya suka” jawab Ratih santai. Ratih benar-benar tidak berperasaan di depanku. Aku suka kamu, Ratih! Kenapa kamu malah memuja cowok lain. Ah!
   Dan langit hatiku jadi semakin buram. Rasa kering menyerang tenggorokanku. Aku berlalu dari sisi Ratih. Dan Ratih kembali melatih anak kelas satu menjadi petugas upacara. 
   Senja itu salam shalat maghribku usai ketika saat shalat isya kurang lima menit. Aku terlalu lama duduk di samping kamar mandi. Melamun. Mengurai rasa nelangsa yang menerpa kalbu. Sehingga sangat terlambat untuk shalat maghrib. Imbas sikap Ratih terhadap Raditya.
===

  Hari Rabu siang, istirahat ke dua.
 Proses pembelajaran sudah berjalan baik. Hari-hari mengasyikan melihat anak-anak kelas satu yang masih imut-imut. Pendekatan kepada Ratih masih menjadi beban cita-citaku. 
   Serambi perpustakaan. Ratih pakai baju indentitas sekolah. sama seperti diriku. Perpustakaan sedikit ramai dengan lalu lintas anak meminjam buku. Ratih berdiri di depanku. Rambutnya hitam mengkilap, potong pendek, lentik bulu matanya berkerejap. Matanya membulat menatapku.
   “Aditya kemarin menjeputku!” sebuah berita yang tidak ingin kudengar.
 “Dimana, mau kemana?” tanyaku dengan rasa penasaran. Rasa cembuuru cukup menyengat.
   “Dari sekolahan, mau pulang ke rumah” Aku tersentak. Kenapa bukan aku saja yang mengantarnya pulang ke rumah setiap hari? Suara batinku.
   “Dan kau mau dijemput olehnya?” pertanyaanku, sebagian justru memperkirakan bahwa pasti Ratih berkenan dijemput Raditya. 
   “Tapi, aku tidak ketemu! Aku pulang naik becak!” jawabnya yang cukup membuat aku lega. Raditya gagal menjemput Ratih. Ratih pulang sendiri. Naik becak bersama si tukang becak.
   “Seandainya ketemu, apakah kau mau bersamanya?” pertanyaan penyelidik.
   “Yaa...! Mungkin mau!” jawabnya sambil memiringkan mukanya, matanya sedikit dipejamkan.
   “Jangan pakai kata; mungkin!” sergahku. Semoga jawabannya, tidak mau!
   “Yaa ...! Aku mau dijemput pulang sekolah, olehnya! Aku mau!” jawab Ratih dengan mimik muka bersungguh-sungguh. 
   Aku menunduk. Ku sadarkan perasaanku, bahwa Ratih punya hak untuk menentukan jalan hidupnya. Punya hak untuk memilih pujaan hati yang sesuai dengan nuraninya. 
   Biarlah Ratih, berlalu. 
   Sepertinya langit runtuh dan menimpaku. Bongkahan beban seakan menimpaku, sungguh menyesakkan dada. Aku tertunduk. Saat istirahat kedua pun usai. Ratih yang cantik. Banyak yang suka padanya. Ratih sepertinya tak tahu aku juga suka padanya.
   Aku dan Ratih masuk kelas yang berbeda. Hari ini kusadari, bahwa Ratih bukan milikku. Kuletakkan harapanku di almari es, dan kusimpan di gudang yang penuh memori. 
   Ratih, akhir asaku kupersembahkan untukmu! Sepertinya kau terlalu cantik untukku. 
   Semoga dikau selalu sehat, sejahtera dan selalu dinaungi segala keberuntungan. 
   Aamiin!


Purbalingga, Juli 2001

*) dari Majalah Dinding Melati, SMP Negeri 2 Purbalingga
*) terima kasih untuk siswa sang pemberi cerita.


.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar