Kamis, 29 Oktober 2020

ITU BUKAN CINTA, CI

Cerita Remaja
ITU BUKAN CINTA, CI
Toto Endargo

   Lapangan Basket SMP Negeri 2 Purbalingga. Di bawah pohon Glodogan yang tak lagi menjulang tinggi, terdengar suara dentum bola basket membentur lantai berkali-kali. Juga suara jedher ring basket yang sedikit berisik saat tertimpa bola, bagai musik khas di lapangan depan perpustakaan itu. Sore yang cerah untuk latihan bola basket.

   Salah satu pemain basket yang sedang ngetop di sekolah adalah si Rizal, anak baru, pindahan dari luar Purbalingga, dan masuk menjadi siswa kelas dua di sekolah yang tahun belakangan ini cukup bagus prestasinya di bidang olahraga bola basket. Jadi rasanya kehadirannya menjadi berkah bagi sekolah ini.
   Rizal memang mempesona saat ia memainkan bola, saat bermain. Bayangkan, dia suka melompat dengan satu tangan di atas kepala, dan dengan satu tangan itu ia menghadang bola operan dari teman, bola mampu tertangkap bagai lengket di tangan kanannya, bola lalu diayun memutar untuk dihemaskan, jatuh berdebum lembut di lantai keras. Dep, dep bunyi bola membentur lantai. 
   Gerakan berikutnya dengan kepala mendongak ia menilai kedudukan teman satu timnya, bola di oper atau tidak, sementara bola sudah empat kali melentur-lentur di bawah telapak tangan kanannya. Sungguh manis sekali gerakan pada momen yang ia sajikan.
   Jump shoot. Rizal! Kaki kiri diayun ke depan, dia melesat meliuk menghindar hadangan musuh, satu, dua, tiga langkah ia mendrible bola, lalu ia melompat dengan dua tangan memegang bola di atas kepalanya, melempar dengan gaya khasnya, bola melambung pelan dan membentur mulut keranjang, bola memutar sebentar di ring basket, dan masuk. Gol! 
   Ciamik!
  Rizal, menjadi idola lapangan basket sekolah, ia sangat tenang, setelah membuat point, biasanya ia lalu menundukkan kepala sejenak, lalu mendongak sambil mengibaskan rambutnya. Begitu sederhana! Tidak ada senyum, tidak ada teriakan, tiada kesan berlebih yang keluar dari bibirnya. Padahal setiap kali ia dengan jitu membuat gol di ring basket. Benar, Rizal adalah salah satu tumpuan pengumpul nilai bagi timnya. 
   Aku suka Rizal! 
   Jatuh cintakah?
===
   Jumat sore. 
   Suasana sore menjadi lebih mengasyikkan saat ia hadir di lapangan basket, seperti sore ini. Rizal berkaos putih dengan celana tiga per empat yang sedikit kombrong. Aku menatapnya dari kejauhan. Rizal di lapangan basket berlatih shooting bola dari luar garis serang. Wajahnya tenang, namun seperti ada sedikit senyum di bibirnya. Lita, teman sekelasku, ada di sampingku.
   “Pengagum Rizal tambah satu lagi!” bisik Lita di telingaku
   “Siapa itu?” tanya ku dengan dada berdesir, takut ketahuan Lita bahwa aku juga ada rasa suka kepada Rizal. 
   “Seorang gadis cantik, berkacamata, berbaju pink!” jawabnya pelan.
   Sambil tersenyum kucubit lengan Lita perlahan. Lita menyindirku. Akulah yang dimaksud gadis cantik berkacamata dan berbaju pink.
   “Terlalu banyak gadis tertarik padanya. Mereka akan berkompetisi untuk merasa menjadi milik Rizal. Mereka lupa!” kata Lita seakan sedang mengeluh.
   “Lupa apa?” tanyaku.
   “Lupa bahwa wanita juga punya harga diri, punya hak untuk diperebutkan oleh lawan jenisnya, lupa juga bahwa dirinya punya daya tarik tersendiri”
   Aku terdiam mencerca kata-kata Lita. Mungkin maksudnya: kenapa kita mengejar Rizal. Anak laki-laki kan bukan hanya Rizal. Masih banyak anak laki-laki yang justru mengejar kita. Kenapa kita mengharap jadi milik Rizal, sedang di luar Rizal masih ada Wahid, Catur, Tofik, Dion, Jasman, Ofat, Toto dan lain-lain. Di luar Rizal yang ternyata mungkin lebih siap melindungi kita. Dan siapa tahu mereka benar-benar ada hati pada kita. Dinamika perilaku para remaja.
   “Ah, itulah misteri cinta, Lita! Cinta datang dan pergi tanpa kita ketahui!” kataku.
  “Cici...! Itu bukan cinta, Ci. Tapi emosi sesaat. Rasa tertarik yang bersifat temporer! Temporer!” kata Lita dengan menyentuhkan ujung jari telunjuknya di dahiku. Bibirnya yang mungil, berkemak-kemik menjadikan Lita yang begitu manis, menggemaskan.
   “Temporer? Maksudmu...?” tanyaku sambil membetulkan kacamataku
   “Maksudku, cinta yang umurnya hanya sebulan-dua bulan. Dan dalam waktu sesingkat itu, karena cemburu, marah, tidak tepat janji, dan lain-lain, lalu hubungan mereka pun diakhiri. Putus!”
   “Oh, temporer. Tertarik tapi hanya untuk sementara waktu! Gitu?” komentarku
   “Betul! Tapi sebenarnya, sebelum benar-benar putus, sesungguhnya sudah ada sambungannya, sebagai penggantinya!” kata Lita datar.
   “Ah, kok miring amat pendapatmu. Masa cinta menurutmu begitu mudah pindah!”
   “Loh kalau nggak percaya, ya buktikan sendiri!” saran Lita. Aku terbelalak.
   “Ih, gila! Enggak, aku enggak mau begitu. Hanya membuat perkara saja!” kataku. Heran, dari mana Lita punya pendapat seperti itu?
   “Enggak mau, nggak mau! Apanya yang nggak mau?” tanya Lita. Belum sempat kujawab. Lita sudah ngomong lagi.
   “Nggak mau ya nggak apa-apa. Cuma jangan membenci laki-laki! Soalnya pasangan ideal dari wanita adalah laki-laki!” kata Lita sambil tersenyum-senyum.
   “Bodong, kamu bodong Lita! Itu urusan orang dewasa! Kamu jangan ngawur!}
   “Iya, aku juga tahu, hal berpasangan itu urusan orang dewasa! Cuma masalahnya sebagai remaja kita sering lupa!”
   “Lupa apa?”
   “Tadi sudah saya katakan! Lupa bahwa kita punya harga diri! Setiap remaja putri harus sadar bahwa kita juga punya daya tarik bagi kaum pria. Tidak usah secara vulgar mengejar mereka, malu dan malu-maluin. Lihat bagaimana teman-teman kita mengejar-ngejar Rizal”
   “Laah, kamu hanya bisa ngomong! Bukankah kamu juga golongan mereka yang mengidolakan Rizal!” sergahku dengan memegang lengan Lita
   “Benar kamu, Ci. Tapi suka dan mengidolakan Rizal bukan berarti aku harus jadi milik Rizal atau sebaliknya. Aku suka menikmati keberadaannya. Aku suka Rizal karena ia mewarnai semangat kita!”
   Aku kembali membetulkan letak kacamata dan mengajak Lita duduk di selatan ruang guru. Di lajur keramik sebagai tempat duduk. Rizal masih memainkan bola basketnya. 
   Duduk berdua. Seiring dengan waktu semakin banyak siswa yang hadir untuk kegiatan sore. Kulihat, Lita tersenyum sendiri. Aku mencoba merenungi kata-kata Lita. Mencoba menyusuri rasa sukaku kepada Rizal. Tanpa sadar, seperti dikomando, secara bersamaan aku dan Lita menarik nafas panjang. Ah, resahnya dunia remaja. ketika senja menyapa SMP Negeri 2 Purbalingga, latihan basket dan semua kegiatan pun berakhir.
   Rizal bergabung dengan regu basketnya. Sepintas sempat kulihat beberapa anak putri sedang menatap anak-anak basket. Aku pasti sosok Rizallah yang terpantul di lensa mata mereka. 
   Seiring langkahku meninggalkan gerbang sekolah, ada doa bergema di relung benak. Semoga Allah segera menyadarkan hati teman-teman putriku agar mereka ingat bahwa di raga wanita harus ada harga diri yang nyata. Untuk hati-hati saat jatuh hati!

Purbalingga 19 Agustus 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar