Rabu, 23 April 2014

KENAPA JADI BEGINI

Cerita Remaja
KENAPA JADI BEGINI
Oleh: Pagu Rutoto

Hari Selasa Pahing, 7 Maret 2000
Perpustakaan SMP Negeri 2 Purbalingga.
“Kenapa jadi begini?” gumam Argo perlahan. Ditundukkannya mukanya. Ia sandarkan tubuhnya ke salah satu tiang penyangga serambi ruang perpustakaan, dekat kotak Majalah Dinding. Pikirannya kacau. Antara menyesal, kesal, dan ingin menangis. Tiga perasaan berbaur menjadi satu dalam pikiran dan hatinya. Kecewa dan nelangsa. Ia telah dianggap sebagai sesuatu yang tak berguna, sesuatu yang tidak berharga oleh seorang gadis. Dita! Kenyataan pahit telah menimpanya siang ini.
Argo Widyaseta, anak kelas tiga yang pikirannya sedang pepat ini berjalan perlahan. Pulang! Ia ingin sendiri.
Disusurinya serambi kelas yang panjang dan sudah sepi. Beberapa guru masih ada di ruang guru. Argo menuju pintu gerbang sekolah di Jalan Letkol Isdiman Nomor 194, Purbalingga. Menuju ke pintu keluar yang sekitar sepuluh menit yang lalu seluruh siswa termasuk Dita dan teman-temannya telah melewati pintu gerbang tersebut. Hari ini Dita telah sengaja berlari menghindar dan menjauhinya.
Argo sedih.
“Dita!” panggil Argo. Tadi, di saat istirahat kedua. Dita gadis cantik dengan rambut pajang hitam, tergerai. Siapapun akan menilai bahwa Dita cantik, rambut panjangnya yang pekat membuatnya semakin memikat.
Saat itu Argo di ujung serambi kelas sebelah selatan, Dita dan Raras berdua di ujung sebelah utara. Hanya Raras yang menoleh. Dita yang sangat paham itu suara Argo, tak peduli. Dita malah menjauh, mencoba menghindari Argo. Argo tertegun. Raras terpana melihat tingkah Dita. Raras menoleh kembali ke arah Argo namun segera saja tangan Dita telah menariknya untuk segera berlalu.
Keduanya berlalu.
Peristiwa menyakitkan bagi Argo. Argo terlalu percaya diri bahwa Dita akan selalu baik padanya. Kali ini berbuah kecewa. Argo sangat terpukul. Ia sedih. Ia menyesal. Kini Argo sadar, ia baru merasa bahwa dirinya telah membuat kesalahan fatal terhadap Dita.
Dita marah!

***
Hari Rabu, 8 Maret 2000
Siang, pulang sekolah. Dita dan Raras berjajar menyusuri trotoar di pinggir jalan raya depan sekolahnya. Mulut Dita terkatup. Raras dengan perasaan heran menjajari langkah Dita. Raras ingin tahu masalah Dita.
“Dita, apa yang terjadi antara kau dan Argo?” tanya Raras
“Sebel!” jawab Dita dengan sengit dan singkat. Dita malah mempercepat langkahnya. Raras heran.
“Kenapa kita harus jalan bergegas seperti ini? Seperti orang sedang dikejar binatang buas saja!”
“Pokoknya sebel. Anak itu sangat menyebalkan. Aku marah!”
Raras belum juga tahu apa permasalahan yang timbul di antara Dita dan Argo. Dita menjadi seperti dikejar hantu. Jalan bergegas.
“Boleh aku bertanya kepada Argo tentang apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan dia?” tanya Raras sambil menghentikan langkah Dita. Ia langsung berdiri di muka Dita. Dita berhenti dan menatapnya dengan tajam.
“Oke, bertanyalah kepada Argo! Sekarang! Apa saja yang membuat kamu penasaran! Tanyakan! Dan setelah itu, mulai hari ini aku tak mau berteman denganmu lagi!” ancam Dita. Raras heran. Begitu marahnya Dita kepada Argo. Sampai dirinyapun kena imbasnya.
“Kok, jadi begini Dita? Beritahu aku dong!”
“Tidak usah!”
“Argo telah berbuat kurang ajar padamu? Tidak senonoh?”
“Tidak!” jawab Dita tegas sambil menggeleng perlahan.
“Lalu?” tanya Raras selanjutnya. Dita diam. Bibirnya terkatup lagi.
“Kenapa kau menghindarinya, Dita?” perasaan heran memenuhi hati Raras.
Dita masih menunduk, menatap ujung sepatunya. Menyibak poninya. Mengusap matanya dengan jari tengah dan telunjuknya. Basah! Air mata Dita telah runtuh perlahan membasahi matanya yang bening. Dadanya sesak. Dita terus berjalan perlahan. Raras tertegun. Ia menyesuaikan diri. Diam. Disimpannya beberapa pertanyaan yang mengganjal pikirannya.
Matahari terus merayap meninggalkan jejak waktu yang tak mungkin dilewatinya kembali. Tak peduli pada kepedihan hati Dita.Tidak peduli pada pertanyaan di hati Raras. Tak peduli pada kegundahan di hati Argo.

***
Hari Kamis Wage, pukul 19.15. Ruang tamu di rumah Raras.
Argo duduk resmi. Duduk dengan sopan. Kedua tangan di taruhnya di atas kedua pahanya. Raras duduk di depannya dengan wajah ceria. Antara mereka ada meja tamu sebagai pemisah. Raras tersenyum-senyum. Di perhatikannya sikap Argo yang sopan tapi tampak agak gelisah.
Seperti juga di saat-saat lain, Raras mau tidak mau harus mengakui bahwa Argo adalah remaja putra yang menarik, cakep, sopan, baik hati. Di bidang akademis kecerdasannya termasuk di atas rata-rata temannya dalam satu kelas. Sebenarnya Raras ingin satu kelas dengannya namun sampai kelas tiga tetap saja berlainan kelas. Beda kelas tak menghalangi persahabatan mereka. Ada persahabatan antara Argo, Raras dan Dita.
Kini telah timbul masalah antara Dita dengan Argo. Kenapa harus bertengkar? Setiap masalah pasti ada jalan pemecahannya. Setiap kesulitan ada jalan keluarnya. Perselisihan pun ada jalan damainya. Kedatangan Argo membuat ada rasa bahagia melintas di hati Raras. Wajahnya tampak cerah dan senyumnya semakin menawan.
Hemmm!
Argo gelisah, diusapinya hidungnya untuk mengusir debar di dadanya. Ia sengaja datang menemui Raras untuk meminta tolong agar ia bisa berbaikan lagi dengan Dita.
“Raras, tolonglah saya. Agar Dita mau berbaik lagi denganku!”
Raras tersenyum, benar tebakan hatinya. Ia sangat maklum atas kesulitan Argo kali ini. Dan dalam hatinya ia sangat bersyukur Argo yang cakep, sudi hadir di ruang tamu rumahnya.
Ah... seandainya!
“Ceritakan dulu masalahnya, mungkin aku bisa menolongmu!” pinta Raras. Argo tersenyum pahit.
“Apa Dita belum cerita ke kamu?” tanya Argo dengan muka heran.
“Belum!” jawab Raras, “Justru dia marah ketika aku bertanya!”
“Ternyata Dita belum cerita kepada Raras” kata Argo dalam hati.
Argo pun bercerita pada Raras.

***
Hari Selasa. Istirahat pertama! Di sebelah lapangan basket.
Ada Dita, Hefni, Cahya, Nelis, Riri, Sarah, Zaenab, Ranti dan yang lain. Raras tak ada di sana. Argo ada di serambi perpustakaan memperhatikan kelompok gadis yang sedang merubung Dita. Ada yang memegang dan mengelus-elus rambut Dita. Seperti ada kesibukan yang tak biasa di antara mereka. Argo mendekat. Diperhatikannya para gadis di depannya. Rambut Dita yang panjang yang menjadi pusat perhatian teman-temannya.
“Kenapa, Dit, rambutmu?” tanya Argo penuh perhatian.
“Ah, sebal banget! Endra!” jawab Dita ramah namun datar. Argo memperhatikan semacam serbuk di rambut Dita. Putih, serbuk kapur! Kapur tulis yang digunakan guru untuk menulis di papan tulis hitam.
“Maksudmu Endra mengotori rambutmu dengan serbuk kapur?” tanya Argo. Dita hanya mengangguk. Teman-temannya memperhatikan sikap Dita yang begitu tenang manjawab pertanyaan Argo.
“Berapa kali Endra telah mengotori rambutmu?” tanya Argo.
Ada rasa marah, kasihan dan tidak terima di hati Argo. Tapi ia tak boleh marah sama Endra. Nanti dikira ia melindungi Dita. Ia akan didakwa jatuh hati kepada Dita. Ia tak ingin banyak anak di lingkungannya menilai ia sangat memperhatikan Dita. Ada rasa malu yang kuat walaupun ada juga rasa syukur jika benar dipasangkan dengan Dita.
Lagian kenapa Argo harus marah kepada Endra jika Dita saja tidak marah? Kenapa Argo harus marah?
“Empat kali ini!” jawab Dita. Argo sungguh kaget. Sudah empat kali Endra menabur serbuk kapur ke rambut Dita.
“Empat kali! Kamu tidak marah, Dita ?”
“Ya. Marah. Tapi Endra usil terus. Sebel banget!”
“Lho, Dita! Kamu harusnya sangat marah, Dita. Bukankah rambut adalah salah satu mahkota seorang gadis? Kau harus marah!” kata-kata Argo sepeti provokator. Tidak tahu kenapa ia jadi begitu emosi terhadap cara Endra mengusili Dita. Mungkin karena tidak hanya sekali Endra telah mengusili. Teman-teman Dita mengangguk-anggukan kepala. Setuju jika Dita memarahi Endra.
“Empat kali menaburkan serbuk kapur ke rambutmu! Itu sudah sangat keterlaluan. Dita, kau harus marah! Harga dirimu sebagai seorang gadis telah dilecehkan. Harusnya Endra itu sudah kau lempar dengan penghapus. Bila perlu laporkan ke BP!” saran Argo berapi-api.
“Iya, sebel banget!” sungut Dita. Argo tidak puas dengan sikap Dita yang hanya bersungut-sungut.
“Kalau cuma bersungut-sungut ya percuma. Endra pasti akan usil lagi, Dit! Sebenarnya sebal apa senang dit?” tekan Argo.
“Apa?!” sentak Dita. Argo kaget. Hefni, Cahya, dan Nelis yang di dekatnya juga kaget. Rupanya Dita sangat tersinggung dikatakan suka pada Endra.
“Lha, buktinya diganggu sampai empat kali, engkau tidak marah!” jawab Argo tanpa memandang muka Dita yang sedang menatapnya dengan tajam.
Bola mata Dita seakan mau lepas saja. Bibirnya terkatup rapat. Pipinya jadi nampak sangat padat untuk menahan marah. Kedua tangannya mengepal. Ditatapnya Argo lekat-lekat ingin ia melepaskan kemarahannya dengan memukul Argo.
Namun... plas! Dita berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Argo dan teman-temannya. Dita marah pada puncaknya. Matanya panas. Langkahnya gontai namun cepat. Disusurinya serambi kelas. Dita menuju ke kelasnya.

***
Argo menghela nafas. Ia sudah cerita hal Dita yang marah.
Raras tersenyum.
“Kau telah menyakiti hatinya. Jika kau tahu, Dita telah menangis di kelasnya!”
“Tapi bukan maksudku untuk menyakitinya. Aku hanya ingin mengingatkan harga dirinya sebagai seorang gadis!”
“Benar! Tapi menurutku kamu telah keliru memilih kata!”
“Maksudmu?”
“Kau telah menuduh Dita suka diganggu Endra!”
“Tidak!”
“Kamu harusnya tidak bertanya kepada Dita, sebal atau senang diganggu Endra. Sebagai wanita aku juga sangat tersinggung. Sakit hati dan marah dengan pertanyaan semacam itu. Kau secara tersamar menuduhnya bahwa Dita merasa senang setiap kali diganggu Endra!”
“Tidak!” kata Argo meyakinkan Raras.
“Jangan berkata tidak! Sepertinya ada yang sesungguhnya tersembunyi di hati kamu!” kata Raras penuh selidik. Kecerdasannya sebagai detektif muncul
“Tidak” jawab Argo agak gagap.
“Menurut pengamatanku, kau telah terlalu banyak memperhatikan Dita”
“Mungkin!” jawaban Argo tidak meyakinkan.
“Kau sesungguhnya cemburu pada Endra!” celetuk Raras berterus terang.
“Ah, rasanya tidak!” jawab Argo dengan dada berdebar.
“Kau sebenarnya jatuh hati pada Dita!” kata Raras tajam. Dada Argo kini berdegup sangat kencang. Raras menatapnya. Ia tahu Argo sedang menahan debar dadanya. Nafasnya sedikit tidak teratur. Dan Raras merasakan ada rasa sedikit perih menggores tipis ulu hatinya. Ada rasa khawatir yang melintas di benaknya. Raras merasakan ada sedikit rasa tidak rela jika benar Argo jatuh hati pada Dita. Raras pun segera menahan desir hatinya.
“Ah, tak tahulah!” kata Argo agak bergetar.
Keduanya kemudian terdiam sejenak. Di relung benak keduanya ada bayangan Dita yang sedang diam membisu. Namun dalam sikap diam itu justru terpancar kecantikan Dita yang sesungguhnya.
“Tak tahu apa? Tidak tahu bahwa Dita anak yang cantik?” tanya Raras datar
“Ya! Menurutku, Dita anaknya cantik, sopan dan baik hati“ jawab Argo sebisa-bisa. Ia gelisah. Raras menatapnya dengan tajam. Argo cukup tersipu ditatap tajam oleh Raras. Darah Argo seakan mengumpul di wajahnya, mukanya merah. Raras tersenyum menggodanya.
“Jika aku yang diganggu Endra apa kau juga akan memperhatikan dan menasehatiku?” tanya Raras perlahan. Pelan namun jelas setiap kata-katanya. Kini seakan ada angin semilir yang menerpa wajah Argo. Ada rasa risi yang menghampirinya. Bersamaan dengan rasa dingin yang menyentuh wajahnya ada desir asing yang juga menyentuh dadanya.
Pertanyaan Raras tampaknya sederhana. Ia tahu gadis manis di depannya sedang menguji perasaannya. Argo sadar bahwa pertanyaan ini adalah pancingan Raras terhadapnya. Segera perhatian Argo berganti terhadap Raras. Raras anak yang manis. Cerdas dan keibuan. Bola matanya hitam dan berbinar-binar.
“Iya. Aku akan menegur dan menasehatimu, sama seperti pada Dita “ jawab Argo hampir berbisik. Namun sangat jelas bagi Raras dan membuatnya menjadi seperti terbang. Ia senang disejajarkan dengan kedudukan Dita.
“Lalu!“ tanya Raras dengan manjanya. Argo sadar! Ia tak mau berlarut-larut dalam perbincangan dengan Raras. Tatapan mata Raras, gerak bibirnya saat berkata-kata membuat dada Argo menjadi berdesir-desir. Malam semakin merayap. Perasaannya jadi seperti melayang-layang.
Ia pun berdiri. Raras tertegun.
“Terima kasih, Raras. Aku sudah cerita. Aku datang ke sini sebenarnya untuk minta tolong padamu. Titip kertas ini, tolong sampaikan pada Dita. Kau boleh membacanya!” kata Argo sambil menyodorkan secarik kertas. Sepucuk surat dalam sampul terbuka berwarna pink. Ada bau wangi saat berpindah ke tangan Raras. “Bahagialah setiap gadis yang dipilih Argo!” batin Raras.
“Hanya ini?“ tanya Raras. Argo mengangguk perlahan.
“Ku tolong kamu, Argo, tapi tolong jangan lupakan aku! “ kata Raras sambil memegang lengan baju Argo. Dada Argo berdesir kembali. Ia pun segera menuju pintu dan mohon pamit. Raras masuk ke dalam. Memanggil ibunya.
Di teras rumah, Raras dan ibunya menjawab salam pamitan yang diucapkan Argo.
“Argo itu temanmu atau pacarmu?” tanya ibunya. Raras segera membulatkan bola matanya.
“Teman, Bu!” jawab Raras manja.
“Ibu suka kalau kamu hanya berteman dengan Argo. Argo anaknya tampak baik, gantheng, rapi dan sopan!”
Raras mengangguk-angguk. Ia setuju dengan pendapat ibunya. Ada elusan lembut di rambut Raras.
“Ibu tidak suka Raras pacaran dengan siapapun saat masih sekolah!”
“Kenapa, Bu!”
Pacaran atau jatuh hati akan membuat kamu melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu, namun kamu melakukannya seakan-akan menjadi hal yang sangat penting dan mendesak!”
“Kok! Contohnya” pinta Raras dengan mimik muka keheranan.
“Apa kepentingan Argo malam-malam ketemu kamu?” tanya ibunya.
“Titip surat! Minta tolong untuk disampaikan ke Dita” jawab Raras.
“Nah, perilaku Argo dapat dijadikan sebagai contoh yang nyata!”
“Maksud, Ibu?” tanya Raras. Ia masih belum paham makna kata-kata ibunya.
“Kalau hanya untuk bicara dengan Dita, kenapa harus susah-susah membuat surat? Secara lisan kan bisa! Kalau hanya untuk menyampaikan surat kenapa harus titip kamu? Sampaikan sendiri kan bisa. Kalau hanya untuk titip surat kenapa harus malam-malam. Besok pagi kan bisa!” kata ibunya memberi contoh.
“Kalau hanya titip surat kenapa jauh jauh ke rumah ini yaa? Besok pagi di sekolahan kan bisa!” lanjut Raras dengan cepat.
“Nah, ternyata kamu cerdas. Cepat paham kalimat Ibu!” Raras tersenyum.
“Argo telah melakukan hal yang sebenarnya sederhana namun telah dibuatnya menjadi hal yang rumit, menjadi hal yang bersifat mendesak dan sangat penting!” lanjut ibunya. Tapi kedatangan Argo menyenangkan Raras.
“Iya, ya!” gumam Raras perlahan. Dan keduanya masuk, beranjak meninggalkan teras rumah.
“Mungkin Argo sedang jatuh hati!” gumam Ibunya pelan. Walau pelan Raras mendengarnya dengan jelas. Kembali, dada Raras berdegup keras, ada desir perih menggores hati.
Malam berlalu.

***
Hari Sabtu, istirahat ke dua tampak Argo, Dita, Raras, Riri, Sarah, Hefni, Cahya, dan Nelis. Dita dan para sahabatnya sudah rukun dan ceria kembali. Istirahat pertama tadi Raras telah mendatangi Argo ketika di perputakaan.
“Ini kertasmu dikembalikan lagi, tapi sudah ditambahi tulisan apa itu, baca sendiri!“ kata Raras sambil menyerahkan amplop pink yang telah dititipkan Argo kepadanya kemarin malam. Dengan seribu tanda tanya dibacanya kertas surat yang masih berbau harum. Terdiri dari dua baris; baris pertama tulisan Argo sendiri, baris kedua rupanya tulisan Dita.

Dita, maafkan saya. Argo
Aku tidak suka Endra! Sama”!

***
Sabtu, 11 Maret 2000
Malam minggu ini ketika Argo berbaring di sofa ruang tamu. Bayangan Dita yang cantik, sopan dan baik hati dan bayangan wajah Raras yang manis, sabar, cerdas dan ceria berkibaran di benaknya. Dua gadis satu sekolah, bergantian berseliweran di ruang angannya. Keduanya sangat mengganggu ketenteraman jalan pikiran Argo. Keduanya membuat desiran di ulu hatinya.
“Jika boleh maka jalan darah di tubuhku akan kuberi nama dengan nama kedua gadis ini. Pembuluh nadi kuberi nama Jalan Dita Maharani dan pembuluh vena kuberi nama Jalan Raras Kinasih” gumamnya dalam angan.
“ Kenapa jadi begini?” keluhnya sambil tersenyum.

Purbalingga, 15 Maret 2000





Ucapan:
Salam untuk Raras yang rambutnya pernah ditaburi bubuk kapur.
Terimakasih, untuk kalian yang telah membantu terbitnya cerita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar