Rabu, 16 Juli 2025

Mengenal Tugu Juang di Desa Blater – Catatan Bapak Soeparno

 

 MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER – CATATAN BAPAK SOEPARNO

Catatan sejarah ini ditulis oleh Bapak Soeparno Penilik Kebudayaan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kalimanah, Tahun 1988, dan diberi judul “MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER”

 

KATA PENGANTAR

Dengan rasa gembira teriring ucapan kepada TUHAN YANG MAHA ESA, saya dapat menyusun kembali catatan sejarah ini yang diberi judul “MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER”.

Saya katakan menyusun kembali, karena sebenarnya sudah beberapa kali saya menyusun catatan sejarah ini, untuk memenuhi beberapa permintaan, antara lain dari

1.     Para guru dan siswa siswi SMP Negeri 3 Bukateja

2.     Wartawan Warta Braling untuk mengisi ruang “Purbalingga Tempo Dulu"

3.     Rombongan siswa siswi SD Negeri Pagedangan, Kecamatan Purbalingga bersama gurunya, dan

4.     Beberapa orang yang berminat untuk mengerti hal ihwal adanya bangunan "TUGU" di desa Blater

Untuk kali ini saya susun kembali dengan tujuan yang sama, tetapi materinya lebih lengkap dan susunan redaksi yang telah saya adakan perubahan perubahan seperlunya.

Seperti tulisan saya terdahulu, dalam tulisan ini perlu juga saya jelaskan, bahwa sumber bahan tulisan ini sebagian besar berasal dari pengalaman dan ingatan saya sendiri yang pada waktu terjadinya peristiwa dalam catatan sejarah ini, saya sendiri melihat dan mendengar dengan mata telinga saya sendiri.

Namun karena sudah lamanya waktu (kurang lebih 41 tahun yang lalu), dan pada saat itu tentu saja dalam situasi yang gawat, dan sampai pada saat ini belum saya temukan dokumen resminya, maka tentu saja banyak hal-hal yang belum dapat terungkap disini, karena sudah lamanya waktu dan terlupakan.

Untuk itu saya berusaha mengumpulkan informasi dan keterangan dari beberapa orang yang pada waktu itu juga mengalami, bahkan terlibat langsung dalam kisah ini, guna melengkapi dan lebih menyempurnakan tulisan ini, antara lain:

1.     Bapak Idris, bekas komandan Kompi Pasukan dari Batalyon IV Cilacap

2.     Bapak Sarwin dari Kalimanah Kulon, Pensiunan ABRI, Purbawirawan dari Batalyon 1 Purbalingga

3.     Bapak Soedirman Ex. Anggota Brigade XVII

4.     Buku “Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka Episode 1945-1949"

 

Namun mungkin masih terdapat kesalahan atau kebingungan dalam penulisan ini, oleh karena itu saya berharap kepada siapapun yang mengetahui lebih jauh mengenai peristiwa yang saya tulis ini, agar dapat menyampaikan teguran, saran atau kritik, demi kesempurnaan dan kelengkapan tulisan ini di masa mendatang.

Akhirnya saya mengharap semoga tulisan ini ada juga manfaatnya walaupun sedikit, bagi yang berkenan membacanya

Amin 

Penulis

Soeparno

ttd

NIP. 130061621

==============

 

KATA SAMBUTAN

KEPALA KANTOR DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

KECAMATAN KALIMANAH 

Dengan rasa gembira dan ucapan Syukur Alhamdulillah, kami menyambut hal usaHa saudara Soeparno selaku Penilik Kebudayaan, Kandepdikbud Kecamatan Kalimanah dengan tulisannya yang berjudul “MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER”

Tulisan ini jelas menyangkut bidang "kesejarahan” yang memang merupakan salah satu bidang yang harus digarap oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Kantor Depdikbud Kecamatan Kalimanah.

Setelah membaca tulisan ini kami percaya bahwa saudara Soeparno telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melengkapi pengalamannya sendiri, dengan mengumpulkan informasi dan keterangan dari mereka yang mengetahui, bahkan yang terlibat langsung dalam peristiwa yang bersejarah yang terjadi pada masa lalu itu.

Dengan demikian tulisan ini kiranya sudah dapat memberikan gambaran yang jelas dan lengkap, tentang hal ihwal adanya bangunan tugu peringatan yang oleh saudara Soeparno disebut “TUGU JUANG" di Desa Blater.

Memang karena perkembangan zaman, masih mungkin ada kekurangan, kekeliruan bahkan kesalahan, walaupun kecil. Namun secara keseluruhan, isi artikel ini cukup memberikan gambaran atau penjelasan tentang apa makna yang terkandung dalam bangunan sederhana namun bersejarah itu.

Untuk itu, kami selaku atasan langsung Sdr. Soeparno juga berharap kepada semua pihak yang mungkin lebih memahami permasalahan tersebut, untuk memberikan teguran, saran dan sekaligus meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahan itu.

Sebagai akhir sambutan ini, kami mengharap semoga tulisan Sdr Soeparno ini dapat dibaca dan diterima oleh masyarakat luas untuk menambah pengertian tentang sejarah perjuangan kita pada masa yang lalu, yang pada akhirnya dapatlah kiranya membangkitkan semangat kita di dalam melaksanakan tugas pembangunan sekarang ini, sehingga cepat tercapai cita-cita bangsa kita mewujudkan "masyarakat yang adil, makmur, aman, damai lahir batin berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.

Amin, terima kasih

Kepala Kantor Depdikbud Kecamatan Kalimanah.

Tertanda

MABRURI

NIP: 130121500

===============

 

KATA SAMBUTAN

KEPALA DESA 

Selaku Kepala Desa sekaligus mewakili masyarakat Desa Blater, menyambut dengan gembira atas tulisan Bapak Soepamo ini, yang untuk kesekian kalinya, menyusun buku yang berjudul "MENGENAL TUGU JUANG DESA BLATER"

Kami katakan untuk kesekian kalinya, karena memang tidak sekali ini saja Bp Soparno menyusun tulisan seperti ini. Kami memang sudah beberapa kali mendapat kunjungan dari berbagai pihak, baik dari rombongan siswa siswi SLTP, SD beserta para gurunya dan juga dari perorangan, yang sengaja untuk melihat dari dekat bangunan tugu peringatan yang ada di desa kami, yang sekaligus minta penjelasan tentang riwayat adanya tugu itu.

Senap ada kunjungan seperti itu, kami selalu minta Bapak Soeparno yang saya anggap banyak mengetahui hal ichwal adanya tugu itu. Maklumlah pada waktu terjadi peristiwa yang kemudian ditandai dengan bangunan tugu, kami memang masih kanak-kanak sehingga tidak banyak mengetahui dan mengerti tentang adanya tugu tersebut.

Tulisan kali ini setelah kami baca dengan teliti, rupanya sudah lebih lengkap isinya, sehingga kiranya lebih dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini tak lain, karena Bapak Soepamo terus berusaha mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, disamping pengalaman sendiri, karena pada saat terjadinya peristiwa pertempuran dahulu sampai pada pendirian dan peresmian tugu itu, memang menyaksikan sendiri

Akhirnya kami tak lupa menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Bapak Soeparno, yang telah berusaha sekuat mungkin untuk membantu kami seperangkat Desa Blater, sehingga pada waktu-waktu mendatang bila ada kunjungan dengan keperluan yang berkaitan dengan bangunan tugu peringatan di desa kami, kiranya akan kami layani dengan lebih baik dan lancar

Semoga tulisan ini benar-benar ada manfaatnya, sehingga usaha Bapak Soepamo tidak sia-sia.

Terima kasih

Kepala Desa Blater

ttd

TURSINO.

 

 

BAB I

PENDAHULUAN 

Setiap orang yang bepergian melalui jalan raya antara Purbalingga dan Purwokerto melalui Sokaraja, pasti pernah melihat bangunan tugu yang teletak di Desa Blater. Ini disebabkan bangunan tugu itu terletak di tepi jalan raya lintas  tersebut (periksa denah terlampir).

Tetapi mungkin mereka tidak tertarik sama sekali, ataupun ingin mengetahui dari dekat dan mengerti apa arti bangunan tugu itu, sebab bangunan itu kecil-kecil saja, bangunannya sangat sederhana dlan ada sementara orang yang mengatakan bahwa tugu itu dikiranya tugu batas desa. Hal ini wajar saja, karena besar dan bangun tugu itu sangat sederhana.

Tentu saja hanya mereka yang mengetahui dan mengerti latar belakang didirikannya tugu itu mengatakan walaupun tugu itu kecil dan sederhana, namun mengandung nilai sejarah perjuangan bangsa yang patriotik.

Kita sama-sama menyadari, bahwa jiwa kepahlawanan (patriotisme) jiwa rela berkorban tanpa pamrih demi kepentingan nusa dan bangsa, tidak hanya dibutuhkan pada masa perang saja tetapi pada masa pembangunan seperti sekarang ini pun sangat dibutuhkan "pahlawan pahlawan pembangunan”, demi cepat tercapainya cita-cita kemerdekaan kita yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Untuk itu perlu ditempuh berbagai cara untuk mewariskan jiwa serta semangat patriotisme kepada generasi sekarang, terutama generasi muda sebagai generasi penerus perjuangan bangsa.

Salah satu cara diantaranya, yaitu dengan mengenalkan kepada mereka tentang kisah (sejarah) para pejuang pendahulu kita yang telah rela berkorban, yang kecuali dikisahkan dalam buku-buku sejarah juga banyak yang disimpulkan dengan bangunan-bangunan monumental, seperti adanya bangunan tugu peringatan.

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka tulisan ini pun bertujuan memberi pengertian (pengantar) kepada pembaca agar mampu menangkap makna yang terkandung di dalamnya bangunan tugu yang sekecil dan sederhana yang terletak di desa Blater, Kecamatan Kalimanah

Lebih dari itu, penulis yang juga penduduk desa Blater, yang kebetulan memiliki lokasi bangunan tersebut, kiranya wajar bila mempunyai harapan, setelah ada pengertian dari para pembaca umumnya, khususnya masyarakat di daerah Kabupaten Purbalingga, terlebih-labih para bapak pimpinan pejabat yang terkait, dapatlah kiranya timbul perhatian untuk bersama-sama berusaha agar bangunan tugu yang kecil dan sedarhana, tapı mengandung nilai sejarah perjuangan yang patriotik itu dapat dipugar supaya lebih sesuai /dengan makna yang terkandung di dalamnya.

Hal ini kiranya tiada barlebihan bagi kita yang masih dapat menikmati hidup pada masa pembangunan dan telah dapat menikmati hasil perjuangan serta pengorbanan mereka yang telah mendahului kita

Ini semata-mata sebagai tanda penghormatan dan penghargaan kita kepada mereka, seperti apa yang pernah diucapkan orang besar yang pernah saya dangar dan baca yaitu "BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MAU MENGHARGAI JASA-JASA PARA PAHLAWANNYA”. 

BAB II

LATAR BELAKANG

SEJARAH BERDIRINYA TUGU JUANG

DI DESA BLATER. 

A.    Situasi Tanah Air Kita Pada Tahun 1947.

Kiranya kita telah sama-sama maklum, bahwa situasi di Tanah Air kita pada tahun 1947 dalam keadaan bahaya Perang untuk mempertahankan kemerdekaan yang meletus sejak pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945 (sekarang kita peringati sebagai "HARI PAHLAWAN"), belum menunjukkan tanda-tanda menuju perdamaian.

Ini disebabkan Kolonialis Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan kita yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, terus berusaha dengan segala kekuatan militer, politik kejinya, akan menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia bersama TNI sebagai kekuatan intinya. Bagi kami bangsa Indonesia sendiri sudah bulat tekadnya dan semangatnya dengan semboyan “MERDEKA ATAU MATI’; “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA”; dan “DARIPADA DIJAJAH LAGI, LEBIH BAIK HANCUR MENJADI ABU”, untuk tetap mempertahankan kemerdekaan. Memang kita cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan.

Bila dibandingkan persenjataannya antara kita dengan Belanda, memang sangat jauh perbedaannya. Belanda mempergunakan senjata yang modern pada waktu itu, senjata yang digunakan dalam Perang Dunia II, sedang tentara kita senjatanya kecuali terbatas juga senjata hasil rampasan dari tentara pendudukan Jepang.

Lebih-lebih pemuda dan rakyat kita hanya bersenjatakan bambu runcing atau “granggang", pedang, pisau dan lain-lain senjata tajam yang kita miliki. Tapi kita memang telah memiliki senjata yang paling ampuh, yaitu "tekad dan semangat berkorban yang membaja" yang didukung oleh persatuan dan kesatuan yang kokoh kuat serta berlandaskan keyakinan, bahwa kita berada di pihak yang benar".

Itulah sebabnya, walaupun persenjataan Belanda lebih kuat dan modern, serta memiliki tatik kuno yang dianggapnya masih ampuh (mengadu domba dan memecah belah sesama bangsa kita), serta main berunding yang sebetulnya kesempatan untuk menyusun kekuatannya, tetapi kenyataannya selalu kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Indonesia bersama TNI nya.

Akhirnya Belanda mau berunding dengan Republik Indonesia. Tercapailah “PERSETUJUAN LINGGARJATI", YANG DITANDA TANGANI PADA TANGGAL 25 MARET 1947.

Kita sebenarnya telah tahu benar dari pengalaman sejarah dengan kelicıkan taktik Belanda, antara lain berunding itu sebenarnya mengambil kesempatan untuk menyusun kekuatan militernya, yang kemudian menyerang dengan tiba-tiba. 

B.    Aksi Militer Belanda I

Pada bagian yang terdahulu telah saya singgung, bahwa salah satu taktik perang Belanda yang telah dijalankan sejak dahulu ialah memecah belah dan mengadu domba sesama bangsa kita.

Perundingan dimanfaatkan untuk menyusun kekuatan. Membuat pemimpin-pemimpin Boneka. Taktik semacam ini juga diterapkan pada waktu perang kemerdekaan yang lalu.

Belanda rupanya masih meyakini, bahwæ taktik itu merupakan senjata yang ampuh untuk melemahkan kekuatan kita. Rupanya Belanda tidak mau tahu, bahwa Bangsa Indonesia setelah merdeka merupakan bangsa yang telah kenyang dengan pengalaman dan penderitaan sebagai bangsa terjajah, sudah muak dengan politik kolonialis, dan sebaliknya sudah matang jiwa nasionalismenya, sudah matang tekadnya, sehimngga sulit untuk dikuasai lagi baik dengan jalan kekerasan maupun dengan jalan halus yang licik dan tipu muslihat.

Selama perjanjian Linggarjati, kita pun selalu siap dan waspada untuk menghadapi kemungkinan Belanda ingkar janji. Kewaspadaan dan kesiapan ini juga berdasarkan situasi pada waktu itu, yang menunjukkan adanya perbedaan pendapat yang bertentangan, antara pihak Belanda dan RI tentang penafsiran beberapa pasal dari naskah dan perjanjian itu. Keduanya saling berpegang pada pengertiannya masing-masing, sehingga dapat diduga akan dapat menimbulkan kontak senjata lagi.

Dugaan kita tidak meleset, dengan tiba-tiba Belanda mengerahkan seluruh kekuatan militernya, baik di darat, laut maupun di udara untuk menggempur tentara kita dan merebut daerah-daerah yang menurut perjanjian Linggarjati adalah daerah kekuasaan RI (Jawa, Sumatera dan Madura) Peristiwa ini kita kenal dengan “AGRESI MILITER BELANDA I", yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947

TNI kita yang pada waktu itu menghadapi gempuran tentara Belanda yang jauh lebih kuat, baik peralatan maupun personilnya ditambah lagi dengan serbuan yang mendadak, maka kekuatannya menjadi terpecah-pecah.

Maka segeralah disusun taktık baru, sehingga Belanda waktu itu hanya dapat menguasai kota-kota dan jalan raya saja, sedang desa-desa dan pelosok pegunungan masih tetap dikuasai oleh RI/TNI-nya, yang harus berjuang bersama-sama seluruh rakyat

Menurut keterangan yang saya peroleh, pada waktu itu di daerah karesidenan Banyumas terdapat empat batalyon TNI, satu batalyon telah dikirim ke Jawa Barat, untuk membantu daerah pertempuran disana. Tinggal tiga batalyon TNI yang harus bertahan di daerah Banyumas bersama seluruh rakyat (satu batalyon lebih-kurang ada 600 personil).

Perlu diketahui, bahwa peralatan tentara kita pada waktu itu masih sangat sederhana, baik yang berupa senjata maupun alat-alat angkutannya. Maklumlah pada waktu itu kita belum sempat membangun angkatan perang yang tangguh Sebagian besar peralatan yang dimiliki TNI kita merupakan peninggalan pada jaman pendudukan Jepang. 

 

BAB III

DAERAH KARESIDENAN BANYUMAS DISERANG DAN

KOTA KOTANYA DIDUDUKI OLEH TENTARA BELANDA. 

Laporan Kurir

Menurut laporan kurir yang dikirim oleh komandan TNI ke daerah daeralı perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menerangkan bahwa tentara Belanda setelah menduduki kota Cirebon, maka terus bergerak ke timur dan selatan, menyerang kota-kota di daerah Karesidenan Pekalongan.

Dengan demikian Daerah Karesidenan Banyumas tidak akan luput dari serangan Belanda. Maka seluruh kekuatan yang ada segera disiap-siagakan, baik kekuatan militer maupun rakyat.

Di desa-desa para pemuda dilatih, digembleng secara terus menerus dalam taktik dasar perang, diadakan pos-pos penjagaan, pembuatan lubang-lubang perlindungan di setiap pekarangan rumah-rumah penduduk. 

Perang Urat Syaraf.

Sebelum menyerang langsung daerah Karesidenan Banyumas. Belanda rupa-rupanya mengadakan perang urat syaraf, untuk menurunkan mental prajurit-prajurit kita serta untuk membuat rakyat menjadi panik dan ketakutan.

Ini ternyata dari serangan terhadap pertahanan di pantai Nusakambangan/Cilacap oleh kapal perang Belanda, dan sebuah pesawat terbang dapat dihancurkan oleh meriam-meriam tentara kita, walaupun akhirnya pertahanan kita dapat dilumpuhkan oleh pesawat terbang Belanda

Selain itu di daerah perbatasan Kabupaten Purbalingga dan Banyumas tepatnya di desa Banjarsari Kidul Kecamatan Sokaraja, dan Desa Mejingklak Kecamatan Kemangkon, pada hari Selasa Kliwon tanggal 23 Juli 1947 sekitar jam 15.00 WIB juga dijatuhi beberapa buah bom oleh pesawat terbang (bomber) Belanda, sehingga rakyat di daerah sekitarnya memang menjadi panik.

Situasi semakin menjadi mencekam, karena pihak Belanda melalui kaki tangan dan mata-matanya sengaja menyebarkan berita-berita atau isyu-isyu yang membuat rakyat menjadi semakin takut dan panik.

 

 HUJAN PELURU HARI KAMIS WAGE DI DESA BLATER

 Di bagian terdahulu telah saya jelaskan, bahwa kekuatan inti dari TNI kita di daerah Karesidenan Banyumas ada tiga Batalyon. Dua Batalyon diperintahkan untuk bertahan di jalur barat, yaitu di perbatasan Banyumas Pekalongan (daerah Bumiayu). Sedangkan Baliyon IV Cilacap dipersiapkan untuk bertahan di jalur timur, yaitu di daerah perbatasan kabupaten Pemalang - Kabupaten Purbalingga

Untuk terjadinya pertempuran khususnya di desa Blater, akan saya kısahkan agak lebih terinci sebagai berikut: 

a.     Perintah Mayor Wongsoatmodjo

Pada hari Rabu pon tanggal 30 Juli 1947, kira-kira jam 18:00 komandan Bataliyon Cilacap Bapak Mayor Wongsoatmodjo memberi perintah kepada Komandan Kompi Bapak Hardojo (H) dan Komandan Kompi Bapak Idris (I), untuk berangkat bersama ke perbatasan Kabupaten Purbalingga - Kabupaten Pemalang untuk memperkuat pasukan dari Bataliyon I Purbalingga yang telah siap mengadakan pertahanan disana

Pasukan dari dua kompi itu segera berangkat dari Cilacap sekitar jam 20.00, yang dipimpin langsung oleh Danyon (Bp. Wongsoatmodjo) beserta, staf komandannya.

Pasukan itu berangkat dengan menumpang kereta api menuju ke stasiun Purbalingga lewat stasiun Purwokerto (stasiun raya) karena kesulitan bahan bakar (kayu), maka baru jam 4.00 (pagi) kereta api berangkat dari Purwokerto (Hari Kamis Wage, tgl 31 Juli 1947) 

b.     Kereta Api Jerpaksa Berhenti Di Halte Jompo

Sampai di halte Jompo, kereta api terpaksa dihentikan, karena dari tempat itu sudah terdengar rentetan bunyi senapan dan letusan granat serta senjata lainnya, yang terus menerus tak ada benti- hentinya

Saya sendiri (penulis) waktu itu bahkan mulai mendengar rentetan bunyi senapan mulai jam 3.00 waktu sahur, waktu kebetulan hari kesepuluh bulan Ramadhan) seluruh penduduk desa Blater khususnya dari sekitarnya segera bangkit dari tidurnya dan mendengarkan bunyi senapan sambil bersiap siaga.

Para ibu segera pergi ke dapur untuk memasak makanan, untuk persiapan kalau-kalau nanti siang tak ada kesempatan untuk memesak makanan, dan tentu saja hati yang berdebar-debar para pemuda berkeliling kampung untuk membangunkan penduduk yang mungkin masih enak-erak tidur, sambil memerintahkan untuk bersiap-siap, karena menurut kabar pasukan Belanda telah memasuki daerah Purbalingga 

c.      Mengirim Kurir.

Komandan batalyon segera memerintahkan dua orang pasukan untuk mendahului memeriksa dan mencari informasi keadaan musuh, dengan mengendarai sepeda motor kedua kurir tersebut berangkat menuju ke arah utara (ke Purbalingga)

Sementara itu seluruh pasukan diperintahkan turun dari kereta api, untuk bejalan kaki menuju ke utara dan diperintahkan untuk segera mundur ke arah selatan.

Di depan adalah tim dari Kompi H (Hardoyo), disusul oleh tim staf batalyon, kemudian diikuti oleh tim dari Kompi I (Idris), dan di belakang adalah tim peralatan (logistik).

Baru saja sampai di sebelah selatan jembatan Kali Ponggawa, tiba-tiba kurir yang dikirim kembali. Sambil naik sepeda motor, kurir tersebut hanya meneriakkan kata: "Awas, musuh sudah ada di depan"!

Ternyata tak lama kemudian dari arah utara (di desa Kalimanah Wetan) muncullah pasukan Belanda yang berkendaraan teng yang segera menembakkan senapan mesinnya dengan gencar ke arah selatan. Kebetulan pagi itu kabut sangat tebal

Dalam keadaan seperti ini tentu saja tidak ada peluang bagi tentara kita untuk menyusun strategi dan taktik dalam melakukan perlawanan. Satu- satunya cara agar tidak mati konyol adalah dengan mencoba menyelamatkan diri terlebih dahulu.

Tim H yang langsung berhadapan dengan musuh langsung memberanikan diri memasuki sungai Ponggawa (perbatasan desa Blater-Sidakangen). Konvoi Belanda di depannya dikawal kendaraan lapis baja, yang kemudian diikuti ratusan orang, truk penuh pasukan Belanda, tentara Gurka, Anjing-anjing NIKA- nya, terus menghujani peluru ke seluruh penjuru.

Pasukan Kompi I yang berada di belakang, yang tepat di lokasi jalan raya dan pesawahan (tempat terbuka) lebih berbahaya lagi, menghadapi gencarnya tembakan musuh yang sudah membabi, buta. Komandan kompi hanya dapat

memberi komando "tiaraarap"i sini perlu ditambahkan penjelasan, bahwa laras (lup) senjata yang menempel pada teng, meskipun dapat berputar dan dapat diarahkan ke bawah dan ke atas, namun mempunyai “titik sudut mati”, yaitu jika diarahkan ke bawah ada batasnya, sehingga ketika siapa yang lebih dekat dengan bertiarap dapat terhindar dari tembakan.

Di sinilah pasukan dari Kompi I sambil bertiarap terus untuk menyelamatkan diri dari tembakan senapan mesin di teng. Tetapi bagaimana pun mereka mampu bertahan dari berondongan peluru yang menghujani kepala mereka, sehingga ada sebagian pasukan yang tidak tahan dan berusaha menjauhi dari musuh dengan cara berguling ke arah timur jalan menuju persawahan yang saat itu tanaman padi sedang menguning.

Tapi seperti yang saya katakan diatas, kalau di situasi demikian, kalau jauh dari kendaraan teng malah lebih berbahaya. Kenyataannya sebagian besarnya terkena tembakan musuh yang berada lebih jauh dari kendaraan teng.

Setelah iringan kendaraan teng dan pancerwagen berlalu, baru pasukan kita ada kesempatan untuk menjauhi musuh menuju ke arah timur dan masuk ke desa Blater, yang jaraknya dan jalan raya sekitar 500 meter.

Disanalah pasukan kita berkesempatan mengatur posisi untuk mengadakan pembalasan, dengan menembakkan mitraliur dan senapan mesinnya ke arah musuh, yang kebetulan serdadu-serdadu Belanda yang berada dikendaraan truk. Dengan segala kekuatan yang ada, pasukan kita terus mengadakan perlawanan dari sebelah barat jalan raya, di sebelah utara jembatan Ponggawa yang waktu itu tempatnya rendah, lagi rimbun dengan rumpun bambu, dapat dengan leluasa dan jelas menembaki musuh dari bawah, sedangkan musuh tak dapat melihat dimana pasukan kita berada.

Pertempuran sengit berkobar dari jam 06.00 hingga siang hari bertepatan dengan hari Kamis Wage, tanggal 31 Juli 1947, atau tanggal 11 bulan Ramadlan. Pada waktu itulah peristiwa "HUJAN PELURU HARI KAMIS WAGE DI DESA BLATER" benar-benar terjadi.

Betapapun besarnya semangat juang dari pasukan TNI kita, namun karena lokasi dan kekuatan yang sangat tidak seimbang, pasukan kita terpaksa berangsur-angsur harus mundur untuk menghindari korban yang lebih banyak, sebab jika dipaksakan jelas kita sendiri yang akan merugi.

Konvoi pasukan Belanda kecuali personilnya jauh lebih banyak dengan persenjataan yang lebih lengkap dan modern, masih juga dikawal oleh angkatan udaranya dengan pesawat-pesawat tempur yang bercocor merah, meniup-niup, menyambar-nyambar diatasnya, yang jumlahnya cukup banyak, jelas terialu berat untuk menandinginya. Bila diteruskan kecuali pasukan kita tentu akan hancur, juga rakyat, banyak yang menjadi korban, karena Belanda tetap masuk ke daerah Banyumas

Pertempuran baru reda sekitar pukul 11.00 siang. Menurut keterangan dari Bapak Idris (bekas komandan pasukan kita waktu itu) bahwa pihak anak buahnya yang terkena sasaran peluru musuh berjumlah kurang lebih satu peleton (30 sd 40 orang). Diantara sekian banyak yang kena tembakan musuh, yang gugur ada 14 orang prajurit. Ada yang hilang tangannya, kakinya, robek perutnya dan sebagainya, yang sangat mengerikan.

Semua korban segera dimakamkan dengan bantuan penduduk desa Blater dan Sidakangen di makam Desa Blater dan Sidakangen. Sedang yang luka-luka dan masih hidup segera mendapat perawatan di rumah-rumah penduduk. Syukurlah, Alhamdulillah, walaupun waktu itu desa Blater benar-benar hujan peluru, tetapi penduduk desa tak seorangpun yang kena tembakan. Ini berkat pembinaan pada masa-masa sebelumnya khususnya tentang cara-cara menghindari tembakan musuh.

Sekarang, bagaimana pihak musuh (Belanda)? Memang kita tidak dapat tahu dengan pasti. Namun menurut perhitungan, dipihak musuhpun banyak menderita korban. Ini terutama dari pasukan kita yang sempat mengadakan perlawanan disebelah utara jembatan kali Ponggawa, dan yang dapat mengatur posisi "di kali wangan tengah”, sebelah timur jalan raya, dengan mengambil strategi di bawah jembatan kecil kali tersebut. Hanya karena musuh berada di atas kendaraan, maka setiap ada yang kena tembakan terus dapat ditolong dan dirawat di atas kendaraan.

Peristiwa pertempuran di desa Blater yang merupakan salah satu dari ribuan peristiwa serupa yang terjadi di negara kita pada masa perang kemerdekaan telah kita lalui, dan mudah-mudahan tidak terulang kembali. Sebanyak 14 prajurit TNI kita yang gugur dengan tubuh hancur akibat dihujani peluru telah tiada.

Mereka meninggalkan kita dengan senyuman untuk kembali kepada SANG PENCIPTA, setelah memenuhi panggilan Ibu Pertiwi. Mereka rela berkorban, tidak berharap apa-apa dan juga tidak minta dihormati, dihargai apalagi dipuja sebagai “pahlawan”. Mereka hanya berharap doa dari kita yang masih hidup agar mereka di alam baka diampuni dosa-dosanya, dan diterima di sisi-Nya.

Oleh sebab itu untuk mengingat peristiwa yang bersejarah dan heroik, kita semua harus meneruskan cita-cita yang suci dan mulia. Setelah beberapa tahun dari peristiwa itu timbulah gagasan untuk membuat "TUGU PERINGATAN" di desa Blater. Tempat dan peristiwa itu hanya kebetulan saja di desa Blater. Yaitu wilayah Kabupaten Purbalingga, yang mestinya menjadi catatan sejarah, khususnya bagi masyarakat Kabupaten Purbalingga. Tugu peringatan ini sekarang kita kenal dengan nama "TUGU JUANG", merupakan salah satu peninggalan sejarah bagi masyarakat Purbalingga

=== 

BAB IV

PROSES DIDIRIKANNYA TUGU JUANG BỊ PESA

BLATER

A. Akhir Perang Kemerdekaan

Perang kemerdekaan yang berkobar kurang lebih empat tahun lamanya baru berakhir pada tahun 1949, yaitu setelah tercapainya persetujuan dalam konferensi Meja Bundar (KMB) di Deen Haag, negeri Belanda pada 27 Desember 1949.

Hasil persetujuan KMB diantaranya, bahwa Ratu Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Negara Indonesia atas bumi indonesta (kecuali daerah Irian Barat). Memang hasil KMB belum memenuhi kehendak cita-cita Proklamasi, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut persetujuan itu harus berubah menjadi Negara Indonesia Serikat atau RIS, dan terikat oleh suatu ikatan dengan kerajaan Belanda dengan nama Uni Indonesia Belanda dengan ratu Belanda sebagai "lambang" ikatan tersebut

Syukur Alhamdulillah atas perjuangan kita yang diridloi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, maka akhirnya RIS tidak lama umurnya. RIS hanya untuk melengkapi sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, karena pada tanggal 17 Agustus 1950 diproklarnirkan “meleburnya" RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tanggal 17 Agustus kembali mencatat sejarah baru. Memang tanggal 17 Agustus merupakan hari yang keramat, hari besar yang terbesar bagi Bangsa Indonesia. Oleh karenanya setiap tanggal 17 Agustus, baik dimasa sekarang lebih-lebih setelah keadaan aman, tanggal itu selalu kira peringati dengan meriah dan penuh khiumat di seluruh Tanah Air.

Biasanya untuk pelaksanaan peringatan HUT Proklaması itu, ditangani oleh Panitya Khusus yang bersifat permanen, dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah dan desa. Demikian halnya di wilayah Kecamatan Kalimanah, sudah ada panitya HUT Proklaması, sejak HUT yang pertama.

Menjelang HUT Proklamasi yang ke 15 tahun 1960, panitya tingkat Kecamatan Kalımanalı mengadakan sidangnya yang pertama pada tanggal 10 Juli 1960 untuk mempersiapkan peringatan pada tahun itu. 

B. Gagasan Didirikannya Tugu Peringatan di Desa Blater

Dalam rapat plenonya yang pertama itu, salah seorang anggota panitya, yaitu almarhum Bapak Mangun Wiyoto, mantan Kepala SD Rabak mengemukakan gagasannya, agar di desa Blater didirikan Tugu Peringatan untuk memperingati ataupun sebagai simbul, bahwa di desa itu pernah menjadi palagan (ajang) perang antara pasukan TNi dengan serdadu Belanda, sehingga gugurlah 14 orang prajurit disana sebagai "Kusura Bangsa”. Pada waktu itu makam-makam prajurit yang gugur masih berada di pekuburan desa Blater dan Sidakangen

Gagasan Bapak Mangun Wiyoto almarhum ini diterima oleh panitya dengan aklamasi. Pada waktu itu juga kemudian dibentuklah sub panitya yang nantinya bertugas mengurus pendirian tugu itu dan sekaligus berusaha mencari dana. Setelah panitya memutuskan, bahwa panitya tingkat kecamatan akan menyumbangkan dana sebesar 25% dari dana yang dibutuhkan, sedangkan selebihnya diserahkan usahanya kepada pemerintah desa Blater. Kecuali itu, agar diusahakan, agar tugu tersebut dapat direalisir sehingga dapat diresmikan pada HUT Proklamasi yang ke XV tahunn 1960 ini juga. 

C. Tugu Peringatan Dibangun dan Diresmikan Pada Tanggal 17 Agustus Tahun 1960.

Panitya Pendirian Tugu Paringatan tingkat Kecamatan Kalimanah segera menghubungi Kepala Desa Blater, yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Kasrodji (Alm). Oleh Kepala Desa diterima dengan baik dan sanggup mencukupi dana yang dibutuhkan

Setelah mendapat tugas dari panitya, segera Kepala Desa Blater mengadakan musyawarah desa (selapanan) dengan acara tunggal, yaitu untuk memutuskan pengeluaran dana untuk melengkapi biaya pembangunan Tugu Peringatan, yang ditaksir membutuhkan biaya Rp. 100.000,00 waktu itu. Musyawarah memutuskan biaya itu diambilkan uang dari kas Desa.

Segera setelah mendapat konfirmasi, Bapak Kasrodji sendiri yang memimpin pembangunan tugu tersebut bersama tukang batu dari desa Blater sendın yang dipimpin oleh Ki Marta dan desa Blater Dhuwur.

Tugu dapat selesai dengan tepat waktunya. Yah karena kecil dan bangunnya sangat sederhana, seperti yang kita lihat sekarang itu. Tapi pada waktu itu pemikiran kita asal ada ujud bangunan sebagai peringatan peristiwa yang kita anggap sangat penting.

Maka pada Upacara Peringatan HUT Proklaması yang ke XV tahun 1960, oleh panitya tingkat Kecamatan Kalimanah, bersama masyarakat sekitar desa Blater, diresmikanlah Tugu Peringatan Pertempuran Hari Kamis Wage Tanggal 31 Juli 1947, dengan 14 orang prajurit yang gugur dalam pertempuran di lokasi itu.

Sejak itu pada setiap hari Peringatan HUT Proklamasi dan Hari Pahlawan di tempat tugu itu, diadakan upacara mengheningkan cipta untuk memanjatkan doa bagi para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Sayang, mungkin karena kecil dan sederhananya tugu itu, sampai ada sementara orang yang mengira, bahwa tugu itu adalah tugu batas desa

Memang masyarakat desa Blater mengakui, bahwa tugu yang sekecil dan sederhana itu adalah miliknya. Tetapi dilihat dari peristiwa yang disimbulkan dengan tugu tersebut, jelas salah satu peristiwa bersejarah yang menyangkut perjuangan seluruh bangsa Indonesia. Setidaknya ya merupakan peristiwa yang menjadi sejarah Daerah Banyumas, minimal sejarah Daerah Kabupaten Purbalingga.

Oleh karenanya penulis pribadi dan seluruh warga masyarakat Desa Blater, setelah menikmati jaman aman, jaman pembangunan yang hasilnya sudah kita nikmati bersama, mempunyai harapan agar dimasa-masa yang akan datang dapat melihat tugu itu tidak seperti tugu batas Desa, melainkan dapat melihat tugu itu benar-benar sebagai bangunan yang monumental, yang sesuai dengan nilai sejarahnya, sehingga dapat menarik perhatian siapa yang melihatnya, yang pada akhirnya timbul keinginan untuk mengetahuinya

Semoga harapan ini dapat terwujut

Amin! 

BAB V

PENUTUP

Demikianlah penulis telah mengisahkan hal ihwal tentang adanya, tugu peringatan di Desa Blater, Kecamatan Kalimanah, Purbalingga. Semoga dengan tulisan ini dapatlah kiranya menggugah pikiran kita/ingatan kita, terhadap pengorbanan para pahlawan pendahulu kita, serta meneladani sifat-sifat kepahlawanannya, untuk dasar perjuangan kita pada masa pembangunan sekarang ini, sebagai pengamalan Pancasiia menuju cita- cita luhur bangsa, yaitu mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa

===

Semoga bermanfaat

Toto Endargo


 

 

 
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar