Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha
Jataka Tales atau Kisah Jataka adalah cerita-cerita moral dan spiritual yang menggambarkan kehidupan Sang Buddha dalam berbagai reinkarnasi — bisa sebagai manusia, hewan, atau makhluk lain.
Terdapat 547 hingga 550 kisah Jataka dalam tradisi Theravada (Pali Canon), dan masing-masing mengandung pesan moral atau nilai kebajikan seperti kemurahan hati, kebijaksanaan, dan pengorbanan.
Kata "Jataka" berasal dari bahasa Sanskerta (Sanskrit: जातक, Jātaka) dan bahasa Pali, yang merupakan bahasa kuno yang digunakan dalam teks-teks Buddhis awal.
Secara harfiah, "Jataka" berarti "kelahiran" atau "kisah kelahiran." Namun dalam konteks Buddhisme, Jataka merujuk pada kumpulan kisah tentang kehidupan lampau Buddha Gautama sebelum ia mencapai pencerahan.
Relief-relief cerita semacam ini ada di kaki dan tubuh Candi Mendut, bersama cerita lainnya seperti “Angsa dan Kura-Kura” serta “Dua Burung Betet”. Mereka digali dari tradisi Pañcatantra dan Jataka, bertujuan memberikan ajaran moral dan spiritual melalui bentuk visual bagi umat peziarah. Berikut tujuh cerita singkatnya:
Kisah Kura-Kura dan Angsa: Relief Penuh Makna di Candi Mendut
Pada suatu masa, hidup seekor kura-kura di sebuah danau yang mulai mengering karena kemarau panjang. Dua angsa sahabatnya merasa iba dan ingin menolong. Mereka punya rencana cerdik: membawa kura-kura terbang menuju danau lain yang masih penuh air. Mereka menjepit sebatang tongkat dengan paruh mereka, dan kura-kura diminta menggigit bagian tengahnya erat-erat—dengan satu syarat: tidak boleh membuka mulut selama perjalanan.
Ketika mereka terbang melintasi desa dan ladang, orang-orang terperangah melihat pemandangan aneh itu. Ada yang tertawa, ada pula yang berseru kagum. Kura-kura, yang mendengar sorak-sorai dari bawah, merasa bangga. Ia ingin menyombongkan diri dan mengklaim bahwa idenya lah yang cemerlang. Lupa akan perjanjian, ia pun membuka mulut untuk bicara—dan terjatuh dari ketinggian.
Nahas, tubuhnya menghantam tanah. Ia mati seketika dan akhirnya dimangsa serigala.
Relief di Candi Mendut yang menggambarkan kisah ini mengandung pesan mendalam. Kesombongan dan keinginan untuk dipuji bisa membawa kehancuran. Terkadang, diam lebih bijak daripada bicara yang tak perlu. Dalam ajaran Buddha, kisah ini menjadi cermin bagi umat untuk melatih kerendahan hati dan pengendalian diri. Sebuah pengingat sunyi dari masa lalu yang masih relevan hingga kini.
Kisah Brahmana dan Kepiting dalam Kendi: Pelindung Tak Terduga
Di sebuah desa, seorang brahmana hendak melakukan perjalanan jauh melintasi hutan lebat. Ibunya yang sudah tua memperingatkan, “Hutan itu berbahaya, Nak. Banyak perampok dan binatang buas. Bawalah kepiting besar ini dalam kendi berisi air sebagai penjaga.” Meskipun terdengar aneh, sang brahmana menghormati ibunya dan menurut.
Perjalanan dimulai. Ia berjalan menyusuri hutan dengan kendi berisi air dan seekor kepiting besar di dalamnya. Benar saja, di tengah hutan sunyi, seorang perampok muncul, mengacungkan senjata, siap merampas harta dan mungkin membunuhnya.
Namun, saat bahaya mengancam, sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepiting dalam kendi meloncat keluar dan langsung menjepit leher si perampok dengan capitnya yang kuat. Perampok itu berteriak kesakitan dan lari tunggang langgang, meninggalkan sang brahmana yang selamat tanpa luka sedikit pun.
Dengan hati penuh syukur, sang brahmana pulang dan memeluk ibunya. Ia sadar, bukan hanya kepiting yang menyelamatkannya, tapi juga kasih sayang dan nasihat ibunya.
Relief kisah ini di Candi Mendut mengajarkan bahwa nasihat orang tua bisa menjadi pelindung sejati. Kadang, penjaga datang dari hal yang tampak remeh atau kecil. Kepiting dalam kendi menjadi simbol kesetiaan, keberanian, dan mukjizat dari kepercayaan. Sebuah pelajaran bijak dari kisah Jataka yang abadi.
Kisah Brahmana dan Kepiting Sungai: Balas Budi yang Menyelamatkan
Dalam perjalanan spiritualnya, seorang brahmana yang bijak dan penuh welas asih menemukan seekor kepiting yang kelelahan di atas batu, kepanasan dan hampir mati. Tanpa ragu, ia mengambil kepiting itu dan membawanya ke tepi sungai, lalu melepaskannya ke air agar bisa hidup kembali. Setelahnya, sang brahmana beristirahat di bawah pohon rindang di tepi sungai dan tertidur pulas.
Tanpa ia sadari, bahaya mengintai. Seekor ular dan seekor gagak, yang telah lama bersekongkol, melihat brahmana sebagai mangsa. Ular ingin mematuknya, sementara gagak berniat memakan matanya. Namun, rencana jahat itu terdengar oleh si kepiting yang tak jauh dari sana.
Tergerak oleh rasa terima kasih, kepiting pun menyusun siasat. Ia mendekati ular dan gagak, lalu berpura-pura membantu. “Panjangkan dulu leher kalian agar lebih mudah menyerang,” ujarnya licik. Saat keduanya lengah dan menurut, dengan cepat si kepiting mencapit mereka hingga mati.
Brahmana pun terbangun dan selamat dari bahaya, tanpa tahu bahwa nyawanya telah diselamatkan oleh makhluk kecil yang pernah ia tolong.
Relief kisah ini di Candi Mendut menyampaikan pesan mendalam: kebaikan sekecil apa pun tidak pernah sia-sia. Kepiting menjadi simbol balas budi, cinta kasih, dan kekuatan karma. Sebuah pengingat bahwa welas asih sejati akan berbalik menjadi pelindung di saat paling tak terduga.
Kisah Dharmabuddhi dan Dusthabuddhi: Kebenaran yang Tak Bisa Disembunyikan
Dharmabuddhi dan Dusthabuddhi adalah dua sahabat yang pergi berdagang ke negeri jauh. Mereka sukses, memperoleh banyak harta dan sepakat menyembunyikannya di hutan, agar aman hingga mereka kembali ke rumah. Namun, Dusthabuddhi yang berhati busuk diam-diam mengambil semua harta lebih dulu dan, dengan wajah tak bersalah, menuduh Dharmabuddhi sebagai pencuri.
Ia menyeret sahabatnya itu ke pengadilan dan mengusulkan sebuah siasat licik, “Mari kita tanyakan pada pohon saksi di hutan. Ia akan menunjukkan siapa yang mencuri.” Tanpa sepengetahuan siapa pun, Dusthabuddhi telah menyuruh ayahnya bersembunyi di dalam pohon untuk bersuara dan menuduh Dharmabuddhi.
Ketika mereka datang ke pohon itu, terdengarlah suara dari dalam batang, menyebut Dharmabuddhi sebagai pelakunya. Namun Dharmabuddhi, yang bijaksana, merasa ada keanehan. Ia pun berkata, “Pohon ini tidak adil. Jika ia sakti, maka biarlah terbakar.” Api dinyalakan. Ketika bara menyala, ayah Dusthabuddhi panik dan keluar dari dalam pohon, membuka seluruh tipu daya mereka.
Kebenaran pun terungkap. Dusthabuddhi dihukum, dan Dharmabuddhi dibebaskan serta dipulihkan nama baiknya.
Relief kisah ini di Candi Mendut menyampaikan pesan kuat: Kejujuran mungkin diuji, tetapi tidak bisa dikalahkan. Niat jahat, meski disembunyikan rapi, akhirnya akan terbakar oleh kebenaran. Karma akan bekerja sebagaimana mestinya.
Kisah Dua Burung Betet: Cerminan dari Lingkungan Hidup
Dahulu kala, seekor induk burung betet tinggal di hutan bersama dua anaknya. Namun, suatu hari badai hebat memisahkan kedua anak burung itu. Burung pertama terdampar di rumah seorang perampok, tumbuh besar di tengah kekerasan dan kata-kata kasar. Sedangkan burung kedua ditemukan dan diasuh oleh seorang resi—pertapa bijak yang hidup dalam damai dan kebajikan.
Tahun-tahun berlalu, kedua burung tumbuh dewasa. Meski bersaudara, kepribadian mereka berubah sangat berbeda.
Suatu hari, seorang raja tersesat di hutan. Ia tiba di rumah perampok dan melihat burung pertama hinggap di ranting. Betet itu berteriak nyaring, “Cepat tangkap dia! Rampas kudanya!” Raja kaget dan segera melarikan diri.
Tak lama, sang raja tiba di pertapaan. Di sana, burung kedua berkata dengan lembut, “Selamat datang, Tuan. Silakan duduk dan beristirahat. Sang Resi akan segera menyambut Anda.”
Raja tercengang: dua burung yang tampak serupa, namun begitu berbeda sikapnya. Ketika ia bertanya, sang resi menjelaskan, “Keduanya bersaudara. Tapi yang satu tumbuh di tengah kekerasan, yang lain dalam kedamaian. Seperti manusia, burung pun dibentuk oleh lingkungannya.”
Relief kisah ini di Candi Mendut menjadi pengingat bahwa perilaku tidak hanya berasal dari asal usul, tapi dari lingkungan dan pembiasaan. Pendidikan, pergaulan, dan suasana hati akan membentuk ucapan dan tindakan. Sebuah ajaran moral yang tetap relevan hingga kini.
Kisah Mahajanaka Jataka: Pangeran Bijaksana yang Tak Kenal Menyerah
Pada masa lampau, Buddha terlahir sebagai Pangeran Mahajanaka, putra dari Raja Mahasammata, penguasa Mithila yang adil dan bijaksana. Namun, tahta ayahnya direbut secara licik oleh saudaranya sendiri, dan Mahajanaka kecil bersama ibunya harus melarikan diri dan hidup dalam pengasingan.
Meski tumbuh jauh dari istana, Mahajanaka mewarisi kebijaksanaan dan tekad kuat dari garis leluhurnya. Ketika dewasa, ia bertekad merebut kembali kerajaan yang menjadi haknya. Namun ia memilih cara yang terhormat: bukan dengan peperangan, tetapi dengan kemampuan dan kecerdikan.
Untuk mempersiapkan diri, Mahajanaka berdagang ke luar negeri dengan tujuan mengumpulkan kekayaan sebagai modal politik. Namun, nasib buruk menimpanya—kapal yang ditumpanginya karam di tengah lautan. Penumpang lain pasrah diterjang ombak, namun Mahajanaka menolak menyerah. Ia berenang terus-menerus selama tujuh hari tujuh malam, dengan tekad yang tak tergoyahkan.
Melihat semangat dan ketekunan luar biasa itu, Dewi Laut Manimekhala turun tangan. Ia menyelamatkan Mahajanaka dan membawanya ke daratan—tepat di negeri Mithila yang dahulu menjadi tanah leluhurnya.
Pada waktu itu, Raja Mithila yang berkuasa sedang mencari penerus yang layak karena tidak memiliki keturunan. Mahajanaka, dengan kebijaksanaan, sopan santun, dan kecakapannya, berhasil melewati berbagai ujian dan diangkat sebagai raja.
Sebagai penguasa, ia memerintah dengan adil, melindungi rakyat, dan menegakkan kebenaran. Namun seiring waktu, Mahajanaka mulai merenungi kehidupan. Ia sadar bahwa kekuasaan bersifat sementara, dan penderitaan manusia tak akan selesai hanya dengan menjadi raja.
Akhirnya, Mahajanaka melepaskan tahta, meninggalkan kemewahan duniawi, dan memilih hidup sebagai pertapa. Ia mencari makna sejati kehidupan dalam ketenangan batin dan kebijaksanaan.
Pesan Moral: Kisah ini mengajarkan bahwa ketekunan, keberanian, dan kebajikan akan membawa seseorang mengatasi rintangan sebesar apa pun. Kepemimpinan sejati tidak terletak pada kekuasaan, melainkan pada pelayanan dan kebijaksanaan. Dan pada akhirnya, pencarian makna hidup jauh lebih mulia daripada sekadar meraih tahta.
Relief Mahajanaka Jataka yang terpahat di dinding candi seperti Mendut menjadi pengingat abadi akan nilai-nilai luhur ini.
Kisah Suvarnasama Jataka: Bakti Seorang Anak pada Orang Tuanya
Pada suatu masa, Buddha terlahir sebagai Suvarnasama, seorang pemuda berhati mulia yang tinggal bersama kedua orang tuanya yang sudah tua dan buta. Mereka hidup sederhana di dalam hutan, jauh dari keramaian, menjalani kehidupan penuh ketenangan dan kesucian.
Sejak kecil, Suvarnasama menunjukkan kebajikan yang luar biasa. Ia merawat ayah dan ibunya dengan kasih sayang tanpa batas. Setiap hari ia mengambil air dari sungai, mencari buah-buahan dan dedaunan, serta memastikan kedua orang tuanya hidup nyaman meski dalam keterbatasan. Suaranya lembut, tindakannya penuh hormat, dan doanya selalu dipanjatkan demi kesehatan orang tuanya.
Suatu hari, saat mengambil air di sungai, Suvarnasama terlihat oleh Raja Piliyakkha yang sedang berburu. Raja, yang tidak tahu bahwa Suvarnasama adalah manusia, mengira ia adalah makhluk gaib penjaga hutan. Tanpa berpikir panjang, raja memanahnya. Suvarnasama jatuh seketika, terluka parah.
Ketika raja mendekat, ia terkejut mendapati bahwa yang ia panah adalah seorang manusia muda yang penuh welas asih. Dalam keadaan sekarat, Suvarnasama tidak menyimpan dendam. Dengan suara lemah, ia hanya berkata, “Tolong… rawatlah orang tuaku. Mereka buta dan menunggu air yang kubawa.”
Raja terhenyak. Hatinya luluh mendengar permintaan mulia itu. Ia segera pergi ke gubuk Suvarnasama, menemui kedua orang tua yang menanti dalam gelap. Ketika mereka tahu anak tercinta mereka tertembak, jeritan pilu menggema.
Namun karena kekuatan cinta dan kebajikan Suvarnasama yang tulus, keajaiban pun terjadi. Doa orang tua yang begitu dalam menggugah langit. Lukanya sembuh, dan penglihatan kedua orang tuanya pun pulih kembali.
Pesan Moral: Kisah ini mengajarkan pentingnya bakti kepada orang tua (Pāli: mātāpitu upaṭṭhāna), yang merupakan salah satu kebajikan utama dalam ajaran Buddha. Kebaikan yang dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih, akan membuahkan hasil tak terduga. Suvarnasama menjadi simbol cinta tanpa syarat, kesabaran, dan kesetiaan seorang anak, yang kekuatannya mampu melampaui penderitaan dan bahkan membangkitkan keajaiban.
Relief kisah ini di Candi Mendut bukan sekadar cerita indah, tapi pengingat tentang kekuatan kasih sayang dalam bentuknya yang paling murni.
Kisah Hariti: Berjanji Melindungi Anak-Anak, Pelindung Ibu Dan Keluarga.
Hariti adalah sosok yang menarik dalam mitologi Buddhis, dan ia digambarkan secara khas dalam relief Candi Mendut, sebuah candi Buddha yang terletak di dekat Candi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini dibangun sekitar abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra.
Siapa itu Hariti?
Hariti awalnya adalah seorang yakshini (makhluk supranatural perempuan dalam tradisi Hindu-Buddha) yang dikenal sebagai pemakan anak-anak. Namun, setelah bertemu dengan Buddha, ia mengalami transformasi spiritual.
Dalam cerita Buddhis, Hariti menculik dan memakan anak-anak orang lain karena merasa kehilangan empati setelah memiliki banyak anak sendiri. Buddha kemudian "menculik" salah satu anak Hariti, sehingga ia merasakan penderitaan para ibu yang kehilangan anak. Setelah menyadari penderitaannya sendiri dan mendapatkan pencerahan, Hariti bertobat dan berjanji melindungi anak-anak serta menjadi pelindung ibu dan keluarga.
---
Penggambaran Hariti dalam Relief Candi Mendut
Dalam relief di Candi Mendut, Hariti digambarkan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bersama anak-anaknya: Ia tampak duduk anggun dikelilingi oleh beberapa anak kecil yang memanjat tubuhnya atau bermain di sekitarnya. Ini menandakan perannya sebagai pelindung anak-anak dan ibu.
2. Berpakaian anggun: Hariti mengenakan perhiasan dan pakaian bangsawan, mencerminkan statusnya yang tinggi setelah menjadi dewi pelindung.
3. Ekspresi lembut dan penuh kasih: Tidak seperti gambaran awalnya sebagai pemakan anak-anak, relief ini menonjolkan sisi keibuannya—simbol perubahan moral dan spiritual yang telah ia alami.
4. Relief mendetail: Ukiran gaya Jawa Kuno ini menampilkan kehalusan teknik pahat dan detail ornamen khas seni Buddha abad ke-8.
---
Makna Simbolik
Penggambaran Hariti di Candi Mendut bukan sekadar dekorasi. Ia membawa pesan moral dan spiritual tentang:
· Transformasi diri: Dari kejahatan menjadi kebaikan melalui pencerahan.
· Perlindungan dan kasih sayang: Terutama terhadap anak-anak dan keluarga.
· Peran ibu dalam masyarakat: Ia dianggap sebagai lambang ibu ideal yang penuh kasih dan pelindung.
---
Posisi Relief
Relief Hariti di Candi Mendut terletak di sisi samping dinding candi bagian luar. Ia adalah salah satu dari beberapa relief tokoh penting dalam Buddhisme Mahayana yang menghiasi candi ini.
---
Relief sebagai Media Pembelajaran
Relief-relief yang tersebar di kaki dan tubuh Candi Mendut, bersama cerita lainnya seperti “Angsa dan Kura-Kura” serta “Dua Burung Betet”. Mereka digali dari tradisi Pañcatantra dan Jataka, bertujuan memberikan ajaran moral dan spiritual melalui bentuk visual bagi umat peziarah.
Tips Melihat Relief:
· Letaknya di panel-panel kecil di sisi kaki candi; terkadang posisi figur ular, gagak, brahmana, dan kepiting bersusun.
· Perhatikan bagaimana kepiting digambarkan aktif, dengan capit jelas menangkap ular/gagak.
· Relief ini tersusun secara naratif, bak “komik batu”: awal (pertemuan), tengah (rencana jahat), dan akhir (penyelamatan).
Di Candi Mendut, relief-relief di sekitar tangga dan bilik pintu tidak selalu berhubungan langsung dengan satu cerita, melainkan mencakup beberapa kumpulan kisah Jataka (kelahiran Buddha dalam bentuk hewan atau manusia) dan cerita moral lainnya. ===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar