Jumat, 04 Juli 2025

Stop Bullying Sekolah: Saatnya Kita Bela Institusi Pendidikan

 Stop Bullying Sekolah: Saatnya Kita Bela Institusi Pendidikan

Oleh: Toto Endargo

Kita semua sepakat: bullying itu berbahaya. Itulah mengapa kampanye Stop Bullying digalakkan di sekolah-sekolah — demi melindungi siswa dari kekerasan psikologis dan sosial.

Tapi, ada satu bentuk bullying yang kerap diabaikan: bullying terhadap sekolah itu sendiri.

Di era digital, sebuah unggahan sepihak bisa meluluhlantakkan nama baik sebuah sekolah. Tanpa klarifikasi, tanpa data, hanya berdasarkan narasi personal yang kemudian diviralkan. Komentar netizen pun datang berbondong-bondong, menekan, menghujat, bahkan menuntut sanksi — tanpa proses, tanpa tabayyun.

Sekolah bukan hanya bangunan. Di dalamnya ada guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan ratusan siswa lain yang tidak tahu-menahu. Ketika satu isu meledak secara sepihak di dunia maya, seluruh institusi diseret ke medan persekusi. Reputasi hancur, semangat kerja runtuh, dan layanan pendidikan terganggu.

Yang lebih menyedihkan:
Setelah semua itu terjadi, hanya ada satu kata yang datang dari pelaku penyebaran — “maaf.”
Tanpa pertanggungjawaban. Tanpa pemulihan. Dan publik pun sudah terlanjur menghakimi.

Mengapa sekolah — yang seharusnya jadi tempat tumbuhnya etika — justru tak dilindungi dari perilaku tak beretika?

Kita perlu bicara serius tentang ini. Perlu ada Gerakan Stop Bullying terhadap Sekolah, yang membawa tiga agenda utama:

  1. Literasi Etika Digital di Masyarakat
    Bukan semua konten layak diviralkan. Perlu budaya digital yang membedakan kritik membangun dengan ujaran menghancurkan.
  2. Regulasi Perlindungan Institusi Pendidikan
    Sekolah juga berhak atas reputasi baik. Mereka butuh perlindungan hukum dari hoaks, framing jahat, dan tekanan viral yang tidak proporsional.
  3. Jalur Mediasi dan Restorasi Publik
    Jika ada kesalahan, benahi secara adil. Tapi jika tuduhan keliru, harus ada mekanisme yang memulihkan nama baik sekolah secara terbuka.

Kita tidak sedang membela sekolah yang salah. Kita sedang membela hak semua sekolah untuk tidak difitnah. Kita sedang memperjuangkan ruang aman bagi para guru dan pendidik agar tetap bisa bekerja dengan tenang dan bermartabat.

Lembaga publik bukan entitas tanpa wajah. Di dalamnya ada guru, perawat, petugas lapangan, pemikir kebijakan, para relawan — manusia biasa yang bekerja untuk masyarakat. Ketika mereka diserang secara brutal, yang rusak bukan hanya satu nama, tapi juga kepercayaan sosial yang menjadi fondasi kehidupan publik kita.

Sekolah adalah tempat anak-anak belajar adab. Jika kita sendiri memperlakukan sekolah secara semena-mena, apa yang sebenarnya kita ajarkan? Kritik adalah hak. Tapi penghakiman yang merusak bukanlah kebenaran.

Kini saatnya kita bertanya:
Kalau kita sepakat bullying terhadap siswa adalah kekerasan, kenapa kita diam saat lembaga publik dibully tanpa dasar?

Sudah waktunya publik lebih cerdas.
Sudah saatnya sekolah juga dilindungi.
Mari hentikan budaya main hakim digital terhadap institusi pendidikan.
Stop Bullying Sekolah! Sekarang!

Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha

 Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha

Jataka Tales atau Kisah Jataka adalah cerita-cerita moral dan spiritual yang menggambarkan kehidupan Sang Buddha dalam berbagai reinkarnasi — bisa sebagai manusia, hewan, atau makhluk lain.

Terdapat 547 hingga 550 kisah Jataka dalam tradisi Theravada (Pali Canon), dan masing-masing mengandung pesan moral atau nilai kebajikan seperti kemurahan hati, kebijaksanaan, dan pengorbanan.

Kata "Jataka" berasal dari bahasa Sanskerta (Sanskrit: जातक, Jātaka) dan bahasa Pali, yang merupakan bahasa kuno yang digunakan dalam teks-teks Buddhis awal.

Secara harfiah, "Jataka" berarti "kelahiran" atau "kisah kelahiran." Namun dalam konteks Buddhisme, Jataka merujuk pada kumpulan kisah tentang kehidupan lampau Buddha Gautama sebelum ia mencapai pencerahan.

Relief-relief cerita semacam ini ada di kaki dan tubuh Candi Mendut, bersama cerita lainnya seperti “Angsa dan Kura-Kura” serta “Dua Burung Betet”. Mereka digali dari tradisi Pañcatantra dan Jataka, bertujuan memberikan ajaran moral dan spiritual melalui bentuk visual bagi umat peziarah. Berikut tujuh cerita singkatnya:

 

Kisah Kura-Kura dan Angsa: Relief Penuh Makna di Candi Mendut

Pada suatu masa, hidup seekor kura-kura di sebuah danau yang mulai mengering karena kemarau panjang. Dua angsa sahabatnya merasa iba dan ingin menolong. Mereka punya rencana cerdik: membawa kura-kura terbang menuju danau lain yang masih penuh air. Mereka menjepit sebatang tongkat dengan paruh mereka, dan kura-kura diminta menggigit bagian tengahnya erat-erat—dengan satu syarat: tidak boleh membuka mulut selama perjalanan.

Ketika mereka terbang melintasi desa dan ladang, orang-orang terperangah melihat pemandangan aneh itu. Ada yang tertawa, ada pula yang berseru kagum. Kura-kura, yang mendengar sorak-sorai dari bawah, merasa bangga. Ia ingin menyombongkan diri dan mengklaim bahwa idenya lah yang cemerlang. Lupa akan perjanjian, ia pun membuka mulut untuk bicara—dan terjatuh dari ketinggian.

Nahas, tubuhnya menghantam tanah. Ia mati seketika dan akhirnya dimangsa serigala.

Relief di Candi Mendut yang menggambarkan kisah ini mengandung pesan mendalam. Kesombongan dan keinginan untuk dipuji bisa membawa kehancuran. Terkadang, diam lebih bijak daripada bicara yang tak perlu. Dalam ajaran Buddha, kisah ini menjadi cermin bagi umat untuk melatih kerendahan hati dan pengendalian diri. Sebuah pengingat sunyi dari masa lalu yang masih relevan hingga kini.

 

Kisah Brahmana dan Kepiting dalam Kendi: Pelindung Tak Terduga

Di sebuah desa, seorang brahmana hendak melakukan perjalanan jauh melintasi hutan lebat. Ibunya yang sudah tua memperingatkan, “Hutan itu berbahaya, Nak. Banyak perampok dan binatang buas. Bawalah kepiting besar ini dalam kendi berisi air sebagai penjaga.” Meskipun terdengar aneh, sang brahmana menghormati ibunya dan menurut.

Perjalanan dimulai. Ia berjalan menyusuri hutan dengan kendi berisi air dan seekor kepiting besar di dalamnya. Benar saja, di tengah hutan sunyi, seorang perampok muncul, mengacungkan senjata, siap merampas harta dan mungkin membunuhnya.

Namun, saat bahaya mengancam, sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepiting dalam kendi meloncat keluar dan langsung menjepit leher si perampok dengan capitnya yang kuat. Perampok itu berteriak kesakitan dan lari tunggang langgang, meninggalkan sang brahmana yang selamat tanpa luka sedikit pun.

Dengan hati penuh syukur, sang brahmana pulang dan memeluk ibunya. Ia sadar, bukan hanya kepiting yang menyelamatkannya, tapi juga kasih sayang dan nasihat ibunya.

Relief kisah ini di Candi Mendut mengajarkan bahwa nasihat orang tua bisa menjadi pelindung sejati. Kadang, penjaga datang dari hal yang tampak remeh atau kecil. Kepiting dalam kendi menjadi simbol kesetiaan, keberanian, dan mukjizat dari kepercayaan. Sebuah pelajaran bijak dari kisah Jataka yang abadi.

 

Kisah Brahmana dan Kepiting Sungai: Balas Budi yang Menyelamatkan

Dalam perjalanan spiritualnya, seorang brahmana yang bijak dan penuh welas asih menemukan seekor kepiting yang kelelahan di atas batu, kepanasan dan hampir mati. Tanpa ragu, ia mengambil kepiting itu dan membawanya ke tepi sungai, lalu melepaskannya ke air agar bisa hidup kembali. Setelahnya, sang brahmana beristirahat di bawah pohon rindang di tepi sungai dan tertidur pulas.

Tanpa ia sadari, bahaya mengintai. Seekor ular dan seekor gagak, yang telah lama bersekongkol, melihat brahmana sebagai mangsa. Ular ingin mematuknya, sementara gagak berniat memakan matanya. Namun, rencana jahat itu terdengar oleh si kepiting yang tak jauh dari sana.

Tergerak oleh rasa terima kasih, kepiting pun menyusun siasat. Ia mendekati ular dan gagak, lalu berpura-pura membantu. “Panjangkan dulu leher kalian agar lebih mudah menyerang,” ujarnya licik. Saat keduanya lengah dan menurut, dengan cepat si kepiting mencapit mereka hingga mati.

Brahmana pun terbangun dan selamat dari bahaya, tanpa tahu bahwa nyawanya telah diselamatkan oleh makhluk kecil yang pernah ia tolong.

Relief kisah ini di Candi Mendut menyampaikan pesan mendalam: kebaikan sekecil apa pun tidak pernah sia-sia. Kepiting menjadi simbol balas budi, cinta kasih, dan kekuatan karma. Sebuah pengingat bahwa welas asih sejati akan berbalik menjadi pelindung di saat paling tak terduga.

 

Kisah Dharmabuddhi dan Dusthabuddhi: Kebenaran yang Tak Bisa Disembunyikan

Dharmabuddhi dan Dusthabuddhi adalah dua sahabat yang pergi berdagang ke negeri jauh. Mereka sukses, memperoleh banyak harta dan sepakat menyembunyikannya di hutan, agar aman hingga mereka kembali ke rumah. Namun, Dusthabuddhi yang berhati busuk diam-diam mengambil semua harta lebih dulu dan, dengan wajah tak bersalah, menuduh Dharmabuddhi sebagai pencuri.

Ia menyeret sahabatnya itu ke pengadilan dan mengusulkan sebuah siasat licik, “Mari kita tanyakan pada pohon saksi di hutan. Ia akan menunjukkan siapa yang mencuri.” Tanpa sepengetahuan siapa pun, Dusthabuddhi telah menyuruh ayahnya bersembunyi di dalam pohon untuk bersuara dan menuduh Dharmabuddhi.

Ketika mereka datang ke pohon itu, terdengarlah suara dari dalam batang, menyebut Dharmabuddhi sebagai pelakunya. Namun Dharmabuddhi, yang bijaksana, merasa ada keanehan. Ia pun berkata, “Pohon ini tidak adil. Jika ia sakti, maka biarlah terbakar.” Api dinyalakan. Ketika bara menyala, ayah Dusthabuddhi panik dan keluar dari dalam pohon, membuka seluruh tipu daya mereka.

Kebenaran pun terungkap. Dusthabuddhi dihukum, dan Dharmabuddhi dibebaskan serta dipulihkan nama baiknya.

Relief kisah ini di Candi Mendut menyampaikan pesan kuat: Kejujuran mungkin diuji, tetapi tidak bisa dikalahkan. Niat jahat, meski disembunyikan rapi, akhirnya akan terbakar oleh kebenaran. Karma akan bekerja sebagaimana mestinya.

 

Kisah Dua Burung Betet: Cerminan dari Lingkungan Hidup

Dahulu kala, seekor induk burung betet tinggal di hutan bersama dua anaknya. Namun, suatu hari badai hebat memisahkan kedua anak burung itu. Burung pertama terdampar di rumah seorang perampok, tumbuh besar di tengah kekerasan dan kata-kata kasar. Sedangkan burung kedua ditemukan dan diasuh oleh seorang resi—pertapa bijak yang hidup dalam damai dan kebajikan.

Tahun-tahun berlalu, kedua burung tumbuh dewasa. Meski bersaudara, kepribadian mereka berubah sangat berbeda.

Suatu hari, seorang raja tersesat di hutan. Ia tiba di rumah perampok dan melihat burung pertama hinggap di ranting. Betet itu berteriak nyaring, “Cepat tangkap dia! Rampas kudanya!” Raja kaget dan segera melarikan diri.

Tak lama, sang raja tiba di pertapaan. Di sana, burung kedua berkata dengan lembut, “Selamat datang, Tuan. Silakan duduk dan beristirahat. Sang Resi akan segera menyambut Anda.”

Raja tercengang: dua burung yang tampak serupa, namun begitu berbeda sikapnya. Ketika ia bertanya, sang resi menjelaskan, “Keduanya bersaudara. Tapi yang satu tumbuh di tengah kekerasan, yang lain dalam kedamaian. Seperti manusia, burung pun dibentuk oleh lingkungannya.”

Relief kisah ini di Candi Mendut menjadi pengingat bahwa perilaku tidak hanya berasal dari asal usul, tapi dari lingkungan dan pembiasaan. Pendidikan, pergaulan, dan suasana hati akan membentuk ucapan dan tindakan. Sebuah ajaran moral yang tetap relevan hingga kini.

 

Kisah Mahajanaka Jataka: Pangeran Bijaksana yang Tak Kenal Menyerah

Pada masa lampau, Buddha terlahir sebagai Pangeran Mahajanaka, putra dari Raja Mahasammata, penguasa Mithila yang adil dan bijaksana. Namun, tahta ayahnya direbut secara licik oleh saudaranya sendiri, dan Mahajanaka kecil bersama ibunya harus melarikan diri dan hidup dalam pengasingan.

Meski tumbuh jauh dari istana, Mahajanaka mewarisi kebijaksanaan dan tekad kuat dari garis leluhurnya. Ketika dewasa, ia bertekad merebut kembali kerajaan yang menjadi haknya. Namun ia memilih cara yang terhormat: bukan dengan peperangan, tetapi dengan kemampuan dan kecerdikan.

Untuk mempersiapkan diri, Mahajanaka berdagang ke luar negeri dengan tujuan mengumpulkan kekayaan sebagai modal politik. Namun, nasib buruk menimpanya—kapal yang ditumpanginya karam di tengah lautan. Penumpang lain pasrah diterjang ombak, namun Mahajanaka menolak menyerah. Ia berenang terus-menerus selama tujuh hari tujuh malam, dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Melihat semangat dan ketekunan luar biasa itu, Dewi Laut Manimekhala turun tangan. Ia menyelamatkan Mahajanaka dan membawanya ke daratan—tepat di negeri Mithila yang dahulu menjadi tanah leluhurnya.

Pada waktu itu, Raja Mithila yang berkuasa sedang mencari penerus yang layak karena tidak memiliki keturunan. Mahajanaka, dengan kebijaksanaan, sopan santun, dan kecakapannya, berhasil melewati berbagai ujian dan diangkat sebagai raja.

Sebagai penguasa, ia memerintah dengan adil, melindungi rakyat, dan menegakkan kebenaran. Namun seiring waktu, Mahajanaka mulai merenungi kehidupan. Ia sadar bahwa kekuasaan bersifat sementara, dan penderitaan manusia tak akan selesai hanya dengan menjadi raja.

Akhirnya, Mahajanaka melepaskan tahta, meninggalkan kemewahan duniawi, dan memilih hidup sebagai pertapa. Ia mencari makna sejati kehidupan dalam ketenangan batin dan kebijaksanaan.

Pesan Moral: Kisah ini mengajarkan bahwa ketekunan, keberanian, dan kebajikan akan membawa seseorang mengatasi rintangan sebesar apa pun. Kepemimpinan sejati tidak terletak pada kekuasaan, melainkan pada pelayanan dan kebijaksanaan. Dan pada akhirnya, pencarian makna hidup jauh lebih mulia daripada sekadar meraih tahta.

Relief Mahajanaka Jataka yang terpahat di dinding candi seperti Mendut menjadi pengingat abadi akan nilai-nilai luhur ini.

 

Kisah Suvarnasama Jataka: Bakti Seorang Anak pada Orang Tuanya

Pada suatu masa, Buddha terlahir sebagai Suvarnasama, seorang pemuda berhati mulia yang tinggal bersama kedua orang tuanya yang sudah tua dan buta. Mereka hidup sederhana di dalam hutan, jauh dari keramaian, menjalani kehidupan penuh ketenangan dan kesucian.

Sejak kecil, Suvarnasama menunjukkan kebajikan yang luar biasa. Ia merawat ayah dan ibunya dengan kasih sayang tanpa batas. Setiap hari ia mengambil air dari sungai, mencari buah-buahan dan dedaunan, serta memastikan kedua orang tuanya hidup nyaman meski dalam keterbatasan. Suaranya lembut, tindakannya penuh hormat, dan doanya selalu dipanjatkan demi kesehatan orang tuanya.

Suatu hari, saat mengambil air di sungai, Suvarnasama terlihat oleh Raja Piliyakkha yang sedang berburu. Raja, yang tidak tahu bahwa Suvarnasama adalah manusia, mengira ia adalah makhluk gaib penjaga hutan. Tanpa berpikir panjang, raja memanahnya. Suvarnasama jatuh seketika, terluka parah.

Ketika raja mendekat, ia terkejut mendapati bahwa yang ia panah adalah seorang manusia muda yang penuh welas asih. Dalam keadaan sekarat, Suvarnasama tidak menyimpan dendam. Dengan suara lemah, ia hanya berkata, “Tolong… rawatlah orang tuaku. Mereka buta dan menunggu air yang kubawa.”

Raja terhenyak. Hatinya luluh mendengar permintaan mulia itu. Ia segera pergi ke gubuk Suvarnasama, menemui kedua orang tua yang menanti dalam gelap. Ketika mereka tahu anak tercinta mereka tertembak, jeritan pilu menggema.

Namun karena kekuatan cinta dan kebajikan Suvarnasama yang tulus, keajaiban pun terjadi. Doa orang tua yang begitu dalam menggugah langit. Lukanya sembuh, dan penglihatan kedua orang tuanya pun pulih kembali.

Pesan Moral: Kisah ini mengajarkan pentingnya bakti kepada orang tua (Pāli: mātāpitu upaṭṭhāna), yang merupakan salah satu kebajikan utama dalam ajaran Buddha. Kebaikan yang dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih, akan membuahkan hasil tak terduga. Suvarnasama menjadi simbol cinta tanpa syarat, kesabaran, dan kesetiaan seorang anak, yang kekuatannya mampu melampaui penderitaan dan bahkan membangkitkan keajaiban.

Relief kisah ini di Candi Mendut bukan sekadar cerita indah, tapi pengingat tentang kekuatan kasih sayang dalam bentuknya yang paling murni.

 

Kisah Hariti: Berjanji Melindungi Anak-Anak, Pelindung Ibu Dan Keluarga.

Hariti adalah sosok yang menarik dalam mitologi Buddhis, dan ia digambarkan secara khas dalam relief Candi Mendut, sebuah candi Buddha yang terletak di dekat Candi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini dibangun sekitar abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra.

Siapa itu Hariti?

Hariti awalnya adalah seorang yakshini (makhluk supranatural perempuan dalam tradisi Hindu-Buddha) yang dikenal sebagai pemakan anak-anak. Namun, setelah bertemu dengan Buddha, ia mengalami transformasi spiritual.

Dalam cerita Buddhis, Hariti menculik dan memakan anak-anak orang lain karena merasa kehilangan empati setelah memiliki banyak anak sendiri. Buddha kemudian "menculik" salah satu anak Hariti, sehingga ia merasakan penderitaan para ibu yang kehilangan anak. Setelah menyadari penderitaannya sendiri dan mendapatkan pencerahan, Hariti bertobat dan berjanji melindungi anak-anak serta menjadi pelindung ibu dan keluarga.

---

Penggambaran Hariti dalam Relief Candi Mendut

Dalam relief di Candi Mendut, Hariti digambarkan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1.     Bersama anak-anaknya: Ia tampak duduk anggun dikelilingi oleh beberapa anak kecil yang memanjat tubuhnya atau bermain di sekitarnya. Ini menandakan perannya sebagai pelindung anak-anak dan ibu.

2.     Berpakaian anggun: Hariti mengenakan perhiasan dan pakaian bangsawan, mencerminkan statusnya yang tinggi setelah menjadi dewi pelindung.

3.     Ekspresi lembut dan penuh kasih: Tidak seperti gambaran awalnya sebagai pemakan anak-anak, relief ini menonjolkan sisi keibuannya—simbol perubahan moral dan spiritual yang telah ia alami.

4.     Relief mendetail: Ukiran gaya Jawa Kuno ini menampilkan kehalusan teknik pahat dan detail ornamen khas seni Buddha abad ke-8.

---

Makna Simbolik

Penggambaran Hariti di Candi Mendut bukan sekadar dekorasi. Ia membawa pesan moral dan spiritual tentang:

·        Transformasi diri: Dari kejahatan menjadi kebaikan melalui pencerahan.

·        Perlindungan dan kasih sayang: Terutama terhadap anak-anak dan keluarga.

·        Peran ibu dalam masyarakat: Ia dianggap sebagai lambang ibu ideal yang penuh kasih dan pelindung.

---

Posisi Relief

Relief Hariti di Candi Mendut terletak di sisi samping dinding candi bagian luar. Ia adalah salah satu dari beberapa relief tokoh penting dalam Buddhisme Mahayana yang menghiasi candi ini.

---

 

Relief sebagai Media Pembelajaran

Relief-relief yang tersebar di kaki dan tubuh Candi Mendut, bersama cerita lainnya seperti “Angsa dan Kura-Kura” serta “Dua Burung Betet”. Mereka digali dari tradisi Pañcatantra dan Jataka, bertujuan memberikan ajaran moral dan spiritual melalui bentuk visual bagi umat peziarah.

Tips Melihat Relief:

·        Letaknya di panel-panel kecil di sisi kaki candi; terkadang posisi figur ular, gagak, brahmana, dan kepiting bersusun.

·        Perhatikan bagaimana kepiting digambarkan aktif, dengan capit jelas menangkap ular/gagak.

·        Relief ini tersusun secara naratif, bak “komik batu”: awal (pertemuan), tengah (rencana jahat), dan akhir (penyelamatan).

Di Candi Mendut, relief-relief di sekitar tangga dan bilik pintu tidak selalu berhubungan langsung dengan satu cerita, melainkan mencakup beberapa kumpulan kisah Jataka (kelahiran Buddha dalam bentuk hewan atau manusia) dan cerita moral lainnya. ===

Runtuhnya Raja Namrud dari Salinga

 

RUNTUHNYA RAJA NAMRUD DARI SALINGA

Sebuah cerita yang diambil dari kisah perselisihan antara Pangeran Puger di Pleret dengan Amangkurat II di Kartasura hingga runtuhnya Benteng Mesir dan tewasnya Raja Namrud dari Salinga (Slinga), sebuah wilayah di sekitar Desa Onje, Mrebet, Purbalingga.

Perselisihan Pleret - Kartasura

Pangeran Puger adalah penguasa di Keraton Pleret, telah berselisih dengan kakaknya yang bernama Raden Mas Rahmat, raja di Kerajaan Kartasura. Raden Mas Rahmat bergelar Amangkurat II, dikenal juga dengan nama Sunan Amral karena suka memakai pakaian model Admiral (Laksamana) Belanda.

Penyebab perselisihan antara Pleret dengan Kartasura adalah karena Pangeran Puger tidak mau bergabung dengan kakaknya. Pangeran Puger tidak begitu yakin bahwa Raja Kartasura itu adalah kakaknya Raden Rahmat. Berita yang diterimanya, raja yang suka berpakaian admiral itu, sebenarnya adalah anak Cornelis Speelman yang menyamar sebagai Raden Mas Rahmat.

Pangeran Puger Bimbang

Namun setelah tahu, dan yakin bahwa raja Kartasura adalah benar-benar kakaknya Raden Mas Rahmat, yang bergelar Amangkurat II. Pangeran Puger kini menjadi bimbang dan malu untuk tetap bermusuhan dengan kakaknya.

Dan pada saat pergi ke Bagelen; dalam perjalanan melarikan diri dari peperangan, yang terpikir dalam hatinya hanya kakaknya, Amangkurat II itu. Kata-kata dalam hatinya: "Ya, kakakku Sang Prabu, apa kiranya yang harus kuperbuat. Jika aku kembali dan menghadap, malulah kiranya rasa hatiku. Tetapi kalau kami terus bermusuhan, sudah pasti aku akan kalah; bala tentara kakakku sangat banyak. Yang merisaukan hati ialah, bagaimana aku ini selanjutnya; itulah yang membingungkan diriku".

Saran Ke Salinga

Di Bagelen Pangeran Puger lalu berunding dengan pamannya (Pangeran Pamenang) dan adiknya (Arya Panular). Sisa wadya balanya yang masih hidup, beserta para perwiranya, semuanya ikut, dan kini sedang di hadapannya.

Berkatalah Pangeran Puger; "Apa yang akan kita perbuat sekarang?" Pangeran Pamenang berkata lirih: "Anak Prabu barangkali sudah tahu, bahwa di daerah Salinga ada orang yang menjadi raja, orang itu sangat sakti dan gagah berani. Bila sempat, sebaiknya Anda temui dan sekaligus minta pertolongannya. Jika orang itu dapat menyelesaikan tugasnya, janjikan akan diberi hadiah sepantasnya nanti; kalau perlu dijadikan raja yang besar”.

Semua perwira menyetujui usul yang dikemukakan itu. Dan Pangeran Pamenang berkata lembut: "Jika ingin menandingi kakak paduka dalam peperangan, marilah kita coba sekali lagi dengan bantuan dari Salinga."

Maka Sang Pangeran Puger segera meninggalkan Bagelen; semua wadyabala ikut serta. Mereka berangkat ke Salinga, jalannya cepat, karena ingin lekas sampai.

Bertemu Raja Namrud

Wilayah Salinga, rajanya bernama Raja Namrud, raja di daerah Tengahan Ledhok (Lembah Sungai Klawing) semua orang tunduk mengabdi, dan mengakuinya sebagai raja.

Ketika Raja Namrud mendengar berita bahwa Pangeran Puger kalah perang dan akan mengungsi kepadanya. Raja Namrud lalu mengumpulkan wadya balanya, memasang lambang kebanggaan negara, sebuah bendera yang diberi nama Umbulwaring, (umbul atau bendera ini dibuat dari semacam bahan karung yang sangat halus).

Yang mengabdi kepada Raja Namrud, jumlahnya sekitar duaribu orang; mereka mau menjumpai Pangeran Puger. Sang Pangeran Puger pun sudah tiba di Salinga, Raja Namrud menyambutnya, dan ketika keduanya telah saling berhadapan, seraya keduanya memberi salam satu sama lain.

Kesanggupan Raja Namrud

Raja Namrud segera merangkul: "Duh anakku Sang Bagus, orang agung yang gagah berani, hanya satu cacadnya, kamu telah telah kalah perang. Wajahmu cakap seperti Sang Arjuna. Sebaiknya mengungsi pada bapakmu ini dulu. Tadinya kamu memang sudah menang perang, tinggal duduk berongkang kaki sambil mengumpani binatang peliharaan. Andaikata aku tempo hari ikut membantu perang melawan Belanda, semua musuhmu hanya seperti gurem saja, kutepok begitu, musuh pasti juga sudah pergi."

Mereka lalu masuk ke istana Raja Namrud di Mesir, dan kini semua telah duduk bersama. Pada akhirnya Raja Namrud menyanggupi untuk mengalahkan Raja Kartasura, tetapi nanti bila waktunya telah tiba.

 

Kekesalan Pangeran Puger

Atas kesanggupan tersebut, Raja Namrud lalu dimanjakan, diberi istri yang cantik-cantik, putri-putri dari kalangan sanak kerabat Mataram. Namun pada akhirnya Pangeran Puger menjadi kecewa. Sebab bila Raja Namrud diajak maju untuk ikut dalam peperangan, Raja Namrud selalu menunda-nunda, tak ada ketentuan sama sekali.

Maka hati Sang Pangeran Puger menjadi kesal, merasa selalu ditangguh-tangguhkan. Namun Pangeran Pamenang selalu membujuk dengan sangat "Jika Anak Prabu kurang puas dan tidak sabar. Sebaiknya tindakan Raja Namrud dituruti saja, biar ia tetap menjadi kawan kita."

Pangeran Pamenang Membelot

Sang Prabu Ngalaga, Pangeran Puger lalu berada kembali di Pleret, ibukota Mataram, sebelum pindah ke Kartasura, genap setengah bulan lamanya. Orang Mataram banyak yang berdatangan, semuanya dikerahkan, dipersenjatai untuk berperang melawan Kartasura. Pangeran Arya Panular ditunjuk kembali memimpin pasukan dan harus mengikuti kakaknya kemana saja pergi.

Sedangkan Pangeran Pamenang masih tinggal di Salinga dengan barisannya bersama Raja Namrud. Dikandung maksud oleh Raja Namrud, Pangeran Pamenang akan dijunjung dan dinobatkan menjadi raja Kartasura. Oleh karenanya Pangeran Pamenang menurut saja apa yang dikatakan oleh Raja Namrud.

Kartasura Terkepung

Terceritalah Pangeran Puger, segera berangkat dari Mataram, maksudnya mau menggempur Kartasura. Kini pasukannya cukup besar, prajuritnya banyak, dipimpin oleh Ki Arya Surajaya.

Arya Tambakbaya pun telah menggempur barisan Kartasura yang ada di Desa Pokok. Barisan Kartasura menjadi ambyar berlarian, dikejar oleh wadyabala Mataram hingga sampai di daerah Dreksana, namun tetap diusir kemana saja mereka lari, mereka terus buyar berlarian.

Sampailah mereka sekarang di daerah Sagung, dan telah memasuki telatah Kartasura. Sang Nata Ngalaga (Pangeran Puger) dengan semua barisannya, kini telah mengepung Negara Kartasura.

 

 

Di Kartasura, Raden Anrangkusuma datang menghadap Raja Amangkurat II, sambil menyembah kaki Sang Raja, mengusap debu, ia berkata: "Gusti, hamba memberitahukan bahwa adik paduka, Prabu Ngalaga, Pangeran Puger, kini telah mengepung kota. Dan di Sagunglah, pesanggrahan adik paduka itu”.

Pleret – Kartasura Berdamai

Setelah berpikir sejenak Raja Amangkurat II lalu memanggil Adipati Urawan. Setiba Urawan ada di hadapannya, Prabu Amangkuat II berkata: "Hai, Urawan, kemari dan dengarkan. Anda kuutus sebagai duta untuk melunakkan hati adikku. Bawalah serta seorang pembantu, dan anda lebih baik menyamar."

Tugas Adipati Urawan untuk melunakkan hati Pangeran Puger berhasil. Pangeran Puger berkirim surat yang isinya merasa bersalah, takluk dan bersedia jika akan mendapat hukuman apapun dari kakaknya.

Ketika mengetahui isi surat adiknya, maka rasa hati Sang Raja Amangkurat II seperti dihahit-jahit. Sang Raja lalu berkata lirih: "Perintahkan kepada seluruh wadyabala, aku akan menjemput adikku, aku akan berangkat ke Sagung pada hari Senin.

Sampailah mereka di Sagung, dan kemudian berdua memasuki telatah Kartasura, dan masuk ke istana. Di hari berikutnya Pangeran Puger berkata: "Hamba ini, kakanda, sebelumnya telah berdiri sebagai raja di Mataram, dengan gelar Sunan Ngalaga. Kini, kalau nama itu masih tetap pada hamba, kiranya akan merendahkan derajad Negara kakanda di Kartasura."

Sang Raja Amangkurat mendengar kata-kata itu, merasa sangat girang dan berkata: "Aduhai, adikku, anda sungguh benar, mengatakan demikian itu kepadaku. Bila demikian, adikku dapat kembali ke nama lama, yaitu Pangeran Adipati Puger." Sang adik mengucapkan terimakasih, dan berkata sedia kembali pada nama Pangeran Adipati Puger, tersebut.

Menuju Salinga

Katanya Pangeran Puger selanjutnya: "Kini ada hal lain yang ingin hamba bicarakan dengan kakanda. Para bupati pesisir di sebelah barat, telah disiapkan untuk menyerang Salinga."

Para Adipati itu akan menyerang Salinga, bahkan kini mereka sudah mulai bergerak. Pasukan dipimpin oleh Adipati Tegal, Ki Tumenggung Mangkuyuda, bersama dengan Natayuda, yaitu adik Adipati Suranggakara.

Lalu diceriterakan tentang tekad Raja Namrud yang ingin melawan Kartasura dan ingin menjadikan Pangeran Pamenang sebagai raja. Maka titah Amangkurat II agak keras: "Bila si Namrud kalah perang, anak cucunya agar ditumpas semuanya. Yang laki-laki jangan ada yang ketinggalan; dan yang perempuan semuanya harus diboyong dibawa ke Kartasura."

Sementara itu wadyabala yang berangkat, jumlahnya tak kurang dari enam ribu orang. Semuanya bersenjata tombak dan senapan, di samping para pemikul bekal-bekalnya. Akhirnya mereka telah tiba di wilayah Tengahan Ledhok, tempat yang dituju. Segera menyusun dan menata barisan.

Benteng Mesir Rusak

Raja Namrud yang telah mendengar bahwa wadya Kartasura sudah sampai dan siap menyerang. Maka bersiap-siaplah Raja Namrud beserta para bala prajuritnya, telah pula bersiaga untuk bertahan di dalam Benteng Mesir.

Orang pesisir telah mengepung Salinga dengan rapat, para adipati ikut terjun sendiri dalam perang. Kedua pasukan pun telah mulai bertempur dengan berani; bunyi pertempuran sangat dahsyat. Para adipati memberi tanda menyerangan, semua wadyabala bergerak maju.

Orang Salinga bertahan sekuat-kuatnya. Raja Namrud dengan Pangeran Pamenang, keduanya, berbarengan maju perang. Peperangan berlangsung sangat hebat; Semuanya berusaha memperlihatkan keberanian serta ketangkasannya. Raja Namrudpun demikian pula.

Banyaknya musuh yang dibantu oleh prajurit Belanda dengan pesenjataan yang lebih maju, pertahanan yang dilakukan dari dalam di benteng Mesir pun jebol. Prajurit musuh memasuki dalam benteng, menghancurkan perlawanan pasukan Salinga. Barangkali memang segala-galanya telah menjadi kehendak Tuhan, Mesir, Salinga, hancur.

Raja Namrud Terbunuh

Wadyabala Raja Namrud banyak yang tewas; hampir seluruhnya ditumpas lawan. Senjata beserta peluru lawan tak tertahankan, semua barisan Salinga telah rusak dibobol lawan dan para adipati pembantunya lari bertunggang-langgang. Raja Namrud akhirnya tertangkap juga; dihujani senjata hingga tewas.

Pangeran Pamenangpun telah pula tertangkap; dan kemudian dihujani senjata oleh para adipati dari Kartasura. Pangeran Pamenang telah mati dibunuh, dan tak ketinggalan pula Adipati Kamandungan.

Pembasmian Generasi Raja Namrud

Semuanya telah ditumpas bersih. Walaupun masih anak, kalau lelaki semuanya dibunuh; kalau perempuan dikumpulkan untuk dibawa. Seusai peperangan, semua perwira Kartasura lalu kembali; segera berangkat dari Salinga dengan membawa rampasan dan mengiringkan para perempuan yang diboyong. Berakhirlah keberadaan Raja Namrud dari Salinga beserta para rakyatnya.

Ada seorang gadis Onje yang ikut terboyong ke Kartasura, yang pada akhirnya nanti akan menjadi duri petaka di Istana Kartasura. Keberadaan gadis Onje ini akan menjadikan Pangeran Puger menderita batin seumur hidup dan dendam kesumat yang tak berkesudahan.

Demikianlah sedikit cerita tentang perselisihan kakak beradik, antara Pangeran Puger dengan Raden Mas Rahmat, sampai kepada runtuhnya penguasa Salinga (Slinga) sang Raja Namrud.

Semoga bermanfaat

Salam

.

Toto Endargo