MANGUNEGARA,
CITRAKUSUMA, BANAWATI
Toto Endargo
---
Betapapun sederhananya cerita yang
tersaji ini, setidaknya akan menjadi bacaan bagi para anak cucu di jaman
milenial untuk mengenal asal-usul dirinya dan tanah yang telah melahirkan para
nenek moyang mereka, Mangunegara, Citrakusuma dan Banawati.
---
Mangunegara,
Citrakusuma, Banawati adalah nama-nama dusun yang berkaitan erat dengan
keberadaan nama Desa Onje. Onje kini adalah nama sebuah desa. Desa istimewa
karena punya kedudukan khusus dalam rentang perjalanan sejarah berdirinya
Kabupaten Purbalingga. Dalam cerita Adipati Onje tersurat pula bahwa ada dua
nama putra Adipati Anyakrapati yaitu Raden Mangunjaya dan Raden Cakrakesuma.
Ada sebuah nama lagi yang jarang disebut yaitu Rara Banawati. Kini ketiga nama
tersebut menjadi nama tiga dukuh, gerumbul dalam suatu wilayah desa.
Mangunjaya
menjadi nama dukuh Mangunegara, sedang Cakrakesuma menjadi dukuh Citrakusuma, keduanya
menjadi bagian dari Desa Mangunegara. Sedang Rara Banawati menjadi dukuh
Banawati bagian dari desa Onje.
Berikut
ini adalah cerita yang sempat terceritakan oleh Eyang Putri Dasiyem Wiryodiharjo
di sekitar tahun 1966-an. Saya sering diceritani berbagai cerita dari yang
berbentuk legenda, horor sampai dengan kisah yang beliau ketahui dan alami
sendiri.
Mangunegara
Desa
Mangunegara adalah desa yang menjadi ibukota kecamatan Mrebet. Desa Mrebet
sendiri jaraknya dari Mangunegara sekitar tiga kilometer. Kenapa diberi nama
Kecamatan Mrebet, tidak Kecamatan Mangunegara? Rupa-rupanya dulu desa Mrebet
lebih terpandang, dibandingkan dengan desa Mangunegara.
Desa
Mangunegara memiliki batas desa yang cukup jelas, terutama untuk batas di sebelah
utara dan di sebelah selatan. Sebelah utara dibatasi oleh alur Sungai Pingen,
sebelah selatan oleh alur Sungai Lembarang. Batas sebelah barat berbatasan
dengan Desa Karangnangka. Batas sebelah timur berbatasan dengan Desa Onje dan
Desa Karangturi.
Desa
Mangunegara tanahnya subur sebab jalur pengairan sangat mudah. Di samping dua
sungai sebagai pengapit desa, di tengah desa juga dibelah dan dialiri oleh Sungai
Ganda dan Sungai Paku. Sedikitnya ada lima parit pengairan, parit irigasi atau
jaman dulu disebut “wangan”.
Wangan
Wangan
adalah istilah untuk parit atau anak sungai sebagai saluran irigasi. Dari utara
ada Wangan Kucel, mungkin hasil membendung sungai Pingen, dulu airnya sangat
bening, gemrenjeng. Wangan ini mengaliri
wilayah Dusun Mangunegara. Lalu Wangan Jambangan, membendung Kali Ganda, mengaliri
wilayah dusun Serang, sampai Citrakusuma. Wangan Pucung yang juga dari bendungan
di Kali Ganda mengairi wilayah Dusun Mangunreja dan Citrakusuma. Membendung
Sungai Lembarang ada dua wangan, Wangan Pasar Karangnangka yang mengairi
wilayah Dusun Karangmangu dan Wangan Pringgo (dekat rumahnya Pak Pringgo) yang
mangairi wilayah Dukuh Kedempel sampai ke Wilayah Desa Karangturi. Sungai di
bendung, jadilah bendungan dan dikenal dengan nama “dhawuhan”.
Dhawuhan
Dhawuhan
dari kata “dhawuh” yang berarti perintah. Karena Pulau Jawa adalah wilayah
agraris, mengutamakan pertanian, sehingga jaman dulu para pejabat sangat
mengutamakan irigasi. Pejabat kalau paring dhawuh, memberi perintah kepada
rakyatnya yang petani, seringnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan
pertanian, khususnya hal irigasi, yaitu membuat atau memperbaiki bendhungan beserta
salurannya. Dari kebiasaan inilah dapat ditengarai bahwa jika ada perintah,
atau dhawuh dari pejabat, dapat dipastikan untuk mengurusi masalah bendungan,
dari kebiasaan tersebutlah kata dhawuhan
menjadi nama hasil pekerjaan mereka membendung sungai, membuat saluran irigasi.
Dhawuhan yang cukup dikenal di Desa Mangunegara adalah Dhawuhan Kedhung Keder.
Dan di atas aliran Kedhung Keder ada satu bendhungan lagi yaitu bendungan Kedhung
Mindren.
Dusun
Dusun
adalah gerumbul pemukiman. Jaman dulu ketika penghuni desa tidak sebanyak
sekarang, desa hanya terdiri dari dua hal yaitu gerumbul pemukiman dan
pesawahan/ladang. Pekarangan ada di samping-samping rumah penduduk. Secara umum
sebuah desa terdiri dari beberapa gerumbul. Tiap gerumbul ada beberapa puluh
rumah yang letaknya pasti tidak berimpitan, tidak ada tembok keliling.
Gerumbul-gerumbul inilah yang sekarang disebut sebagai dusun, bagian dari
sebuah desa. Adapun nama dusun-dusun di desa Mangunegara adalah: Dusun
Mangunegara, Citrakusuma, Serang, Jambangan, Mangunreja, Karangmangu,
Kedhempel, dan Mangunargo.
Tahun
1970-an Lurah Mangunegara saat itu, Bapak Ngudihardjo memberi beberapa nama
dusun yang saat itu belum mapan, nama dusun yang diberikan oleh Bapak
Ngudiharjo adalah Mangunreja untuk wilayah yang dulu disebut Prapatan atau
Pasar Karangnangka atau juga Besetan. Mangunharjo untuk wilayah pertigaan Mangunnegara
yang dikenal dengan nama Kucel, Mangunargo untuk wilayah Pengalang-alangan.
Nama
lain yang diresmikan adalah nama makam. Makam di dusun Mangunegara diberi nama Mangunkusuma,
makam di dusun Citrakusuma diberi nama Kusumanegara. Lapangan sepakbola diberi nama
Lapangan Mangunjaya
Cipaku
Nama
Cipaku tidak akan lepas dari cerita tentang Onje. Mangunegara dan Citrakusuma juga
tidak lepas dari cerita Kadipaten Onje. Bahwa istri pertama Adipati Onje II,
yang bergelar Adipati Anyakrapati, adalah Dewi Pakuwati, putri Adipati Cipaku.
Cipaku
adalah wilayah yang sejak kuno menjadi tempat para penguasa hadir menjelajah
negeri. Di dukuh Pengebonan ada arca Ganesha sebagai simbol penguasaan ilmu pengetahuan,
ada pula Prasasti Batu Tulis sebagai catatan sejarah penanda kekuasaan
Di
dusun Bata Putih ada lingga dan yoni. Nama Cipaku sendiri mengingatkan
nama-nama dalam wilayah Kerajaan Pajajaran, mengguanakan awalan ci, seperti
kebanyakan nama di tanah Pasundan. Jadi Cipaku adalah sebuah kadipaten yang tentu
punya nama besar di jamannya, tempat yang cukup mendapat perhatian oleh kerajaan
besar.
Ada
dua buah sungai yang mengalir ke wilayah Mangunegara yang berawal dari wilayah Cipaku,
yang satu diberi nama Sungai Paku, yang satunya Sungai Ganda. Sungai Ganda
mengalir ke timur sejajar dengan Sungai Paku dan akhirnya menyatu di Dusun Jambangan.
Terus mengalir ke timur dengan menggunakan nama Sungai Paku membelah desa Mangunegara
dan akhirnya bermuara di Sungai Pingen, di desa Onje.
Putri
Adipati Cipaku yang bernama Dewi Pakuwati, diperistri oleh Adipati Onje II menurunkan
tiga orang anak yaitu Raden Mangunjaya, Raden Cakrakesuma dan Rara Banawati. Sebagai putra-putri
adipati maka ketiganya diberi tempat khusus, diberi semacam tempat tinggal dan
sedikit wilayah kekuasaan.
Raden
Mangunjaya ditempatkan di sebelah utara Sungai Paku, kini dikenal dengan nama Dusun
Mangunegara. Raden Cakrakesuma dibuatkan tempat tinggal di selatan Sungai Paku,
kini dikenal dengan nama Dusun Citrakusuma. Dan Rara Banawati di selatan Sungai
Pingen dekat Sungai Klawing, dan kini disebut sebagai dusun Banawati. Konon
kedua putra Adipati Onje ini sering bertengkar, sulit untuk saling mengalah.
Dua Pamali
Suatu
hari keduanya ingin sowan ke Onje, menghadap ayahnya Adipati Anyakrapati. Keduanya
senang naik kuda. Raden Cakrakesuma naik kuda dari Citrakusuma menuju Mangunegara
menyeberangi Sungai Paku. Raden Cakrakesuma bermaksud menjemput kakaknya di Mangunegara
untuk pergi bersama ke Onje. Keduanya bertemu di dusun Mangunegara. Setelah
berbincang sejenak lalu keduanya sama-sama naik kuda berjajar menuju Onje.
Dalam perjalanan keduanya terlibat saling mengejek. Perjalanan ke Onje lewat
dusun Pengalang-alangan yang jalannya sempit. Karena jalannya sempit maka kedua
kuda tidak mungkin jalan berjajar.
Sang
adik menyarankan kakaknya jalan di depan. Alasannnya yang tua harus mendapat
kehormatan jalan di depan. Kakaknya tidak mau, justru menyarankan sang adik
jalan di depan. Alasannya yang tua harus mengawasi yang lebih muda. Sang
adikpun ngotot tidak mau jalan di depan kakaknya, merasa tidak sopan, masa yang
muda membelakangi yang tua. Akhirnya karena desakan kakaknya. Raden Cakrakesuma
yang lebih muda, mau berkuda di depan kakaknya. Tapi tetap berusaha untuk tidak
membelakangi kakaknya. Supaya tidak membelakangai kakaknya maka Raden
Cakrakesuma, cara duduk di atas kudanya, dengan posisi menghadap ke kakaknya,
seperti berjalan mundur. Bahkan tetap seprti berjalan mundur ketika kuda turun
ke sungai Pingen, menyeberangi sungai dan menaiki tebing sunagi di sebelah
Masjid Onje. Sampailah keduanya di kompleks Kadipaten Onje.
Kebetulan
ayahnya sedang ada di depan pendapa kadipaten sehingga sempat memperhatikan
polah kedua anaknya itu. Memperhatikan posisi duduk Raden Cakrakesuma Sang
Adipati Anyakrapati tertegun. Sejenak memperhatikan dan merenungi cara berkuda Raden
Cakrakesuma. Setelah keduanya sampai di depannya, Sang Adipati Anyakrapati
menegur kedua anaknya itu. Ada rasa kecewa yang terpancar dari wajahnya.
“He,
Cakrakesuma, melihat cara kamu naik kuda tadi, dengan posisi menghadap ke
belakang, sehingga tampak seperti berjalan mundur, perilakumu itu seperti
perilaku orang yang kurang waras. Dengarlah dan ingatlah! Bahwa nanti setiap
kali, di dusunmu akan ada orang yang menderita seperti orang kurang waras!”
ucap Sang Adipati kepada Raden Cakrakesuma.
“Dan
kau Mangunjaya! Karena kau memilih berjalan di belakang maka akibatnya orang-orang
di wilayahmu akan di belakang kemajuan orang-orang di wilayah adikmu!”
Demikianlah
semacam kutukan dari Adipati Anyakrapati kepada kedua putranya. Mangunegara dan
Citrakusuma memang menjadi wilayah sendiri-sendiri, dua pemerintahan yaitu Kelurahan
Mangunegara dan Kelurahan Citrakusuma.
Hingga
pada saat pemerintah Belanda mendirikan satu sekolahan, Sekolah Rakyat (SR),
ternyata didirikannya di Desa Citrakusuma. Nomenklaturnya Sekolah Rakyat
Citrakusuma, bukan Sekolah Rakyat Mangunegara. Nama Sekolah Rakyat Citrakusuma
diganti menjadi Sekolah Dasar Mangunegara mulai sekitar tahun 1970-an. Dengan
adanya sebuah sekolah di Citrakusuma ini maka banyak anak Citrakusuma yang
masuk sekolah dibandingkan dengan anak anak dari Mangunegara. Barangkali inilah yang menjadikan dahulu anak-anak Dusun
Citrakusuma dalam bidang akademis lebih maju dibanding anak-anak dari Dusun Mangunegara.
Dan masalah setiap kali ada warga Citrakusuma yang dapat perilakunya dinilai
agak “slentha”, biarlah warga Citrakusuma
sendiri yang mencari kebenarannya.
Konon!
Demikianlah cerita nenek saya hal polah kedua putra Adipati Onje II itu yang
melatar belakangi dua pamali, wewaler untuk wilayah Mangunegara dan Citrakusuma.
Benarkah
setiap kali di dusun Citrakusuma ada orang yang sedikit kurang waras?
Benarkah
orang Citrakusuma lebih maju dibanding orang Mangunegara?
Wallahu
a’lam bish-shawab, dan Allah maha tahu yang benar dan yang sebenarnya.
Rara Banawati
![]() |
Makam Rara Banawati |
Putra ketiga Adipati Onje dari Dewi Pakuwati adalah adalah putri, Rara Banawati. Rara Banawati dengan pembawaaannya yang sederhana, lestari menjadi dewasa dan diberi wilayah di sebelah barat sungai kalawing di selatan sungai pingen, kini di kenal sebagai dusun banawati
Rara
Banawati suka mencari ikan di sungai, maka ia memiliki peralatan untuk mencari
ikan seperti wwuwu (bubu) yang ada ijepnya, sebagai alat penangkap ikan. Ijep
adalah pintu bubu dari bambu yang dibuat sedemikian rupa sehingga kalau ikan
sudah masuk bubu dia tidak bisa lagi keluar. Celik adalah wuwu tapi kecil,
kembu adalah alat untuk mengumpuljan ikan hasil tangkapan.
Rara
Banawati suka beribadah maka dibuatkan sebuah langgar di dusunnnya. Langgar
dibuat dari papan kayu dan atap ijuk. Langgar atau surau di buat berkolong,
punya longan, sehingga kalau orang mau sholat harus sedikit naik tanggga. Dulu
namanya langgar sekarang orang cenderung menamainya mushola.
Sebagai
wanita Rara Banawati juga suka masak. Terutama masak sayur pare. Di kebun
miliknya banyak ditanami pohon pare. Pare adalah tanaman sejenis sayuran. Buah
pare rasanya cenderung pait. Karena pare menjadi tanaman istimewa bagi Rara
Banawati maka pare yang rasanya pait itu, dijadikan sebagai sarana penyembuh
bagi warga dusun Banawati yang sakit, terutama untuk anak-anak.
Makam Rara Banawati
Setelah
Rara Banawati meninggal, kembali menghadap Yang Maha Kuasa, Rara Banawati minta
tetap berada di dusun Banawati. Sehingga beliau dimakamkan di dusun Banawati. Kini
makam Rara Banawati berada di sebelah utara langgar, dekat mushola, berada di
bibir tebing Sungai Pingen.
Hanya
ada satu makam, sendirian, di samping sebuah rumah, dekat tritisan, tampak
terpelihara namun karena dekat dengan kandang ayam, maka setiap kali ayamnya
mengadakan seminar atau arisan dilakukannya di atas makam.
Posisinya
hanya setengah meter dari bibir tebing. Jika tebingnya longsor, rasanya makam
ini pun akan ikut longsor. Nisan makam Rara Banawati sangat sederhana terbuat
dari batu biasa. Ada sebuah batu tatah yang bersandar di batu nisannya, konon
batu tatah ini beberapa kali pernah jatuh ke jurang di tebing sebelahnya, namun
ajaib selalu saja batu tatah ini kembali lagi ke tempat semula, bersandar di
batu nisan yang dari batu bulat. Barangkali batu tatah ini adalah nisan asli
dari makam Rara Banawati.
Begitu
sederhananya hidup Rara Banawati sampai-sampai beberapa asesorisnya sebagai
putri adipati disimpan di dalam sebuah kembu. Kembu adalah alat penampung ikan
hasil tangkapan. Kembu terbuat dari anyaman bambu. Ada satu kembu yang
dipercaya menjadi peninggalan Rara Banawati, yang masih tersisa. Kini disimpan,
cemanthel di tempat pengimaman
mushola dukuh Banawati. Keadaannya sudah sangat rapuh, istimewanya tali gantungannya
yang terbuat dari ijuk belum pernah putus sampai sekarang.
Peninggalan
berikutnya adalah empat lempeng papan kayu jati, bekas papan langgar. Papan
kayu itu berukir. Kalau dicermati barangkali dapat digunkan sebagai master
bentuk ukuiran batik atau motif batik khas Banawati. Lepeng papan ini juga cemanthel
di dinding pengimaman mushola. Kembu di sebelah kanan dan papan lempang di
sebelah kiri.
Menjadi Satu Kelurahan
Dulu
Mangunegara dan Citrakusuma adalah dua pemerintahan desa. Lurahnya ada dua
orang. Kelurahannya ada dua. Masjidnya ada dua buah. Dua wilayah ini dipisahkan
oleh Sungai Paku. Namun kini Mangunegara dan Citrakusuma telah menjadi satu
kelurahan atau satu desa yaitu Desa Mngunegara.
Dulu
tidak dikenal nama kepala desa, kenalnya adalah lurah. Istilah kepala desa dan
lurah, atau istilah desa dan kelurahan, kalau tidak salah adalah produk
Undang-undang No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Dulu
tahunya hanya kelurahan, ada lurah, juga ada penatus. Di atasnya ada Sisten dan
Wedana lalu Bupati. Yang dimaksud sisten adalah Asisten Wedana, wakil wedana. Kantor
tempat dinas Sisten disebut Asistenan, Desa Mangunegara masuk wilayah Asistenan
Mrebet. Pegawai asistenan ada yang disebut upas. Belum dikenal istilah camat
dan kepala desa adanya Sisten dan Lurah.
Jaman
dulu adalah jaman ketika penduduk masih sedikit maka ada istilah Penatus,
sebutan untuk lurah yang jumlah masyarakat di desanya lebih dari seratus orang.
Ada istilah Panewu, yaitu jika memiliki jumlah masyarakat di desanya lebih dari
seribu orang.
Pilihan Lurah Penyatuan
Seiring
berjalannnya jaman rupanya ada keputusan pemerintah bahwa Kelurahan Mangunegara
dan Kelurahan Citrakusuma harus digabung menjadi satu kelurahan!
Bagaimana
caranya?
Siapa
lurahnya?
Pakai
nama yang mana?
Mangunegara
apa Citrakusuma?
Rakyatlah
yang harus menentukan!
Diadakanlah
pilihan lurah dengan sisten yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil.
Pilihan
lurah atau sekarang disebut pilkades, pilihan kepala desa. Dulu hanya ada Pilur,
pIlihan lurah. Bagaimana cerita Pilihan Lurah Penyatuan antara Lurah
Mangunegara dengan Lurah Citrakusuma?
Begini
cerita nenek saya Dasiyem Wiryodiharjo.
Cara
memilih belum pakai kertas dan gambar, yang dicoblos dan kemudian dimasukkan ke
dalam kotak seperti sekarang. Dulu sebagai alat untuk menyampaikan pilihan
digunakan bithing. Pilihan Lurah dengan alat pilih berupa bithing dan bumbung.
Bithing
Bithing
sebagai alat untuk mewakili pilihan, dibuat dari bilah bambu, panjangnya
sekitar 25 cm, berbentuk pipih, tebal sekitar tiga mili meter dan lebar lima
milimeter. Setiap orang bisa membuatnya. Agar tidak setiap orang punya bithing
semacam itu, maka bithing untuk pilihan lurah diberi warna. Separuh panjang
bithing diberi warna merah menggunakan wenter pewarna. Wenter sendiri jaman
dulu sebagai barang langka. Untuk wenter dulu ada yang menyebutnya dengan nama “beci”.
Lurah
mangunegara bernama eyang Wangsareja dan dari Citrakusuma Eyang Arsawijaya.
Tempat penyelenggaraan dilaksanakan di Kelurahan Mangunegara. Berdasarkan hasil
undian. Berarti orang-orang yang masuk Lurah Citrakusuma harus pergi ke
Mangunegara untuk memberikan suara pilihannya.
Jagung dan Padi
Untuk
menjaga kerahasiaan pilihan setiap pemilih harus masuk bilik suara. Nenek saya
menyebutnya krobongan, sekarang disebut bilik suara. Saat itu hanya ada satu
krobongan, atau satu bilik suara. Bilik suara dibuat sedemikian rupa,
dikrobongi sehingga tidak ada orang yang dapat mengetahui pilihan seseorang
dalam krobongan. Dalam bilik ini tersedia delapan bumbung besar. Bumbung yang
dimaksud disini adalah sepotong bambu petung, ukuran jumbo, satu suas. Tutup
ruas (ros) yang bagian atas di lubangi untuk memasukkan bithing. Tutup ruas
bagian bawah dibiarkan utuh, gunanya untuk menampung bithing yang masuk.
Bumbung bambu ini sesungguhnya adalah kotak suara.
Kedua
lurah duduk di pendapa, di belakangnya ada beberapa ikat jagung, dan beberapa
ikat padi. Jagung adalah simbol untuk lurah dari Mangunegara, jadi di belakang
Eyang Wangsareja ada seikat pohon jagung
dan jagungnya sekaligus, dan padi untuk lurah dari Citrakusuma sehingga di
belakang Eyang Arsawijaya ada seikat pohon padi dan ikatan padi yang masih
berjurai. Di bilik suara juga sama, empat bumbung diberi simbol jagung dan empat
bumbung berikutnya diberi simbol padi. Jagung dan padi sungguhan bukansekedar
gambar.
Ketika
pemilihan dimulai maka tiap orang dipanggil untuk segera datang mendekati bilik
suara, diberi sebilah bithing dan masuk ke bilik. Di dalam memasukkan bithing
sesuai pilihannya. Jika memilih Eyang Wangsawireja maka bithing dimasukkan ke
bumbung yang ada jagungnya, bumbungnya di warnai hijau. Jika memilih Eyang
Arsawijaya maka bithing dimasukkan ke bumbung yang berwarna merah dan ada
padinya. Pemilih tinggal memasukkan bithimg ke dalam bumbung lewat lubang
bumbung, ros bagian atas yang terus melongo. Untuk tanda bahwa pemilih telah
selesai memilih maka ada petugas yang memukul kenthong. Jika ada bunyi “thong”,
berarti seorang pemilih telah selesai memilih dan keluar dari bilik suara. Lalu
pemilih berikutnya dipersilakan masuk. Demikianlah pemilihan lurah di jaman
dulu yang diadakan di Kelurahan Mangunegara. Dan kali ini plihan lurah yang
bersifat istimewa sebab pilihan ini untuk penggabungan wilayah Mangunegara dengan
Citrakusuma. Pelaksanaan pilihan berjalan tertib dan lancar.
Alhamdulillah!
Pemenang
Lalu
siapa pemenangnya?
Setelah
selesai pemungutan suara, yaitu dengan cara memasulan bithing ke dalam bumbung
pilihan, sampailah ke tahap perhitungan. Belum ada model tayangan langsung,
petugas bersuara keras; sah! sah dst. Yang ada adalah penghitungan bithing dilakukan
oleh petugas dari Asistenan, dengan disaksikan oleh para saksi. Saksi dari dua
pihak. Sekelompok menghitung bumbung dari pemilih jagung, sekelompok lagi
menghitung dari pemilih padi. Sampai akhirnya diumumkan bahwa antara bithing
jagung dan bithing padi hanya selisih satu bithing. Nenek saya tidak sempat
menyebutkan berapa jumlah bithing masing jagung maupun bithing padi. Yang
disebut berkali-kali adalah selisih satu. Dan pemenangnya adalah Eyang
Wangsareja Lurah Mangunegara. Maka sejak saat itu tidak ada lagi Kelurahan Citrakusuma,
yang ada Kelurahan mangunegara. Semua pihak legawa. Tidak ada demo, tidak ada pula
protes dan aduan ke badan hukum.
Kedhung Keder
Bahwa
antara desa Citrakusuma dengan desa Mangunegara itu dipisahkan oleh sungai
paku. Sungai paku jaman dulu itu dalam, jernih dan gemrenjeng. Belum ada
jembatan penghubung, yang ada adalah bendhungan, atau dhawuhan. Setiap orang Citrakusuma
yang akan ke Mangunegara harus nyabrang sungai paku, kalau orang perempuan
meniti punggung dhawuhan. Karena sungai di bendung maka terjadi lubuk atau
kedhung. Kedhung di dhawuhan tempat menyeberang itu diberi nama kedhung Keder.
Maka dhawuhan itu terkenal dengan nama Dhawuhan Kedhung Keder.
Saat
kecil di tahun 1960-an penulis kalau ke rumah nenek pasti mandi-mandi di
kedhung keder. Anjog-anjlogan, atau terjun ke air dengan cara meloncat. Kedhung
berada dekat dengan makam desa Citrakusuma. Kalau mau terjun diawali dengan
berlari lebih dahulu sekitar sepuluh meter. Sekarang Kedhung Keder terlihat
kumuh, dan rasanya tak mungkin lagi bisa untuk njlog-njlogan kaya gemiyen.
Kejewog
Dalam
pilihan lurah, Eyang Arsawijaya kalah karena selisih satu bithing. Kenapa selisih
satu bithing? Karena ada satu warga Citrakusuma yang terpaksa tidak hadir ke
bilik suara. Kenapa? Menurut cerita nenek hal itu karena Nini Jewog, pemilih
dari desa Citrakusuma, yang sudah berminat ikut milih Eyang Arsawijaya saat
menyeberang di atas dhawuhan, ndadak jatuh terperosok, terpeleset, kakinya
terkilir. Nini Jewog tidak mampu melanjutkan perjalanan ke tempat pemungutan
suara, padahal tinggal sekitar tiga ratus meter. Tiga ratus meter untuk ukuran
jaman dulu itu cukup jauh, karena kondisi jalan belum senyaman sekarang, dan
harus jalan kaki. Dari dhawuhan harus sedikit mendaki tebing sungai sebelah
utara. Begitulah menurut nenek, gara-gara Nini Jewog kejewog di dhawuhan maka
keluarahan Citrakusuma harus bergabung dengan kelurahan Mangunegara. Gara-gara
Nini Jewog kejewog, terperosok di dhawuhan Kedhung Keder.
Begitu!
Untuk
mengharmoniskan kekeluargaan antara keluarga Wangsareja dengan keluarga
Arsawijaya maka dilakukan besanan. Salah satu putra Eyang Arsawijaya, Eyang
Purwosardjono, dinikahkan dengan salah satu putri Eyang Wangsareja. Dan seiring
dengan waktu setelah Eyang Wangsareja, uzur, dipensiunkan untuk jadi dhongkol, maka
kepemimpinannya dikembalikan lagi kepada rakyat untuk diadakan pilihan lurah. Kalau
tidak salah Eyang Wangsareja sebutannya Dhongkol Penatus, atau Mantan Penatus
(dhongkol = mantan, bekas}. Tercatat bahwa keturunan dari Eyang Purwosardjono
memimpin Desa Mangunegara sampai beberapa periode.
Demikian
cerita nenek saya, Eyang Putri Dasiyem Wirjodihardjo.
Kita
punya kisah yang begitu berkesan, nggih Yang.
Maturnuwun,
Yang.
Assalamu'alaikum wr.wb,
BalasHapusperkenalkan nama saya Milyono alumni SMP N 2 Purbalingga anggkatan 1977-1979 telah membaca karya tulis Bapak Toto Endargo tentang sejarah Desa - desa di Purbalingga, dan saya sangat senang apa bila Bapak bisa membuat banyak lagi tentang karya tulis lagi misalnya tentang Pengeran Mangkubumi, dan saya juga menginginkan Bapak membuat blog Alumni SMP N 2 Purbalingga yg saya inginkan Alumni 1977-1979 yang berisi Foto-Foto Alumni dan nama, Demikian saya sampaikan atas perhantian nya saya ucapkan banyak terima kasih.
dari Milyono email mmilyono@gmail.com
Wa'alaikumsalam wr.wb.
HapusTerimakasih dan saya sangat senang atas perhatiaan Mas Milyono terhadap Blog ini. Hal yang dapat saya penuhi kali ini adalah nama Alumni 1977-1979. Ada di Blog saya juga: http://totoendargo.blogspot.co.id/2013/04/angkatan-1977-alumni-1979.html
Maturnuwun Mas Milyono
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
BalasHapusMaturnuwun mas toto telah membantu menulis sebuah cerita turun-temurun leluhur yang sangat bagus & menarik. Membantu Mengupas tuntas mengenai babad mangunegara terutama garis keturunan dari Arsawijaya.
bani.sanredja@gmail.com
Assalamualaikum mas Dargo. Saya Kelick bin ibu Ruchyati binti eyang Murniyati binti eyang Sarkum Purwosarjono bin eyang Arsawijaya.
BalasHapusKemarin saya menelusuri silsilah keluarga ke Desa Onje. Kata eyang putri Onje (ibunya lik Lurah Sitri)njenengan juga sama menelurusi silsilah keluarga. Semoga hasilnya bisa diposting silsilah dari eyang Arsawijaya keatas, bapak dari eyang Arsawijaya dst.
Assalamualaikum mas Toto Endargo(mas Dargo)Terimakasih telah menulis babad Mangunegara.kami warga mangunegara jadi tau asal muasal dan silsilah yg ada di tanah leluhur kami...
BalasHapus