Senin, 24 Oktober 2016

KETIKA KAU TERLUKA

Cerita Remaja
KETIKA KAU TERLUKA
Toto Endargo

“Aku tidak suka!” gerutu Brama dengan geram. Perasaannya tersinggung. Cinta membuatnya cemburu. Dadanya bergolak dan membuat ia seakan sulit bernafas. “Tidak boleh kubiarkan! Harus kuurus sebelum berlanjut”.

SMP Negeri 2 Purbalingga, Maret 2003.
Sore itu langit begitu cerah.
Musim hujan sudah mulai reda. Mungkin kemarau segera akan datang kembali. Bulan Maret, bulan dimana hujan mulai seret. Di jalan Letkol Isdiman berjalan dua remaja putri, Wilis dan Wangi. Keduanya cantik.
Cantik menurut ukuran Brama. Bukankah cantik itu relatif? Tiap orang punya pandangan sendiri-sendiri. Yang cantik buat Brama belum tentu cantik buat orang lain, begitupun sebaliknya. Tapi rasanya bukan hanya Brama saja yang mengakui kecantikan Wilis.  Semua akan setuju bahwa Wilis cantik. Pak Toto juga pernah berkata bahwa Wilis cantik, padahal Pak Toto jarang sekali mengatakan seseorang itu cantik. Jadi pendapat Pak Toto dapat dijadikan pedoman bahwa kecantikan Wilis bersifat obyektif. He, he!
Wilis berambut pendek, pendek sekali, hanya seleher. Rambut yang bagian bawah dibiarkan tergerai-gerai. Rambut bagian depan dijambul. Model rambut yang sangat serasi dengan bentuk wajahnya. Gadis ini punya keistimewaan yaitu cara dia tertawa. Kalau tertawa, Wilis tampak ramah dan terdengar riang. Nama lengkapnya Wilis Sulistyaningtyas. Nama Jawa. Wilis artinya “hijau”; Sulistya artinya “cantik”; Ning bermakna “di” dan Tyas artinya “hati”. Jadi terjemahan nama gadis ini secara lengkap mengandung doa agar gadis ini selalu awet muda, hijau, dan baik di hatinya. Nama yang sangat menyentuh.
Remaja yang satu adalah Wangi, lengkapnya Retno Pudak Wangi. Bagai nama gadis padepokan di suatu pertapaan di tepi pantai. Nama Jawa juga. Retno = permata; pudak = nama bunga pandan; wangi = harum. Jadi arti namanya, kurang lebih adalah “Permata dari bunga Pandan yang berbau harum”. Rambutnya sepunggung, tergerai lurus. Wajahnya oval. Dagunya bagai sarang lebah bergantung. Hidungnya sedikit mancung. Senyumnya tulus. Saat bicara sinar matanya berbinar-binar. Ia selalu rapi dalam berpakaian.
Jatuh cinta saat remaja, saat masih sekolah adalah saat yang begitu mengesankan. Perasaan indah menusuk kalbu mewarnai hidup, walau semuanya hanya dalam angan-angan. Tanpa sentuhan raga, hanya ada sentuhan rasa. Sungguh mempesona. Brama jatuh hati kepada Wilis dan Wilis samar-samar juga tahu perasaan Brama. Brama kelas 3 dan Wilis kelas 2.
Ketidakterusterangan Brama atas perasaan hatinya kepada Wilis itulah yang membuat keduanya menjadi canggung saat bertemu. Brama selalu gelisah, ketakutan jika Wilis suatu saat menjatuhkan pilihan hatinya bukan kepada Brama. Gawat! Anak secantik Wilis pasti banyak cowok yang naksir. 
Karena Brama kelas 3 dan Wilis kelas 2 maka mereka tidak bisa mengikuti kegiatan sekolah secara bersama-sama. Kegiatan ekstrakurikuler hanya untuk kelas 1 dan 2. Kelas 3 difokuskan pada pencapaian nilai Ujian Nasional yang baik sehingga tiap hari Senin dan Rabu sore ada kegiatan tambahan jam pelajaran khusus yang di-UN-kan.
Selasa sore Brama sedang menonton film kartun di rumahnya. Sudah SLTP namun masih juga suka kartun. Sedang asyik menonton, datang sahabat karibnya satu kelas, Wisnu, cowok ceking yang kurang gizi. Ia baik dan suka tertawa. Satu-satunya sahabat Brama untuk curhat. Walau suka tertawa tapi Wisnu adalah sahabat setia yang bisa menjaga rahasia hati Brama. Wisnu adalah pendukung setia agar Wilis dapat bersahabat baik dengan Brama. 
“Brama” panggil Wisnu, “Wilis terluka!” kata Wisnu mengawali cerita.
Brama terkesiap. Ia bangkit dari kesantaiannya menonton kartun.
“Apa? Wilis terluka?” tanyanya penuh rasa khawatir. Wisnu mengangguk.
“Jangan panik! Benar, Wilis terluka. Luka kecil di kulit lututnya. Tapi tak tahulah, karena aku juga tidak ke sekolahan. Tapi begitulah yang kudengar!” Wisnu memang tidak menyaksikan sendiri. Soalnya Wisnu seperti Brama sudah tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler lagi.
“Aduh Wisnu!” teriak Brama tidak puas, “Ceritalah yang urut. Jangan asal ngomomng!”
Wisnu menghela nafas. Bagi Brama Wilis adalah sesuatu yang paling berharga di dunia ini. Maka segala hal yang berhubungan dengan Wilis, dia harus benar-benar paham. Tidak asal tahu.
“Oh, Brama yang bodong, dengarkan!” kata Wisnu sambil memegang lengannya.
“Ini kan hari Selasa. Wilis dan Wangi ke sekolahan, hadir mengikuti kegiatan sore. Dalam acara kegiatan itu Wilis kurang hati-hati sehingga ia jatuh terduduk. Lututnya luka. Keluar darah sedikit. Ia masih bisa jalan. Sudah diobati di ruang UKS. Sekarang Wilis dengan sedikit pincang, sedang berjalan pulang, berdua dengan Wangi. Begitu dong!” terang Wisnu.
Mata Brama meredup. Ia bangkit. Brama ingin bertemu Wilis, ingin menolongnya. Semoga Wilis masih di Jalan Letkol Isdiman. “Aku akan mengantarnya pulang!” Doa dan harapan Brama sambil menepuk pundak Wisnu.
Plas!
Sebuah sepeda motor bebek keluar dari halaman rumah Brama. Perlahan ia susuri Jalan Letkol Isdiman dari sebelah barat menuju ke timur. Dadanya berdesir, tujuh puluh lima meter di depannya, Wilis dan Wangi tampak berjalan berdua. Diperlambat laju motor bebeknya, Brama mendekati kedua gadis itu perlahan.
Wangi berada di sisi trotoar, di tepi jalan, Wilis di kanannya. Brama pun menghentikan motornya lima meter di depan mereka.
“Pulang Wilis?” tanya Brama langsung ke Wilis. Mereka semua berhenti di pinggir jalan. Wilis mengangguk. Wilis memang tak banyak kata. Jika Wilis berhadapan dengan Brama ada rasa malu menyentuh hatinya. Ada juga rasa suka. Namun ada banyak rasa segan untuk berlaku akrab dengan Brama. 
Tapi Wilis harus menghormati setiap orang, apalagi kepada Brama. Ia tahu bahwa Brama selalu berusaha bersikap sopan padanya.
“Wisnu memberitahuku bahwa Wilis terluka. Benarkah?” pertanyaan Brama sambil melihat ke lutut Wilis. Wilis memerah wajahnya.
“Iyaa,  luka kecil. Tidak apa-apa!”  jawab Wilis.
“Kalau begitu, maukah Wilis kuantar pulang?” 
“Ah, nanti Brama jadi repot!” kata Wilis, menolak halus sekali.
“Nggak papa, Wilis! Aku juga sengaja kesini, mungkin Wilis perlu untuk kuantar pulang!” jawab Brama berterus terang.
“Terimakasih, Brama. Aku jalan kaki saja. Kasihan Wangi nanti jalan sendiri. Aku ke tempat Wangi. Tadi berangkat juga bersama-sama dari rumah Wangi.” 
Brama kecewa. Langit sore itu jadi tidak indah lagi. Ia menunduk. Brama berlalu. Perlahan dalam rasa kecewanya itu ia melajukan motornya menyusur ke barat. Belok ke utara. Sedikit mengitari alun-alun. Dan di utara alun-alun ada kandang burung, di depan perpustakaan daerah. Ia berhenti di sebelah kandang burung. Ia tatap burung berleher panjang itu dengan serius. Mungkin ada persamaan antara dirinya dengan burung pelikan di kandang itu. Kesendiriannya saat ini rasanya sama. Brama di tengah lingkungan banyak orang tapi hatinya sepi. Burung pelikan itu juga cenderung duduk sendiri di antara teman-temannya. Sepi dan kesepian. 
Wilis, menjadi penyebab Brama merasa sepi di antara ramainya suasana alun-alun Purbalingga. Merasa sepi dan sendiri di depan Perpustakaan Umum dan Museum Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja yang akan diresmikan tanggal 24 April 2003 oleh Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto. Cinta bagi Brama, di samping menyajikan keindahan rasa juga menyuguhkan kekecewaan dan kesepian. Brama seakan nenjadi mahluk asing di lingkungan yang ramai.
Dua  puluh menit kemudian akhirnya Brama membawa motornya ke sisi trotoar di luar komplek perpustakaan. Brama duduk di motornya yang distandar tegak di sisi trotoar. Brama menatap lalu lintas sekitar alun-alun. 
Ya, Allah! Kembali dada Brama terkesiap. Sebuah sepeda motor melaju perlahan ke utara. Wilis! Dicermatinya gadis diboncengan sepeda motor itu. Benar Wilis! Wilis pulang diboncengkan Tegarjati. Ah, Tegarjati adalah kakaknya Wangi. Seketika Brama termangu-mangu. Hubungan apa antara Tegarjati dengan Wilis? Rasanya sore itu langit runtuh. Ia benar-benar nelangsa. Matanya terasa panas. Ia mendesah resah. Sesaat kemudian ia bangkit. 
Pulang dengan penuh kekecewaan.
Di kamarnya Brama sendirian. Ia duduk di meja belajarnya. Tidak belajar. Ia ingin menulis suasana hatinya. Sebuah buku telah terbuka. Tapi masih putih polos. Ia bingung,  dari mana ia mulai menuliskan rasa kecewanya. Kini perasaan yang berkembang adalah rasa cemburu.
“Aku tidak suka!” gerutu Brama dengan geram. Ia tersinggung. Ia cemburu. Dadanya bergolak, dan membuatnya seakan sulit bernafas,  “Tidak boleh kubiarkan! Harus kuurus sebelum berlanjut!” 
Brama masih juga termenung di meja belajarnya saat waktu menunjukan pukul sebelas malam. Ia memikirkan Wilis. Ia berada di dalam keraguannya.
Brama sadar Wilis punya hak untuk menolaknya. Ia tak boleh memaksakan kehendaknya. Ia tak boleh memaksa Wilis harus menjadi miliknya. Wilis punya hati,  ia punya hak untuk jatuh hati. Wilis punya kaki,  ia punya hak untuk melangkah kemana ia mau. Dan Wilis punya hak untuk memilih. Biarlah Wilis memilih menurut kata hatinya. Wilis punya hak!
Brama keluar kamar dia mengambil air wudhu. Di tengah malam itu Brama shalat dua rakaat untuk menenangkan hatinya. Dan diguratkannya sebuah kalimat di hatinya,  “Wilis aku menghormatimu, biarlah kusimpan dahulu harapanku.” 
Kini Brama terbaring di dipannya. Masih ada sisa-sisa air wudhu di rambut keningnya. Membuatnya merasa dingin, segar dan tenang. Dipejamkan matanya. Dan dibawanya bayangan Wilis dalam tidur yang damai. 
Masih ada hari esok. Wilis!
Purbalingga,  31 Maret 2003
*dari sebuah memori.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar