Cerita Remaja
KETIKA KAU TERLUKA
KETIKA KAU TERLUKA
Toto Endargo
“Aku tidak suka!” gerutu Brama dengan
geram. Perasaannya tersinggung. Cinta membuatnya cemburu. Dadanya bergolak dan
membuat ia seakan sulit bernafas. “Tidak boleh kubiarkan! Harus kuurus sebelum
berlanjut”.
SMP
Negeri 2 Purbalingga, Maret 2003.
Sore
itu langit begitu cerah.
Musim
hujan sudah mulai reda. Mungkin kemarau segera akan datang kembali. Bulan Maret,
bulan dimana hujan mulai seret. Di jalan Letkol Isdiman berjalan dua remaja
putri, Wilis dan Wangi. Keduanya cantik.
Cantik
menurut ukuran Brama. Bukankah cantik itu relatif? Tiap orang punya pandangan
sendiri-sendiri. Yang cantik buat Brama belum tentu cantik buat orang lain,
begitupun sebaliknya. Tapi rasanya bukan hanya Brama saja yang mengakui
kecantikan Wilis. Semua akan setuju
bahwa Wilis cantik. Pak Toto juga pernah berkata bahwa Wilis cantik, padahal
Pak Toto jarang sekali mengatakan seseorang itu cantik. Jadi pendapat Pak Toto
dapat dijadikan pedoman bahwa kecantikan Wilis bersifat obyektif. He, he!
Wilis berambut pendek, pendek sekali,
hanya seleher. Rambut yang bagian bawah dibiarkan tergerai-gerai. Rambut bagian
depan dijambul. Model rambut yang sangat serasi dengan bentuk wajahnya. Gadis
ini punya keistimewaan yaitu cara dia tertawa. Kalau tertawa, Wilis tampak
ramah dan terdengar riang. Nama lengkapnya Wilis Sulistyaningtyas. Nama Jawa.
Wilis artinya “hijau”; Sulistya artinya “cantik”; Ning bermakna “di” dan Tyas
artinya “hati”. Jadi terjemahan nama gadis ini secara lengkap mengandung doa
agar gadis ini selalu awet muda, hijau, dan baik di hatinya. Nama yang sangat
menyentuh.
Remaja yang satu adalah Wangi, lengkapnya
Retno Pudak Wangi. Bagai nama gadis padepokan di suatu pertapaan di tepi
pantai. Nama Jawa juga. Retno = permata; pudak = nama bunga pandan; wangi =
harum. Jadi arti namanya, kurang lebih adalah “Permata dari bunga Pandan yang
berbau harum”. Rambutnya sepunggung, tergerai lurus. Wajahnya oval. Dagunya
bagai sarang lebah bergantung. Hidungnya sedikit mancung. Senyumnya tulus. Saat
bicara sinar matanya berbinar-binar. Ia selalu rapi dalam berpakaian.
Jatuh cinta saat remaja, saat masih
sekolah adalah saat yang begitu mengesankan. Perasaan indah menusuk kalbu
mewarnai hidup, walau semuanya hanya dalam angan-angan. Tanpa sentuhan raga,
hanya ada sentuhan rasa. Sungguh mempesona. Brama jatuh hati kepada Wilis dan
Wilis samar-samar juga tahu perasaan Brama. Brama kelas 3 dan Wilis kelas 2.
Ketidakterusterangan Brama atas perasaan
hatinya kepada Wilis itulah yang membuat keduanya menjadi canggung saat
bertemu. Brama selalu gelisah, ketakutan jika Wilis suatu saat menjatuhkan
pilihan hatinya bukan kepada Brama. Gawat! Anak secantik Wilis pasti banyak
cowok yang naksir.
Karena Brama kelas 3 dan Wilis kelas 2
maka mereka tidak bisa mengikuti kegiatan sekolah secara bersama-sama. Kegiatan
ekstrakurikuler hanya untuk kelas 1 dan 2. Kelas 3 difokuskan pada pencapaian
nilai Ujian Nasional yang baik sehingga tiap hari Senin dan Rabu sore ada
kegiatan tambahan jam pelajaran khusus yang di-UN-kan.
Selasa sore Brama sedang menonton film
kartun di rumahnya. Sudah SLTP namun masih juga suka kartun. Sedang asyik
menonton, datang sahabat karibnya satu kelas, Wisnu, cowok ceking yang kurang
gizi. Ia baik dan suka tertawa. Satu-satunya sahabat Brama untuk curhat. Walau
suka tertawa tapi Wisnu adalah sahabat setia yang bisa menjaga rahasia hati
Brama. Wisnu adalah pendukung setia agar Wilis dapat bersahabat baik dengan
Brama.
“Brama” panggil Wisnu, “Wilis terluka!”
kata Wisnu mengawali cerita.
Brama terkesiap. Ia bangkit dari
kesantaiannya menonton kartun.
“Apa? Wilis terluka?” tanyanya penuh rasa
khawatir. Wisnu mengangguk.
“Jangan panik! Benar, Wilis terluka. Luka
kecil di kulit lututnya. Tapi tak tahulah, karena aku juga tidak ke sekolahan.
Tapi begitulah yang kudengar!” Wisnu memang tidak menyaksikan sendiri. Soalnya
Wisnu seperti Brama sudah tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler lagi.
“Aduh Wisnu!” teriak Brama tidak puas,
“Ceritalah yang urut. Jangan asal ngomomng!”
Wisnu menghela nafas. Bagi Brama Wilis
adalah sesuatu yang paling berharga di dunia ini. Maka segala hal yang
berhubungan dengan Wilis, dia harus benar-benar paham. Tidak asal tahu.
“Oh, Brama yang bodong, dengarkan!” kata
Wisnu sambil memegang lengannya.
“Ini kan hari Selasa. Wilis dan Wangi ke
sekolahan, hadir mengikuti kegiatan sore. Dalam acara kegiatan itu Wilis kurang
hati-hati sehingga ia jatuh terduduk. Lututnya luka. Keluar darah sedikit. Ia
masih bisa jalan. Sudah diobati di ruang UKS. Sekarang Wilis dengan sedikit
pincang, sedang berjalan pulang, berdua dengan Wangi. Begitu dong!” terang
Wisnu.
Mata Brama meredup. Ia bangkit. Brama
ingin bertemu Wilis, ingin menolongnya. Semoga Wilis masih di Jalan Letkol
Isdiman. “Aku akan mengantarnya pulang!” Doa dan harapan Brama sambil menepuk
pundak Wisnu.
Plas!
Sebuah sepeda motor bebek keluar dari
halaman rumah Brama. Perlahan ia susuri Jalan Letkol Isdiman dari sebelah barat
menuju ke timur. Dadanya berdesir, tujuh puluh lima meter di depannya, Wilis
dan Wangi tampak berjalan berdua. Diperlambat laju motor bebeknya, Brama
mendekati kedua gadis itu perlahan.
Wangi berada di sisi trotoar, di tepi
jalan, Wilis di kanannya. Brama pun menghentikan motornya lima meter di depan
mereka.
“Pulang Wilis?” tanya Brama langsung ke
Wilis. Mereka semua berhenti di pinggir jalan. Wilis mengangguk. Wilis memang
tak banyak kata. Jika Wilis berhadapan dengan Brama ada rasa malu menyentuh
hatinya. Ada juga rasa suka. Namun ada banyak rasa segan untuk berlaku akrab
dengan Brama.
Tapi Wilis harus menghormati setiap orang,
apalagi kepada Brama. Ia tahu bahwa Brama selalu berusaha bersikap sopan
padanya.
“Wisnu memberitahuku bahwa Wilis terluka.
Benarkah?” pertanyaan Brama sambil melihat ke lutut Wilis. Wilis memerah
wajahnya.
“Iyaa, luka kecil. Tidak apa-apa!”
jawab Wilis.
“Kalau begitu, maukah Wilis kuantar
pulang?”
“Ah, nanti Brama jadi repot!” kata Wilis,
menolak halus sekali.
“Nggak papa, Wilis! Aku juga sengaja
kesini, mungkin Wilis perlu untuk kuantar pulang!” jawab Brama berterus terang.
“Terimakasih, Brama. Aku jalan kaki saja.
Kasihan Wangi nanti jalan sendiri. Aku ke tempat Wangi. Tadi berangkat juga
bersama-sama dari rumah Wangi.”
Brama kecewa. Langit sore itu jadi tidak
indah lagi. Ia menunduk. Brama berlalu. Perlahan dalam rasa kecewanya itu ia
melajukan motornya menyusur ke barat. Belok ke utara. Sedikit mengitari
alun-alun. Dan di utara alun-alun ada kandang burung, di depan perpustakaan
daerah. Ia berhenti di sebelah kandang burung. Ia tatap burung berleher panjang
itu dengan serius. Mungkin ada persamaan antara dirinya dengan burung pelikan
di kandang itu. Kesendiriannya saat ini rasanya sama. Brama di tengah
lingkungan banyak orang tapi hatinya sepi. Burung pelikan itu juga cenderung
duduk sendiri di antara teman-temannya. Sepi dan kesepian.
Wilis, menjadi penyebab Brama merasa sepi
di antara ramainya suasana alun-alun Purbalingga. Merasa sepi dan sendiri di
depan Perpustakaan Umum dan Museum Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja yang akan diresmikan tanggal 24 April
2003 oleh Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto. Cinta bagi Brama, di samping
menyajikan keindahan rasa juga menyuguhkan kekecewaan dan kesepian. Brama
seakan nenjadi mahluk asing di lingkungan yang ramai.
Dua puluh menit kemudian akhirnya
Brama membawa motornya ke sisi trotoar di luar komplek perpustakaan. Brama
duduk di motornya yang distandar tegak di sisi trotoar. Brama menatap lalu
lintas sekitar alun-alun.
Ya, Allah! Kembali dada Brama terkesiap.
Sebuah sepeda motor melaju perlahan ke utara. Wilis! Dicermatinya gadis
diboncengan sepeda motor itu. Benar Wilis! Wilis pulang diboncengkan Tegarjati.
Ah, Tegarjati adalah kakaknya Wangi. Seketika Brama termangu-mangu. Hubungan
apa antara Tegarjati dengan Wilis? Rasanya sore itu langit runtuh. Ia
benar-benar nelangsa. Matanya terasa panas. Ia mendesah resah. Sesaat kemudian
ia bangkit.
Pulang dengan penuh kekecewaan.
Di kamarnya Brama sendirian. Ia duduk di
meja belajarnya. Tidak belajar. Ia ingin menulis suasana hatinya. Sebuah buku
telah terbuka. Tapi masih putih polos. Ia bingung, dari mana ia mulai
menuliskan rasa kecewanya. Kini perasaan yang berkembang adalah rasa cemburu.
“Aku tidak suka!” gerutu Brama dengan
geram. Ia tersinggung. Ia cemburu. Dadanya bergolak, dan membuatnya seakan
sulit bernafas, “Tidak boleh kubiarkan! Harus kuurus sebelum berlanjut!”
Brama masih juga termenung di meja
belajarnya saat waktu menunjukan pukul sebelas malam. Ia memikirkan Wilis. Ia
berada di dalam keraguannya.
Brama sadar Wilis punya hak untuk
menolaknya. Ia tak boleh memaksakan kehendaknya. Ia tak boleh memaksa Wilis
harus menjadi miliknya. Wilis punya hati, ia punya hak untuk jatuh hati.
Wilis punya kaki, ia punya hak untuk melangkah kemana ia mau. Dan Wilis
punya hak untuk memilih. Biarlah Wilis memilih menurut kata hatinya. Wilis
punya hak!
Brama keluar kamar dia mengambil air
wudhu. Di tengah malam itu Brama shalat dua rakaat untuk menenangkan hatinya.
Dan diguratkannya sebuah kalimat di hatinya, “Wilis aku menghormatimu,
biarlah kusimpan dahulu harapanku.”
Kini Brama terbaring di dipannya. Masih
ada sisa-sisa air wudhu di rambut keningnya. Membuatnya merasa dingin, segar
dan tenang. Dipejamkan matanya. Dan dibawanya bayangan Wilis dalam tidur yang
damai.
Masih ada hari esok. Wilis!
Purbalingga,
31 Maret 2003
*dari sebuah memori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar