Jumat, 28 November 2014

TUGU PERJUANGAN DI BLATER

TOEGOE JOEANG BLATER
Toto Endargo, S.IP

Toegoe Joeang Blater - 20 September 2010
Toegoe Joeang Blater ini dulunya bersebelahan dengan rel kereta api. 
Stasiun Kandanggampang
 Rel dan kereta api adalah salah satu saksi bisu dahsyatnya perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Tak terkecuali di Bumi Purbalingga.
Tahun 1980-an kita masih mengenal dan menikmati ujud nyata stasiun Purbalingga. Walau kereta api sudah tidak aktif maksimal namun masih dapat dilihat ujud lokomotifnya. Lokomotif mesin uap yang punya tungku, membawa kayu bakar untuk menjerang air di ketel yang berbentuk silinder.
Proses mesin uap adalah memanfaatkan tenaga dorong dari uap air. Uap air ditampung hingga bertenaga dan mampu mendorong piston atau seher pada mesin. Piston bergerak maju mundur. Gerak piston yang maju-mundur ini digunakan untuk menggerakkan engkel, semacam tungkai yang dapat kita lihat pada setiap lokomotif kuno di sisi kanan-kiri, gerak maju-mundur inilah yang digunakan untuk memutar roda kereta. Jadi hubungan piston dengan roda adalah secara harmonis mengkonversi mekanisme gerak maju-mundur menjadi gerak putar.

Memasang TV umum di Stasiun Kandanggampang,
Kades Bp. Soetardjo - 1976
Stasiun Purbalingga dengan kode stasiun PDG ada di desa Kandanggampang. Jajaran rel sampai empat jalur di stasiun Kandanggampang, Purbalingga ini. Rel yang membujur ke utara sampai pog, buntu. Rel pog-pogannya kira-kira sekarang ada di sekitar Balai Desa Kandanggampang. Dulu di sana ada rel yang dibuat mencuat ke atas, berfungsi untuk mengerem laju kereta di rel buntu itu. Lajimnya sebuah statsiun maka di sekitarnya dijadikan tempat keramaian. Sekitar seratus meter ada pasar, ada koplak (tempat mangkal dokar), ada stanplat (tempat mangkal oplet). Sekarang jadi Taman Kota Usman Janatin. 
   Di pojok pasar, kidul-kulon ada gardu listrik, ada gudang garam, butir garam putih sejagung-jagung. Garam di dalam karung putih, seperti karung mes, pupuk, bertumpuk-tumpuk dalam gudang. Ketika ada rokok cap gudang garam, maka gudang garam di pojok pasar itulah yang terbayang.
   Rel yang membujur ke selatan, lurus sampai Kalimanah. Dan di Blater, seratus meter dari jembatan Sungai Ponggawa ada kres, persilangan rel, sekali gus ada halte. Rel yang membujur dari barat menuju ke timur itu digunakan untuk lori, kereta api pengangkut batang tebu. Rel kereta api yang ke selatan terus sampai di Jompo ada yang belok ke timur sedikit melingkar untuk menuju stasiun Banjarsari. Jalur Purbalingga - Banjarsari memiliki panjang lintasan sekitar 6,5 Km. Melewati beberapa pemberhentian semacam halte yaitu Stasiun Purbalingga (PDG), halte Kalimanah (KLH), halte Jompo (JPO) dan Stasiun Banjarsari (BJRS). 
   Stasiun Banjarsari memiliki fasilitas persimpangan yang ke arah timur menuju Banjarnegara sampai Wonosobo. Lintasan Stasiun Purwokerto - Wonosobo adalah milik Perusahaan Hindia Belanda dengan nama Serajoedal Stoomtram Maatschappiij (Perusahaan Kereta Uap Lembah Serayu), panjangnya sekitar 100 Km, diresmikan pada tanggal 7 Joeni 1917, pernah dilewati oleh kereta api dengan lokomotif diesel dan akhirnya ditutup pada tanggal 1 Agustus 1978.
   Dari Stasiun Banjarsari yang terus ke arah Sokaraja, sebelum masuk Sokaraja rel berbelok ke timur pada akhirnya ada jembatan menyeberangi sungai Pelus dan ke arah barat untuk sampai di Purwokerto. Tahun 1982-an masih ada kereta barang dengan lokomotif bermesin uap yang melaju dari stasiun Purbalingga menuju stasiun Purwokerto Timur. Pemandangan langka dan unik karena kereta api ada di pinggir jalan, melaju bersaing dengan laju truk, mobil, dan kendaraan lain yang semakin ramai.

   Namun tahun 1993-an rel kereta api peninggalan penjajah Belanda, dan juga rel lori, jalur kereta nan efisien sebagai pengangkut batang tebu telah dibongkar. Habislah jaman perkeretaapian di bumi Purbalingga. Tak ada rel yang tampak tersisa di jalur-jalurnya. Baik rel kereta api maupun rel lori pengangkut tebu milik Pabrik Gula Kalibagor, Sokaraja. Habis! Jika ada sisa hanya karena rel itu melintas di jalan dan tertimbun aspal atau karena rel kereta telah menjadi jembatan bagi orang lewat di atas sungai.

Sisa bantalan rel kereta api di Jembatan Sungai Ponggawa
Seiring dengan jamannya, lintasan rel kereta api yang dibuat oleh bangsa penjajah, maka ia pun telah menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa. Rel kereta api yang menghubungkan Purbalingga – Purwokerto telah meninggalkan jejak kisah heroik para pejuang pembela negara. Salah satunya adalah terjadinya pertempuran di desa Blater. Pertempuran yang di awali dengan penghadangan kereta api yang mengangkut pasukan Belanda. Pertempuranpun terjadi. Tembak menembak. Dan para pejuang yang gugur menjadi kusuma negara, bunga penabur kemerdekaan. Harum mewangi. Kisah kepahlawanan ini diperingati dengan berdirinya sebuah monumen sederhana berupa tugu.
Toegoe Joeang Blater
  Monumen Perjuangan Blater. Tinggi keseluruh tugu monumen ini sekitar tiga setengah meter. Tugu terdiri dari 4 bagian.
Bagian pertama adalah bagian dasar berbentuk segi empat bertingkat tiga; yang bawah panjang sisinya 2,2 meter, di atasnya 1,75 meter dan yang di atasnya lagi bersisi 1,2 meter. Masing-masing trap tingginya 20 cm.
Bagian kedua adalah berbentuk silinder berdiameter 1,1 meter dengan tinggi 35 cm.
Bagian ketiga adalah bagian utama dari tugu itu; yaitu bentuk balok panjang bersegi lima, berdiri tegak mengerucut, dengan penampang bawah 100 cm dan penampang atas 40 cm, tingginya 2,25 meter.
Bagian keempat adalah mahkota tugu yang berbentuk kuncup bunga teratai, dengan empat kelopak bunga yang masih menempel erat terhadap kuncupnya; tinggi mahkota bunga ini 30 cm. Terdapat ornamen sederhana pada bagian bawah dan atas tugu; berbentuk ujung daun kelopak bunga di setiap pinggir segi lima. Secara keseluruhan tugu dibuat dengan bahan bangunan kuno, campuran pasir, kapur dan semen merah, belum menggunakan PC.

Ada bentuk lain yang terpisah dari tugu. Berbentuk seperti paron. Paron adalah besi wungkul yang umumnya digunakan untuk landasan orang membuat alat pertanian di tukang pandai besi. Paron ini berada 60 cm di depan tugu, tingginya 90 cm, panjangnya 105 cm. Ternyata paron ini di buat pada tahun 1970-an, dibuat khusus untuk menuliskan prasasti dan surya sengkala terjadinya pertempuran di Desa Blater itu.
TOEGOE JOEANG BLATER, KAMIS WAGE 31 DJOELI 1947
WASITA SUCI KUSUMA NEGARA.
Menjadi sangat bermakna karena prasasti masih ditulis menggunakan ejaan lama. Hal yang menunjukkan usia monumen ini sudah puluhan tahun. Tugu juang Blater diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1960.
Aslinya tulisan TOEGOE JOEANG BLATER, KAMIS WAGE 31 DJOELI 1947 ditulis hanya menggunakan cat hitam. Tulisan diterakan di bagian yang berbentuk kotak, menempel di bagian silinder. Sehubungan tulisan tersebut mudah hapus maka dibuatkan yang bentuk paron. Namun tulisan yang permanen dengan bentuk relief justru hanya surya sengkalanya saja. Hari, tanggal dan nama monumen hanya ditulis menggunakan cat hitam yang mudah hapus.
Menurut riwayatnya tugu ini dibangun atas gagasan dan usulan Bapak Mangun Wiyoto Kepala SD Rabak pada sebuah rapat di Kecamatan Kalimanah pada tanggal 10 Juli 1960. Bapak Mangun Wiyoto adalah salah seorang yang ditunjuk untuk menjadi Panitia Peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI Ke 15, Tahun 1960.

Untuk mengenang jasa para pejuang yang gugur dalam pertempuran di Blater mempertahankan kemerdekaan, Bapak Mangun Wiyoto mengusulkan agar dibangun tugu peringatan di Desa Blater. Gagasan ini diterima dengan penuh semangat oleh panitia tingkat kecamatan. Lalu dibentuklah Panitia Pembangunan Monumen. Dana pembangunan diambilkan dari tiga sumber yaitu 25% dari panitia kecamatan, dari kas Desa Blater dan sisanya dari para donatur. Angka yang masih dicatat adalah walau saat itu. tahun 1960 adalah masa krisis keuangan namun dari dana kas desa sempat menyumbang Rp 100 ribu untuk membantu membangun tugu peringatan ini. Sekitar satu bulan monumen ini dibangun, karena gagasan awal tanggal 10 Juli 1960 dan pada peringatan HUT Proklamasi ke 15 tanggal 17 Agustus 1960 Toegoe Joeang Blater sudah dapat diresmikan.

Tulisan “Toegoe Joeang Blater” ini jelas ejaan lama. Sebenarnya pada tahun 1960 “oe” sudah menjadi "u" sebab Ejaan Van Ophuijsen diganti menjadi Ejaan Republik atau ejaan Soewandi mulai berlaku tahun 1947, barangkali masih menjadi kebiasaan saat itu, masih menulis u dengan oe. 
Yang menarik adalah kata “Suci”. Suci tidak ditulis menggunakan “sutji” padahal perubahan “tj” menjadi “c” itu adalah saat berlakunya Ejaan Baru atau Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan) yaitu mulai tahun 1967. Semoga bukan karena “usil” sengaja mengubah dari “Sutji” menjadi “Suci”, karena kata Suci seharusnya masih ditulis Sutji, Ejaan Baru belum berlaku jika menyesuaikan dengan ejaan pada kata TOEGOE JOEANG BLATER, KAMIS WAGE 31 DJOELI 1947.

Kamis wage, 31 Djoeli 1947 adalah tanggal terjadinya pertempuran di tempat berdirinya tugu, bertepatan dengan tanggal 12 Ramadhan 1336 Hijriah. Para pejuang justru bertempur di saat bulan Ramadhan, bulan puasa. Di saat berpuasa itu pula para pejuang harus membela tanah air, tembak menembak, merangkak, menyelusup di sawah, berlindung di tepian tebing yang tidak curam, melawan penjajah dan kemudian sebagian gugur.

Sedang Surya Sengkala atau “waktu yang dihitung menggunakan perjalanan matahari” berbunyi: Wasita Suci Kusuma Negara memiliki makna, sesuai dengan rumusan pembentukannya: wasita = pelajaran, memiliki watak 7; Suci = jernih, bersih berwatak 4; Kusuma = bunga, terhormat berwatak 9; Negara berwatak 1. Rumus membaca surya sengkala adalah dibaca dari belakang ke depan, maka angka yang terbaca bukan 7491 tapi dibaca 1947. Terjemahan bebas dari dari kalimat: Wasita Suci Kusuma Negara adalah: Teladan yang luhur dari para pejuang. Yang menggubah surya sengkala ini juga Bapak Mangun Wiyoto.

Keberadaan Tugu Juang Blater menjadi kebanggaan Pemerintahan Kecamatan Kalimanah. Tugu Blater diperlakukan layaknya Makam Pahlawan. Setiap tahun pada HUT Proklamasi dan Hari Pahlawan, di tempat tersebut dilakukan upacara mengheningkan cipta, menghormati jasa para pahlawan yang telah gugur mempertahankan kemerdekaan. Diletakkan karangan bunga, dengan cara dicanthelkan di sisi depan tugu.

Seiring dengan perjalanan waktu, seiring dengan perubahan pola pikir, aktivitas di tugu Blater pun berkurang. Seiring dengan dipindahkannya jasad para pejuang ke Makam Pahlawan Purbosaroyo. Seiring pula dengan dibongkarnya rel KA di halaman tugu. Perlakuan terhadap Tugu Juang Blater pun bergeser.
Kini kemegahan Toegoe Joeang Blater pun semakin meredup. Tugu Blater kini terjepit oleh waktu, terjepit oleh bertambahnya penghuni. Terjepit pula oleh jaman yang konon semakin "maju".


Klik ke : Pertempuran di Blater  



1 komentar:

  1. Semoga njenengan tidak pernah bosan, mengungkap kisah-kisah lama untuk tidak hilang ditelan jaman. Kisah perjuangan yang layak dilestarikan untuk diteladani.

    BalasHapus