Senin, 02 Juni 2014

BELAJAR BADHEG

Cerita Remaja
BELAJAR BADHEG
Oleh: Toto Endargo


Minggu, 2 Februari 1992

   Adalah Anifuddin Azis, seorang pelajar, kini berada di kamarnya ukuran tiga kali dua setengah meter. Ia merasa tak berbakat main sepakbola tapi ia suka bola, suka nonton bola baik di lapangan maupun –tentu saja – di TV. Tahun 1992 adalah tahun luncuran kesebelasan Jerman, setelah tahun 1990 Jerman Barat, sebagai juara dunia.

   Sangat wajar di kamar Anifuddin Azis terpampang poster kesebelasan Jerman, dari yang jongkok bareng sampai yang satu-satu. Lothar Matthaus sebagai kapten, Franz Beckenbauer sang pelatih, Bodo Illeger sebagai penjaga gawang, Jugler Klisman, Rudi Voller yang bermain ludah dengan Frans Rikarj gelandang Belanda sehingga keduanya dikartu merah, adalah poster yang harus ada di dinding kamarnya. Poster adalah bagian dari dunia remaja.
   Anifuddin rumahnya di Kampung Blumbang. Sebuah kampung yang mulai berpenghuni sejak sekitar tahun 1920-an. Kampung ini berada di sebelah barat laut kompleks Pendapa Kabupaten Purbalingga. Di sisi sebuah sungai yang cukup besar, Kali Gemuruh. Suara air bergemuruh karena terdapat air terjun setinggi lima meter di ujung kampung. Namun bukan karena suara gemuruh yang menjadikan sungai tersebut disebut Kali Gemuruh. Dan di atas air terjun itu dibangunlah sebuah jembatan. Bagian dari jalan besar yang menghubungkan kota Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Randudongkal atau Purbalingga, Bobotsari, Karangmoncol. Sungguh pemandangan yang menakjubkan jika kita melihat dari atas jembatan, terlihat buih air berpelangi di bagian bawah air terjun.
   Sungai Gemuruh di tahun 1920-an adalah salah satu sungai yang besar dan berair bening. Tebing-tebingnya setinggi tujuh meter, ditumbuhi rumpun berbagai jenis pakis. Di bagian bawah banyak tumbuh perdu pacar air yang bunganya berwarna merah-ungu. 
   Sekitar seratus meter dari jembatan terdapat sebuah lubuk sungai, kedhung yang dinaungi pohon Gondang yang besar. Tahun 1930-an orang menyebutnya Kedhung Maling. Konon ceriteranya, dulu ada maling dari daerah Kejobong yang menghilang dan bersembunyi di kedhung tersebut, dan lolos dari kejaran Polisi Pamong Praja Kabupaten. 
   Di kedhung dan tebing sungai Gemuruh ini dulu dikenal juga sebagai tempat beranak-pinaknya hewan Lingsang dan Luwak. Hewan pemangsa ikan. Sekitar tahun 1970 lingsang dan luwak sarangnya sampai ke pojok Gedung Mahesa Jenar sekarang.
   Nama Blumbang adalah nama yang diambil dari keberadaan dua buah blumbang besar yang pernah ada di sana. Blumbang atau kolam ikan adalah prakarsa Bupati Purbalingga ke 8, yaitu Kanjeng Raden Adipati Ario Dipokusumo VI yang memerintah pada tahun 1899 sampai tahun 1925. KRAA Dipokusumo VI atau Raden Darmokusumo adalah seorang ambtenaar, pegawai pemerintah, pejabat yang berpengalaman. Beliau terkenal disiplin, ulet, ramah dan pandai bergaul. Menjalin hubungan sangat baik dengan Keraton Surakarta, Mangkunegaran. Karena Keraton Surakarta bersahabat baik dengan Belanda maka Kadipaten Purbalingga pun menjalin hubungan baik dengan Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan atas hubungan baik dan jasa besarnya sebagai pejabat terhadap Pemerintah Hindia Belanda, KRAA Dipokusumo VI mendapat medali emas, Bintang Jasa Gouden Ster En Officier Der Orde Van Oranje Nassau (G.S.O.O.N) dari Pemerintah Kerajaan Belanda.

   Dengan peran pentingnya di pemerintahan maka setiap kali banyak tamu pembesar baik dari Surakarta maupun Hindia Belanda berkunjung ke Purbalingga. Setiap tamu tentu memerlukan hidangan yang pantas, di antaranya adalah lauk nasi yang lezat, lauk semur ikan gurameh. Nah untuk pengadaan ikan gurameh inilah KRAA Dipokusumo VI memprakarsai pembuatan blumbang, kolam ikan yang tidak jauh dari kompleks kabupaten. Tempat yang dipilih adalah di sekitar Kedhung Maling dan dekat air terjun.

   Sebelum ada blumbang, karena dekat dengan Kedhung Maling maka kampung ini dikenal dengan nama Kampung Kedhungmaling. Setelah ada dua buah blumbang sebagai pemasok gurameh dan ikan air tawar yang lain untuk memenuhi kebutuhan dapur kabupaten maka nama Kedhungmaling tersisih, dan nama Blumbang menjadi lebih menonjol. Untuk memberi air bagi kedua blumbang dan tanah persawahan di sekitarnya, dibuatlah saluran irigasi, parit yang lebarnya sekitar satu meter, hasil membendung Sungai Gemuruh dan Sungai Kajar.

   Pengganti KRAA Dipokusumo VI adalah Raden Mas Adipati Aryo Sugondo yang memerintah dari tahun 1925 sampai tahun 1949. Setelah jaman kemerdekaan, kolam ikan sudah tidak terawat secara baik dan akhirnya kolampun menjelma menjadi perkampungan, Kampung Blumbang.

   Kampung Blumbang adalah kampung hunian yang sangat padat, antara rumah sudah tidak ada antaranya, cenderung dempet. Memiliki tiga jalur gang utama yang membentuk seperti trisula dengan pangkal di sebelah barat. Jejak parit pemasok air ke blumbang masih ada di sisi gang paling utara. 
   Penghuninya terdiri dari berbagai profesi. Dari buruh, pedagang, wiraswasta sampai pegawai negeri ada di sana. Mereka kompak, saling membantu. Jangan heran jika kita melihat ada jemuran kerupuk tetangga justru berada di salah satu atap tetangga yang lain. Itulah kampung Blumbang. Jika ada yang berkata Blumbang dari kata; “Belum, Bang! Belum, Bang!” Keliru! Blumbang adalah situs kolam ikan prakarsa para adipati dari Kabupaten Purbalingga!
***
   Menjelang ujian adalah hari-hari yang harus diwaspadai. Ingin sukses atau ingin hancur–hancuran. Beberapa anak ingin mengadakan belajar kelompok. Istirahat pertama. Anifuddin, Rakhmat, Dwiana, Iwa, Risa, Nanang, dan teman yang lain ngobrol di belakang perpustakaan.
“Din sinau nggonku lah!” kata Dwiana.
“Sinau Bahasa Indonesia saja, Dwi! Supaya lancar membuat surat untuk Sugi Kurniasih!” celetuk Rakhmat.
“Mbuhlah!” sergah Dwi
“Lho nanti jadi ada ceritera cinta segi tiga, Dwi, Sugi, Iwa!” ledek Rakhmat. Iwa membulatkan bola matanya ke arah Rakhmat.
“Dwi, kalau ingin belajar kelompok yaa gabung dengan Iwa. Nanti belajar dengan saya. Kamu anak agak nakal, sie!” saran Anifuddin. Dwi diam saja karena merasa sebagai anak yang cukup usil. Ia jarang bersama dengan kelompok Anifuddin.
“Selesai belajar kita bersepeda. Saya ingin bersepeda bersama dari Penambongan, ke Slinga, sampai Sinduraja” Kata Anifuddin Azis.
“Tidak usah bicara. Tinggal kapan ayo kita sepedaan. Mau berapa hari, kapan maunya!” kata Dwiana.
“Betul Dwi! Tahun ini kita membuat sejarah. Besok sekitar 10 tahun lagi kita bisa bersama-sama napak tilas! Sepedaan lagi!” kata Anifuddin Azis.
“Naik becak saja! Pasti lebih berkesan sebab pasti lebih berkeringat dibanding bersepeda” Dwi usul dengan usil.
“Nggak mau! Naik slender saja, lebih lama di perjalanan. Kalau mogok, mendorong slender juga lebih berkesan!” protes Anifuddin.
“Iya Dwi, nanti kamu yang jadi pilot slender! Dapat bergaya di atas slender! Banyak gadis kagum padamu, syukur janda” usul-usile Nanang. Dwi melotot ke arah Nanang.
“Stop. Sekarang mikir belajar sajalah! Kalau belajar kan nilainya jadi bagus! Seperti ulangan IPA kemarin, karena belajar hasilnya kelihatan, yaa Din?” saran Iwa dengan lagak bijak.
“Ngajari Iwa. sambil menyediakan durian lagi, yaa Wa?” tanya Anifuddin ke Iwa.
“Durian dari Mandiraja, ya Din?” celetuk Iwa. Menyindir seseorang di antara mereka.
“Jangan bicara Mandirajalah, nanti ada yang tersinggung!” saran Risa.
“Tidak! Mana mungkin saya ceritera bahwa ada anak naik angkot ke Mandiraja, ingin ketemu Titin!” kata Iwa bercanda.
“Titin sie sapa, Wa?’ tanya Risa pura-pura tidak kenal.
“Tidak ada pemberitahuan, ora tidhokan, ya Wa?” kata Anifuddin Azis
“Jangan pelit, Din!” kata Risa Hernawan bersamaan dengan bunyi bell tanda masuk. 
   Perbincangan remaja yang belum dewasa tapi kadang bicara hal-hal dewasa ini pun terhenti. 
Mereka membubarkan diri. 
Masuk ke kelas masing-masing.
***

   Anifuddin membaringkan dirinya sejenak di kamarnya. Ia menyapukan tatapan matanya ke poster-poster di dinding kamarnya. Sebentar lagi ia akan meluncur dengan sepeda kesayangannya, ke Penambongan. Ke rumah Dwiana Prihartanto untuk belajar bersama menjelang Ujian Nasional. Walaupun tidak terbiasa belajar bersama dengan Dwiana namun hari Minggu ini ia dan beberapa teman sepakat ke rumah Dwiana. 
   Bayangan teman-temannya, satu satu melintas di benaknya. Satu-satu muncul dengan wajah masing-masing. Ketika Anifuddin menggenjot sepeda ke Penambongan, ternyata dari kampung pinggiran, Peniron, Untung Budi Raharjo sesuai janji mereka di hari Sabtu siang, juga mancal sepeda ke Penambongan. Kompaknya anak-anak!
   Setelah melewati Prapatan Banteng, melewati SD Negeri 3 Purbalingga Wetan, ada jembatan sungai Gringsing. Setelah jembatan ada pertigaan, SD Negeri 1 Penambongan dan Balai desa Penambongan, ke selatan lagi ada pertigaan jalan ke timur. Sekitar lima puluh meter di kanan jalan itulah rumah Dwiana Prihartanto.
   Pelajaran paling menakutkan bagi siswa adalah matematika. Sehingga wajar pula jika Anifuddin Azis sebagai salah satu siswa yang jagoan dalam matematika menjadi harapan teman-temannya untuk mengajari mereka.
***

   Ini pertama kali mereka belajar di rumah Dwiana. Untung, Anifuddin, dan Iwa harus sedikit beradaptasi. Iwa mebayangkan nanti di kasih minum apa? Lawuh medange apa? Sedang Untung tidak begitu antusias matematika. Di kelas ia merasa bisa. Matematika yang diajarkan ke Iwa dan Dwiana paling-paling pelajaran yang dia sudah mampu menguasainya. Ada keinginan untuk setiap kali mengganggu Dwiana atau Iwa. 
   Melihat Dwiana belum juga membuka buku Untung menatap Dwiana.
“Jere sinau! Endi bukune? Debukak!” tegurnya
“Pelajaran apa sie?” tanya Dwiana ke Anifuddin
“Matematika!” jawab Anifuddin sabar.
“Bab apa, Din?” tanya Dwiana sambil membuka buku paket matematika.
“Sing mesti metu Rumus Phitagoras! Dwi, segi tiga apa yang ada hubungannya dengan Rumas Phitagoras?” tanya Anifuddin.
“Segitiga sama sisi!” jawab Dwiana setelah memutar bola mata.
“Ugh, salah Dwi! Sing bener segitiga sama Sugi!” celethuk Untung sedikit nyentil Dwiana. Jawaban Dwiana memang salah.
   Anifuddin lalu menggambar sebuah segi tiga. 
“Ini segi tiga yang digunakan dalam Rumus Phitagoras. Segi tiga siku-siku!” terang Anifuddin.
“Siku-siku Dwi, udu sugi-sugi!” celetuk Untung lagi. Iwa melotot. Dwiana menunduk. Sejenak kemudian ada suara dari bibir Iwa.
“Lah jen Sugi bae. Nyong dadi kepengin menggone Sugi Kurniasih!” begitu kata Iwa dengan dada sedikit berdebar. 
“Aku bae jane kepengin ko Wa!” kata Dwiana segera menimpali usulan Iwa.
   Anifuddin langsung patah semangat mengajari Dwiana dan Iwa hal matematika. Tapi matanya segera berbinar. Anifuddin membayangkan bersepeda ramai-ramai sampai ke Kembaran Wetan adalah hal yang menyenangkan. Untung Budi Raharjo yang sejak awal memang tidak begitu berminat belajar matematika langsung dadanya berdesir. 
“Usul yang bagus!” celetuk Untung. 
“Kiye arep sinau bareng apa kluyuran bareng?” tanya Anifuddin ke teman-temannya. Namun dalam hati ia berharap jawab temannya adalah kluyuran. 
“Wa, Dwi, kamu berdua yang butuh sinau. Nyong karo Untung sie rasane wis teyeng! Arep sinau apa pit-pitan?” tanyanya lagi.
“Aku sie jane kepengin matematika. Tapi angger matematika kan bisa neng sekolahan! Angger umahe Sugi Kurniasih toli onana neng sekolahan, anane neng Kembaran Wetan!” kata Iwa..
“Dadi?” pertanyaan Untung sangat pendek tapi nandes.
“Ya dolan bae. Pit-pitan maring ngone Sugi Kurniasih!” jawab Dwiana dengan semangat. 
“Ya wis. Pit-pitan bae. Tapi mengko angger detakoni ibumu, jere sinau deneng pada lunga, kepriwe?” tanya Iwa ke Dwiana
“Sinau neng nggone kancane maning! Kaya kuwe!” usulnya Untung.
“Bukune kepriwe?” tanya Dwiana.
“Lho bukune ya degawa. Titipna maring Iwa. Lebokna maring tase Iwa!” saran Untung. Semua setuju. Seluruh buku belajar mereka lalu dimasukkan ke tasnya Iwa. Iwa bangga membawa buku-buku penting teman-temannya. Akan menjadi kenangan unik yang tak terlupakan.
“Pamit Ibumu nganah. Sinau neng nggone Sugi kaya kuwe!” saran dari Untung. 
“Ngko angger takon Sugi sapa, kepriwe?” tanya Dwiana dengan bimbang.
“Jawab bae nggone Sugiono, apa Sugianto, apa Sugiarto! Kaya kuwe thok ko bingung!” saran Untung dengan semangat. Seneng rasane mengolok-olok Dwiana. 
“Lah, jawab bae arep sinau neng nggone Kirman. Kaya kuwe! Ibumu toli mesti kenal Kirman!” saran Iwa.
“Lah mengko angger Kirman maring Penambongan kepriwe?” tanya Dwiana.
“Ora mungkin. Kirman mbok tangane lagi degendong. Lengenne de spalek!” kata Iwa.
“Iya lagi decangkok sangkane thikil oyode!” komentare Untung.
  Dwiana masuk ke rumah pamit sama ibunya. Beruntung ibunya langsung percaya pada Dwiana karena ada Iwa. Demikianlah keempat remaja putra ini dengan penuh semangat membulatkan niat, pergi ke Kembaran Wetan, ke rumahnya Sugi Kurniasih.
   Karena masing-masing mempunyai sepeda maka ada empat sepeda yang akan berkonvoi menyusuri wilayah utara Sungai Klawing. 
“Kiye metung endi?” tanya Iwa sambil membetulkan letak tas di punggungnya.
“Ya metung ngarep SMP 2 –lah!” jawab Anfuddin
“Mampir Teguh Pesol apa ora?” tanya Iwa.
“Ora lah mbok Teguh Pesol lagi ngrewangi bapake!” jawab Untung. 
   Berendeng empat sepeda meninggalkan rumah Dwiana Prihartanto. Klethek, kletek, suara rantai sepeda mengenai katengkas, membawa keempatnya menyusuri jalan aspal menuju Prapatan Bantheng. Belok kanan, ada Koramil. Sebelah Koramil adalah tempatnya Teguh Pesol, tapi anaknya nggak kelihatan.
“Soooll!” teriak Iwa. Asal teriak sambil tetap menggenjot sepeda.
Brugmenceng, Bancar belok kiri. Depan SMP Borromeus, lalu tugu depan Kodim. Masuk ke jembatan Klawing. Jembatan ini baru berumur dua tahunan. Jembatan lama sudah rusak, tak difungsikan. Jembatan lama dulu ada di utara Pasar Bancar. Jadi harus lewat dekat pasar Bancar dan belok kiri, kalau lurus berarti ke Jatisaba. Kini jembatan yang baru, dari tugu di depan kodim lurus ke utara. 
   Jembatan Klawing terlewati. Lalu dilewatinya dukuh Merden, dukuh Bongok kedua dukuh ini masuk Desa Penaruban. Lalu ketika jalan naik sedikit ada jembatan kecil di Dukuh Trenggiling. Sebelah kiri jalan ada pohon besar yang sangat rimbun, Pohon Angin namanya. Pohon angin ini menjadi sangat mengesankan karena pernah menjadi penjaga pintu gerbang rumah sakit pertama yang ada di Purbalingga.
   Konon Rumah Sakit Trenggiling adalah rumah sakit pertama yang dibangun di wilayah Banyumas sekitar tahun 1910-an. Pada saat itu bupati Purbalingga dijabat oleh KRAA Dipokusumo VI yang memerintah pada tahun 1899 sampai tahun 1925 yang juga membuat dua buah blumbang di tempat yang sekarang disebut dukuh Blumbang.
   Aslinya rumah sakit Trenggiling ini bernama Rumah Sakit Zending. Gedung yang digunakan adalah bekas pabrik pewarna kain dan gudang pengepakan gula. Orang-orang mengatakan zending menjadi Sendeng. Maka sampai sekitar tahun 1980-an masih ada orang yang menyebut kata Sendeng untuk menamakan rumah sakit yang ada di dusun Trengiling ini. Mulai tahun 1986 secara resmi pelayanan rumah sakit ini pindah ke Kembaran Kulon – Wirasana. Dan kini sejak tahun 2010 nama Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga menjadi Rumah Sakit Umum Daerah dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.
   Lewat dari dusun Trengiling kini keempatnya masuk ke Kalikajar dan kemudian daerah legok. Legok adalah daerah sawah yang rendah di antara desa Kalikajar dengan Kembaran Wetan. Untung menghentikan sepedanya. Diikuti teman-temannya.
“Jajal de deleng, dalan satus meter kiye! Sing gawe mbok maen pisan!”
“Kenangapa sie Tung ndadak mikirna wong gawe dalan mbarang?” tegur Iwa.
Anifuddin langsung tanggap dengan jalan pikiran Untung. Ilmu matematikanya digunakan untuk menganalisa kekaguman Untung terhadap jalan di wilayah legok ini.
“Bener Tung jaman semono mesthi alat-alat masih terbatas tapi Bangsa Indonesia, wong Purbalingga wis bisa gawe dalan luar biasa kaya kiye!” kata Anifuddin.
“Luar biasa kepriwe, Din. Kiye mbok dalan biasa?” tanya Iwa.
“De deleng yaa. Dalan kiye. Kanan-kiri jurang, jerone sekitar 10 meter. Angger ambane dalan 7 meter, dawane dalan 100 meter berarti nggo ngurug, nggo nduwurna lemah supaya dalane rata kuwe ana 7.000 meter kibik, lemah, pasir urug, lan watu. Angger setrek demuati lemah, pasir utawa watu patang kibikan. Berarti ada 1.750 trek. Angger se trek dawane limang meter, berarti angger trek-ke dekon antri berarti dawane nganti 8,75 Km!” perhitungan Anifuddin. Iwa dan Dwiana hanya mengangguk-angguk. 
“Iya ya Din mulane dearani legok si ya. Sebab gemiyen kiye mesti legok, mesthi njlegong!” kata Untung berargumen.
"Sekrunguku kiye jenenge Bleng! Embuh apa maksude!" kata Iwa
"Bleng, ya Wa? De-bleng padakaro de-bendung. Ya bener kiye daerah sing njlegong debendung. Bendungane kiye sing dadi dalan!" terang Untung. Anifuddin mengangguk-anggukkan kepala.
   Sejenak keempatnya menikmati pemandangan di wilayah yang legok ini. Sebelah utara tampak sawah yang tampak dibatasi oleh saluran air dari Bendung Slinga dan rumpun bambu berjajar hijau nan rimbun. Sebelah selatan tampak lebih luas tak terbatas. Sawah yang luas dan tampak subur.
   Dua ratus meter dari daerah legok atau bleng sampailah ke sebuah pertigaan di kanan jalan. Untung usul.
“Mengko baline metung Sempor bae!”
“Sempor sie endi?” tanya Dwiana . 
“Ya dalan kuwe. Lurus nganah tekan Sempor. Belok kanan tekan Penaruban!” terang Untung.
“Lah terserah Iwa kuwe!” tanggapan Anifuddin.
Akhirnya keempatnya sampai di pertigaan yang satunya lagi di kiri jalan dan keempatnya belok kiri.
   Dari jalan aspal, begitu belok kiri persis ada Masjid Al Ikhlas, di kiri jalan, kemudian ada SD Negeri 1 Kembaran Wetan di kanan jalan. Jalan belum diaspal, ban sepeda berbunyi kemrecek melindas kerikil di lidhigan jalan. Suasana desa sangat menyentuh. Rumah sederhana dan masih jarang-jarang. Kebun dengan berbagai pepohonan yang rimbun. Setelah tigaratus meter, jalan sedikit menanjak dan ketika menurun ada jembatan Kali Sikerut. Sungai selebar satu setengah meter, saat itu airnya masih bening. Sungai kecil ini adalah bagian dari saluran irigasi dari bendungan di Desa Slinga. 
   Tak berapa jauh dari jembatan Kali Sikerut di kiri jalan ada lapangan desa. Berumput hijau, dikepung pepohonan desa, dari bentuk tajuk tumbuhan, tampak di antaranya rumpun bambu, pohon alba, jengkol dan tentu saja pohon pisang! 
   Pohon kelapa banyak sekali terlihat baik di pinggir lapangan, di pinggir jalan maupun di pekarangan dekat rumah penduduk. Jalan naik sedikit, berkelok ke kanan dan kemudian ke kiri. Sampailah di depan rumah Sugi Kurniasih.
   Rumah limasan model Jawa yang rapi dan bersih. Berdinding tembok, dicat krem, warna coklat muda. Kanan-kiri rumah terdapat kebun dengan berbagai tanaman. Ada debar di dada keempat remaja bersepeda yang penuh gairah hidup ini. Wajah tampak ceria. 
   Untung masih terngiang suara Sugi Kurniasih ketika menyebut warna cat rumah. Dengan pipi sedikit memadat dia katakan; “Umahe, warna krem, coklat-coklat nom-lah! Mung siji sing decet coklat-coklat nom kuwe!”
Maka keempatnya yakin rumah di depannya ini adalah rumah Sugi Kurniasih. Perlahan dengan sopan keempatnya menuntun sepeda. Seorang laki-laki dewasa ada di halaman rumah. Bapaknya Sugi Kurniasih.
   Bapaknya Sugi Kurniasih adalah guru SD. Kebetulan sedang bikin suluh dari blukang. Ia menggunakan kudi untuk bekerja. Untuk diketahui pelepah pohon kelapa itu terdiri dari dua bagian, tangkainya disebut blukang, sedang daunnya disebut blarak. Blarak diambil dulu dengan cara di sesek pangkal daunnya yang berlidi. Blarak di satu sisi dikumpulkan dan diikat dengan dua blarak yang ada untuk mejadi satu ikatan. Blarak sisi yang lain juga menjadi satu ikatan. Tangkai pelepah daun kelapa di potong satu meteran, lalu disigar tipis-tipis. Tajamnya mata kudi ditekan ke pangkal atas blukang, lalu punggung kudi diinjak pakai kaki, sreek. Blukang terbelah. Begitu berulang-ulang sampai semua blukang menjadi tipis-tipis. Blukang tipis-tipis ini kemudian di jemur di halaman depan rumah.
“Kula nuwun” suara Untung
“Mangga. Teman-temannya Asih ya?” Oh panggilan Sugi Kurniasih di rumah ternyata Asih.
“Inggih” jawab Untung sopan.
“Sini! Masuk!” Mereka bersalaman dengan Bapaknya Asih
“Agi gawe suluh. Biasa wong desa. Masake nganggo pawon dadi kudu duwe suluh. Neng kota la nganggo kompor latung!” kata Bapaknya Asih dengan ramah.
“Sudah. Duduk dulu. Nanti Asih saya panggil!’ orang tua itupun berlalu.
   Sugi Kurniasih muncul dengan rok sederhana warna pink. Wajahnya bulat manis. Bias cahaya baju pink mengenai dan memenuhi bagian pipinya. Dwiana sangat terkesan. Iwa lupa menutup bibirnya karena terpukau. Untung mencoba netral tak peduli dengan kecantikan teman putrinya ini. Anifuddin sedikit membandingkan kemanisan Sugi Kurniasih dengan seorang gadis yang pernah hadir di benaknya.
   Ibunya Asih muncul sebentar, sekedar memberi ucapan selamat datang di rumah desa yang katanya berantakan. Ibunya meninggalkan kelimanya. Sementara bunyi srak-srek blukang dibelah berlanjut di halaman depan. Rupanya bapaknya Sugi Kuriasih meneruskan bikin kayu bakar.
“Kiye nguja ngeneh Din? Pit-pitan?” tanya Asih kepada Anifuddin.
“Mikine sie niate sinau bareng. Tapi Dwiana karo Iwa ngajek pit-pitan bae. Ya uwis. Ngeneh!” jawab Anifuddin datar.
“Ora kesasar, Tung?” ganti Asih bertanya kepada Untung.
“Ora, Iwa mbok ahli kluyuran!” jawab Untung sambil melirik Iwa.
“Salah Tung. Inyong ahli penunjuk jalan!” bantah Iwa. Padahal tadi penunjuk jalannya justru Untung Budi Raharjo.
“Wis sinau Gie?” pertanyaan Anifuddin untuk Asih.
“Uwis saben ndina. Dina kiye minggu ya prei. Santai!” jawab Asih.
“Sedhela!” bersamaan dengan ucapan ini Sugi Kurniasih masuk ke dalam rumah. Anak-anak paham pasti akan dikasih minum. Di desa minum apa?
“Ko deneng meneng bae Dwi, slemengeren ya?” tanya Untung.
“Mbuhlah. Bareng bocah wadon Sugi Kurniasih dewekan jebulane ayu pisan ya, Wa?” jawab Dwiana.
“Dewekan apa bareng kancane, Sugi Kurnisasih, ya tetep ayu!” komentar Iwa.
   Ketika Untung akan memberi komentar, batal. Sugi Kurniasih muncul membawa empat cangkir teh tubruk. Tehnya tampak lembarannya lebar-lebar. Bukan teh buatan pabrik. Teh buatan orang desa. Dan semenit kemudian Sugi Kurniasih sudah membawa sepiring cimplung.
“Din, Untung, Iwa, Dwi aku njaluk ngapura kiye neng ndesa anane kaya kiye! Decicipi angger enak de entongna, angger ora enak ya jorna baen!” kata Asih kepada teman-temannya.
   Untung memperhatikan cimplung ketela pohon, besarnya sejempol tangan, panjangnya 10 sentian. Sebelahnya ada cimplung kelapa muda. Paduan yang pas dengan teh tubruk model desa.
“Kiye cimplung badheg ya?” tanya Untung
“Iya. Deneng ngerti?” jawab sekaligus pertanyaan Asih.
“Iya neng ndesane nggonku ana sing dadi tukang deres. Dadi ya biasa weruh badheg!” jawab Untung.
“Nderes ora ngerti ya Dwi? Nderes kuwe munggah mudun menek klapa ngarah badheg!” keterangan Untung untuk Dwiana.
Dwiana manthuk-manthuk thok
   Nderes (huruf e dibaca seperti pada kata gepeng) adalah istilah untuk pekerjaan memanjat pohon kelapa agar mendapatkan air nira. Setiap hari para penderes harus naik-turun, memanjat dan memeluk pohon kelapa. Nira adalah tetesan air dari bunga kelapa yang setiap kali dipangkas.
   Air nira di desa disebut badheg (huruf e dibaca seperti pada kata sate) yang mengandung cukup kadar gula.
“Aku tahu decritani! Pak Toto angger hiking terus neng dalan ketemu wong nggawa badheg jere seneng banget!” kata Untung.
“Kenangapa?” tanya Iwa.
“Katanya kalau pas haus, terus minum badheg, hausnya bisa segera hilang. Tambah maning jere badheg merekna wareg. Dadi angger wis nginum badheg hausnya hilang, laparnya hilang!” kata Untung.
“Bisane?” Dwiana protes. Anifuddin memandang Untung.
“Ya memper ya Tung, badheg kan ngandhung kaya soda, kaya sprite, dadi angger deinum semreset merekna ngelake ilang. Terus badheg mengandung gula, ngandung glukosa kaya sega, dadi angger nginum badheg pada karo mangan sega, pada karo madhang!” terang Anifuddin.
“Teori ya Din?” kata-kata Untung.
“Iya, Tung. Tapi nyong percaya wong Pak Toto kayane pengalaman ngetutna bocah mayeng-mayeng!” kata Anifuddin.
“Iya jere, Pak Toto sering banget kemah karo bocah penegak!” kata Untung.
“Lah apa ora kesel ya Din?” pertanyaan Iwa.
“Ndean urung krasa kesel. Tapi aku kuatir Pak Toto mengko angger sepuh bisa gampang gerah!” analisa Anifuddin.
“Gerah apa Din?” pertanyaan dari Asih.
“Takon Untung!” jawab Anifuddin.
“Pak Toto angger sering kemah berarti sering kenang angin malam, sering kenang embun. Embun karo angin malam bisa ngrusak paru-paru!” jawaban Untung
“Minimal bronkitis ya Tung?” tambahan dari Anifuddin.
“Ya dongakna bae muga-muga Pak Toto sehat terus nganti sepuh!” kata Untung Budi Raharjo.
"Amin!" serempak mereka mengamini harapan Untung.
"Apa Pak Toto kenal Sugi Kurniasih?” pertanyaan tiba-tiba dari Dwiana.
“Lha mbuh. Tapi kan nyong dewulang dadi tau depriksani neng Pak Toto" pembelaan Sugi Kurniasih yang agak risi kalau tak dikenal oleh Pak Toto.
“Kiye, Pak Toto ya kenale paling karo Erly, Wahyuningsih, Septiningsih, Ambar, terus karo Yuli Eko Winarni!” analisa Untung.
“Pak Toto seneng karo Yuli apa yaa?” pertanyaan dari Dwiana.
“Ra. Yuli bae sing angger anu edheg-edheg mereki Pak Toto ngajek crita. Cari perhatian!” pembelaan Iwa kepada gurunya. Ia tak suka ada gosip yang menyatakan Pak Toto jatuh hati kepada Yuli Eko Winarni.
“Edheg-edheg apane? Maksude ngarepe sing edheg-edheg!” celetuk Untung sambil sedikit tertawa. Dwiana ikut tertawa.
“Wis lah aja ngrasani Pak Toto. Saben tahun sie ndean ana-ana bae sing dicritakna de senengi Pak Toto. Gosip!” usul Sugi Kurniasih.
“Gie, njaluk badheg olih apa ora?” celetuk Dwiana.
“Ya olih. Ngko sit tek matur bapak!” jawab Sugi Kurniasih.
Sugi Kurniasih menemui bapaknya yang sudah selesai bikin suluh blukang. Sugi bilang bahwa anak-anak ingin minum badheg.
“Lah kiye jam pira sie. Jam sepuluh lewih. Muga-muga esih ana sing urung de lebokna kawah. Dadi esih ana badheg sing asli sekang wit klapa!” jawab bapaknya. Kalau sudah jam sepuluh siang umumnya seluruh badheg sudah dituang ke kawah, wajan besar, untuk dimasak agar menjadi gula kelapa, gula merah, atau istilahnya Gula Jawa. 
   Sepuluh menit kemudian Sugi Kurniasih dipanggil bapaknya. Dan ketika keluar lagi ia membawa tiga pongkor badheg. Pongkor adalah bambu yang digunakan untuk menyadap nira.
“Nyahlah de saring dewek sekang pongkor!” kata Sugi Kurniasih sambil menaruh gelas kosong di meja.
Untung tidak antusias minum badheg. Anifuddin juga tenang-tenag saja. Tapi Dwiana yang penasaran dengan badheg langsung minum.
“Alon-alon Dwi, mbok keselek!” Untung mengingatkan
“Uh semreset ya kaya sprite. Ana alkohole apa yaa?” tanya Dwiana.
“Kaya banyu tape Dwi!” kata Iwa
“Iya enak!” pendapat Dwiana
   Jam sebelas siang ketika sepiring mendoan yang kemudian disuguhkan pun habis. Mereka akan berpamitan. Menyadari matahari masih terik Dwiana usul ia ingin membawa badheg untuk diminum di jalan. Iwa sangat setuju.
“Nggawane nganggo apa?” tanya Dwiana.
“Pongkore sisan bae degawa!” jawaban Untung
“Lah, nganggo plastik apa yaa?” saran Iwa
“Sedhela!” kata Sugi Kurniasih
   Sebentar kemudian Sugi Kurniasih sudah memegang botol orson kosong yang masih lengkap ada tutup plastiknya warna putih. Orson itu sama dengan sirup, perbedaannya orson lebih encer dibanding sirup.
   Maka sisa badheg yang masih dipongkor secara perlahan dipindahkan ke botol orson. Tutup plastiknya dipasang dan dipuntir. Srek, srek, srek! Seret. Lalu keempat remaja putra ini pun berpamitan. Bersalam. Senyum manis Sugi Kurniasih sekarang pindah di benak Dwiana dan Iwa. 
   Perjalanan pulang dimulai. Ada ajakan ke Sinduraja, ternyata tidak semuanya setuju. Kini mereka kembali menyusuri lidhigan jalan desa Kembaran Wetan. Setelah sampai di depan masjid Al Ikhlas belok kanan. Seperti perbincangan saat berangkat mereka pulang lewat Desa Sempor. Jika nanti sudah di Sempor belok kanan maka akan sampai di desa Penaruban.
   Sepeda membelah jalan
   Iwa di depan dengan tas di punggung. Tas berisi buku-buku pelajaran mereka berempat. Kini tambah beban di tasnya yaitu sebotol orson yang berisi badheg. Setelah sekitar seratus meter dari pertigaan. Iwa mencoba menarik perhatian teman-temannya.
"Tung, ko ngerti ora?" tanya Iwa sambil menghentikan sepedanya di pinggir jalan. Keempatnya berhenti.
"Apa?" tanya Untung. Tangan Iwa menunjuk ke arah timur yang tampak gerumbulan pohon kelapa di tengah sawah.
"Kae ya, jere! Neng grumbul kae ana bekas tlapakan buta, bekas telapak kaki raksasa!" kata Iwa.
"Maring nganah apa? Ndeleng!" usul Dwiana. Sementara di pikiran Anifuddin ada rasa penasaran untuk mengetahui kebenaran cerita Iwa.
"Gah. Hawa panas kaya kiye koh, kon metung galengan ana sekilometeran! Tur jere angker banget!" protes Iwa.
Perjalananpun diteruskan. Empat sepeda menjelajahi lidhigan jalan desa menuju Sempor.
   Benar! Ketika sampai di Desa Sempor mereka belok kanan. Jalan semakin bergejolak sebab jalan di antara Sempor dan Penaruban ada tempat semacam pabrik pemecah batu. Batu-batu pecah itu digunakan untuk bahan cor bangunan semen. Batu pecah diangkut menggunakan trek material. Beban material dan berat trek akhirnya dengan cepat merusak jalan. Jalan pating jlegong.
Iwa dan Dwiana adu keterampilan. Dalam kondisi jalan rusak keduanya tetap memacu sepeda. Tas di punggung Iwa pun terguncang-guncang.
Dan tiba-tiba terdengar suara keras.
   Dhaasss!
   Iwa sangat kaget, sepedanya oleng. Ada sedikit rasa perih di punggungnya. Ada air keluar dari tas semburat mengenai rambutnya, meleleleh membasahi bajunya. Tas basah. Segera keempatnya berhenti memeriksa apa yang terjadi dengan Iwa.
“Badhege njeblug kuwe!” kata Untung
“Hah, cepet dunna. Bukune mesti teles kuwe!” seru Anifuddin
Benar. Ketika tas Iwa di periksa. Badheg di botol tinggal separo, tanpa tutup botol. Langsung buku-bukunya dikelurkan di pinggir jalan. 
   Anifuddin agak pening. Buku matematika yang disayangnya basah lengket terkena badheg. Iwa masih sangat keheranan dengan peristiwa ini. Dwiana juga heran, namun ia ikut sibuk membantu membuka-buka buku yang basah. 
   Mereka lupa bahwa di tas Iwa ada sebotol badheg. Badheg dalam botol yang ditutup rapat ada semacam gas. Jika botol diguncang-guncang maka gas akan berkumpul di permukaan badheg. Setiap satu guncangan akan menambah jumlah gas yang terbentuk. Ketika Iwa melewati jalan rusak guncangan menjadi sedemikian hebat. Gas menekan tutup botol plastik yang tadi dipuntir dengan keras sehingga sedikit retak. Tutup tidak kuat menahan tekanan gas, maka jebolah sang tutup dalam bentuk ledakan. 
   Bom badheg telah meledak di dalam tas, di punggung Iwa. 
“Kepriwe kiye? Klambiku pliket?” pertanyaan Iwa. Ia gelisah.
“Wis badhege sing keri de inum sisan apa de buang?” saran Untung.
“Dhe inum baelah!” kata Dwi. Maka sisa badheg dihabiskan oleh Dwiana dan Iwa.
“Yuh siki de terusna maring Kali Klawing. Klambimu de kumbah neng ngisor brug. Bukune angger bisa ya depe neng watuan!” usulnya Untung. Keempatnya setuju.
   Demikianlah keempatnya kembali bersepeda. Sampai di Jembatan Klawing Bancar mereka pelan-pelan bersepeda menuruni tepian sungai dari sebelah utara.
“Kepriwe kiye Tung?” keluh Anifuddin yang pening karena bukunya rusak.
“Buku nggo sinau malah kesiram badheg!” gumam Untung pasrah.
"Belajar badheg!" sungut Anifuddin, "Niate belajar malah kesiram badheg!" Untung diam saja karena ia juga prihatin akan musibah buku-bukunya yang jadi lengket tersiram badheg.
Ada satu jam mereka bermain di pinggir Sungai Klawing di sekitar bawah jembatan. Mengeringkan badan dan menjemur buku.
   Ketika matahari semakin bergeser Anifuddin sadar bahwa harus sholat dhuhur. Maka keempatnya pun bergegas pulang ke rumah masing masing. Botol badheg dibawa Dwiana sedang buku-buku yang tersiram badheg tetap dibawa Iwa.
   Menurut Dwiana senyum Sugi Kurniasih rasane semreset dan manis seperti badheg. Senyum Sugi Kurniasih sungguh tercetak di benaknya.
   Sedang Iwa dapat pengetahuan baru. Kini ia tahu bahwa jika badheg dalam keadaan tertutup diguncang-guncang dapat menimbulkan ledakan. Bagi Iwa ledakan badheg di punggungnya lebih mengesankan dari pada bertemu Sugi Kurniasih hari ini. 
“Belajar badheg!” gumamnya perlahan. 


Purbalingga, 2 Juni 2014


Mohon maaf buku paket yang terkena badheg, oleh perpustakaan digolongkan sebagai buku rusak, sehingga kini sudah tak berbekas lagi.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar