DHANDHANGGULA – SEMUT IRENG
Toto Endargo
Dinamika
perilaku politikus saat bersaing berebut kekuasaan, akibat dan nasib pejabat
jika sampai lupa diri dan mabuk kekuasaan.
===
Penulis mengenal tembang ini saat kelas lima Sekolah
Rakyat tahun 1967. Pak Gedhe Ayat Notohardjono sering melagukannya, dengan
demikian saya bisa menirukan lagu dan hafal liriknya. Sebenarnya dalam hal nada
dan lagu di lingkup macapat, seperti cengkok lagu Dhandhanggula ini, sudah
ada pakemnya, seperti yang setiap kali diperdengarkan oleh Paklik Suwondo
dengan lirik “Yogyanira”.
Rupanya Paklik Suwondo suka nembang dengan lirik
tersebut karena di dalamnya ada nama Suwondo. Sebagai prajurit teladan.
Liriknya sebagai berikut:
Yogyanira kang para prajurit
Lamun bisa sami anulada
Kadya nguni caritane
Andelira Sang Prabu
Sasrabahu ing Maespati
Aran Patih Suwondo
Lelabuhan nipun
Kang ginelung tri prakara
Guna, kaya, purun, ingkang sen antepi
Nuhoni trah utama
Perhatikan! Jumlah baris, jumlah suku kata dan vokal
akhir dalam lagu Dhandhanggula, itulah aturan bakunya. Dhandhanggula terdiri
dari 10 baris, dengan suku kata dan vokal akhir, tiap baris adalah 10i – 10a –
8e – 7u – 9i – 7a – 6u – 8a – 12i – 7a .
Pernah pula diajari di Sekolah Rakyat lewat lirik “Siwa
Patih”, lirik yang diambil dari cerita Damarwulan.
1.
Siwa Patih,
marma sun timbali .... (10-i)
2.
Ingsun
paring weruh marang sira .... (10-a)
3.
Yen ingsun
antuk wangsite .... (8-e)
4.
Saka Dewa
Linuhung .... (7-u)
5.
Saranane paprangan
iki .... (9-i)
6.
Kang bisa
mbengkas karya .... (7-a)
7.
Bocah saka
gunung .... (6-u)
8.
Kekasih
Damarsasangka .... (8-a)
9.
Siwa Patih,
sigra upayanen nuli .... (12-i)
10.
Jwa nganti
tan kapanggya .... (7-a)
Demikianlah sedikit pakem tembang Jawa, Macapat.
Dengan demikian saat nembang “cengkok” dhandhanggula, nada dan lagunya ajeg,
tetap sesuai pakem, yang berganti-ganti hanya liriknya. Begitulah pedoman
nembang Jawa “macapat”, dalam sub yang diberi nama Tembang Dhandhanggula.
Seiring dengan pengetahuan penulis, rasanya baru sadar
bahwa lirik dalam Dhandhanggula – Semut
Ireng, yang konon digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, ternyata punya makna
yang sangat menyentuh dalam mengupas kehidupan rakyat kecil dan kehidupan
perpolitikan para pejabat.
Di bawah ini adalah murni pikiran penulis yang mencoba
membuat narasi makna lirik tembang Dhandhanggula
– Semut Ireng, berdasarkan ucapan
atau tembung, yang masih saya ingat.
Semoga bermanfaat.
Dhandhanggula
– Semut Ireng
Semut ireng anak-anak sapi
Kebo bungkang anyabrang bengawan
Keong gondhang crak sungute
Timun wuku ron wolu
Surabaya geger kepati
Geger wong ngoyak macan
Den wadhahi bumbung
Alun-alun Kartasura
Gajah meta cinancang wit sidaguri
Mati cineker ayam
Terjemahan dan makna bebas, baris
per baris:
1.
Semut ireng
anak-anak sapi = Semut hitam beranak sapi.
Mengibaratkan orang kecil memiliki
anak istimewa. Anak yang berpotensi di bidang politik, yang dibutuhkan dan
diminati banyak orang. Baik di tingkat dusun maupun di tingkat yang lebih
tinggi. Mungkin karena cara bicaranya, kejujuran, kecantikan, ketampanan maupun
keterampilan dalam mempengaruhi lingkungan. Rakyat kecil dan anak ingin
memiliki masa depan yang bagus, syukur jadi pembesar atau pejabat.
2. Kebo bungkang anyabrang bengawan = Kerbo tua
menyeberang sungai besar
Orang tuanya harus mengusahakannya
dengan mengarungi perjuangan yang berat, sebab jalan untuk menjadi pejabat
perlu banyak pengorbanan, serba sulit dan penuh risiko. Juga mengibaratkan
bahwa orang tua atau pejabat yang sudah senior akan kesulitan mengatasi manuver
anak-anak yang agresif dalam perpolitikan.
3. Keong gondhang crak sungute = Siput gondhang pendek
sungutnya
Siput gondhang adalah siput yang
ada di sawah dan parit-parit, memiliki alat indra yang pendek. Jika orang tua
dan keluarganya tidak mampu menganalisa situasi politik dengan baik maka akan
sangat merugikan, bisa terpuruk tanpa ampun. Karena untuk jadi pejabat harus
mampu menguasai masalah politik secara maksimal diperlukan “indra perpolitikan” yang mumpuni. Juga
bagi pejabat yang tidak memiliki kepakaan dinamika politik akan kelimpungan
karena kalah bersaing dengan yang lebih agresif.
4. Timun wuku ron wolu = Timun wuku daun delapan
Timun wuku adalah timun yang tidak
bagus, biasanya untuk imbuh, tambahan,
diberikan cuma-cuma. Berpolitik jika hanya seperti timun wuku, hanya didukung
oleh sekelompok pendukung yang terbatas, maka keikutsertaannya hanya sebagai
pelengkap, sebagai formalitas. Kekurangcakapannya akan berakibat menjadi
peserta kompetisi yang tidak berpotensi untuk menang. Jadi kalau ingin
jadi pejabat harus orang yang
berpengetahuan, memiliki keterampilan, dan hidup dalam kewaspadaan politik yang
maksimal.
5. Surabaya geger kepati = Surabaya menjadi sangat gempar
Surabaya dari kata (ikan) sura, hiu
dan buaya, dua binatang yang besar dan berbahaya, ketika bertempur
mengakibatkan kegemparan yang parah. Artinya di saat terjadi perebutan
kekuasan, berebut jabatan, maka wilayah tersebut akan terjadi kegemparan,
geger, terjadi persaingan, ada konflik keberpihakan.
6. Geger wong ngoyak macan = Gempar orang mengejar
harimau.
Harimau sebagai perlambang jabatan
tinggi. Baris ini menjelaskan baris di atasnya, bahwa kegemparan terjadi saat
orang berlomba mengejar jabatan atau justru mengejar pejabat untuk dihentikan
masa jabatannya.
7. Den wadhahi bumbung = Dimasukkan ke dalam lubang ruas
bambu.
Politik itu tidak pandang bulu.
Bahwa sesungguhnya setiap orang, setiap kelompok, masing-masing berpolitik
untuk keuntungan dirinya atau kelompoknya, maka dapat terjadi seorang yang
berhasil menjadi pejabat akan dibawa ke dalam situasi yang sulit, sehingga
tidak mampu menggunakan kekuasaannya secara maksimal, dipersempit perannya
sebagai pejabat. Pejabat tersebut seperti dikurung, sehingga kekuasaannya
menjadi sangat terbatas. Secara formal
dia pejabat, tapi hanya sebagai boneka, kekuasaan yang sesungguhnya ada di luar
diri pejabat tersebut. Tidak cukup dikebiri kekuasaannya, bahkan bisa terjadi
seorang pejabat diperangkap untuk dijebloskan ke dalam masalah hukum dan
dipenjara.
8. Alun-alun Kartasura = Alun-alun Kartasura
Alun-alun adalah tempat yang luas. Kartasura
dari kata karta (makmur, berjaya) dan sura (berani, perwira). Jika ingin
menjadi pejabat atau sudah menjadi pejabat hendaknya memiliki pengetahuan yang
luas. Mampu berpolitik dengan “sempurna”. Karena untuk berjaya diperlukan
keberanian yang cukup, memiliki keperwiraan yang mapan. Sungguhnya banyak
tempat untuk berjaya asalkan punya keberanian, dan keperwiraan yang mapan.
9. Gajah meta cinancang wit Sidaguri = Gajah mabuk
diikatkan ke pohon Sidaguri.
Pohon Sidaguri (sida rhombifolia), adalah tanaman perdu
pendek. Pejabat yang mabuk kekuasaan atau mabuk harta umumnya akan terhenti
kekuasaannya hanya karena diikat atau dipancing oleh hal-hal yang kecil, misal
korupsi kecil-kecilan, pelecehan terhadap bawahan, mengeluarkan kata-kata tak
senonoh dan bisa juga karena terpancing asmara.
10.
Mati
cineker ayam = Terbunuh karena dicakar ayam.
Pejabat yang turun tahta karena
dituntut oleh rakyat kecil, misal karena banyak rakyat yang protes, melakukan
demontrasi terus-terusan, tidak puas terhadap kebijakan atasannya atau
pejabatnya. Pejabat lengser karena difitnah, dibully, dibuka aibnya,
dikucilkan, dan akhirnya tidak dipilih kembali oleh rakyat kecil yang tidak
suka padanya.
Penjelasan
bebas secara keseluruhan:
1. Baris
pertama sampai baris keempat menggambarkan rakyat kecil yang ingin anaknya
menjadi pejabat harus waspada saat mengarungi kehidupan yang serba sulit dan
penuh risiko. Apalagi bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan wawasan
yang luas, tidak memiliki keterampilan, mereka yang bermodal keterbatasan akan
sulit menjadi orang besar atau pejabat.
2. Baris ke
lima sampai sampai ke tujuh menggambarkan dunia perpolitikan yang nyata, politik
saat mengejar kekuasaan. Bahwa di saat “pertempuran” orang-orang besar, yang
sedang berebut kekuasaan akan membuat “kegemparan
atau keributan” yang masif. Terutama kegemparan bagi rakyat kecil. Namun bagi
pemenang yang kurang waspada, dapat terjadi yang tampaknya sudah berhasil berkuasa
ternyata itu hanya formalitas. Ternyata menjadi pejabat boneka, kekuasaan yang sesungguhnya
justru berada di luar diri pejabat tersebut.
3. Baris ke
delapan sampai ke sepuluh menyampaikan akibat jika ceroboh dalam mengejar
kekuasaan. Bahwa sesungguhnya banyak tempat untuk dapat hidup makmur dan
berjaya asalkan punya keberanian, dan sifat ksatriya, keperwiraan. Jika ada
pejabat yang pada akhirnya mabuk kekuasaan, mabuk harta maka kekuasaannya akan
terhenti karena diikat atau dipancing oleh hal-hal yang kecil, misal korupsi,
pelecehan, bermain kata-kata dan juga karena mabuk asmara. Kekuasaan terhenti,
turun tahta, karena di demo, dibully, dibuka aibnya, dikucilkan, dan tidak
dipilih kembali oleh rakyat kecil yang tidak suka padanya.
Kesimpulan
Lirik tembang “Dhandanggula
– Semut Ireng” secara keseluruhan menceritakan dinamika kehidupan rakyat
kecil atau mereka yang memiliki kemampuan terbatas. Jika ingin keturunan mereka
hidup sejahtera dan berjaya harus melalui perjuangan yang berat. Juga berisi
tentang dinamika perilaku para pejabat dimulai dari persaingan, berebut
jabatan, akibat persaingannya, dan nasib pejabat jika sampai lupa diri dan
mabuk kekuasaan.
Semoga tulisan ini sedikit menambah pengetahuan.
Salam!
Purbalingga, 14 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar