Rabu, 19 Februari 2020

DHANDHANGGULA – SEMUT IRENG

DHANDHANGGULA – SEMUT IRENG
Toto Endargo

Dinamika perilaku politikus saat bersaing berebut kekuasaan, akibat dan nasib pejabat jika sampai lupa diri dan mabuk kekuasaan.
===


Tembang Dhandhanggula – Semut Ireng adalah sebuah tembang yang memiliki lirik sangat memikat, membicarakan dunia politik praktis.
Penulis mengenal tembang ini saat kelas lima Sekolah Rakyat tahun 1967. Pak Gedhe Ayat Notohardjono sering melagukannya, dengan demikian saya bisa menirukan lagu dan hafal liriknya. Sebenarnya dalam hal nada dan lagu di lingkup macapat, seperti cengkok lagu Dhandhanggula ini, sudah ada pakemnya, seperti yang setiap kali diperdengarkan oleh Paklik Suwondo dengan lirik “Yogyanira”.
Rupanya Paklik Suwondo suka nembang dengan lirik tersebut karena di dalamnya ada nama Suwondo. Sebagai prajurit teladan. Liriknya sebagai berikut:
Yogyanira kang para prajurit
Lamun bisa sami anulada
Kadya nguni caritane
Andelira Sang Prabu
Sasrabahu ing Maespati
Aran Patih Suwondo
Lelabuhan nipun
Kang ginelung tri prakara
Guna, kaya, purun, ingkang sen antepi
Nuhoni trah utama

Perhatikan! Jumlah baris, jumlah suku kata dan vokal akhir dalam lagu Dhandhanggula, itulah aturan bakunya. Dhandhanggula terdiri dari 10 baris, dengan suku kata dan vokal akhir, tiap baris adalah 10i – 10a – 8e – 7u – 9i – 7a – 6u – 8a – 12i – 7a .
Pernah pula diajari di Sekolah Rakyat lewat lirik “Siwa Patih”, lirik yang diambil dari cerita Damarwulan.

1.   Siwa Patih, marma sun timbali .... (10-i)
2.   Ingsun paring weruh marang sira .... (10-a­)
3.   Yen ingsun antuk wangsite .... (8-e)
4.   Saka Dewa Linuhung .... (7-u)
5.   Saranane paprangan iki .... (9-i)
6.   Kang bisa mbengkas karya .... (7-a)
7.   Bocah saka gunung .... (6-u)
8.   Kekasih Damarsasangka .... (8-a)
9.   Siwa Patih, sigra upayanen nuli .... (12-i)
10.         Jwa nganti tan kapanggya .... (7-a)

Demikianlah sedikit pakem tembang Jawa, Macapat. Dengan demikian saat nembang “cengkok” dhandhanggula, nada dan lagunya ajeg, tetap sesuai pakem, yang berganti-ganti hanya liriknya. Begitulah pedoman nembang Jawa “macapat”, dalam sub yang diberi nama Tembang Dhandhanggula.
Seiring dengan pengetahuan penulis, rasanya baru sadar bahwa lirik dalam Dhandhanggula – Semut Ireng, yang konon digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, ternyata punya makna yang sangat menyentuh dalam mengupas kehidupan rakyat kecil dan kehidupan perpolitikan para pejabat.
Di bawah ini adalah murni pikiran penulis yang mencoba membuat narasi makna lirik tembang Dhandhanggula – Semut Ireng, berdasarkan ucapan atau tembung, yang masih saya ingat.
Semoga bermanfaat.

Dhandhanggula – Semut Ireng

Semut ireng anak-anak sapi
Kebo bungkang anyabrang bengawan
Keong gondhang crak sungute
Timun wuku ron wolu
Surabaya geger kepati 
Geger wong ngoyak macan
Den wadhahi bumbung 
Alun-alun Kartasura
Gajah meta cinancang wit sidaguri
Mati cineker ayam

Terjemahan dan makna bebas, baris per baris:
1.   Semut ireng anak-anak sapi = Semut hitam beranak sapi.
Mengibaratkan orang kecil memiliki anak istimewa. Anak yang berpotensi di bidang politik, yang dibutuhkan dan diminati banyak orang. Baik di tingkat dusun maupun di tingkat yang lebih tinggi. Mungkin karena cara bicaranya, kejujuran, kecantikan, ketampanan maupun keterampilan dalam mempengaruhi lingkungan. Rakyat kecil dan anak ingin memiliki masa depan yang bagus, syukur jadi pembesar atau pejabat.
2.   Kebo bungkang anyabrang bengawan = Kerbo tua menyeberang sungai besar
Orang tuanya harus mengusahakannya dengan mengarungi perjuangan yang berat, sebab jalan untuk menjadi pejabat perlu banyak pengorbanan, serba sulit dan penuh risiko. Juga mengibaratkan bahwa orang tua atau pejabat yang sudah senior akan kesulitan mengatasi manuver anak-anak yang agresif dalam perpolitikan.
3.   Keong gondhang crak sungute = Siput gondhang pendek sungutnya
Siput gondhang adalah siput yang ada di sawah dan parit-parit, memiliki alat indra yang pendek. Jika orang tua dan keluarganya tidak mampu menganalisa situasi politik dengan baik maka akan sangat merugikan, bisa terpuruk tanpa ampun. Karena untuk jadi pejabat harus mampu menguasai masalah politik secara maksimal diperlukan “indra perpolitikan” yang mumpuni. Juga bagi pejabat yang tidak memiliki kepakaan dinamika politik akan kelimpungan karena kalah bersaing dengan yang lebih agresif.
4.   Timun wuku ron wolu = Timun wuku daun delapan
Timun wuku adalah timun yang tidak bagus, biasanya untuk imbuh, tambahan, diberikan cuma-cuma. Berpolitik jika hanya seperti timun wuku, hanya didukung oleh sekelompok pendukung yang terbatas, maka keikutsertaannya hanya sebagai pelengkap, sebagai formalitas. Kekurangcakapannya akan berakibat menjadi peserta kompetisi yang tidak berpotensi untuk menang. Jadi kalau ingin jadi  pejabat harus orang yang berpengetahuan, memiliki keterampilan, dan hidup dalam kewaspadaan politik yang maksimal.
5.   Surabaya geger kepati = Surabaya menjadi sangat gempar
Surabaya dari kata (ikan) sura, hiu dan buaya, dua binatang yang besar dan berbahaya, ketika bertempur mengakibatkan kegemparan yang parah. Artinya di saat terjadi perebutan kekuasan, berebut jabatan, maka wilayah tersebut akan terjadi kegemparan, geger, terjadi persaingan, ada konflik keberpihakan.
6.   Geger wong ngoyak macan = Gempar orang mengejar harimau.
Harimau sebagai perlambang jabatan tinggi. Baris ini menjelaskan baris di atasnya, bahwa kegemparan terjadi saat orang berlomba mengejar jabatan atau justru mengejar pejabat untuk dihentikan masa jabatannya.
7.   Den wadhahi bumbung = Dimasukkan ke dalam lubang ruas bambu.
Politik itu tidak pandang bulu. Bahwa sesungguhnya setiap orang, setiap kelompok, masing-masing berpolitik untuk keuntungan dirinya atau kelompoknya, maka dapat terjadi seorang yang berhasil menjadi pejabat akan dibawa ke dalam situasi yang sulit, sehingga tidak mampu menggunakan kekuasaannya secara maksimal, dipersempit perannya sebagai pejabat. Pejabat tersebut seperti dikurung, sehingga kekuasaannya menjadi sangat  terbatas. Secara formal dia pejabat, tapi hanya sebagai boneka, kekuasaan yang sesungguhnya ada di luar diri pejabat tersebut. Tidak cukup dikebiri kekuasaannya, bahkan bisa terjadi seorang pejabat diperangkap untuk dijebloskan ke dalam masalah hukum dan dipenjara.
8.   Alun-alun Kartasura = Alun-alun Kartasura
Alun-alun adalah tempat yang luas. Kartasura dari kata karta (makmur, berjaya) dan sura (berani, perwira). Jika ingin menjadi pejabat atau sudah menjadi pejabat hendaknya memiliki pengetahuan yang luas. Mampu berpolitik dengan “sempurna”. Karena untuk berjaya diperlukan keberanian yang cukup, memiliki keperwiraan yang mapan. Sungguhnya banyak tempat untuk berjaya asalkan punya keberanian, dan keperwiraan yang mapan.
9.   Gajah meta cinancang wit Sidaguri = Gajah mabuk diikatkan ke pohon Sidaguri.
Pohon Sidaguri (sida rhombifolia), adalah tanaman perdu pendek. Pejabat yang mabuk kekuasaan atau mabuk harta umumnya akan terhenti kekuasaannya hanya karena diikat atau dipancing oleh hal-hal yang kecil, misal korupsi kecil-kecilan, pelecehan terhadap bawahan, mengeluarkan kata-kata tak senonoh dan bisa juga karena terpancing asmara.
10.                     Mati cineker ayam = Terbunuh karena dicakar ayam.
Pejabat yang turun tahta karena dituntut oleh rakyat kecil, misal karena banyak rakyat yang protes, melakukan demontrasi terus-terusan, tidak puas terhadap kebijakan atasannya atau pejabatnya. Pejabat lengser karena difitnah, dibully, dibuka aibnya, dikucilkan, dan akhirnya tidak dipilih kembali oleh rakyat kecil yang tidak suka padanya.

Penjelasan bebas secara keseluruhan:
1.   Baris pertama sampai baris keempat menggambarkan rakyat kecil yang ingin anaknya menjadi pejabat harus waspada saat mengarungi kehidupan yang serba sulit dan penuh risiko. Apalagi bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, tidak memiliki keterampilan, mereka yang bermodal keterbatasan akan sulit menjadi orang besar atau pejabat.
2.   Baris ke lima sampai sampai ke tujuh menggambarkan dunia perpolitikan yang nyata, politik saat mengejar kekuasaan. Bahwa di saat “pertempuran” orang-orang besar, yang sedang berebut kekuasaan akan membuat “kegemparan atau keributan” yang masif. Terutama kegemparan bagi rakyat kecil. Namun bagi pemenang yang kurang waspada, dapat terjadi yang tampaknya sudah berhasil berkuasa ternyata itu hanya formalitas. Ternyata menjadi pejabat boneka, kekuasaan yang sesungguhnya justru berada di luar diri pejabat tersebut.
3.   Baris ke delapan sampai ke sepuluh menyampaikan akibat jika ceroboh dalam mengejar kekuasaan. Bahwa sesungguhnya banyak tempat untuk dapat hidup makmur dan berjaya asalkan punya keberanian, dan sifat ksatriya, keperwiraan. Jika ada pejabat yang pada akhirnya mabuk kekuasaan, mabuk harta maka kekuasaannya akan terhenti karena diikat atau dipancing oleh hal-hal yang kecil, misal korupsi, pelecehan, bermain kata-kata dan juga karena mabuk asmara. Kekuasaan terhenti, turun tahta, karena di demo, dibully, dibuka aibnya, dikucilkan, dan tidak dipilih kembali oleh rakyat kecil yang tidak suka padanya.

Kesimpulan
Lirik tembang “Dhandanggula – Semut Ireng” secara keseluruhan menceritakan dinamika kehidupan rakyat kecil atau mereka yang memiliki kemampuan terbatas. Jika ingin keturunan mereka hidup sejahtera dan berjaya harus melalui perjuangan yang berat. Juga berisi tentang dinamika perilaku para pejabat dimulai dari persaingan, berebut jabatan, akibat persaingannya, dan nasib pejabat jika sampai lupa diri dan mabuk kekuasaan.
Semoga tulisan ini sedikit menambah pengetahuan.
Salam!

Purbalingga, 14 Februari 2020




Tidak ada komentar:

Posting Komentar