Selasa, 09 Agustus 2016

HARUS AKU

Cerita Remaja
HARUS AKU
Oleh: Toto Endargo
Serambi kelas menjadi meriah saat kelompok Indra memenuhi bagian sekolah yang sempit itu. Serambi kelas adalah emperan panjang di depan kelas. Jika lengang di serampi kelas ini akan terlihat jajaran tiang besi bulat penyangga emperan rapi bagaikan garis-garis matematika di saat membicarakan garis sejajar.
Sementara ada bangku kayu panjang tempat enam atau tujuh anak duduk bercengkerama, duduk berjajar, ada di depan setiap kelas. Pemandangan yang mengesankan!
“Tolak dia!“ kata Siska Saridevi kepada Indra Jatmiko. Indra  menggelengkan kepala, tidak menyangka bahwa Siska tergolong wanita yang cukup keras dalam bersikap.
“Kenapa harus ditolak?” tanya Indra  pelahan, “Bukankah kita, semuanya punya hak yang sama untuk berkreasi!” kata Indra selanjutnya.
“Iya! Tapi kau sebagai ketua kelas, juga punya hak untuk menolak dan menerima naskah yang pantas!“ sergah Siska sewot.
“Kau sudah melihat dan membaca naskah milik Lintang?”
“Belum!”
“Kalau belum, kenapa aku harus menolaknya?” tanya Indra
“Karena naskahku tentu lebih baik dari naskahnya!” kata Siska  sambil menatap tajam mata Indra. Indra  gelagapan.
“Kamu sombong, Siska!” kata Indra  tanpa melihat wajah Siska.
“Hidup kadang-kadang perlu sombong, Indra!” jawab Siska  tak kalah gertak. Indra  menghela nafas tanda kesal atas sikap Siska.
“Tapi kesombongan juga perlu perhitungan. Tidak ngawur sepertimu!”
“Aku tidak ngawur! Kau mau melecehkan kemampuanku!” Hah! Perasaan Indra tersentak, tidak menyangka betapa sombongnya Siska.
“Ini sikap kedua dari kesombonganmu dalam sesaat!” kata Indra  dengan tajam. Siska  memelototkan matanya. Indra  keder. Siska  tersenyum mengejek, dadanya naik turun. Marah!
“Oh, masih ada kesombongan yang ke tiga, ke empat, dan seterusnya. Indra,  kaulah yang akan membuktikan bahwa aku bisa, bukan sekedar sombong. Tolak naskah dari Lintang! Itu tugasmu!”
“Kenapa bukan kau saja yang menolaknya?” kata Indra  datar.
“Karena itu tugasmu, Indra. Kaulah ketua kelasnya!” Siska  berlalu. Indra  menatap punggung Siska. Kasihan Indra! Seminggu jadi ketua kelas sudah didamprat anak buahnya. Ia berjalan ke kelasnya dengan gontai.
***
Tugas dari kakak  kelasnya agar setiap kelas menampilkan pertunjukan di acara Mayang Putih telah membuat Indra  berada di tengah dua kubu yang berseberangan. Kubu Siska Saridevi yang penuh ambisi mengejar karier di lingkungannya dengan kubu Lintang Annisa yang sederhana namun mampu menarik simpati teman-teman sekelas.
Mayang Putih adalah kependekan dari Masa Sayang Penuh Kasih sebuah acara penutup bagi Masa Orientasi Siswa (MOS). Diadakan malam hari, acara utama adalah api unggun yang diisi dengan penampilan masing-masing kelas. Jika tak ada aral melintang maka setiap kelas wajib tampil mengisi acara.
Pada malam tersebut kakak-kakak kelas sudah tidak segarang hari-hari sebelumnya, tidak ada lagi bentakan. Yang ada rasa sesama warga sekolah, kakak dan adik yang penuh rasa sayang, pemaafan bagi semua tingkah laku kakak-kakak kelas yang hari-hari kemarin berlaku sebagai tuan besar yang harus dihormati dan dipatuhi semua perintahnya. Indra, Siska, Lintang dan teman sekelas sebagai siswa baru juga larut dalam irama aktivitas kegiatan tersebut. Acara hari-hari pertama masuk sekolah yang menegangkan tapi sungguh sangatmengesankan.
Dua hari lagi acara Mayang Putih ini segera akan tiba. Hasil undian, kelas Indra  wajib menampilkan drama. Pyuh..., drama di acara api unggun adalah bentuk penampilan yang menarik tetapi jika tidak mampu menguasai penonton maka drama ini akan dianggap sebagai acara yang membosankan.
Harus dibuatkan naskah drama yang kuat, kuat dalam dialog, tema, maupun penampilan para pemainnya. Dan yang sanggup membuat naskah adalah Siska  dan Lintang. Indra  sangat berterimakasih kepada keduanya.
Siska  dan Lintang pun sanggup sekaligus menjadi sutradara, punya hak untuk memilih pemain. Lega hati Indra  menyaksikan semangat kedua remaja putri yang kreatif ini.
***
Lintang sebagaimana sifatnya yang sederhana ia membuat sebuah naskah drama dengan penuh rasa percaya diri. Dipilihnya teman-teman satu regu sebagai para pemainnya ditambah tiga orang teman putra sebagai peran pembantu. Berlatih serius di rumah Saskia yang dekat sekolahan.
Sementara Siska  menenteng naskah dramanya ke sana-kemari, memamerkan, menawarkan peran satu demi satu kepada teman-teman yang dikehendakinya. Indra  sang ketua kelas dikasting sebagai pemeran utama pria sedang dirinya yang sudah mulai jatuh suka pada Indra  mengkastingkan diri sebagi pemeran utama wanita. Cihui...! Betapa sulitnya memahami sifat gadis remaja yang bernama Siska ini.
Siska suka Indra tapi ia juga menekan Indra. Indra  dituntut oleh Siska  untuk memilih satu di antara dua naskah drama. Naskah dari kelompok Siska atau naskah dari kelompok Lintang. Kemanjaan yang berlebihan.
Indra  termenung di ruang tamu rumahnya. Ia sudah berkemas tinggal berangkat ke sekolahan. Beban dari Siskalah yang membuat ia malas beranjak pergi. Ia ingin sakit saja agar ia tak perlu dikejar-kejar Siska. Ia tak ingin memilih tanpa pertimbangan yang jelas. Indra ingin tiduran di rumah. Beruntung ia sadar, sikap yang bodoh kalau ia tetap di rumah. Namun sejurus kemudian ada llintasan pemecahan masalah yang hadir di benaknya.
Demi menyalurkan bakat dan kemampuan Siska dan Lintang maka sebaiknya kedua kelompok itu di beri hak untuk tampil di acara api unggun. Indra  harus membicarakan hal tersebut pada wali kelasnya, Pak Hikam, dan ia harus berbicara pula pada pengatur acara api unggun. Beres!
Indra  meloncat, menyandang ransel dan menembus debu jalanan di atas sepeda montornya. Siska  dan Lintang sama-sama punya hak untuk tampil. Sungguh tak etis si Siska ini, hanya ingin mengejar karier di kelasnya, ternyata Siska tega ingin mendiskualisir usaha Lintang dalam berkarya. “Tolak dia,.. tolak dia...!” kata-kata Siska  terngiang di telinga Indra.
Indra sampai di gerbang sekolah. Langit siang yang terang dan desau cemara telah memeluknya. Belok kanan dan ia sampai di jalan masuk sekolahnya. Lapangan di sebelah kirinya seakan tersenyum padanya. Ia suka sekali! Ia berpikir, “Bukan sesuatu yang tabu, bukan barang haram untuk tampil di api unggun jadi jangan takut! Siska boleh tampil! Lintang juga! Siska  maupun Lintang punya kesempatan yang sama untuk tampil”.
Masalah yang justru muncul adalah sikap para peserta yang lain! Mungkinkah peserta lain mau digusur waktunya untuk memberi kesempatan kelasnya tampil dua kali? Sebodo amat! Que sera, sera! Yang terjadi, terjadilah! Pusing! Indra  pusing lagi! Ah, biarlah Pak Hikam yang mengatur agar keduanya bisa tampil. “Begitu saja, kok repot!” batin Indra.
Jantung Indra  langsung berdenyut kencang begitu sampai di tempat parkir. Siska  telah menyambutnya sebelum ia masuk kelas! Matanya berputar menatapnya. Hanya berdua di area parkir!
“Indra, lima jam lagi acara akan berlangsung. Kau tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut-larut. Pilihan yang sulit bagimu tapi sangat mudah bagiku. Tolak dia!” kata-kata Siska  sambil menatapnya.
Indra  menunduk, dirinya merasa kalah pengaruh dengan Siska. Indra  sadar bahwa ia adalah peragu yang parah. Jika dirinya dalam tekanan maka ia akan kehilangan segala keberaniannya. Mungkin kalimat yang pas untuknya adalah; “Bakat terpendam, bego menonjol”. Yang ditonjolkan dalam tekanan justru bukan bakatnya tapi malah begonya.
“Oke, Siska. Aku akan menolaknya. Tetapi beri kesempatan aku bicara dulu pada Pak Hikam!” kata Indra  berbata-bata.
“Pak Hikam, wali kelas kita? Untuk apa bicara pada Pak Hikam segala. Kau tidak bisa memutuskan sendiri? Harus bisa, Indra!” kata Siska sambil pasang muka sewot.
“Aku mau bicara agar Pak Hikam bisa mengusahakan kalian berdua bisa tampil di api unggun. Aku tidak boleh pilih kasih!” jawaban Indra tegas.
“Indra, dengar kataku! Pilih naskahku! Tolak Lintang! Titik!” Siska  meninggalkan tempat. Indra  menghela nafas panjang.
Benar Siska! Latihan sudah dilakukan dua hari di rumah Dian. Indra  adalah pemeran utama dalam naskah Siska. Jadi kenapa dia ragu menolak naskah Lintang. Indra  tersenyum! Sesampainya di kelas, matanya diedarkan ke seluruh penjuru kelas. Dicarinya wajah Lintang di antara para temannya. Lintang si rambut panjang itu ada di sana. Indra mendekat. Lintang tersenyum. Ada pembicaraan serius antara Indra dan Lintang.
***
Malam sudah turun ke bumi. Wajah langit tak begitu bersih. Hanya nampak beberapa bintang berkelip di antara awan yang menggantung. Pukul 19.00 seperti dalam jadwal namun acara Mayang Putih belum dimulai.
Panitia masih sibuk mempersiapkan acara. Kayu bakar sudah di atur di tengah lapangan. Kesibukan pribadi, mandi, magrib dan makan telah menguras waktu panitia, ditambah lagi rangsum makan malam terlambat datang.
Pukul 20.15 acara api unggun di mulai. Tebaran wajah ceria penuh keakraban menghiasi lapangan sekolahan di pinggir kota ini. Ada sambutan dari Kepala Sekolah yang cukup panjang. Lagu gembira berkumandangan bersamaan dengan lidah api unggun yang menari-nari. Tampilan tiap regu, tiap kelas silih berganti. Ada tarian kontemporer, ada gerak dan tari, ada semacam lawak dan lain-lain. Dada Indra berdebaran menunggu saat naskah drama Siska  akan dipertunjukkan di arena api unggun. Ia dan Siska  adalah pemeran utamanya.
Pukul 21.40. Dada Indra terkesiap ketika memandang langit. Tak ada satu pun bintang yang tertangkap oleh retinanya. Langit jelas tertutup mendung. Ketika angin dingin semakin tajam mengelus wajah–wajah peserta kegiatan, waktu menunjukan pukul 22.25. Indra merasa galau hatinya ia belum tampil. Gerimis hadir menerkam arena. Dada Siska serasa bengkah, ambisinya terluka. Gerimis deras membubarkan arena api unggun. Semua berteduh.
Indra dan Siska segera berlarian bersama kelompoknya. “Dimana Lintang Annisa?” pertanyaan di hati Indra. Mereka segera menuju ke kelasnya.
Astaga! Kelasnya sudah diubah sedemikan rupa sehingga menjadi panggung drama. Meja dan kursi diatur jadi arena penampilan. Ternyata Lintang Annisa dan groupnya akan segera menampilkan dramanya. Tidak di lapangan api unggun tetapi di kelasnya. Ada sekitar tiga puluh penonton dari kelasnya dan juga dari kelas lain.
Lintang Annisa berpikir cepat. Ia tidak akan tampil di arena api unggun karena bapak kepala sekolah sudah terlalu banyak menyita waktu saat sesorah tadi. Ditambah turun hujan gerimis. Pasti banyak yang gagal tampil. Ah! Ternyata rasa kecewa benar-benar merambati kelas-kelas yang tak sempat tampil, termasuk kelasnya Indra.
Lintang Annisa dan kelompoknya membawakan naskah dramanya dengan penuh semangat. Walau hanya tampil di arena kelas namun mendapat pujian dari teman-temannya. Dan Indra menjadi salah satu penontonnya. Siska entah dimana saat Lintang Annisa berakting.
“Lintang, ternyata kamu berbakat jadi pemain!” sebuah suara muncul dari serambi kelas. Suara Pak Hikam. Oh, rupanya Pak Hikam menjadi penonton pula. Beliau menonton dari balik jendela kelas. Pak Hikam menyalami Lintang Annisa. Lintang tersenyum tersipu. Ada tepuk tangan mengiringinya.
Udara semakin dingin takala waktu bergulir menuju titik pergantian waktu. Di pinggir-pinggir lapangan masih selalu ada desau cemara. Ada titik-titik air masih jatuh dari langit.
Ada bayangan Lintang Annisa yang manis di benak Indra.
Sendu!

12 Agustus 2000

*Terimakasih untuk siswa SMA Negeri 1 Purbalingga yang telah memesan cerita ini. Ditulis ulang dengan sedikit perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar