HARUS AKU
Oleh: Toto Endargo
Serambi kelas menjadi
meriah saat kelompok Indra memenuhi bagian sekolah yang sempit itu. Serambi
kelas adalah emperan panjang di depan kelas. Jika lengang di serampi kelas ini
akan terlihat jajaran tiang besi bulat penyangga emperan rapi bagaikan
garis-garis matematika di saat membicarakan garis sejajar.
Sementara ada bangku kayu
panjang tempat enam atau tujuh anak duduk bercengkerama, duduk berjajar, ada di
depan setiap kelas. Pemandangan yang mengesankan!
“Tolak dia!“ kata Siska Saridevi
kepada Indra Jatmiko. Indra menggelengkan kepala, tidak menyangka bahwa Siska
tergolong wanita yang cukup keras dalam bersikap.
“Kenapa harus ditolak?”
tanya Indra pelahan, “Bukankah kita,
semuanya punya hak yang sama untuk berkreasi!” kata Indra selanjutnya.
“Iya! Tapi kau sebagai
ketua kelas, juga punya hak untuk menolak dan menerima naskah yang pantas!“
sergah Siska sewot.
“Kau sudah melihat dan
membaca naskah milik Lintang?”
“Belum!”
“Kalau belum, kenapa aku
harus menolaknya?” tanya Indra
“Karena naskahku tentu
lebih baik dari naskahnya!” kata Siska sambil menatap tajam mata Indra. Indra gelagapan.
“Kamu sombong, Siska!”
kata Indra tanpa melihat wajah Siska.
“Hidup kadang-kadang
perlu sombong, Indra!” jawab Siska tak
kalah gertak. Indra menghela nafas tanda
kesal atas sikap Siska.
“Tapi kesombongan juga
perlu perhitungan. Tidak ngawur sepertimu!”
“Aku tidak ngawur! Kau
mau melecehkan kemampuanku!” Hah! Perasaan Indra tersentak, tidak menyangka
betapa sombongnya Siska.
“Ini sikap kedua dari
kesombonganmu dalam sesaat!” kata Indra dengan
tajam. Siska memelototkan matanya. Indra
keder. Siska tersenyum mengejek, dadanya naik turun. Marah!
“Oh, masih ada
kesombongan yang ke tiga, ke empat, dan seterusnya. Indra, kaulah yang akan membuktikan bahwa aku bisa,
bukan sekedar sombong. Tolak naskah dari Lintang! Itu tugasmu!”
“Kenapa bukan kau saja
yang menolaknya?” kata Indra datar.
“Karena itu tugasmu, Indra.
Kaulah ketua kelasnya!” Siska berlalu. Indra
menatap punggung Siska. Kasihan Indra! Seminggu
jadi ketua kelas sudah didamprat anak buahnya. Ia berjalan ke kelasnya dengan
gontai.
***
Tugas dari kakak kelasnya agar setiap kelas menampilkan
pertunjukan di acara Mayang Putih telah membuat Indra berada di tengah dua kubu yang berseberangan.
Kubu Siska Saridevi yang penuh ambisi mengejar karier di lingkungannya dengan
kubu Lintang Annisa yang sederhana namun mampu menarik simpati teman-teman
sekelas.
Mayang Putih adalah
kependekan dari Masa Sayang Penuh Kasih sebuah acara penutup bagi Masa
Orientasi Siswa (MOS). Diadakan malam hari, acara utama adalah api unggun yang
diisi dengan penampilan masing-masing kelas. Jika tak ada aral melintang maka
setiap kelas wajib tampil mengisi acara.
Pada malam tersebut
kakak-kakak kelas sudah tidak segarang hari-hari sebelumnya, tidak ada lagi
bentakan. Yang ada rasa sesama warga sekolah, kakak dan adik yang penuh rasa
sayang, pemaafan bagi semua tingkah laku kakak-kakak kelas yang hari-hari
kemarin berlaku sebagai tuan besar yang harus dihormati dan dipatuhi semua
perintahnya. Indra, Siska, Lintang dan teman sekelas sebagai siswa baru juga
larut dalam irama aktivitas kegiatan tersebut. Acara hari-hari pertama masuk
sekolah yang menegangkan tapi sungguh sangatmengesankan.
Dua hari lagi acara Mayang
Putih ini segera akan tiba. Hasil undian, kelas Indra wajib menampilkan drama. Pyuh..., drama di
acara api unggun adalah bentuk penampilan yang menarik tetapi jika tidak mampu
menguasai penonton maka drama ini akan dianggap sebagai acara yang membosankan.
Harus dibuatkan naskah
drama yang kuat, kuat dalam dialog, tema, maupun penampilan para pemainnya. Dan
yang sanggup membuat naskah adalah Siska dan Lintang. Indra sangat berterimakasih kepada keduanya.
Siska dan Lintang pun sanggup sekaligus menjadi sutradara,
punya hak untuk memilih pemain. Lega hati Indra menyaksikan semangat kedua remaja putri yang
kreatif ini.
***
Lintang sebagaimana
sifatnya yang sederhana ia membuat sebuah naskah drama dengan penuh rasa
percaya diri. Dipilihnya teman-teman satu regu sebagai para pemainnya ditambah
tiga orang teman putra sebagai peran pembantu. Berlatih serius di rumah Saskia
yang dekat sekolahan.
Sementara Siska menenteng naskah dramanya ke sana-kemari,
memamerkan, menawarkan peran satu demi satu kepada teman-teman yang dikehendakinya.
Indra sang ketua kelas dikasting sebagai
pemeran utama pria sedang dirinya yang sudah mulai jatuh suka pada Indra mengkastingkan diri sebagi pemeran utama
wanita. Cihui...! Betapa sulitnya memahami sifat gadis remaja yang bernama Siska
ini.
Siska suka Indra tapi ia
juga menekan Indra. Indra dituntut oleh Siska untuk memilih satu di antara dua naskah drama.
Naskah dari kelompok Siska atau naskah dari kelompok Lintang. Kemanjaan
yang berlebihan.
Indra termenung di ruang tamu rumahnya. Ia sudah
berkemas tinggal berangkat ke sekolahan. Beban dari Siskalah yang membuat ia malas
beranjak pergi. Ia ingin sakit saja agar ia tak perlu dikejar-kejar Siska. Ia
tak ingin memilih tanpa pertimbangan yang jelas. Indra ingin tiduran di rumah. Beruntung
ia sadar, sikap yang bodoh kalau ia tetap di rumah. Namun sejurus kemudian ada
llintasan pemecahan masalah yang hadir di benaknya.
Demi
menyalurkan bakat dan kemampuan Siska dan Lintang maka sebaiknya kedua kelompok
itu di beri hak untuk tampil di acara api unggun. Indra harus membicarakan hal tersebut pada wali
kelasnya, Pak Hikam, dan ia harus berbicara pula pada pengatur acara api unggun.
Beres!
Indra meloncat, menyandang ransel dan menembus debu
jalanan di atas sepeda montornya. Siska dan Lintang sama-sama punya hak untuk tampil. Sungguh
tak etis si Siska ini, hanya ingin mengejar karier di kelasnya, ternyata Siska
tega ingin mendiskualisir usaha Lintang dalam berkarya. “Tolak dia,.. tolak dia...!”
kata-kata Siska terngiang di telinga Indra.
Indra sampai di gerbang sekolah. Langit
siang yang terang dan desau cemara telah memeluknya. Belok kanan dan ia sampai
di jalan masuk sekolahnya. Lapangan di sebelah kirinya seakan tersenyum padanya.
Ia suka sekali! Ia berpikir, “Bukan sesuatu yang tabu, bukan barang haram untuk
tampil di api unggun jadi jangan takut! Siska boleh tampil! Lintang juga! Siska
maupun Lintang punya kesempatan yang
sama untuk tampil”.
Masalah yang justru muncul adalah sikap
para peserta yang lain! Mungkinkah peserta lain mau digusur waktunya untuk
memberi kesempatan kelasnya tampil dua kali? Sebodo amat! Que sera, sera! Yang
terjadi, terjadilah! Pusing! Indra pusing lagi! Ah, biarlah Pak Hikam yang
mengatur agar keduanya bisa tampil. “Begitu saja, kok repot!” batin Indra.
Jantung Indra langsung berdenyut kencang begitu sampai di tempat
parkir. Siska telah menyambutnya sebelum
ia masuk kelas! Matanya berputar menatapnya. Hanya berdua di area parkir!
“Indra, lima jam lagi acara akan
berlangsung. Kau tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut-larut. Pilihan
yang sulit bagimu tapi sangat mudah bagiku. Tolak dia!” kata-kata Siska sambil menatapnya.
Indra menunduk, dirinya merasa kalah pengaruh dengan
Siska. Indra sadar bahwa ia adalah
peragu yang parah. Jika dirinya dalam tekanan maka ia akan kehilangan segala
keberaniannya. Mungkin kalimat yang pas untuknya adalah; “Bakat terpendam, bego
menonjol”. Yang ditonjolkan dalam tekanan justru bukan bakatnya tapi malah
begonya.
“Oke, Siska. Aku akan menolaknya.
Tetapi beri kesempatan aku bicara dulu pada Pak Hikam!” kata Indra berbata-bata.
“Pak Hikam, wali kelas kita? Untuk
apa bicara pada Pak Hikam segala. Kau tidak bisa memutuskan sendiri? Harus bisa,
Indra!” kata Siska sambil pasang muka sewot.
“Aku mau bicara agar Pak Hikam bisa
mengusahakan kalian berdua bisa tampil di api unggun. Aku tidak boleh pilih
kasih!” jawaban Indra tegas.
“Indra, dengar kataku! Pilih naskahku!
Tolak Lintang! Titik!” Siska meninggalkan
tempat. Indra menghela nafas panjang.
Benar Siska! Latihan sudah dilakukan
dua hari di rumah Dian. Indra adalah
pemeran utama dalam naskah Siska. Jadi kenapa dia ragu menolak naskah Lintang. Indra
tersenyum! Sesampainya di kelas, matanya
diedarkan ke seluruh penjuru kelas. Dicarinya wajah Lintang di antara para
temannya. Lintang si rambut panjang itu ada di sana. Indra mendekat. Lintang
tersenyum. Ada pembicaraan serius antara Indra dan Lintang.
***
Malam sudah turun ke bumi. Wajah
langit tak begitu bersih. Hanya nampak beberapa bintang berkelip di antara awan
yang menggantung. Pukul 19.00 seperti dalam jadwal namun acara Mayang Putih belum
dimulai.
Panitia masih sibuk mempersiapkan
acara. Kayu bakar sudah di atur di tengah lapangan. Kesibukan pribadi, mandi,
magrib dan makan telah menguras waktu panitia, ditambah lagi rangsum makan
malam terlambat datang.
Pukul 20.15 acara api unggun di mulai.
Tebaran wajah ceria penuh keakraban menghiasi lapangan sekolahan di pinggir
kota ini. Ada sambutan dari Kepala Sekolah yang cukup panjang. Lagu gembira
berkumandangan bersamaan dengan lidah api unggun yang menari-nari. Tampilan
tiap regu, tiap kelas silih berganti. Ada tarian kontemporer, ada gerak dan
tari, ada semacam lawak dan lain-lain. Dada Indra berdebaran menunggu saat
naskah drama Siska akan dipertunjukkan
di arena api unggun. Ia dan Siska adalah
pemeran utamanya.
Pukul 21.40. Dada Indra terkesiap
ketika memandang langit. Tak ada satu pun bintang yang tertangkap oleh
retinanya. Langit jelas tertutup mendung. Ketika angin dingin semakin tajam mengelus
wajah–wajah peserta kegiatan, waktu menunjukan pukul 22.25. Indra merasa galau
hatinya ia belum tampil. Gerimis hadir menerkam arena. Dada Siska serasa
bengkah, ambisinya terluka. Gerimis deras membubarkan arena api unggun. Semua
berteduh.
Indra dan Siska segera berlarian
bersama kelompoknya. “Dimana Lintang Annisa?” pertanyaan di hati Indra. Mereka
segera menuju ke kelasnya.
Astaga! Kelasnya sudah diubah
sedemikan rupa sehingga menjadi panggung drama. Meja dan kursi diatur jadi
arena penampilan. Ternyata Lintang Annisa dan groupnya akan segera menampilkan
dramanya. Tidak di lapangan api unggun tetapi di kelasnya. Ada sekitar tiga
puluh penonton dari kelasnya dan juga dari kelas lain.
Lintang Annisa berpikir cepat. Ia tidak
akan tampil di arena api unggun karena bapak kepala sekolah sudah terlalu banyak
menyita waktu saat sesorah tadi. Ditambah turun hujan gerimis. Pasti banyak
yang gagal tampil. Ah! Ternyata rasa kecewa benar-benar merambati kelas-kelas
yang tak sempat tampil, termasuk kelasnya Indra.
Lintang Annisa dan kelompoknya
membawakan naskah dramanya dengan penuh semangat. Walau hanya tampil di arena
kelas namun mendapat pujian dari teman-temannya. Dan Indra menjadi salah satu
penontonnya. Siska entah dimana saat Lintang Annisa berakting.
“Lintang, ternyata kamu berbakat jadi
pemain!” sebuah suara muncul dari serambi kelas. Suara Pak Hikam. Oh, rupanya
Pak Hikam menjadi penonton pula. Beliau menonton dari balik jendela kelas. Pak
Hikam menyalami Lintang Annisa. Lintang tersenyum tersipu. Ada tepuk tangan
mengiringinya.
Udara semakin dingin takala waktu
bergulir menuju titik pergantian waktu. Di pinggir-pinggir lapangan masih
selalu ada desau cemara. Ada titik-titik air masih jatuh dari langit.
Ada bayangan Lintang Annisa yang manis di
benak Indra.
Sendu!
12 Agustus 2000
*Terimakasih untuk siswa SMA Negeri 1 Purbalingga yang telah memesan cerita ini. Ditulis ulang dengan sedikit perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar