![]() |
Membaca Serat Sejarah Babad Onje - ChatGPT |
Membaca Serat Sejarah Babad Onje
Oleh: Toto Endargo, Peminat Budaya
Babad Onje: Onje Lahir dari Laku - Kiyai Tepus Rumput dan Titah Sultan Pajang
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (1)
Di lereng timur Gunung Slamet, ada satu nama yang tak pernah hilang dari ingatan sejarah Purbalingga - Banyumas: Onje. Banyak orang mengenalnya sebagai desa tua dengan jejak kadipaten, tetapi Punika Serat Sejarah Babad Onje menyimpan lapisan yang lebih dalam. Di halaman awal naskah itu, kita bertemu seorang pertapa, sebuah titah raja, dan wejangan yang menyatukan tanah, tahta, dan sukma.
Pertapa di Lereng Barat
Naskah membuka cerita dengan kalimat sederhana:
“Punika Serat Sejarah Babad Onjé. Ingkang mertapa ing Onjé nami Kiyai Tepus Rumput, sampunipun mertapa lajeng suwita dhatêng Kanjeng Sultan Pajang.”
Seorang pertapa, Kiyai Tepus Rumput, meninggalkan sunyinya dan bersujud kepada Sultan Pajang. Dalam tradisi Jawa, pertapa bukan hanya pencari sunyi. Ia sering menjadi jembatan antara tanah dan kekuasaan. Dengan cerita ini, Babad Onje memberi pesan: awal Onje bukan sekadar titah administratif, tetapi lahir dari laku, dari manusia yang menggabungkan hening pertapaan dan pengabdian kepada pusat.
Ali-Aliningsun: Inti yang Tersembunyi
Tak lama setelah Tepus Rumput suwita, datanglah ujian dari Sultan Pajang:
“Sapa sira bocah ingsun kang bisa anjuput ali-aliningsun, Socaludira wasiyat, saiki kalebu aneng sumur jumbleng.”
Ali-aliningsun, inti roh, ditempatkan dalam sumur jumbleng—sebuah ujian simbolis yang sarat makna. Tak ada abdi yang berani. Hanya Tepus Rumput yang turun, dan di sanalah wejangan itu muncul:
“… kawruhana yen jeneng pakanira Sukma Maha Suci. Aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune. Saben rahina wengi iman suci, ma’lum roh tetep mulih langgeng…”
Ini bukan sekadar pesan moral. Ini adalah ajaran tasawuf: mengenal diri sebagai sukma yang abadi. Onje sejak awal diletakkan di persimpangan politik dan spiritual. Sebelum ada kadipaten, ada kesadaran jiwa.
Laku sebagai Legitimasi
Cerita Kiyai Tepus Rumput mencerminkan pola klasik kerajaan Jawa. Sultan Pajang, yang ingin menata wilayah barat, tidak hanya menempatkan demang dan adipati. Ia menanamkan legitimasi batin. Pertapa lokal menjadi penghubung: Onje tidak hanya tunduk kepada pusat, tetapi memiliki akar mistik yang membuatnya istimewa.
Inilah mengapa kemudian Kadipaten Onje bukan hanya wilayah administratif. Ia lahir dari “tanah laku.” Sultan tidak sekadar membagi wilayah; ia mengikatnya dengan sukma.
Tanah Ibu dan Awal Kadipaten
Dari kisah ini, kita bisa membaca pendirian Kadipaten Onje bukan hanya sebagai strategi politik, tetapi sebagai penanaman pakem. Onje menjadi “tanah ibu” di barat, bukan hanya karena posisinya strategis, tetapi karena ada laku yang melandasinya. Pertapaan Tepus Rumput adalah fondasi spiritual; titah Sultan Pajang adalah fondasi politik. Dari dua arus inilah Onje berdiri.
Jejak yang Masih Terasa
Wejangan Sukma Maha Suci bukan sekadar cerita masa lalu. Kalimat aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune adalah gema panjang yang masih terasa dalam tradisi Banyumas. Bahkan hingga kini, Onje masih memegang pakem kalender ABOGe—Alip Rebo Wage—yang berasal dari masa Pajang–Mataram. Ini bukan kebetulan. Onje menjaga bukan hanya tanahnya, tetapi juga ritme waktu dan kesadaran sukma.
Penutup: Sebelum Tahta Ada Laku
Membaca kisah Kiyai Tepus Rumput membuat kita sadar: Onje tidak pernah lahir sebagai kadipaten kosong. Ia dibentuk oleh laku, oleh pertemuan antara sunyi pertapaan dan titah raja. Sebelum ada tahta, ada laku. Sebelum ada kadipaten, ada sukma.
Babad Onje tidak menulis sejarah kering. Ia menyulam cerita yang membuat Onje bukan sekadar wilayah, tetapi tanah yang mengingat, tanah yang menjaga pakem sukma. Dan dari sanalah perjalanan panjang Onje dimulai.
Babad Onje: Wejangan Sukma Maha Suci - Ajaran Jiwa dari Babad Onje
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (2)
Di antara halaman Punika Serat Sejarah Babad Onje, ada satu bagian yang membuat naskah ini bukan sekadar catatan sejarah kadipaten, melainkan teks ajaran jiwa. Setelah Kiyai Tepus Rumput turun ke sumur jumbleng atas titah Sultan Pajang, terdengar sebuah wejangan yang sederhana namun dalam: mengenali diri sebagai Sukma Maha Suci.
Teks Jawa (Transliterasi):
“… kawruhana yen jeneng pakanira Sukma Maha Suci. Dadi pakanira aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune. Saben rahina wengi iman suci, ma’lum roh tetep mulih langgeng suci sampurna. Giling badan suci sarira gumilang-gilang kadi gedhah winasuhan. Mulih kejatining palang kajati sampurna jat munggah kejapatu, urip salawase. Nuli kejapatu nanging urip kena mati, langgeng tan kena owah.”
Terjemahan Bebas:
“… ketahuilah, namamu adalah Sukma Maha Suci. Maka jadikan itu pakanmu. Jangan merasa mati, jangan merasa hatimu rusak. Siang dan malam, imanlah dengan suci; sadarilah bahwa roh selalu pulang, abadi, sempurna. Tubuh suci, raga bercahaya seperti cahaya bulan yang dijaga. Pulang pada hakikat sejati, mencapai kesempurnaan. Hidup selamanya. Hidup itu bisa mati, tetapi keabadian tak bisa berubah.”
Ajaran Jiwa di Balik Naskah
Bagian ini membuat Babad Onje berdiri di antara dua dunia: sejarah politik dan tasawuf. Pesannya bukan sekadar legitimasi kadipaten, tetapi wejangan yang mengingatkan manusia pada hakikat dirinya. Aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune—kalimat yang terasa seperti bisikan seorang mursyid kepada muridnya.
Di sini, kita melihat pengaruh Islam Jawa yang kental. Wejangan tentang sukma yang abadi adalah inti banyak laku tarekat. Dalam bahasa sufistik, ini adalah ajaran ma’rifat: mengenal diri untuk mengenal Tuhan.
Onje sebagai Tanah Pakem Sukma
Mengapa bagian ini muncul di awal babad Onje? Jawabannya bisa jadi karena sejak awal, Onje diletakkan bukan hanya sebagai pusat administrasi, tetapi sebagai tanah pakem sukma. Sebelum ada adipati, ada wejangan jiwa. Sebelum ada kekuasaan, ada kesadaran batin. Inilah yang membuat Onje berbeda: ia bukan hanya lahir dari politik, tetapi dari laku spiritual.
Hubungan Pajang dan Laku Tasawuf
Sultan Pajang dikenal mewarisi tradisi Demak yang sarat tarekat. Dengan menempatkan kisah Sukma Maha Suci dalam babad Onje, kita melihat pola itu dipindahkan ke barat. Onje bukan sekadar benteng kekuasaan; ia adalah simpul ajaran, titik di mana laku tasawuf menanamkan akar di tanah Banyumas.
Gema yang Masih Terdengar
Wejangan ini bukan hanya milik masa lalu. Kalimat aja angrasa mati masih bergema dalam tradisi Jawa pedalaman, dalam doa-doa ngelmu sangkan paraning dumadi. Bahkan, dalam ritual-ritual masyarakat Onje hari ini, ada pantulan pesan itu: kesadaran bahwa hidup lebih luas dari tubuh, bahwa sukma tetap pulang.
Dan ketika kita tahu Onje masih memegang kalender ABOGe, kita melihat kesinambungan yang menarik: selain menjaga pakem waktu, Onje juga menjaga pakem sukma.
Penutup: Naskah yang Berbicara pada Jiwa
Membaca bagian Sukma Maha Suci membuat kita sadar bahwa Babad Onje bukan hanya arsip kadipaten. Ia adalah teks yang berbicara pada jiwa, mengingatkan bahwa sejarah tidak hanya tentang siapa memerintah siapa, tetapi tentang bagaimana manusia mengenali dirinya.
Onje, lewat kisah ini, menjadi bukan hanya titik di peta, tetapi cermin. Cermin yang berkata: sebelum tanah ini jadi kadipaten, ia sudah menjadi tanah jiwa. Sebelum ada nama-nama penguasa, ada satu nama yang disematkan pada manusia: Sukma Maha Suci.
Babad Onje: Ilmu Panglepasan dan Banyu Urip - Onje sebagai Tanah Laku
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (3)
Setelah wejangan Sukma Maha Suci, naskah Punika Serat Sejarah Babad Onje melanjutkan ke bagian yang lebih dalam: ngilmu panglepasan. Di sinilah Onje tidak hanya diceritakan sebagai tanah kadipaten, tetapi sebagai tempat laku, tempat melepaskan diri untuk kembali ke asal.
Teks Jawa (Transliterasi):
/43/ … cicing mohing ikilah ngilmu
panglepasan tedhak saking Pangeran.
Bismillahir rahmanir rahiim, osik sirnaning badan kabeh kawengku dening asih
kanugerahaning Pangeran. Punika panglepasan tedhak saking Pangeran Gesang. Sirullah edzat ciptaning angen-angen illallahu.
/44/ Ikilah panglepasan malih, dus urip dinusah ing banyu urip, sir edzat lan
sukma mulya ing alam jati sampurna. Punika kang pangandikane Pangeran Benang
dhateng Pangeran Kalijaga adhi, punika pamejang dhateng andika ing Paleran…
Terjemahan Bebas:
“… diamlah sejenak, inilah ilmu pelepasan, turun dari Pangeran. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lenyapnya tubuh ini semuanya terliputi kasih anugerah Tuhan. Inilah pelepasan yang turun dari Pangeran Hidup. Rahasia Dzat, cipta, dan angan-angan kembali hanya kepada Allah.
Inilah pelepasan yang lain: tetesan hidup dititiskan dalam air kehidupan, rahasia Dzat dan sukma mulia dalam alam jati sempurna. Inilah sabda Pangeran Benang kepada adiknya, Pangeran Kalijaga, inilah yang kupegangkan padamu dalam pelayaran…”
Ngilmu Panglepasan: Melepas untuk Pulang
Frasa ngilmu panglepasan adalah kunci. Dalam bahasa Jawa-Islam, ini bukan sekadar melepaskan dunia, tetapi melepaskan diri palsu untuk kembali ke asal. Tedhak saking Pangeran – turun dari Tuhan – menunjukkan bahwa ilmu ini bukan ciptaan manusia, melainkan pantulan dari Yang Asal.
Teks ini memakai istilah Pangeran Geseng – “Tuhan Hidup/Abadi.” Ini mengingatkan kita pada tradisi tasawuf yang melihat kehidupan sejati bukan pada tubuh, tetapi pada sukma yang menyatu dengan Dzat.
Banyu Urip: Air Kehidupan
Dus urip dinusah ing banyu urip – “tetes hidup dititiskan dalam air
kehidupan.”
Banyu urip dalam tradisi Jawa adalah simbol pengetahuan hakikat. Air
yang menghidupkan bukan tubuh, tetapi sukma. Di sini, naskah Onje masuk ke inti
laku: kehidupan bukan milik tubuh, tetapi pancaran dari rahasia Dzat.
Pangeran Benang dan Kalijaga: Jejaring Wali
Munculnya nama Pangeran Benang mengejutkan. Ia disebut memberi wejangan ini kepada Pangeran Kalijaga. Ini menempatkan teks Onje dalam jaringan spiritual yang lebih luas: laku wali dan tarekat Demak–Pajang. Onje bukan berdiri sendiri; ia bagian dari arus besar penyebaran tasawuf Jawa.
Siapa Pangeran Benang? Beberapa naskah menyebutnya sebagai wali pedalaman, penghubung antara Demak, Pajang, dan daerah barat. Dengan menyebut namanya, Babad Onje seperti ingin menunjukkan bahwa tanah ini pernah disentuh jejaring wali.
Onje sebagai Tanah Laku
Dengan ngilmu panglepasan dan banyu urip, Onje diposisikan bukan hanya sebagai kadipaten, tetapi sebagai tanah laku. Kadipaten lahir dari politik, tetapi laku melahirkan kesadaran. Onje menjadi simpul di mana politik dan spiritualitas bertemu.
Gema Hingga Kini
Pesan ini masih terasa. Tradisi Banyumas mengenal banyak laku ngelmu sangkan paraning dumadi. Doa-doa kasampurnan pati sering memuat frasa tentang banyu urip dan sukma mulya. Tidak heran jika Onje, dengan akar seperti ini, masih menjaga ritme ABOGe dan pakem-pakem lama: ia bukan hanya tanah, tetapi penjaga laku.
Penutup: Melepas untuk Menemukan
Babad Onje tidak sekadar bercerita tentang siapa memerintah Onje. Ia mengajarkan bagaimana manusia harus melepaskan. Ngilmu panglepasan bukan hanya ajaran mati, tetapi ajaran hidup: bagaimana kita menemukan air kehidupan dalam diri, bagaimana kita pulang pada rahasia Dzat.
Dan Onje, lewat teks ini, berdiri sebagai saksi. Sebagai tanah kadipaten, ia bagian dari politik Pajang. Sebagai tanah laku, ia bagian dari perjalanan jiwa Jawa. ===
Babad Onje: Sejatining Islam dan Dunga Hashyah - Cahaya dari Onje
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (4)
Di halaman-halaman selanjutnya, Punika Serat Sejarah Babad Onje membawa kita pada satu kalimat penting: “iki sejatining Islam”. Naskah yang semula tampak seperti babad kadipaten, kini berbicara sebagai teks ajaran jiwa. Dan puncaknya adalah doa: Bismillahinnuri, nurun ’ala nurin – Cahaya di atas Cahaya.
Teks Jawa (Transliterasi):
/48/ … iki sejatining Islam. Punika
pujine wong arep mati derapon sampurna wicara saben-saben rahina wengi iman
suci badan, ma’lum roh tetep mulya langgeng. Badan suci sampurna gilang-gilang,
badan suci sarira gemilang-gilang kadi gedhah winasuhan mulih.
/49/ Kejatining suci, pulang kejatining sampurna, dat munggah kejapatu. Nanging
urip tan kenang mati, langgeng tan kenang owah. Mulih maring qudsaqullahu
illallahu.
/50/ Punika dunga hasyah. Bismillahir rahmanir rahiim. Bismillahinnuri, nurun
’ala nurin. Walhamdulillahi lladzi khalaqa as-samawati wal-ardli, wa ja‘ala…
Terjemahan Bebas:
“… inilah sejatinya Islam. Inilah pujian bagi orang yang akan mati agar sempurna ucapannya setiap siang dan malam dalam iman suci. Roh tetap mulia abadi. Tubuh suci, raga bercahaya, gemilang seperti cahaya bulan yang dijaga, pulang.
Pulang pada kesucian sejati, pulang pada kesempurnaan, mencapai puncak. Hidup yang tidak mengenal mati, abadi yang tak bisa berubah. Pulang kepada qudsaqullahu, hanya Allah.
Inilah doa hasyah: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Bismillah dalam cahaya, cahaya di atas cahaya. Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi…”
Iki Sejatining Islam
Ketika naskah ini mengatakan “iki sejatining Islam”, ia tidak sedang mengajarkan syariat formal. Ia berbicara tentang inti: kesadaran sukma, iman suci, pulangnya jiwa kepada Yang Satu. Di sini, Babad Onje menyentuh wilayah tasawuf: Islam bukan sekadar hukum, tetapi pengalaman batin.
Pesan aja angrasa mati dari bagian sebelumnya kini menemukan puncaknya: hidup bisa mati, tetapi sukma yang kembali kepada Cahaya tidak bisa binasa.
Dunga Hashyah: Cahaya di Atas Cahaya
Doa Bismillahinnuri, nurun ’ala nurin diambil dari ayat An-Nur 35. Teks ini bukan kebetulan. Dalam tradisi Jawa, doa ini menjadi inti laku kasampurnan pati. Ia dibacakan sebagai pengingat bahwa kematian bukan akhir, tetapi pulang ke Cahaya.
Dengan menutup bagian ini dengan doa, Babad Onje bukan hanya bercerita. Ia memberi laku. Ini bukan sekadar sejarah kadipaten, melainkan teks suluk.
Onje dan Cahaya Laku
Apa artinya semua ini bagi Onje? Ia menunjukkan bahwa tanah ini sejak awal bukan hanya pusat administrasi Pajang di barat, tetapi juga simpul laku spiritual. Kadipaten lahir dari politik; tetapi di bawahnya mengalir arus tasawuf. Iki sejatining Islam menjadi gema panjang: ajakan agar tanah ini tidak hanya mengingat raja, tetapi juga cahaya jiwa.
Gema hingga Hari Ini
Di Banyumas, doa Bismillahinnuri masih dikenal dalam beberapa tradisi. Onje, yang masih memegang pakem ABOGe, seakan terus menjaga irama: bukan hanya waktu dunia, tetapi waktu jiwa. Setiap perayaan, setiap hitungan kalender, ada gema halus: pulanglah kepada Cahaya.
Penutup: Cahaya yang Tersembunyi
Membaca bagian ini membuat kita sadar bahwa Babad Onje menyimpan cahaya. Di balik cerita kadipaten, ada suluk. Di balik nama-nama pejabat, ada wejangan jiwa. Dan Onje, lewat doa ini, berkata: tanah ini bukan hanya tanah kekuasaan. Ia adalah tanah laku, tanah yang mengingatkan kita pada Cahaya di atas Cahaya.
Babad Onje: Onje, ABOGe, dan Pakem Sukma - Menjaga Irama Waktu dan Jiwa
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (5)
Setelah menelusuri kisah Kiyai Tepus Rumput, wejangan Sukma Maha Suci, ilmu panglepasan, hingga doa Bismillahinnuri, ada satu hal menarik: Onje tidak hanya menyimpan cerita kadipaten atau suluk, tetapi juga masih menjaga sesuatu yang nyata hingga sekarang – pakem waktu. Kalender ABOGe (Alip Rebo Wage) yang hidup di Onje menjadi jejak nyata kesinambungan antara sejarah, laku spiritual, dan budaya.
ABOGe: Irama Waktu dari Pajang–Mataram
ABOGe bukan sekadar sistem kalender. Ini adalah pakem penanggalan Islam Jawa yang ditetapkan sejak era Pajang dan dilanjutkan Mataram. Onje, sebagai kadipaten barat yang lahir dari titah Sultan Pajang, ikut menjaga irama ini. Hingga hari ini, sebagian besar tradisi keagamaan Onje masih memakai ABOGe, sementara banyak daerah lain beralih ke sistem baru.
Kenapa Onje tetap memegangnya? Jawabannya bukan hanya “karena tradisi,” tetapi karena ada kesadaran bahwa waktu bukan sekadar hitungan hari, tetapi bagian dari laku.
Pakem Sukma dan Pakem Waktu
Babad Onje mengajarkan aja angrasa mati, ngilmu panglepasan, dan iki sejatining Islam. Semua ini berbicara tentang pakem sukma – bagaimana jiwa menjaga irama kembali kepada Asal. ABOGe, dengan siklusnya, adalah pakem waktu. Onje, dengan dua warisan ini, menjadi simpul: menjaga irama waktu sekaligus menjaga irama jiwa.
Dalam budaya Jawa, waktu bukan hanya kronologi. Ia adalah bagian dari laku. Hari, pasaran, wuku, semua dipakai untuk menyelaraskan manusia dengan jagat dan Gusti. Dengan menjaga ABOGe, Onje seakan berkata: “Kami menjaga tidak hanya sejarah, tetapi juga napas jagat.”
Onje Sebagai Tanah Ibu
Ketika kita melihat Onje sebagai “tanah ibu” barat Mataram, ABOGe memberi lapisan lain. Ibu bukan hanya melahirkan tubuh, tetapi juga menjaga irama hidup anak-anaknya. Onje menjaga irama ini – irama waktu yang menjadi dasar ritus, doa, dan laku spiritual. Dari Pajang hingga hari ini, garis itu tidak putus.
Kesinambungan Laku
Apa yang diceritakan Babad Onje bukanlah cerita mati. Wejangan Sukma Maha Suci, ilmu panglepasan, doa Cahaya di atas Cahaya – semuanya hidup dalam ritme sehari-hari. Ketika masyarakat Onje menentukan tanggal Maulid, Syawal, atau ritual desa dengan ABOGe, mereka tanpa sadar sedang melanjutkan ajaran itu: menjaga irama antara dunia dan sukma.
Penutup: Menjaga yang Tak Terlihat
ABOGe di Onje bukan sekadar penanggalan. Ia adalah bukti bahwa tanah ini masih menjaga sesuatu yang tak terlihat: irama jiwa. Babad Onje memberi ajaran, dan kalender memberi napas. Politik bisa berganti, kadipaten bisa hilang, tetapi selama Onje menjaga pakem waktu dan pakem sukma, tanah ini tetap menjadi simpul – antara sejarah, budaya, dan Cahaya.
Babad Onje: Ayat Pitu - Wirid Perlindungan dari Onje
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (6)
Di halaman /75–81/, Punika Serat Sejarah Babad Onje tiba-tiba memasukkan sesuatu yang berbeda: bukan cerita kadipaten, bukan suluk pertapa, melainkan doa Qur’ani yang disebut Ayat Pitu. Tujuh ayat, tujuh pintu perlindungan. Ini adalah lapisan ketiga dari naskah Onje: laku wirid.
Teks Jawa (Transliterasi)
*/75/ Ikilah ayat pitu:
1. Bismillahir rahmanir rahim, qul lan yudhribana illa ma kataba Allahu lana, huwa maulana wa ‘ala Allahi falyatawakkalil mu’minun.*
(…)
2. /80/ Allahumma inni as’aluka al-manah da’imah, wa qalban nasyi‘an, wa nas’aluka ‘ilman nafi‘an, wa nas’aluka yaqin an shadiqan, wa nas’aluka dinan qaiman, wa nas’aluka al-‘afiyah da’imah, wa nas’aluka tamam al-‘afiyah, wa nas’aluka al-ghina ‘an an-nas, ya Rabbal ‘alamin.
Makna Ayat Pitu: Tujuh Penjaga Jiwa
1.
Ayat Pertama (Qul lan yudhribana…)
Tentang takdir dan tawakal. Pesan awal: tidak ada yang bisa menimpa kita
kecuali yang telah ditulis Allah. Dalam konteks Onje, ini seperti doa
masyarakat di tanah perbatasan: menyerahkan diri pada takdir Gusti.
2.
Ayat Kedua (Wa in yamsaska Allahu bidurrin…)
Tentang luka dan rahmat. Hanya Allah yang mengangkat mudarat dan memberi
kebaikan. Ayat ini sering jadi inti tolak balak.
3.
Ayat Ketiga (Wama min dabbatin…)
Tentang rizki setiap makhluk. Cocok dengan Onje yang tanahnya subur. Ini doa
agraris: semoga bumi selalu memberi hidup.
4.
Ayat Keempat (Inni tawakkaltu ‘ala Allah…)
Peneguhan iman: semua makhluk di bumi ada dalam genggaman-Nya. Ini mengajarkan
kepasrahan total.
5.
Ayat Kelima (Wakayin min dabbatin…)
Tentang beban rizki yang Allah pikul untuk hamba-Nya. Pesannya: jangan takut
pada masa depan, Allah yang menanggung.
6.
Ayat Keenam (Ma yaftahi Allahu…)
Tentang rahmat yang dibuka dan ditutup oleh Allah. Dalam laku Jawa, ayat ini
diyakini sebagai pembuka “pintu berkah.”
7.
Ayat Ketujuh (Wa la in saqathahum…)
Tentang kuasa Allah atas langit-bumi. Ini ayat tauhid kosmik: segala sesuatu
kembali kepada-Nya.
Doa Penutup: Nafas Tasawuf Jawa
Doa setelah ayat pitu meminta: anugerah kekal, hati yang hidup, ilmu bermanfaat, keyakinan benar, agama yang tegak, keselamatan yang abadi, dan kekayaan hati yang tak bergantung pada manusia. Ini adalah doa hidup batin. Ia menggabungkan Qur’an dan rasa sufistik Jawa: hidup yang sederhana, berserah, tapi kokoh.
Ayat Pitu Sebagai Tameng Onje
Kenapa Babad Onje memasukkan wirid ini? Ada dua kemungkinan:
· Sebagai pegangan kadipaten: doa keselamatan wilayah.
· Sebagai laku masyarakat: diwariskan agar Onje tetap dilindungi secara spiritual.
Di masa Pajang–Mataram, daerah perbatasan selalu rentan. Wirid seperti ini bisa menjadi “benteng gaib”.
Dari Wirid ke Budaya
Hingga kini, tradisi ayat pitu masih hidup di beberapa pesantren Banyumas. Membacanya setiap malam Selasa Kliwon atau sebelum slametan dipercaya menjaga kampung. Artinya, warisan Babad Onje tidak hanya tersimpan di naskah, tapi turun ke laku sosial.
Penutup: Tujuh Ayat, Satu Cahaya
Dengan ayat pitu, Babad Onje menutup ajarannya dengan tameng jiwa. Setelah wejangan sukma dan ilmu pelepasan, ia mengikat semuanya dengan doa. Politik kadipaten mungkin hilang, tetapi selama ayat ini dibaca, Onje tetap dalam irama Cahaya. ===
Catatan sebagai lampiran:
1.
Bismillahir raḥmanir raḥim, qul lan yuṣibana illa ma kataba Allahu lana, huwa maulana, wa ‘alallahi falyatawakkalil mu’minun.
Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Katakanlah: “Tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dia adalah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (Dikutip dari Al-Qur’an, Surah At-Taubah [9]: Ayat 51)
2.
Allahumma inni as’aluka al-manaḥa da’imah, wa qalban nasya‘an, wa nas’aluka ‘ilman nafi‘an, wa nas’aluka yaqinan ṣadiqan, wa nas’aluka dinan qa’iman, wa nas’aluka al-‘afiyah da’imah, wa nas’aluka tamam al-‘afiyah, wa nas’aluka al-ghina ‘an an-nas, ya Rabbal ‘alamin.
Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu anugerah yang terus-menerus, hati yang bersih dan bangkit, dan kami memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, keyakinan yang benar, agama yang teguh, keselamatan yang abadi, keselamatan yang sempurna, dan kekayaan yang menjauhkan dari ketergantungan pada manusia. Wahai Tuhan semesta alam.
---
Memaknai Ayat Pitu: Tujuh Penjaga Jiwa
1. Ayat Pertama
Qul lan yuṣibana illa ma kataba Allahu lana, huwa maulana, wa ‘alallahi
falyatawakkalil mu’minun.
Artinya: Katakanlah: “Tidak
akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagi kami. Dia adalah
pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang beriman bertawakal.” (Surat
At-Taubah: 51)
2. Ayat Kedua
Wa in yamsaska Allahu biḍurrin fa-la kashifa lahu illa huwa, wa in
yamsaska bikhayrin fahuwa ‘ala kulli shay’in qadir.
Artinya: Jika Allah menimpakan
suatu mudarat kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia.
Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu. (Surat Al-An’am: 17)
3. Ayat Ketiga
Wa ma min dabbatin fi al-arḍi illa ‘alallahi rizquha.
Artinya: Dan tidak ada satu
makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya. (Surat
Hud: 6, potongan awal)
4. Ayat Keempat
Inni tawakkaltu ‘alallahi rabbi wa rabbikum, ma min dabbatin illa huwa akhidẓun
binaṣiyatiha, inna rabbi ‘ala ṣiraṭin mustaqim.
Artinya: Sesungguhnya aku
bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada satu makhluk pun
melata, melainkan Dia memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku berada di
jalan yang lurus. (Surat Hud: 56)
5. Ayat Kelima
Wa ka-ayyin min dabbatin la taḥmilu rizqaha, Allahu yarzuquha wa iyyakum,
wa huwa as-sami‘u al-‘alim.
Artinya: Dan berapa banyak
makhluk melata yang tidak mampu membawa rezekinya sendiri. Allah-lah yang
memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Surat Al-‘Ankabut: 60)
6. Ayat Keenam
Ma yaftaḥillahu lin-nasi min raḥmatin fa-la mumsika laha, wa ma yumsik
fa-la mursila lahu mim ba‘dih, wa huwa al-‘azizu al-ḥakim.
Artinya: Apa saja yang Allah
anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat
menahannya. Dan apa saja yang ditahan-Nya, maka tidak seorang pun yang sanggup
melepaskannya sesudah itu. Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana. (Surat Faṭir:
2)
7. Ayat Ketujuh
Wa la’in sa’altahum man khalaqas-samawati wal-arḍa layaqulunna Allah.
Qulil-ḥamdu lillah, bal aktharuhum la ya‘lamun.
Artinya: Dan sungguh jika
engkau bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”
niscaya mereka menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,” tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Surat Luqman: 25) ===
Babad Onje: Shalat Hajat Empat Rakaat - Laku Permohonan Kolektif Onje
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (7)
Di halaman /101–102/, Punika Serat Sejarah Babad Onje memuat ajaran ibadah praktis yang jarang muncul dalam naskah babad: tuntunan shalat hajat empat rakaat dua salam dengan bacaan Surat Ikhlash bertingkat dan dzikir khusus. Ini bukan sekadar laku individual, melainkan bisa dibaca sebagai laku kolektif, doa yang menyangkut nasib banyak orang.
Teks (Transliterasi Latin)
Punika partingkahe shalat hajat, iki patang raka’at rong salam. Ikilah lafazhe: ushalli sunnatan lil-qadla’i nujahati rak’ataini lillahi ta’ala, Allahu akbar.
/101/ Sangkaning wacane ba’da fatihah amaca surat Ikhlash kaping sapuluh. Saka raka’at kapindho amaca surat Ikhlash kaping rong puluh, lan raka’at kaping telu kaping telung puluh, lan raka’at kaping pat iya kaping patang puluh. Sawuse tutug…
/102/ … banjur amaca Yahanahu kaping satus, Yamanahu kaping satus, Yadayanu kaping satus, lan amaca lafazh: Astaghfirullaha al-‘azhim alladzi la ilaha illa Huwa al-Hayyul Qayyum… kaping satus.
Makna Bacaan Surat Ikhlash Bertingkat
Mengulang Qul Huwallahu Ahad hingga 10–20–30–40 kali setiap rakaat bukan sekadar repetisi. Dalam tasawuf Jawa, pengulangan bertingkat adalah simbol perjalanan jiwa:
· 10 kali: penyucian awal, membuka pintu hati.
· 20 kali: meneguhkan tauhid dalam lapisan batin.
· 30 kali: masuk ke tahap sirri, kesadaran terdalam.
· 40 kali: penyempurnaan laku, angka yang dalam tradisi Jawa-Islam melambangkan kesempurnaan perjalanan spiritual.
Shalat ini seperti mematri tauhid lapis demi lapis, bukan sekadar membaca ayat.
Dzikir Yahanahu, Yamanahu, Yadayanu
Tiga dzikir ini dibaca masing-masing 100 kali. Banyak ahli filologi Jawa mengaitkannya dengan tradisi hurufiah: dzikir rahasia berbasis kombinasi huruf-huruf tertentu yang diyakini memiliki daya spiritual.
· Yahanahu: sering dikaitkan dengan Asma Rahmat.
· Yamanahu: perlindungan dan penjagaan.
· Yadayanu: keadilan dan keseimbangan.
Bersama istighfar 100 kali, rangkaian ini seperti tameng jiwa sekaligus pembersihan kolektif.
Fungsi Sosial dan Konteks Babad Onje
Mengapa tuntunan shalat hajat ini dimasukkan ke dalam babad? Ada kemungkinan kuat bahwa ini adalah wirid kadipaten – doa yang dilakukan bersama untuk memohon keselamatan wilayah, panen, atau menghadapi masa genting.
Onje sebagai daerah perbatasan Pajang–Mataram pasti sering berada dalam situasi tak menentu. Laku seperti ini mengikat masyarakat dalam satu irama doa. Ini bukan hanya ibadah individu, tetapi ritual sosial.
Lapisan Budaya: Politik dan Laku Spiritual
Dengan munculnya teks shalat hajat ini, Babad Onje menegaskan dirinya bukan sekadar catatan politik, tetapi pandhu laku:
· Laku batin: wejangan sukma dan panglepasan,
· Laku wirid: ayat pitu,
· Laku lahir-batin kolektif: shalat hajat.
Onje menjadi titik pertemuan antara sejarah kadipaten dan budaya spiritual rakyat.
Refleksi: Doa yang Menjadi Jembatan
Teks ini menunjukkan sesuatu yang dalam: kadipaten bukan hanya soal tahta, tetapi tentang menjaga jiwa masyarakat. Shalat hajat empat rakaat dengan Ikhlash bertingkat dan dzikir ratusan kali adalah cara Onje menjembatani bumi dan langit.
Dalam dunia yang selalu berubah, laku semacam ini menjaga kesadaran kolektif bahwa semua urusan akhirnya kembali kepada Allah. Politik bisa berganti, tetapi doa kolektif seperti ini menjaga “napas” tanah Onje tetap hidup.
Babad Onje: Shalawat Barokah Onje - Warisan Doa, Warisan Tanah
Oleh: Toto Endargo – Membaca Serat Sejarah Babad Onje (8)
Di sela-sela halaman Punika Serat Sejarah Babad Onje, tiba-tiba sejarah berhenti berbicara tentang tokoh dan peristiwa. Lembaran itu mendadak berubah menjadi suara doa. Bukan sekadar permohonan pendek, melainkan rangkaian panjang ayat, shalawat, dan dzikir yang disandarkan pada nama besar Syayid Ahmad al-Badawi – seorang sufi Mesir abad ke-13 yang jejak spiritualnya melintasi benua. Saat membaca bagian ini, kita seolah-olah melihat Onje bukan lagi sebagai kadipaten kecil di lereng barat Slamet, tetapi sebagai titik pertemuan antara tanah Jawa dan jaringan tasawuf dunia.
Teks Doa (Kutipan & Transliterasi)
/82/ Ikilah donga shalawat barokah saking Syayid Ahmad al-Badawi raḍiyallahu ‘anhu. Ing jerone donga iki pirang-pirang rahsa ing dalem bab olihe anggampangaken rizqi ẓahir lan baṭin, mangka liyane iku akeh malih faidahe.
Doa dibuka dengan ayat-ayat agung: Bismillahir raḥmanir raḥim, Qulhu (al-Ikhlaṣ), Al-Fatiḥah, lalu Ayat Kursi:
Wa ilahukum ilahun waḥid, la ilaha illa huwa al-ḥayyu al-qayyum…
Dilanjutkan dengan ayat puncak Al-Baqarah: Amana ar-Rasulu bima unzila ilayhi min rabbihi… hingga La yukallifullahu nafsan illa wus‘aha… (QS. Al-Baqarah 284–286). Setelah itu, doa memasuki inti shalawat:
Allahumma ṣalli wa sallim afḍala aṣ-ṣalati ‘ala as‘adi makhluqatika sayyidina Muḥammadin wa ‘ala ali sayyidina Muḥammad, ‘adada ma‘lumatika wa midada kalimatika…
Dan akhirnya ditutup dengan istighfar agung:
Astaghfirullah al-‘Aẓim alladzi la ilaha illa huwa al-ḥayyu
al-qayyumu wa atubu ilayh…
Nawaitu taqarrub ilallahi ta‘ala bi kalimat at-tauhid… la ilaha illallah.
Makna Spiritual
Babad Onje menyebut doa ini sebagai anggampangaken rizqi ẓahir lan baṭin. Dalam tradisi tasawuf, shalawat barokah Syekh Ahmad al-Badawi memang dikenal sebagai wirid untuk membuka pintu keberkahan hidup. Namun di sini, konteksnya jauh melampaui individu. Disusun dalam sebuah babad kadipaten, doa ini nyaris berfungsi sebagai mantra wilayah – permohonan kolektif agar tanah Onje subur, rakyatnya selamat, dan hubungan antara pusat kekuasaan dengan desa perbatasan ini senantiasa terjaga.
Penyebutan nama al-Badawi membuka tabir lain: arus tasawuf besar yang masuk ke Jawa sejak abad ke-16–17. Tarekat Syadziliyah–Badawiyah terkenal membentang dari Mesir, Yaman, India, hingga Nusantara. Hadirnya doa ini di sebuah naskah Purbalingga - Banyumas memperlihatkan bahwa Onje, betapapun kecil di peta politik, pernah menjadi titik singgah dalam jaringan spiritual global.
Onje dan Paket Wirid Kadipaten
Jika kita melihat keseluruhan naskah, Shalawat Barokah bukan berdiri sendiri. Sebelumnya ada Ayat Pitu (tujuh ayat perlindungan) dan tata cara shalat hajat kolektif. Bersama-sama, ketiganya membentuk apa yang bisa disebut paket wirid kadipaten. Polanya menarik:
· Ayat Pitu menjaga batas wilayah,
· Shalat Hajat memohon hajat besar masyarakat,
· Shalawat Barokah membuka pintu rizki lahir-batin.
Ini membuat Babad Onje bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga buku panduan spiritual pemerintahan tingkat daerah. Seakan-akan setiap keputusan politik diiringi laku batin; setiap pengelolaan tanah dimulai dengan doa.
Refleksi Budaya
Membaca bagian ini dengan sadar membuat kita bertanya: Onje itu kadipaten atau padepokan? Jawabannya mungkin keduanya. Politik Jawa masa Pajang–Mataram tidak pernah benar-benar memisahkan kekuasaan duniawi dari otoritas spiritual. Di tanah perbatasan seperti Onje, keseimbangan itu justru lebih terasa. Menyisipkan doa sepanjang ini ke dalam babad adalah cara masyarakat Onje memastikan bahwa sejarah mereka tidak hanya diingat dalam nama-nama adipati, tetapi juga dalam bisik-bisik doa yang setiap hurufnya kembali ke pusat Ilahi.
Dan ada lapisan refleksi yang lebih dalam: Shalawat Barokah Onje menutup seluruh teks dengan la ilaha illallah. Seolah ingin berkata, segala politik, ekonomi, dan sejarah hanyalah jalan panjang untuk kembali ke satu nama. Tanah Onje mungkin kecil, tetapi melalui doa ini, ia menyambungkan dirinya ke langit.
Penutup
Bagian ini membuktikan bahwa Babad Onje bukan sekadar kronik, tetapi juga kitab laku. Dalam setiap ayat dan shalawatnya, kita mendengar gema abad-abad silam: suara Kyai Tepus Rumput yang bertapa, suara rakyat yang memohon panen, suara penguasa yang ingin wilayahnya selamat. Semua bertemu dalam satu wirid panjang yang diwariskan bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dijalani.
Onje hari ini masih dikenal dengan adat kalender Aboge, sebuah jejak keterikatan pada siklus waktu tradisional. Mungkin saja doa-doa seperti ini masih memantul dalam hitungan windu dan tahun Jawa yang mereka jalani. Jika demikian, Shalawat Barokah Onje bukan hanya peninggalan teks, tetapi napas panjang yang masih menghidupi tanahnya.
https://www.kompasiana.com/toto41210/6884d707c925c45db6403ce3/transliterasi-naskah-punika-serat-sejarah-babad-onje
https://www.kompasiana.com/toto41210/6891c7f9ed64153a2146c724/babad-onje-onje-lahir-dari-laku-kiyai-tepus-rumput-dan-titah-sultan-pajang
Babad Onje: Serial Babad Onje - Menutup Naskah, Membuka Hening
Oleh: Toto Endargo, Peminat Budaya
Menutup Naskah, Membuka Kenangan
Ada sesuatu yang menggetarkan saat selesai menyimak dan menutup sebuah naskah tua. Bukan hanya karena huruf-hurufnya yang renta, tetapi karena di balik kertas yang lapuk itu ada napas panjang sebuah wilayah, sebuah zaman, sebuah cara hidup yang perlahan hilang ditelan modernitas. Demikian pula ketika ingin menutup rangkaian tulisan tentang Babad Onje di Kompasiana. Rasanya seperti menarik perlahan tirai masa lalu, lalu menatap tanah Onje hari ini dengan mata yang berbeda.
Onje: Nama Kecil, Jejak Besar
Onje bukan nama besar dalam buku-buku sejarah resmi. Ia bukan Demak, bukan Pajang, bukan Mataram. Namun, setiap baris dalam Punika Serat Sejarah Babad Onje membuktikan satu hal: wilayah kecil ini bukan sekadar titik di peta, melainkan simpul dalam jaringan kekuasaan, spiritualitas, dan budaya Jawa. Dari Kyai Tepus Rumput yang bertapa di antara hening hutan, titah Sultan Pajang yang mengangkat Anyakrapati sebagai adipati pertama, hingga kehadiran Wiraguna yang berdarah Onje dan akhirnya Pangeran Sukowati yang membawa pusat kekuasaan langsung ke sini – semua menyusun satu kisah tentang bagaimana sebuah tanah kecil menegosiasikan dirinya di hadapan kerajaan besar.
Dari Politik ke Doa: Wajah Ganda Babad Onje
Namun yang membuat penghayatan menjadi terdiam bukan karena sekadar daftar tokoh atau tahun peristiwa. Di sela-sela babad itu, sejarah tiba-tiba berhenti berbicara tentang politik, lalu berubah menjadi doa. Ayat Pitu yang memagari tanah, shalat hajat yang memohon kesejahteraan kolektif, hingga Shalawat Barokah yang menyebut nama Syayid Ahmad al-Badawi dan menghubungkan Onje dengan arus tasawuf internasional. Di sinilah perenungan mulai tersadari bahwa: Babad Onje bukan hanya kronik kekuasaan. Ia adalah kitab laku. Sebuah panduan spiritual sebuah wilayah yang ingin selamat, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara ruhani.
Doa Kolektif sebagai Fondasi Kadipaten
Mungkin ini yang membuat Onje berbeda. Dalam naskah itu, sejarah dan spiritualitas tidak pernah dipisahkan. Politik bukan hanya soal siapa berkuasa, tetapi juga siapa berdoa. Sebuah kadipaten tidak cukup berdiri di atas struktur birokrasi; ia harus berdiri di atas laku batin bersama. Dan di tanah kecil ini, doa bukan milik individu, melainkan milik kolektif. Ada sesuatu yang sangat Jawa di sana: keyakinan bahwa bumi tidak bisa dikuasai hanya dengan pedang atau titah raja, tetapi harus diikat dengan wirid, dengan dzikir, dengan napas panjang masyarakatnya sendiri.
Sejarah yang Berbisik: Onje di Hari Ini
Hari ini, Onje mungkin tidak lagi terdengar dalam percakapan politik nasional. Namun, jejaknya masih ada. Dalam adat kalender Aboge yang tetap dijalankan, dalam cerita yang turun lirih dari mulut ke mulut, dan kini dalam tulisan-tulisan yang mencoba menghidupkannya kembali. Membaca ulang Babad Onje membuat kesadaran meruar bahwa sejarah bukan sekadar fakta di buku pelajaran. Ia adalah cara tanah mengingat dirinya. Dan doa-doa dalam naskah itu adalah cara tanah menjaga dirinya tetap hidup.
Hening sebagai Penutup
Menulis serial ini di Kompasiana bukanlah sekadar membongkar arsip lama. Ia lebih seperti percakapan pelan dengan masa lalu. Ada bagian di mana saat perenungan harus berhenti lama, hanya untuk membiarkan teksnya berbicara sendiri. Ada bagian di mana seperti terasa bahwa tanah Onje berbisik: “Sejarah kami bukan hanya tentang siapa yang memerintah, tetapi tentang siapa yang menjaga doa.”
Kini, setelah semua bagian selesai, memilih untuk menutupnya bukan dengan kesimpulan keras, tetapi dengan hening. Karena Babad Onje sendiri menutup dirinya dengan la ilaha illallah. Satu kalimat yang memusnahkan segala hiruk-pikuk kekuasaan, memulangkan semua nama ke pusat yang sejati. Mungkin itu juga pelajaran terbesar dari serial ini: bahwa di balik perebutan wilayah, titah raja, dan strategi politik, selalu ada satu titik sunyi tempat semua kembali. Tempat di mana tanah tidak lagi bicara tentang siapa pemiliknya, tetapi tentang siapa yang sanggup mendengar napasnya.
Maka serial ini diakhiri bukan sebagai akhir. Ia lebih seperti menutup kitab hanya untuk mendengar gema suaranya di luar teks. Onje tetap hidup – dalam adatnya, dalam doanya, dalam kesadaran kita bahwa bahkan tanah kecil pun bisa menyimpan kisah besar jika semua mau membungkuk rendah dan membaca pelan-pelan. Babad Onje telah selesai ditulis ulang, tetapi kisahnya baru saja kembali bernapas.==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar