Catatan sejarah ini ditulis oleh Bapak Soeparno Penilik Kebudayaan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kalimanah, Tahun 1988, dan diberi judul “MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER”
Blog adalah catatan dari pembelajaran kehidupan
Catatan sejarah ini ditulis oleh Bapak Soeparno Penilik Kebudayaan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kalimanah, Tahun 1988, dan diberi judul “MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER”
Benteng Missier dan Pager Banawaty: Dua Lapisan Pertahanan di Onje (1681)
Pada akhir abad ke‑17, wilayah barat daya Banyumas menjadi salah satu titik strategis dalam perebutan pengaruh antara VOC dan kekuatan‑kekuatan lokal Jawa. Kawasan Onje, yang terletak di tepi Sungai Klawing, dikenal masyarakat setempat sebagai pusat Kadipaten dengan sistem pertahanan tradisional yang disebut Pager Banawaty. Struktur ini berupa benteng bumi dengan parit melingkar dan dinding tanah yang mengelilingi permukiman inti kadipaten, khas pertahanan lokal Jawa pada masa itu.
Stop Bullying Sekolah: Saatnya Kita Bela Institusi Pendidikan
Oleh: Toto Endargo
Kita semua sepakat: bullying itu berbahaya. Itulah mengapa kampanye Stop Bullying digalakkan di sekolah-sekolah — demi melindungi siswa dari kekerasan psikologis dan sosial.
Tapi, ada satu bentuk bullying yang kerap diabaikan: bullying terhadap sekolah itu sendiri.
Di era digital, sebuah unggahan sepihak bisa meluluhlantakkan nama baik sebuah sekolah. Tanpa klarifikasi, tanpa data, hanya berdasarkan narasi personal yang kemudian diviralkan. Komentar netizen pun datang berbondong-bondong, menekan, menghujat, bahkan menuntut sanksi — tanpa proses, tanpa tabayyun.
Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha
Jataka Tales atau Kisah Jataka adalah cerita-cerita moral dan spiritual yang menggambarkan kehidupan Sang Buddha dalam berbagai reinkarnasi — bisa sebagai manusia, hewan, atau makhluk lain.
Terdapat 547 hingga 550 kisah Jataka dalam tradisi Theravada (Pali Canon), dan masing-masing mengandung pesan moral atau nilai kebajikan seperti kemurahan hati, kebijaksanaan, dan pengorbanan.
RUNTUHNYA RAJA NAMRUD DARI SALINGA
Sebuah cerita yang diambil dari kisah perselisihan antara Pangeran Puger di Pleret dengan Amangkurat II di Kartasura hingga runtuhnya Benteng Mesir dan tewasnya Raja Namrud dari Salinga (Slinga), sebuah wilayah di sekitar Desa Onje, Mrebet, Purbalingga.
Perselisihan Pleret - Kartasura
Pangeran Puger adalah penguasa di Keraton Pleret, telah berselisih dengan kakaknya yang bernama Raden Mas Rahmat, raja di Kerajaan Kartasura. Raden Mas Rahmat bergelar Amangkurat II, dikenal juga dengan nama Sunan Amral karena suka memakai pakaian model Admiral (Laksamana) Belanda.
Semar adalah tokoh bijak dalam pewayangan yang mengasuh dan
membimbing Arjuna layaknya anak kandungnya sendiri. Dalam suatu perjalanan,
Arjuna terlibat pertarungan sengit dengan seorang raksasa hingga ia jatuh
terkapar kelelahan. Untuk melanjutkan perjalanannya, Arjuna membutuhkan energi
yang cukup, termasuk makanan sebagai penguat.
Sebagai pemomong setia, Semar tidak tinggal diam. Ia
bersama ketiga punakawannya—Gareng, Petruk, dan Bagong—melakukan "Mbarang Jantur," yaitu
mengamen dengan berbagai cara: menari, bercerita, melawak, dan bersandiwara.
Berkat kecerdikan dan kebijaksanaannya, mereka berhasil memperoleh makanan dari
seorang gadis cantik bernama Rara Ireng, yang kelak dikenal sebagai Sumbadra,
istri Arjuna.
Mbarang Jantur mencerminkan bagaimana seorang pemimpin atau pendamping tokoh utama
harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, kecerdasan, dan keluwesan dalam
menarik perhatian serta simpati masyarakat.
Dalam dunia politik Indonesia, fenomena "Semar Mbarang Jantur" dapat
kita lihat dalam kampanye politik para pemimpin nasional yang berusaha
menggalang dukungan bagi calon-calon yang mereka usung. Seperti Semar yang
mengerahkan segala kemampuannya untuk kepentingan Arjuna, para tokoh politik
juga mengerahkan seluruh daya dan upaya mereka untuk memenangkan kandidat yang
mereka dukung.
Misalnya, Presiden Joko
Widodo turun langsung menjadi pemomong politik bagi putranya, Gibran, saat berkampanye untuk
kemenangan Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024. Hal serupa juga pernah dilakukan
oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
yang aktif berkampanye untuk putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dalam Pilgub DKI Jakarta 2017.
Bahkan, SBY, Prabowo, dan Jokowi
juga pernah bersatu dalam mendukung Ridwan
Kamil di Pilgub 2024.
Dalam politik, setiap pemimpin yang berkampanye harus memiliki strategi komunikasi yang
tepat agar dapat menarik perhatian rakyat. Seperti Semar yang memanfaatkan
seni dan kebijaksanaan dalam Mbarang
Jantur, para politisi pun menggunakan berbagai cara untuk meyakinkan
pemilih, baik melalui pidato, debat, media sosial, hingga blusukan ke berbagai
daerah.
Semar dan para punakawan dalam Mbarang Jantur menunjukkan bahwa dalam perjuangan memenangkan hati
rakyat, diperlukan lebih dari sekadar ambisi. Ada unsur kecerdasan, kebijaksanaan, kehumoran, dan kedekatan dengan masyarakat.
Demikian pula dalam dunia politik, kampanye yang efektif tidak hanya bergantung
pada janji-janji semata, tetapi juga pada bagaimana seorang pemimpin mampu
membangun kedekatan emosional dengan rakyatnya.
Politisi yang sukses bukan hanya yang mampu berbicara,
tetapi juga yang mampu memahami dan menyentuh hati masyarakat. Seperti halnya
Semar yang tidak sekadar memberi makan Arjuna, tetapi juga membimbingnya menuju
kemenangan.
Dari kisah Semar
Mbarang Jantur, kita dapat mengambil beberapa pelajaran penting:
Semar Mbarang Jantur dalam dunia pewayangan bukan sekadar cerita hiburan, tetapi juga
cerminan realitas politik yang kita lihat hari ini. Kepemimpinan membutuhkan
lebih dari sekadar kekuatan dan ambisi—ia membutuhkan kebijaksanaan, komunikasi
yang baik, dan kepedulian yang tulus terhadap masyarakat. Semoga para politisi
Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kisah ini dan menjadi pemimpin yang
bijaksana serta dicintai rakyatnya.
Semoga bermanfaat. Maturnuwun.
Toto Endargo
Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Kompasiana
#totoendargo
#purbalingga
#kompasiana
Politik Dalam Pewayangan (13): Dana Aspirasi – Aswatama Gasir
Politik
Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata
Aswatama, di penghujung Perang
Bharatayuda, menemui Duryudana yang dalam kondisi sekarat. Dalam keadaan kritis
itu, Duryudana mengangkat Aswatama sebagai senapati perang yang baru. Dengan
amarah membara dan dendam mendalam terhadap Drestajumena yang membunuh ayahnya,
serta terhadap anak-anak Pandawa, Aswatama mencari cara membalas dendam tanpa
harus menghadapi mereka secara langsung di medan perang. Dengan sumber daya
terbatas dan hanya didampingi dua orang sekutu, ia memilih strategi yang tidak
lazim.
Aswatama meniru taktik burung
pemangsa yang menyerang anak-anak burung lain di sarangnya. Ia membobol pondasi
istana Wirata dan menggali lorong bawah tanah (gangsir) hingga menembus tempat
para pangeran Pandawa dan sekutunya beristirahat. Serangan mendadaknya berhasil—Drestajumena,
Srikandi, Pancawala, dan lainnya tewas dalam tidur mereka. Dengan bangga,
Aswatama memberitahukan keberhasilannya kepada Duryudana. Namun, sebelum sempat
merayakan kemenangan ini, Duryudana akhirnya tewas akibat luka pertempuran.
Korelasi
dengan Politik di Indonesia
Kisah Aswatama mencerminkan
bagaimana seseorang yang menghadapi jalan buntu dalam mencapai tujuannya dapat
beralih ke strategi tidak lazim, bahkan melanggar etika dan norma. Dalam
politik, pendekatan ini sering kita jumpai—ketika cara konvensional sulit
dilakukan, maka strategi alternatif yang sering kali tidak terduga, bahkan
manipulatif, dijalankan demi meraih kepentingan tertentu.
Kasus
Pemotongan Dana PIP
Salah satu contoh nyata adalah
pemotongan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di beberapa sekolah di Jawa
Barat, seperti di SMP Negeri 1 Karangpawitan Garut (sumber: Priangan Insider,
24 Februari 2025), SMP Negeri 1 Kutawaluya Karawang (Kompas.com, 19 Februari
2025), dan SMA Negeri 7 Kota Cirebon (Liputan6.com, 19 Februari 2025). Sejumlah
oknum legislatif yang menghadapi jalan terjal dalam mengakses dana aspirasi
memilih jalan pintas dengan memotong dana PIP—yang sejatinya tidak boleh
dipotong. Tindakan ini akhirnya terungkap dan menuai kecaman publik.
Manipulasi
Regulasi dalam Pilpres 2024
Strategi ala Aswatama juga tampak
dalam konteks Pilpres 2024. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tiba-tiba
mengubah aturan batas usia calon wakil presiden membuka jalan bagi Gibran
Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres. Sebelum putusan itu, Gibran belum
memenuhi syarat, tetapi dengan perubahan aturan yang mendadak, ia menjadi
layak. Ini adalah contoh bagaimana mekanisme hukum dapat dimanfaatkan secara
cerdik untuk mencapai tujuan politik tertentu (sumber: Kompas.com, 8 November
2023).
Hal serupa juga terjadi dalam
naiknya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Proses yang berlangsung cepat dan terkesan mulus hingga ke puncak partai
mengingatkan kita pada taktik Aswatama—di mana langkah-langkah politis
dijalankan secara cepat, tepat, dan dengan efek kejut yang menguntungkan pihak
tertentu.
Taktik
"Aswatama Gasir" dalam Politik
Belajar
dari Pewayangan
Dari kisah Aswatama, kita belajar
bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Keberhasilan yang diraih
melalui cara-cara licik, manipulatif, atau melanggar etika pada akhirnya dapat
menimbulkan konsekuensi buruk. Dalam kasus Aswatama, tindakannya memicu
kemarahan Pandawa, dan ia pun menerima kutukan Krishna yang menyebabkan
hidupnya berakhir dalam penderitaan dan kesepian.
Bagi para politikus Indonesia,
penting untuk memahami bahwa strategi politik yang melenceng dari etika hanya
akan membawa dampak negatif dalam jangka panjang. Kepercayaan publik bisa
hilang, legitimasi bisa runtuh, dan sejarah akan mencatat tindakan-tindakan
tersebut dengan perspektif yang tidak menguntungkan.
Penutup
Politik dan pewayangan selalu
menghadirkan cerminan yang menarik bagi kehidupan nyata. Kisah Aswatama
mengajarkan kita bahwa politik yang dimainkan dengan cara-cara licik mungkin
berhasil dalam jangka pendek, tetapi pada akhirnya dapat berujung pada
kehancuran diri sendiri. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai
moral, kita harus belajar dari sejarah dan memilih jalur politik yang
berintegritas.
Semoga
bermanfaat. Maturnuwun.
Toto Endargo
Catatan: Artikel ini pernah
dimuat di Kompasiana
#totoendargo
#purbalingga
#kompasiana
Begawan Sempani adalah seorang pertapa sakti yang memiliki
kesaktian luar biasa. Ia mampu menghidupkan kembali anak angkatnya, Jayajatra,
meskipun dalam kondisi telah tewas. Dengan kesaktiannya, Jayajatra yang telah
mati tetap dapat bergerak seperti robot, kedua tangannya menggenggam keris dan
pedang, menebas puluhan prajurit Pandawa.
Kresna yang memahami kesaktian dan kelemahan Begawan
Sempani segera mencari cara untuk mengalahkannya. Ia mengutus Arjuna untuk
memanah kepala Jayajatra dan merapal mantra agar kepala tersebut terlempar dan
jatuh tepat di pangkuan Begawan Sempani. Saat kepala Jayajatra jatuh di
pangkuannya, Begawan Sempani terkejut luar biasa, seketika kehilangan kekuatan
dan akhirnya tewas.
Dalam dunia politik Indonesia, setiap anggota legislatif
atau pejabat eksekutif memiliki kedudukan dan kekuasaan istimewa. Namun, di
balik kekuasaan tersebut, mereka juga memiliki kelemahan yang dapat menjadi titik bidik kejatuhan mereka. Sama
seperti Begawan Sempani yang memiliki kemampuan luar biasa tetapi tetap memiliki celah yang bisa dimanfaatkan
lawannya.
Jika seseorang memiliki kekuasaan, tetapi kelemahannya terbidik,
terekspos di hadapan publik atau diungkap oleh pihak berwenang, maka karier
politiknya bisa berakhir seketika. Peristiwa ini sering terjadi dalam dunia
politik Indonesia, di mana banyak pejabat dan anggota legislatif mengalami
kejatuhan setelah tersandung skandal besar, seperti korupsi, suap, atau skandal
lain yang mencoreng nama baik mereka.
Fakta di persidangan menjadi titik penentu. Jika seseorang
dinyatakan bersalah, maka karier politiknya hampir pasti berakhir. Beberapa
contoh kasus yang pernah mengguncang dunia politik Indonesia antara lain:
Nama-nama tersebut hanyalah sebagian kecil dari deretan
pejabat yang mengalami kejatuhan akibat kasus-kasus yang menjadi kelemahan
mereka. Seperti Begawan Sempani yang terkena lemparan kepala Jayajatra, para
pejabat ini pun tumbang setelah kelemahan mereka terekspos ke publik.
Dari kisah Begawan Sempani, ada beberapa pelajaran penting
yang bisa kita petik, terutama dalam dunia politik:
Seperti dalam kisah Begawan Sempani, politik di dunia nyata
juga mengenal jatuh dan bangunnya para pemimpin. Kelemahan yang disembunyikan
bisa menjadi bumerang ketika terungkap. Oleh karena itu, seorang pemimpin
sejati harus memiliki karakter yang kuat, integritas yang tinggi, serta
keberanian untuk berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran.
Semoga artikel ini memberikan wawasan bagi kita semua dalam
memahami dunia politik, baik dalam pewayangan maupun kehidupan nyata. Maturnuwun.
Toto Endargo
Catatan: Artikel ini pernah
dimuat di Kompasiana
#totoendargo
#purbalingga
#kompasiana
Politik Dalam Pewayangan (15): Kebohongan dan Kepalsuan – Wisanggeni
Wisanggeni adalah tokoh pewayangan yang dikenal sebagai
putra Arjuna dan Dewi Dresanala, putri Batara Brama. Sejak lahir, Wisanggeni
sudah menunjukkan kecerdikan dan kesaktiannya yang luar biasa. Hal ini
membuatnya sering disebut sebagai "dewa terakhir," karena bahkan para
dewa di Kahyangan merasa segan terhadap kebijaksanaan dan kekuatannya.
Dalam pementasan wayang, Wisanggeni sering digambarkan
sebagai sosok yang mampu mengungkap dan menyelesaikan berbagai masalah. Tidak
ada kebohongan, kepalsuan, atau kejahatan yang bisa bertahan lama di
hadapannya. Baik itu kecurangan yang dilakukan oleh para raksasa, Kurawa, maupun
para dewa sendiri, semuanya dapat terungkap dengan jelas ketika berhadapan
dengan Wisanggeni. Keberaniannya dalam menentang ketidakadilan dan kepalsuan
menjadikannya simbol perjuangan melawan kebohongan.
Dalam dunia politik Indonesia, tokoh seperti Wisanggeni yang berani mengungkap kebenaran
sangat dibutuhkan. Namun, dalam praktiknya, membongkar kebohongan dan
kecurangan politik tidak selalu berakhir dengan kemenangan seperti dalam kisah
pewayangan. Banyak orang yang mencoba mengungkap
kebohongan justru menghadapi berbagai tantangan berat, baik berupa tekanan
hukum, pembunuhan karakter, maupun kriminalisasi.
Beberapa kasus berikut mencerminkan perjuangan dalam mengungkap kebohongan di dunia politik:
1.
Roy Suryo – Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ini pernah mengungkap dugaan
ketidaksesuaian terkait Fufu Fafa, yang diklaim sebagai milik Gibran.
Pengungkapan ini memicu perdebatan di publik dan memperlihatkan bagaimana
informasi dapat digunakan untuk menyoroti transparansi politik. (hold.id, 10 Oktober 2024)
2.
Bambang Tri Mulyono – Menyatakan bahwa ijazah Presiden Joko Widodo tidak sah dan
membawa kasus ini ke ranah hukum. Namun, ia justru dijatuhi hukuman 6 tahun
penjara karena dianggap menyebarkan berita bohong. Kasus ini menjadi pelajaran
bahwa tanpa bukti kuat, upaya mengungkap kebenaran bisa berbalik menjadi
bumerang. (news.detik.com, 18 April 2023)
3.
Rismon Hasiholan
Sianipar – Secara gigih berusaha membuktikan
bahwa ijazah Joko Widodo dari UGM adalah palsu. Meskipun ia memiliki keyakinan
kuat atas klaimnya, namun belum ada keputusan hukum yang mendukung
pernyataannya. (neodetik.news, 13 Maret 2025)
4.
Kajari Mamuju Raharjo
Yusuf Wibisono – Mengungkap bahwa nomor ijazah
Haris Halim yang tercatat di arsip ternyata milik orang lain. Yang
meloloskannya, Komisioner KPU Mamuju Tengah, Imran Tri Kerwiyadi, divonis 3
tahun penjara. (detiksulsel, 21 Januari 2025)
5.
Lalu Nursai – Terbukti menggunakan ijazah palsu paket C dalam pencalonan
pemilihan legislatif 2024. Politisi PPP tersebut divonis 9 tahun penjara. (radarlombok.co.id, 15 Maret 2025)
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa kepentingan kekuasaan
sering kali membayangi upaya pencarian kebenaran. Siapa pun yang mencoba
membongkar kebohongan harus siap menghadapi risiko besar, termasuk ancaman
hukum, tekanan politik, dan bahkan risiko sosial. Hal ini menunjukkan bahwa dunia politik tidak sesederhana dunia
pewayangan, di mana kebenaran selalu menang dengan mudah.
Dari kisah Wisanggeni, kita dapat belajar bahwa keberanian
untuk mengungkap kebenaran harus diiringi dengan kebijaksanaan, tanggung jawab,
dan kesiapan menghadapi konsekuensi. Dunia politik membutuhkan
individu-individu yang memiliki integritas dan keberanian untuk menegakkan
kebenaran. Namun, mereka juga harus memiliki strategi yang matang dan dasar
bukti yang kuat agar perjuangan mereka tidak sia-sia.
Selain itu, peran masyarakat dalam mendukung pengungkapan
kebenaran juga tidak bisa diabaikan. Jika hanya mengandalkan satu sosok yang
berani seperti Wisanggeni, maka kemungkinan besar mereka akan dilumpuhkan oleh
sistem yang lebih kuat. Oleh karena itu, budaya kritis, keterbukaan informasi,
dan penguatan hukum yang adil adalah hal-hal yang harus terus diperjuangkan.
Wisanggeni menjadi
simbol bahwa kebohongan tidak akan bertahan selamanya, dan kebenaran akan selalu menemukan jalannya untuk terungkap.
Namun, dalam politik, mengungkap kebenaran bukanlah tugas yang mudah. Butuh
keberanian, ketekunan, serta kesiapan menghadapi berbagai rintangan. Oleh
karena itu, siapa pun yang ingin menjadi Wisanggeni di era modern harus siap
menghadapi perlawanan dan risiko besar dalam perjuangan menegakkan kebenaran
dan keadilan.
Semoga bermanfaat. Toto Endargo
Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Kompasiana
#totoendargo
#purbalingga
#kompasiana
Refleksi atas Ketimpangan Respons terhadap Dua Peristiwa Berbeda
Oleh: Toto Endargo
Dua Peristiwa, Dua Realitas Sosial
Baru-baru ini, dua peristiwa terjadi dalam waktu berdekatan, namun menimbulkan reaksi publik dan institusi yang sangat berbeda. Di satu sisi, ada pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo—yang langsung disambut kehebohan media, investigasi kepolisian, dan gelombang simpati dari berbagai pihak. Di sisi lain, dua kali keberadaan ular kobra yang diduga sengaja dilepaskan di sekitar rumah Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta, hanya disikapi sebagai kabar biasa, tanpa langkah tegas dari lembaga berwenang.
Padahal, jika dilihat dari sudut pandang ancaman nyata terhadap keselamatan jiwa manusia, kasus kobra jauh lebih berbahaya. Sengatan simbolik dari kepala babi memang mencederai marwah, tetapi gigitan kobra bisa membunuh.
Bahaya Nyata vs. Ancaman Simbolik
Ular kobra bukan hanya menimbulkan rasa takut, tapi juga ancaman medis yang serius. Di lingkungan padat penduduk, keberadaan ular berbisa seharusnya ditanggapi dengan protokol darurat, pengamanan lokasi, serta penyelidikan menyeluruh. Namun, hingga kini belum terlihat respons yang serius dari aparat keamanan atau instansi perlindungan satwa maupun keselamatan publik.
Sementara itu, aksi pengiriman bangkai tikus dan kepala babi ke kantor media nasional memang mengandung simbol intimidasi, namun tidak bersifat membahayakan secara fisik. Bahwa kejadian ini ditangani serius adalah wajar, tapi mengapa hal serupa tidak dilakukan pada peristiwa yang bahkan bisa menyebabkan kematian?
Langkah-Langkah Kontroversial Dedi Mulyadi
Perlu diakui, Dedi Mulyadi bukan sosok tanpa kontroversi. Selama menjabat sebagai Bupati Purwakarta dan setelahnya sebagai anggota DPR RI, ia dikenal sebagai figur yang kerap mengambil langkah tak lazim dan frontal dalam membela rakyat kecil.
Beberapa kebijakannya mendapat apresiasi, tapi sebagian juga menimbulkan gesekan. Berikut adalah beberapa langkah Dedi Mulyadi yang dianggap kontroversial dan bisa jadi menyulut ketidaksukaan dari pihak-pihak tertentu:
1. Pembelaan Terbuka terhadap Warga Miskin Dedi sering turun langsung membela rakyat kecil, bahkan membongkar bangunan milik pengusaha yang dianggap melanggar aturan atau merugikan warga. Ini membuatnya dicintai rakyat, tapi dibenci sebagian elit atau pihak berkuasa yang merasa kepentingannya terganggu.
2. Sikap Kritis terhadap Pemerintah Daerah Dalam berbagai pernyataan publik dan melalui akun media sosialnya, Dedi kerap mengkritik kebijakan pemerintah daerah, termasuk aparat desa dan dinas yang ia nilai tidak berpihak pada rakyat. Gaya blak-blakan ini tidak disukai sebagian kalangan birokrasi.
3. Penanganan Satwa dan Religiusitas Dedi dikenal dekat dengan dunia satwa, dan menggabungkan antara nilai-nilai Sunda, spiritualitas, serta pelestarian budaya lokal dalam caranya memimpin. Namun pendekatan ini kadang dianggap “tidak biasa” oleh kelompok tertentu yang lebih konservatif.
4. Aktivitas Media Sosial yang Terus-Menerus Menyudutkan Oknum Ia aktif mempublikasikan investigasi sosial secara langsung lewat kanal YouTube dan media sosial, sering kali mempermalukan oknum aparat atau pejabat di depan publik. Gaya ini meskipun membela rakyat, juga menyulut perlawanan diam-diam dari mereka yang merasa dipermalukan.
Dengan latar belakang ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa keberadaan ular-ular kobra di rumahnya merupakan bentuk intimidasi atau teror halus yang ditujukan untuk membungkam atau memberi peringatan. Namun karena tidak ada reaksi serius dari lembaga berwenang, asumsi publik tidak terbangun dengan tegas, dan peristiwa ini perlahan lenyap tanpa pengusutan.
Standar Ganda dalam Penanganan Insiden
Yang menjadi persoalan utama bukan semata-mata siapa yang menjadi korban, tapi bagaimana negara menempatkan respons terhadap dua insiden yang sama-sama berpotensi meresahkan. Bahwa media nasional dan aparat keamanan bergerak cepat dalam kasus simbolik, tapi lamban dalam kasus yang melibatkan ancaman nyata, menunjukkan adanya standar ganda dalam sistem.
Publik tentu berhak bertanya: apakah keselamatan warga negara hanya berarti penting jika menyentuh institusi besar atau figur tertentu? Apakah nyawa manusia bisa dipertaruhkan hanya karena persoalan lokasi, status, atau opini politik?
Penutup: Perlunya Sikap Adil dan Tegas
Negara, lewat lembaga-lembaganya, seharusnya hadir dengan pancaindra yang sama tajamnya terhadap semua bentuk ancaman—baik simbolik maupun fisik.
Ketika ular berbisa dianggap enteng, dan kepala babi dibesar-besarkan, maka ada yang tidak beres dalam sistem prioritas penanganan.
Keadilan bukan hanya soal hukum, tapi soal kepekaan. Dan jika kepekaan negara hanya hadir untuk sebagian, maka yang lain akan terus merasa tidak penting.