Rabu, 16 Juli 2025

Mengenal Tugu Juang di Desa Blater – Catatan Bapak Soeparno

 

 MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER – CATATAN BAPAK SOEPARNO

Catatan sejarah ini ditulis oleh Bapak Soeparno Penilik Kebudayaan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kalimanah, Tahun 1988, dan diberi judul “MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER”

Selasa, 15 Juli 2025

Benteng Missier dan Pager Banawaty: Dua Lapisan Pertahanan di Onje (1681)

 


Benteng Missier dan Pager Banawaty: Dua Lapisan Pertahanan di Onje (1681)

Pada akhir abad ke‑17, wilayah barat daya Banyumas menjadi salah satu titik strategis dalam perebutan pengaruh antara VOC dan kekuatan‑kekuatan lokal Jawa. Kawasan Onje, yang terletak di tepi Sungai Klawing, dikenal masyarakat setempat sebagai pusat Kadipaten dengan sistem pertahanan tradisional yang disebut Pager Banawaty. Struktur ini berupa benteng bumi dengan parit melingkar dan dinding tanah yang mengelilingi permukiman inti kadipaten, khas pertahanan lokal Jawa pada masa itu.

Jumat, 04 Juli 2025

Stop Bullying Sekolah: Saatnya Kita Bela Institusi Pendidikan

 Stop Bullying Sekolah: Saatnya Kita Bela Institusi Pendidikan

Oleh: Toto Endargo

Kita semua sepakat: bullying itu berbahaya. Itulah mengapa kampanye Stop Bullying digalakkan di sekolah-sekolah — demi melindungi siswa dari kekerasan psikologis dan sosial.

Tapi, ada satu bentuk bullying yang kerap diabaikan: bullying terhadap sekolah itu sendiri.

Di era digital, sebuah unggahan sepihak bisa meluluhlantakkan nama baik sebuah sekolah. Tanpa klarifikasi, tanpa data, hanya berdasarkan narasi personal yang kemudian diviralkan. Komentar netizen pun datang berbondong-bondong, menekan, menghujat, bahkan menuntut sanksi — tanpa proses, tanpa tabayyun.

Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha

 Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha

Jataka Tales atau Kisah Jataka adalah cerita-cerita moral dan spiritual yang menggambarkan kehidupan Sang Buddha dalam berbagai reinkarnasi — bisa sebagai manusia, hewan, atau makhluk lain.

Terdapat 547 hingga 550 kisah Jataka dalam tradisi Theravada (Pali Canon), dan masing-masing mengandung pesan moral atau nilai kebajikan seperti kemurahan hati, kebijaksanaan, dan pengorbanan.

Runtuhnya Raja Namrud dari Salinga

 

RUNTUHNYA RAJA NAMRUD DARI SALINGA

Sebuah cerita yang diambil dari kisah perselisihan antara Pangeran Puger di Pleret dengan Amangkurat II di Kartasura hingga runtuhnya Benteng Mesir dan tewasnya Raja Namrud dari Salinga (Slinga), sebuah wilayah di sekitar Desa Onje, Mrebet, Purbalingga.

Perselisihan Pleret - Kartasura

Pangeran Puger adalah penguasa di Keraton Pleret, telah berselisih dengan kakaknya yang bernama Raden Mas Rahmat, raja di Kerajaan Kartasura. Raden Mas Rahmat bergelar Amangkurat II, dikenal juga dengan nama Sunan Amral karena suka memakai pakaian model Admiral (Laksamana) Belanda.

Kamis, 05 Juni 2025

Politik Dalam Pewayangan (12): Presiden – Semar Mbarang Jantur

Politik Dalam Pewayangan (12): Presiden – Semar Mbarang Jantur

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Semar Mbarang Jantur

Semar adalah tokoh bijak dalam pewayangan yang mengasuh dan membimbing Arjuna layaknya anak kandungnya sendiri. Dalam suatu perjalanan, Arjuna terlibat pertarungan sengit dengan seorang raksasa hingga ia jatuh terkapar kelelahan. Untuk melanjutkan perjalanannya, Arjuna membutuhkan energi yang cukup, termasuk makanan sebagai penguat.

Sebagai pemomong setia, Semar tidak tinggal diam. Ia bersama ketiga punakawannya—Gareng, Petruk, dan Bagong—melakukan "Mbarang Jantur," yaitu mengamen dengan berbagai cara: menari, bercerita, melawak, dan bersandiwara. Berkat kecerdikan dan kebijaksanaannya, mereka berhasil memperoleh makanan dari seorang gadis cantik bernama Rara Ireng, yang kelak dikenal sebagai Sumbadra, istri Arjuna.

Mbarang Jantur mencerminkan bagaimana seorang pemimpin atau pendamping tokoh utama harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, kecerdasan, dan keluwesan dalam menarik perhatian serta simpati masyarakat.

Korelasi dengan Politik di Indonesia

Dalam dunia politik Indonesia, fenomena "Semar Mbarang Jantur" dapat kita lihat dalam kampanye politik para pemimpin nasional yang berusaha menggalang dukungan bagi calon-calon yang mereka usung. Seperti Semar yang mengerahkan segala kemampuannya untuk kepentingan Arjuna, para tokoh politik juga mengerahkan seluruh daya dan upaya mereka untuk memenangkan kandidat yang mereka dukung.

Misalnya, Presiden Joko Widodo turun langsung menjadi pemomong politik bagi putranya, Gibran, saat berkampanye untuk kemenangan Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024. Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang aktif berkampanye untuk putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Bahkan, SBY, Prabowo, dan Jokowi juga pernah bersatu dalam mendukung Ridwan Kamil di Pilgub 2024.

Dalam politik, setiap pemimpin yang berkampanye harus memiliki strategi komunikasi yang tepat agar dapat menarik perhatian rakyat. Seperti Semar yang memanfaatkan seni dan kebijaksanaan dalam Mbarang Jantur, para politisi pun menggunakan berbagai cara untuk meyakinkan pemilih, baik melalui pidato, debat, media sosial, hingga blusukan ke berbagai daerah.

Belajar dari Pewayangan

Semar dan para punakawan dalam Mbarang Jantur menunjukkan bahwa dalam perjuangan memenangkan hati rakyat, diperlukan lebih dari sekadar ambisi. Ada unsur kecerdasan, kebijaksanaan, kehumoran, dan kedekatan dengan masyarakat. Demikian pula dalam dunia politik, kampanye yang efektif tidak hanya bergantung pada janji-janji semata, tetapi juga pada bagaimana seorang pemimpin mampu membangun kedekatan emosional dengan rakyatnya.

Politisi yang sukses bukan hanya yang mampu berbicara, tetapi juga yang mampu memahami dan menyentuh hati masyarakat. Seperti halnya Semar yang tidak sekadar memberi makan Arjuna, tetapi juga membimbingnya menuju kemenangan.

Hikmah Pewayangan

Dari kisah Semar Mbarang Jantur, kita dapat mengambil beberapa pelajaran penting:

  1. Kepemimpinan adalah tentang pengabdian. Seorang pemimpin sejati harus siap bekerja keras untuk mendukung dan membimbing mereka yang dipimpinnya.
  2. Komunikasi dan strategi sangat penting. Seperti Semar yang menggunakan berbagai cara untuk menarik perhatian, politisi harus mampu menyampaikan pesan yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
  3. Kepercayaan rakyat harus diraih dengan keikhlasan. Kampanye yang efektif bukan sekadar tentang pencitraan, tetapi juga tentang membangun hubungan yang tulus dengan rakyat.

Penutup

Semar Mbarang Jantur dalam dunia pewayangan bukan sekadar cerita hiburan, tetapi juga cerminan realitas politik yang kita lihat hari ini. Kepemimpinan membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan dan ambisi—ia membutuhkan kebijaksanaan, komunikasi yang baik, dan kepedulian yang tulus terhadap masyarakat. Semoga para politisi Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kisah ini dan menjadi pemimpin yang bijaksana serta dicintai rakyatnya.

Semoga bermanfaat. Maturnuwun.

Toto Endargo

Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Kompasiana

#totoendargo

#purbalingga

#kompasiana

Politik Dalam Pewayangan (14): Dana Aspirasi – Aswatama Gasir

 Politik Dalam Pewayangan (13): Dana Aspirasi – Aswatama Gasir

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Aswatama, di penghujung Perang Bharatayuda, menemui Duryudana yang dalam kondisi sekarat. Dalam keadaan kritis itu, Duryudana mengangkat Aswatama sebagai senapati perang yang baru. Dengan amarah membara dan dendam mendalam terhadap Drestajumena yang membunuh ayahnya, serta terhadap anak-anak Pandawa, Aswatama mencari cara membalas dendam tanpa harus menghadapi mereka secara langsung di medan perang. Dengan sumber daya terbatas dan hanya didampingi dua orang sekutu, ia memilih strategi yang tidak lazim.

Aswatama meniru taktik burung pemangsa yang menyerang anak-anak burung lain di sarangnya. Ia membobol pondasi istana Wirata dan menggali lorong bawah tanah (gangsir) hingga menembus tempat para pangeran Pandawa dan sekutunya beristirahat. Serangan mendadaknya berhasil—Drestajumena, Srikandi, Pancawala, dan lainnya tewas dalam tidur mereka. Dengan bangga, Aswatama memberitahukan keberhasilannya kepada Duryudana. Namun, sebelum sempat merayakan kemenangan ini, Duryudana akhirnya tewas akibat luka pertempuran.

Korelasi dengan Politik di Indonesia

Kisah Aswatama mencerminkan bagaimana seseorang yang menghadapi jalan buntu dalam mencapai tujuannya dapat beralih ke strategi tidak lazim, bahkan melanggar etika dan norma. Dalam politik, pendekatan ini sering kita jumpai—ketika cara konvensional sulit dilakukan, maka strategi alternatif yang sering kali tidak terduga, bahkan manipulatif, dijalankan demi meraih kepentingan tertentu.

Kasus Pemotongan Dana PIP

Salah satu contoh nyata adalah pemotongan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di beberapa sekolah di Jawa Barat, seperti di SMP Negeri 1 Karangpawitan Garut (sumber: Priangan Insider, 24 Februari 2025), SMP Negeri 1 Kutawaluya Karawang (Kompas.com, 19 Februari 2025), dan SMA Negeri 7 Kota Cirebon (Liputan6.com, 19 Februari 2025). Sejumlah oknum legislatif yang menghadapi jalan terjal dalam mengakses dana aspirasi memilih jalan pintas dengan memotong dana PIP—yang sejatinya tidak boleh dipotong. Tindakan ini akhirnya terungkap dan menuai kecaman publik.

Manipulasi Regulasi dalam Pilpres 2024

Strategi ala Aswatama juga tampak dalam konteks Pilpres 2024. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tiba-tiba mengubah aturan batas usia calon wakil presiden membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres. Sebelum putusan itu, Gibran belum memenuhi syarat, tetapi dengan perubahan aturan yang mendadak, ia menjadi layak. Ini adalah contoh bagaimana mekanisme hukum dapat dimanfaatkan secara cerdik untuk mencapai tujuan politik tertentu (sumber: Kompas.com, 8 November 2023).

Hal serupa juga terjadi dalam naiknya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Proses yang berlangsung cepat dan terkesan mulus hingga ke puncak partai mengingatkan kita pada taktik Aswatama—di mana langkah-langkah politis dijalankan secara cepat, tepat, dan dengan efek kejut yang menguntungkan pihak tertentu.

Taktik "Aswatama Gasir" dalam Politik

  • Serangan Fajar dalam Pemilu: Membobol pendukung lawan dengan amplop yang lebih tebal menjadi strategi politik dalam memenangkan pemilih.
  • Kasus Nazaruddin dan Grup Permai: Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, menggunakan perusahaan bodong dalam transaksi gelap guna mendapatkan proyek pengadaan barang sebagai sumber dana partai (sumber: PUKAT FH UGM, 7 Mei 2013).
  • Manipulasi Anggaran Studi Banding: Studi banding yang seharusnya menjadi ajang pembelajaran sering kali disalahgunakan sebagai dalih untuk pelesiran gratis dengan memanfaatkan anggaran negara, yang berujung pada pemborosan anggaran (sumber: Antikorupsi.org, 28 September 2010).

Belajar dari Pewayangan

Dari kisah Aswatama, kita belajar bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Keberhasilan yang diraih melalui cara-cara licik, manipulatif, atau melanggar etika pada akhirnya dapat menimbulkan konsekuensi buruk. Dalam kasus Aswatama, tindakannya memicu kemarahan Pandawa, dan ia pun menerima kutukan Krishna yang menyebabkan hidupnya berakhir dalam penderitaan dan kesepian.

Bagi para politikus Indonesia, penting untuk memahami bahwa strategi politik yang melenceng dari etika hanya akan membawa dampak negatif dalam jangka panjang. Kepercayaan publik bisa hilang, legitimasi bisa runtuh, dan sejarah akan mencatat tindakan-tindakan tersebut dengan perspektif yang tidak menguntungkan.

Penutup

Politik dan pewayangan selalu menghadirkan cerminan yang menarik bagi kehidupan nyata. Kisah Aswatama mengajarkan kita bahwa politik yang dimainkan dengan cara-cara licik mungkin berhasil dalam jangka pendek, tetapi pada akhirnya dapat berujung pada kehancuran diri sendiri. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, kita harus belajar dari sejarah dan memilih jalur politik yang berintegritas.

Semoga bermanfaat. Maturnuwun.

Toto Endargo

Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Kompasiana

#totoendargo

#purbalingga

#kompasiana

Politik Dalam Pewayangan (14): Terbidik Lemah – Begawan Sempani Tewas

 

Politik Dalam Pewayangan (14): Terbidik Lemah – Begawan Sempani Tewas

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Cerita Pewayangan

Begawan Sempani adalah seorang pertapa sakti yang memiliki kesaktian luar biasa. Ia mampu menghidupkan kembali anak angkatnya, Jayajatra, meskipun dalam kondisi telah tewas. Dengan kesaktiannya, Jayajatra yang telah mati tetap dapat bergerak seperti robot, kedua tangannya menggenggam keris dan pedang, menebas puluhan prajurit Pandawa.

Kresna yang memahami kesaktian dan kelemahan Begawan Sempani segera mencari cara untuk mengalahkannya. Ia mengutus Arjuna untuk memanah kepala Jayajatra dan merapal mantra agar kepala tersebut terlempar dan jatuh tepat di pangkuan Begawan Sempani. Saat kepala Jayajatra jatuh di pangkuannya, Begawan Sempani terkejut luar biasa, seketika kehilangan kekuatan dan akhirnya tewas.

Korelasi dengan Politik di Indonesia

Dalam dunia politik Indonesia, setiap anggota legislatif atau pejabat eksekutif memiliki kedudukan dan kekuasaan istimewa. Namun, di balik kekuasaan tersebut, mereka juga memiliki kelemahan yang dapat menjadi titik bidik kejatuhan mereka. Sama seperti Begawan Sempani yang memiliki kemampuan luar biasa tetapi tetap memiliki celah yang bisa dimanfaatkan lawannya.

Jika seseorang memiliki kekuasaan, tetapi kelemahannya terbidik, terekspos di hadapan publik atau diungkap oleh pihak berwenang, maka karier politiknya bisa berakhir seketika. Peristiwa ini sering terjadi dalam dunia politik Indonesia, di mana banyak pejabat dan anggota legislatif mengalami kejatuhan setelah tersandung skandal besar, seperti korupsi, suap, atau skandal lain yang mencoreng nama baik mereka.

Fakta di persidangan menjadi titik penentu. Jika seseorang dinyatakan bersalah, maka karier politiknya hampir pasti berakhir. Beberapa contoh kasus yang pernah mengguncang dunia politik Indonesia antara lain:

  • Angelina Sondakh – Terlibat kasus korupsi dalam proyek pembangunan wisma atlet SEA Games.
  • Sutan Bhatoegana – Terjerat kasus korupsi dalam sektor energi.
  • Johny G. Plate – Tersandung kasus korupsi dalam proyek pengadaan infrastruktur.
  • Setya Novanto – Terlibat dalam skandal korupsi e-KTP.
  • Edhy Prabowo – Tersangkut kasus suap dalam ekspor benih lobster.
  • Bowo Sidik Pangarso – Tertangkap dalam kasus suap terkait distribusi pupuk.
  • Zumi Zola – Terseret kasus gratifikasi dan suap saat menjabat sebagai gubernur.
  • I Nyoman Dharmantara - Tersangkut kasus suap dalam impor bawang putih.

Nama-nama tersebut hanyalah sebagian kecil dari deretan pejabat yang mengalami kejatuhan akibat kasus-kasus yang menjadi kelemahan mereka. Seperti Begawan Sempani yang terkena lemparan kepala Jayajatra, para pejabat ini pun tumbang setelah kelemahan mereka terekspos ke publik.

Belajar dari Pewayangan

Dari kisah Begawan Sempani, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik, terutama dalam dunia politik:

  1. Kekuatan tidak menjamin keberlanjutan – Sebesar apa pun kekuatan yang dimiliki seseorang, jika memiliki titik lemah yang dapat dimanfaatkan lawan, maka ia tetap bisa dikalahkan.
  2. Kepemimpinan harus dilandasi moralitas – Seorang pemimpin yang berpegang pada nilai moral dan etika yang kuat akan lebih sulit dijatuhkan, karena tidak memiliki celah bagi lawan untuk menyerangnya.
  3. Keterbukaan dan integritas adalah kunci – Dalam dunia politik, transparansi dan kejujuran menjadi modal utama agar tidak mudah tergelincir dalam skandal yang dapat menghancurkan karier.

Penutup

Seperti dalam kisah Begawan Sempani, politik di dunia nyata juga mengenal jatuh dan bangunnya para pemimpin. Kelemahan yang disembunyikan bisa menjadi bumerang ketika terungkap. Oleh karena itu, seorang pemimpin sejati harus memiliki karakter yang kuat, integritas yang tinggi, serta keberanian untuk berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran.

Semoga artikel ini memberikan wawasan bagi kita semua dalam memahami dunia politik, baik dalam pewayangan maupun kehidupan nyata. Maturnuwun.

Toto Endargo

Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Kompasiana

#totoendargo

#purbalingga

#kompasiana

 

 

 


Politik Dalam Pewayangan (15): Kebohongan dan Kepalsuan – Wisanggeni

 Politik Dalam Pewayangan (15): Kebohongan dan Kepalsuan – Wisanggeni

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Cerita Pewayangan

Wisanggeni adalah tokoh pewayangan yang dikenal sebagai putra Arjuna dan Dewi Dresanala, putri Batara Brama. Sejak lahir, Wisanggeni sudah menunjukkan kecerdikan dan kesaktiannya yang luar biasa. Hal ini membuatnya sering disebut sebagai "dewa terakhir," karena bahkan para dewa di Kahyangan merasa segan terhadap kebijaksanaan dan kekuatannya.

Dalam pementasan wayang, Wisanggeni sering digambarkan sebagai sosok yang mampu mengungkap dan menyelesaikan berbagai masalah. Tidak ada kebohongan, kepalsuan, atau kejahatan yang bisa bertahan lama di hadapannya. Baik itu kecurangan yang dilakukan oleh para raksasa, Kurawa, maupun para dewa sendiri, semuanya dapat terungkap dengan jelas ketika berhadapan dengan Wisanggeni. Keberaniannya dalam menentang ketidakadilan dan kepalsuan menjadikannya simbol perjuangan melawan kebohongan.

Korelasi dengan Politik di Indonesia

Dalam dunia politik Indonesia, tokoh seperti Wisanggeni yang berani mengungkap kebenaran sangat dibutuhkan. Namun, dalam praktiknya, membongkar kebohongan dan kecurangan politik tidak selalu berakhir dengan kemenangan seperti dalam kisah pewayangan. Banyak orang yang mencoba mengungkap kebohongan justru menghadapi berbagai tantangan berat, baik berupa tekanan hukum, pembunuhan karakter, maupun kriminalisasi.

Beberapa kasus berikut mencerminkan perjuangan dalam mengungkap kebohongan di dunia politik:

1.      Roy Suryo – Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ini pernah mengungkap dugaan ketidaksesuaian terkait Fufu Fafa, yang diklaim sebagai milik Gibran. Pengungkapan ini memicu perdebatan di publik dan memperlihatkan bagaimana informasi dapat digunakan untuk menyoroti transparansi politik. (hold.id, 10 Oktober 2024)

2.      Bambang Tri Mulyono – Menyatakan bahwa ijazah Presiden Joko Widodo tidak sah dan membawa kasus ini ke ranah hukum. Namun, ia justru dijatuhi hukuman 6 tahun penjara karena dianggap menyebarkan berita bohong. Kasus ini menjadi pelajaran bahwa tanpa bukti kuat, upaya mengungkap kebenaran bisa berbalik menjadi bumerang. (news.detik.com, 18 April 2023)

3.      Rismon Hasiholan Sianipar – Secara gigih berusaha membuktikan bahwa ijazah Joko Widodo dari UGM adalah palsu. Meskipun ia memiliki keyakinan kuat atas klaimnya, namun belum ada keputusan hukum yang mendukung pernyataannya. (neodetik.news, 13 Maret 2025)

4.      Kajari Mamuju Raharjo Yusuf Wibisono – Mengungkap bahwa nomor ijazah Haris Halim yang tercatat di arsip ternyata milik orang lain. Yang meloloskannya, Komisioner KPU Mamuju Tengah, Imran Tri Kerwiyadi, divonis 3 tahun penjara. (detiksulsel, 21 Januari 2025)

5.      Lalu Nursai – Terbukti menggunakan ijazah palsu paket C dalam pencalonan pemilihan legislatif 2024. Politisi PPP tersebut divonis 9 tahun penjara. (radarlombok.co.id, 15 Maret 2025)

Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa kepentingan kekuasaan sering kali membayangi upaya pencarian kebenaran. Siapa pun yang mencoba membongkar kebohongan harus siap menghadapi risiko besar, termasuk ancaman hukum, tekanan politik, dan bahkan risiko sosial. Hal ini menunjukkan bahwa dunia politik tidak sesederhana dunia pewayangan, di mana kebenaran selalu menang dengan mudah.

Belajar dari Pewayangan

Dari kisah Wisanggeni, kita dapat belajar bahwa keberanian untuk mengungkap kebenaran harus diiringi dengan kebijaksanaan, tanggung jawab, dan kesiapan menghadapi konsekuensi. Dunia politik membutuhkan individu-individu yang memiliki integritas dan keberanian untuk menegakkan kebenaran. Namun, mereka juga harus memiliki strategi yang matang dan dasar bukti yang kuat agar perjuangan mereka tidak sia-sia.

Selain itu, peran masyarakat dalam mendukung pengungkapan kebenaran juga tidak bisa diabaikan. Jika hanya mengandalkan satu sosok yang berani seperti Wisanggeni, maka kemungkinan besar mereka akan dilumpuhkan oleh sistem yang lebih kuat. Oleh karena itu, budaya kritis, keterbukaan informasi, dan penguatan hukum yang adil adalah hal-hal yang harus terus diperjuangkan.

Penutup

Wisanggeni menjadi simbol bahwa kebohongan tidak akan bertahan selamanya, dan kebenaran akan selalu menemukan jalannya untuk terungkap. Namun, dalam politik, mengungkap kebenaran bukanlah tugas yang mudah. Butuh keberanian, ketekunan, serta kesiapan menghadapi berbagai rintangan. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin menjadi Wisanggeni di era modern harus siap menghadapi perlawanan dan risiko besar dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Semoga bermanfaat. Toto Endargo

Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Kompasiana

#totoendargo

#purbalingga

#kompasiana

Sabtu, 31 Mei 2025

Ketika Ular Kobra Dianggap Biasa, Kepala Babi Jadi Isu Nasional

Ketika Ular Kobra Dianggap Biasa, Kepala Babi Jadi Isu Nasional 

Refleksi atas Ketimpangan Respons terhadap Dua Peristiwa Berbeda  

Oleh: Toto Endargo  

Dua Peristiwa, Dua Realitas Sosial 

Baru-baru ini, dua peristiwa terjadi dalam waktu berdekatan, namun menimbulkan reaksi publik dan institusi yang sangat berbeda. Di satu sisi, ada pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo—yang langsung disambut kehebohan media, investigasi kepolisian, dan gelombang simpati dari berbagai pihak. Di sisi lain, dua kali keberadaan ular kobra yang diduga sengaja dilepaskan di sekitar rumah Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta, hanya disikapi sebagai kabar biasa, tanpa langkah tegas dari lembaga berwenang. 

Padahal, jika dilihat dari sudut pandang ancaman nyata terhadap keselamatan jiwa manusia, kasus kobra jauh lebih berbahaya. Sengatan simbolik dari kepala babi memang mencederai marwah, tetapi gigitan kobra bisa membunuh. 

Bahaya Nyata vs. Ancaman Simbolik 

Ular kobra bukan hanya menimbulkan rasa takut, tapi juga ancaman medis yang serius. Di lingkungan padat penduduk, keberadaan ular berbisa seharusnya ditanggapi dengan protokol darurat, pengamanan lokasi, serta penyelidikan menyeluruh. Namun, hingga kini belum terlihat respons yang serius dari aparat keamanan atau instansi perlindungan satwa maupun keselamatan publik. 

Sementara itu, aksi pengiriman bangkai tikus dan kepala babi ke kantor media nasional memang mengandung simbol intimidasi, namun tidak bersifat membahayakan secara fisik. Bahwa kejadian ini ditangani serius adalah wajar, tapi mengapa hal serupa tidak dilakukan pada peristiwa yang bahkan bisa menyebabkan kematian? 

Langkah-Langkah Kontroversial Dedi Mulyadi 

Perlu diakui, Dedi Mulyadi bukan sosok tanpa kontroversi. Selama menjabat sebagai Bupati Purwakarta dan setelahnya sebagai anggota DPR RI, ia dikenal sebagai figur yang kerap mengambil langkah tak lazim dan frontal dalam membela rakyat kecil. 

Beberapa kebijakannya mendapat apresiasi, tapi sebagian juga menimbulkan gesekan. Berikut adalah beberapa langkah Dedi Mulyadi yang dianggap kontroversial dan bisa jadi menyulut ketidaksukaan dari pihak-pihak tertentu: 

1. Pembelaan Terbuka terhadap Warga Miskin Dedi sering turun langsung membela rakyat kecil, bahkan membongkar bangunan milik pengusaha yang dianggap melanggar aturan atau merugikan warga. Ini membuatnya dicintai rakyat, tapi dibenci sebagian elit atau pihak berkuasa yang merasa kepentingannya terganggu. 

2. Sikap Kritis terhadap Pemerintah Daerah Dalam berbagai pernyataan publik dan melalui akun media sosialnya, Dedi kerap mengkritik kebijakan pemerintah daerah, termasuk aparat desa dan dinas yang ia nilai tidak berpihak pada rakyat. Gaya blak-blakan ini tidak disukai sebagian kalangan birokrasi. 

3. Penanganan Satwa dan Religiusitas Dedi dikenal dekat dengan dunia satwa, dan menggabungkan antara nilai-nilai Sunda, spiritualitas, serta pelestarian budaya lokal dalam caranya memimpin. Namun pendekatan ini kadang dianggap “tidak biasa” oleh kelompok tertentu yang lebih konservatif. 

4. Aktivitas Media Sosial yang Terus-Menerus Menyudutkan Oknum Ia aktif mempublikasikan investigasi sosial secara langsung lewat kanal YouTube dan media sosial, sering kali mempermalukan oknum aparat atau pejabat di depan publik. Gaya ini meskipun membela rakyat, juga menyulut perlawanan diam-diam dari mereka yang merasa dipermalukan. 

Dengan latar belakang ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa keberadaan ular-ular kobra di rumahnya merupakan bentuk intimidasi atau teror halus yang ditujukan untuk membungkam atau memberi peringatan. Namun karena tidak ada reaksi serius dari lembaga berwenang, asumsi publik tidak terbangun dengan tegas, dan peristiwa ini perlahan lenyap tanpa pengusutan. 

Standar Ganda dalam Penanganan Insiden 

Yang menjadi persoalan utama bukan semata-mata siapa yang menjadi korban, tapi bagaimana negara menempatkan respons terhadap dua insiden yang sama-sama berpotensi meresahkan. Bahwa media nasional dan aparat keamanan bergerak cepat dalam kasus simbolik, tapi lamban dalam kasus yang melibatkan ancaman nyata, menunjukkan adanya standar ganda dalam sistem. 

Publik tentu berhak bertanya: apakah keselamatan warga negara hanya berarti penting jika menyentuh institusi besar atau figur tertentu? Apakah nyawa manusia bisa dipertaruhkan hanya karena persoalan lokasi, status, atau opini politik? 

Penutup: Perlunya Sikap Adil dan Tegas 

Negara, lewat lembaga-lembaganya, seharusnya hadir dengan pancaindra yang sama tajamnya terhadap semua bentuk ancaman—baik simbolik maupun fisik. 

Ketika ular berbisa dianggap enteng, dan kepala babi dibesar-besarkan, maka ada yang tidak beres dalam sistem prioritas penanganan. 

Keadilan bukan hanya soal hukum, tapi soal kepekaan. Dan jika kepekaan negara hanya hadir untuk sebagian, maka yang lain akan terus merasa tidak penting.