Makam Raden Adipati Anyakrapati di Onje - Toto Endargo
Membaca Jejak Kadipaten Onje dari Kyai Tepus Rumput sampai Kyai Yudantaka
1. Babad Onje: Membaca Jejak Legitimasi Pajang di Tanah Onje
Teks Babad Onje yang beredar di kalangan masyarakat Onje dan sekitarnya sering disebut sebagai “Punika Serat Sejarah Babad Onje” Baris pembukanya berbunyi jelas:
“Punika serat sejarah Babad Onje. Ingkang mertapa ing Onje nama Kyai Tepus Rumput. Sampuning tapa lajeng suwita dhateng Kanjeng Sultan Pajang. Boten antawis lami wonten dhawuh undhang: ‘Sapa bocahingsun kang bisa anjuput ali-aliningsun, Socaludira wasiyat, saiki kalebu ning sumur jumbleng.’ Ingkang abdi sami boten wonten ingkang saguh mendhet, amung Kyai Tepus Rumput ingkang saged mendhet. Lajeng dipunpaikani dinamelan sumur ing sandhingipun, nunten kepanggih kagungan dalem supe, lajeng kapundhut kalih Kanjeng Sultan Pajang.”
Teks ini
penting untuk kita cermati, karena dengan gamblang menyebut dua hal besar:
✅ Tokoh sentralnya: Kyai Tepus Rumput,
seorang pertapa di Onje.
✅ Titik baliknya: keberhasilan Kyai Tepus Rumput
melayani perintah Sultan Pajang, mengambil pusaka Socaludira wasiyat
dari sumur jumbleng (yang dalam bahasa sekarang bisa dipahami mirip
septictank/pembuangan kotoran lama).
Baris demi baris teks babad ini secara terang-terangan membingkai sejarah Onje tidak lepas dari kedaulatan Sultan Pajang. Kyai Tepus Rumput tidak tiba-tiba berkuasa di Onje, tetapi melalui uji kesetiaan kepada raja pusat. Setelah berhasil melaksanakan tugas yang tidak sanggup dilakukan para abdi lainnya, pada akhirnya ia diberi hak atas istri, tanah, kekuasaan dan gelar.
Ditulis di Pajang, Bukan Di Onje
Jika kita membaca kerangka teksnya, jelas bahwa babad ini lebih memuliakan Pajang sebagai pusat legitimasi, bukan sekadar Onje sebagai pusat lokal. Bahkan dalam penggambaran, Kyai Tepus Rumput sendiri “suwita dhateng Kanjeng Sultan Pajang” — sowan dan berserah diri pada perintah pusat.
Dari susunan narasi, kita bisa menduga kuat bahwa teks ini bukan hasil olah kalangan lokal Onje untuk mengenang dirinya sendiri, tetapi disusun di lingkaran Pajang untuk mempertegas kekuasaan trah Pajang atas Onje. Dalam tradisi penulisan babad Jawa, ini lazim: sejarah lokal ditulis dalam bingkai kekuasaan pusat agar garis keturunan dan hak atas tanah menjadi sah secara politik dan spiritual.
Dengan demikian, teks ini lebih tepat dipandang sebagai dokumen legitimasi politik daripada catatan murni sejarah lokal.
Onje Sebagai Mandala Pajang
Keberadaan teks ini berfungsi untuk memastikan bahwa rakyat Onje dan Kyai Tepus Rumput selalu ingat bahwa mereka adalah bagian dari mandala Pajang. Dengan kata lain, kewibawaan pemimpin Onje bersumber dari rahmat Sultan Pajang, bukan dari klaim lokal semata.
Fakta bahwa Socaludira wasiyat disimpan dalam sumur jumbleng (tempat pembuangan) juga bukan kebetulan: ini ujian tentang kerendahan hati, keberanian, dan keteguhan dalam menjalankan perintah pusat. Kyai Tepus Rumput berhasil lolos ujian itu, dan sesungguhnya layak memimpin rakyat.
Kesimpulan
Teks “Punika Serat Sejarah Babad Onje” yang kita baca hari ini, meskipun beredar di masyarakat Onje, menunjukkan dengan jelas bahwa penulisannya bersumber dari pusat kekuasaan Pajang, bukan semata-mata dari ingatan lokal.
Ini adalah cara halus Pajang mengikat Onje melalui cerita legitimasi, bahwa trah penguasa Onje adalah bocahing Pajang, yang haknya atas tanah diperoleh bukan karena warisan tanah semata, tetapi karena restu raja pusat.
Dengan demikian, membaca Babad Onje berarti membaca pula bagaimana kekuasaan pusat di Pajang menulis sejarah lokal untuk memperkuat posisinya. ===
2. Babad Onje: Dari Sumur Jumbleng hingga Gelar Kyai Ageng Ore-ore
Dalam kelanjutan serat sejarah Babad Onje, setelah Kyai Tepus Rumput berhasil mengambil pusaka Socaludira wasiyat dari sumur jumbleng — sebuah ujian yang tidak ada abdi lain berani melakukannya — ia pun menghadap Sultan Pajang dengan penuh kerendahan hati. Sultan menyambutnya dengan lega, bahkan memberi pengakuan yang lebih besar.
Teks babad menyebut dengan gamblang bagaimana Sultan Pajang berkata:
"Ingsun ora wani-wani, sapa kang anemokaken, manira paringi bojoningsun bocah desa asal Menoreh, putrane Kyai Dipati Menoreh, iya rawatana, ananging iya wus meteng olih kapat tengah, iya iku poma-poma aja kowe tumpangi."
Pesan ini menunjukkan Sultan Pajang menghadiahkan kepada Kyai Tepus Rumput seorang gadis desa asal Menoreh — putri Kyai Dipati Menoreh. Namun Sultan juga mengingatkan bahwa gadis ini sudah mengandung empat bulan akibat rawatan sebelumnya. Sultan tetap memberi gadis itu sebagai bojo (istri) kepada Kyai Tepus Rumput, tetapi berpesan agar bayi yang dikandung tidak diganggu atau diakui sebagai bagian yang harus dijaga.
Sang Kyai menerima dengan penuh rasa syukur: "Inggih sakelangkung saking panuwun kula."
“Lan sira, manira paringi bumi karya rongatus mardika, lan sira manira sengkakaken ing luhur sinebut Kiyai Ageng Ore-ore.”
Artinya, sebagai
tambahan penghargaan, Sultan Pajang juga menghadiahi Kyai Tepus Rumput:
✅ Tanah seluas rongatus mardika (200 rumah
bebas pajak),
✅ Gelar kehormatan: Kyai Ageng Ore-ore.
Makna Politik dalam Teks
Bagian babad
ini penting karena memberi tiga pesan besar:
1️ Mengikat Kyai Tepus Rumput dengan beban tanggung jawab moral dan politik:
tidak hanya menerima tanah dan gelar, tetapi juga merawat keturunan dari darah
Menoreh.
2 Menghubungkan garis keturunan Onje dengan pusat Pajang dan Menoreh.
3 Memberi pesan kepada rakyat Onje bahwa pemimpin mereka sah karena diberi
tanah, gelar, dan bahkan istri oleh Sultan — bukan karena mengangkat diri
sendiri.
Pemberian gelar Kyai Ageng Ore-ore memperkuat posisi Kyai Tepus Rumput sebagai wakil Pajang di Onje. Ia bukan lagi sekadar pertapa lokal, tetapi resmi diangkat menjadi pemuka dan pemimpin tanah yang baru diatur oleh Pajang.
Kesimpulan: Legitimasi yang Digarap dalam Cerita
Bagian teks babad ini secara nyata menunjukkan bahwa penyusunannya sarat muatan politik: legitimasi kekuasaan Pajang atas Onje ditegaskan melalui pemberian hadiah, gelar, dan pengakuan resmi. Sekaligus, rakyat Onje diajak percaya bahwa pemimpinnya bukan hasil klaim sepihak, tetapi utusan resmi Sultan.
Maka kita makin yakin, Babad Onje ditulis bukan hanya untuk mengenang leluhur Onje, melainkan juga sebagai dokumen politik yang menyatukan garis kepemimpinan Onje ke dalam mandala kekuasaan Pajang.
Baca juga: Jejak Legitimasi Pajang di tanah Onje
3. Babad Onje: 1566–1580 - Dari Kelahiran Anak Titipan Sultan Hingga Berdirinya Kadipaten Anyakrapati
Sejarah Kadipaten Onje di lereng timur Gunung Slamet adalah salah satu kisah lokal yang menyimpan jejak politik Pajang pada abad ke-16. Melalui naskah Babad Onje, terungkap bagaimana sebuah desa kecil yang dulu sunyi berubah menjadi pusat pemerintahan daerah, berkat amanat Sultan Pajang kepada seorang pertapa bernama Kyai Tepus Rumput. Cerita ini bermula dari seorang anak titipan yang lahir di Onje dan berujung pada berdirinya Kadipaten Onje dengan adipati pertamanya bergelar Kyai Dipati Anyakrapati.
Kelahiran Anak Titipan di Onje, Tahun 1566
Dalam teks Babad Onje, disebutkan bahwa Kyai Tepus Rumput adalah seorang pertapa yang tinggal di Onje, di dusun Teruka. Kesaktiannya membuat ia dikenal dan kemudian dipanggil Sultan Hadiwijaya di Pajang untuk menjalani tugas berat yang tidak sanggup dilakukan para abdi dalem lainnya: mengambil pusaka wasiat yang sengaja disembunyikan di sumur jumbleng (sejenis lubang pembuangan). Dengan keberanian dan kerendahan hati, Kyai Tepus Rumput berhasil menunaikan tugas tersebut. Sebagai balas jasa, Sultan memberinya hadiah berupa sebidang tanah, gelar Kyai Ageng Ore-Ore, serta seorang istri yang tak lain adalah putri Kyai Dipati Menoreh — seorang gadis desa yang telah lebih dulu hamil empat bulan akibat perbuatan Sultan sendiri.
Dari pernikahan itu, lahirlah seorang anak laki-laki yang kelak menjadi poros cerita berdirinya Kadipaten Onje. Berdasarkan perhitungan yang logis dari pesan Sultan kepada Kyai Tepus Rumput — bahwa anak ini harus dibesarkan sampai cukup umur untuk membawa tombak — diperkirakan anak tersebut lahir pada tahun 1566. Perhitungan ini didasarkan pada fakta bahwa Sultan wafat pada 1582, sementara anak itu diangkat sebagai Adipati saat berusia sekitar 14 tahun, yaitu pada 1580.
Sowan ke Pajang dan Berdirinya Kadipaten Onje, Tahun 1580
Pesan Sultan Hadiwijaya kepada Kyai Tepus Rumput sangat jelas, seperti yang termaktub dalam Babad Onje:
“Iya sira reksanen bocah iku dibecik, besuk menawi wus kelar angebat watang, iki gawanen melebu.” (Jaga baik-baik anak itu, kelak bila sudah selesai belajar membawa tombak, bawa ia menghadap ke istana.)
Kyai Tepus Rumput mematuhi amanat tersebut. Anak itu dibesarkan dengan penuh perhatian di Onje, dididik tidak hanya dalam ilmu kanuragan tetapi juga nilai-nilai kepemimpinan. Setelah menginjak usia 14 tahun, pada tahun 1580, Kyai Tepus Rumput mengajak anak itu sowan ke istana Pajang, tepat seperti yang dipesankan Sultan. Saat itulah berlangsung peristiwa penting dalam sejarah Onje: anak titipan Sultan resmi diangkat sebagai pemimpin wilayah Onje dengan gelar Kyai Dipati Anyakrapati.
Dalam teks disebutkan bahwa Sultan menyampaikan:
“Ingsun derma bae, iya sira kang anduweni anak. Iki dadi wewinih ana ing desa, lan manira paringi bumi karya wolungatus tigang lawe, sarta katandha upacaraning bupati, lan keparingan nama Kyai Dipati Anyakrapati ing Onje, lan manira gawani sentana kamisepuh pitung somah dadia emban-embane aning desa Onje.”
Sultan mengakui anak itu sebagai sepenuhnya milik Kyai Tepus Rumput, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai bibit penguasa di daerah Onje. Selain gelar resmi, Sultan juga memberi tanah karya seluas 830 rumah, tanda-tanda kebesaran seorang bupati, serta para sentana kamisepuh berikut tujuh keluarga pengiring yang diperintahkan untuk menetap di Onje sebagai bagian dari lembaga pemerintahan baru.
Dengan demikian, pada tahun 1580, berdirilah secara resmi Kadipaten Onje dengan Kyai Dipati Anyakrapati sebagai adipati pertama. Onje pun berubah status dari sekadar desa sunyi menjadi pusat kadipaten yang secara politik tetap berada di bawah naungan Pajang.
Warisan Sejarah
Keputusan Sultan Hadiwijaya untuk mengangkat anak titipannya sebagai Adipati Onje bukan sekadar hadiah pribadi, melainkan juga strategi politik untuk memperkuat pengaruh Pajang di daerah barat yang berbatasan dengan Pasirluhur dan Galuh. Onje menjadi semacam perpanjangan tangan Pajang di daerah yang rawan konflik itu.
Meskipun Kadipaten Onje akhirnya surut pada awal abad ke-18, kisah kelahiran anak titipan Sultan pada 1566 dan pengangkatannya menjadi adipati pada 1580 tetap dikenang sebagai tonggak sejarah daerah. Hingga kini, nama Anyakrapati dan peninggalan cerita Kyai Tepus Rumput masih hidup dalam ingatan masyarakat setempat, mengingatkan kita pada ikatan antara amanat seorang raja dan kesetiaan rakyatnya.
4. Babad Onje: Dari Wiraguna ke Pangeran Sukowati - Jejak Kekuasaan Mataram di Onje
Onje, sebuah daerah di lereng timur Gunung Slamet, menyimpan kisah panjang tentang bagaimana kerajaan besar seperti Pajang dan Mataram mempertahankan pengaruhnya di tanah Banyumas. Setelah didirikan sebagai Kadipaten oleh Kyai Dipati Anyakrapati pada 1580 atas titah Sultan Hadiwijaya, wilayah ini terus berada di bawah pengawasan pusat kekuasaan. Dalam Babad Onje, nama Wiraguna muncul sebagai salah satu tokoh penting pada periode setelah Sultan Agung, hingga akhirnya wilayah ini kembali dikendalikan oleh keluarga inti kerajaan melalui Pangeran Sukowati.
Onje dalam Bayang-bayang Pajang dan Mataram
Sejak awal berdirinya pada 1580, Kadipaten Onje sudah merupakan proyek politik Sultan Pajang untuk memperkuat cengkeraman di wilayah barat. Dipimpin oleh Kyai Dipati Anyakrapati, seorang anak titipan Sultan yang berdarah istana namun dibesarkan di Onje, kadipaten ini mendapat legitimasi penuh dari pusat. Namun, sebagaimana biasa dalam politik kerajaan Jawa, daerah bawahan tidak pernah benar-benar otonom. Kerajaan selalu menempatkan tokoh-tokoh loyalis di posisi strategis untuk memastikan kesetiaan daerah.
Setelah masa Pajang berakhir dan kekuasaan beralih ke Mataram, pengaruh pusat tetap mengalir ke Onje. Nama-nama penguasa pusat disebut secara berurutan dalam Babad Onje: Pemanahan (Kyai Agung Metawis), Sutawijaya (Sayidiyah Kemuning), Seda Krapyak, hingga Sultan Agung (Sultan Kuwasa). Onje tetap disebut sebagai bagian dari kawula tengahan, yakni wilayah bawahan kerajaan.
Di dalam babad tersurat: “Lan sasurude Kanjeng Sultan Pajang ketampen dhateng Kiyai Agung Metawis, lan sasurude Kiyai Agung Metawis ketampi dhateng Pangeran Sayidiyah Kemuning. Nunten ketampen dhateng Pangeran Sayidiyah Krapyak. Nunten ketampen dhateng Kanjeng Sultan Kuwasa gugur ing Padhomasan.”
Munculnya Wiraguna: Darah Onje di Birokrasi Mataram
Dalam teks Babad Onje disebutkan:
“Onje mantuk dhateng kotan kalihatus malih. Kang jumeneng patih ingkang putra Kiyai Wiraguna, ingkang ibu Kiyai Wiraguna asal saking Onje, nunten dipun prentah tiyang dusun dhateng Kiyai Wiraguna”
Artinya, pada masa berikutnya, jabatan patih dipegang oleh putra seorang tokoh bergelar Kyai Wiraguna. Yang menarik, ibu dari Kyai Wiraguna berasal dari Onje. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga Wiraguna memiliki darah Onje, sekaligus terhubung ke lingkaran pejabat Mataram. Dengan menempatkan pejabat berdarah lokal namun tetap dalam struktur birokrasi Mataram, kerajaan bisa menjaga stabilitas daerah sambil memastikan bahwa penguasa lokal tidak berani melawan pusat.
Gelar Wiraguna sendiri bukanlah nama pribadi, melainkan gelar birokrasi kerajaan yang bisa diberikan kepada pejabat tertentu. Mungkinkah Wiraguna yang terkenal di pusat (sebagai patih Sultan Agung) bisa disamakan dengan Wiraguna dalam babad Onje? Dimungkinkan Wiraguna di sini lebih tepat dipandang sebagai pejabat tingkat daerah/kabupaten dengan garis keturunan Onje. (Baca: Ibu Wiraguna dari Onje)
Akhir Kekuasaan Wiraguna: Masuknya Pangeran Sukowati
Masa kekuasaan keluarga Wiraguna di Onje tidak berlangsung selamanya. Teks babad melanjutkan:
“Sasurude Kiyai Wiraguna ketampen dhateng Pangeran Sukowati.”
Frasa ini mengisyaratkan bahwa setelah masa Wiraguna selesai (entah karena wafat, diganti, atau dicabut jabatannya), wilayah Onje diambil alih langsung oleh keluarga inti kerajaan melalui sosok Pangeran Sukowati. Strategi ini menunjukkan cara Mataram memperkuat kendalinya di daerah dengan menempatkan pangeran darah biru secara langsung, menggantikan pejabat-pejabat berdarah lokal.
Dengan begitu, secara perlahan Onje tidak lagi menjadi kadipaten semi-otonom seperti di era Anyakrapati, melainkan semakin menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur pusat.
Kesimpulan: Dari Titipan Sultan ke Keluarga Inti Kerajaan
Kisah Onje, dari masa Anyakrapati hingga Wiraguna dan kemudian Pangeran Sukowati, mencerminkan pola konsolidasi kerajaan Jawa. Awalnya daerah diberikan kepada tokoh lokal berdarah istana namun dibesarkan jauh dari pusat. Kemudian perlahan diganti dengan pejabat birokrasi yang memiliki darah daerah namun loyal pada kerajaan. Dan akhirnya dikendalikan langsung oleh keluarga inti kerajaan.
Wiraguna dalam Babad Onje bukanlah patih besar di pusat istana, tetapi pejabat lokal keturunan Onje yang menyandang gelar kehormatan kerajaan. Kehadirannya adalah simbol keterikatan daerah pada pusat. Dan ketika akhirnya digantikan oleh Pangeran Sukowati, itu menandai semakin kuatnya cengkeraman pusat atas Onje.
5. Babad Onje: Ibu Wiraguna dari Onje - Darah Banyumas Mengalir ke Istana Mataram
Onje, Desa Tua dengan Jejak Istana
Di lereng timur Gunung Slamet, ada sebuah desa tua bernama Onje. Sekilas mungkin terlihat seperti desa biasa, tetapi naskah Babad Onje menyimpan cerita lain: Onje pernah menjadi simpul politik yang menghubungkan Pajang, Banyumas, dan Mataram. Salah satu tokoh kunci dalam teks itu adalah Kyai Wiraguna, seorang patih yang disebut memiliki ibu dari Onje.
Pertanyaan pun muncul: benarkah Wiraguna ini adalah patih besar Sultan Agung yang kita kenal dari Babad Tanah Jawi? Atau hanya pejabat daerah Banyumas yang kebetulan menyandang gelar kerajaan?
Teks Babad Onje: Menyebut Nama Ibu
Potongan teks yang paling menarik berbunyi:
“Kang jumeneng patih ingkang putra Kiyai Wiraguna, ingkang ibu Kiyai Wiraguna asal saking Onje, nunten dipun prentah tiyang dusun dhateng Kiyai Wiraguna.”
Terjemahan bebasnya:
“Jabatan patih dipegang oleh putra Kyai Wiraguna, yang ibunya berasal dari Onje. Lalu diperintahlah orang-orang desa pergi mengunjungi Kyai Wiraguna.”
Di sinilah letak keunikannya. Babad biasanya jarang menyebut garis ibu kecuali ada maksud khusus. Menuliskan “ibu dari Onje” berarti ada pesan politik: darah Onje masuk ke tubuh birokrasi Mataram.
Ucapan Syukur Kolektif
Bagian “orang-orang desa diperintah pergi mengunjungi Kyai Wiraguna” memberi warna manusiawi. Dalam tradisi Jawa, ketika ada anak desa yang naik ke jabatan tinggi, masyarakat biasanya diajak sowan ke pusat kekuasaan. Bukan hanya protokol, tapi bentuk ucapan syukur bersama.
Membaca bagian ini, seolah kita mendengar suara Wiraguna berkata:
“Iki dudu mung pangkatku, nanging pakurmatan kanggo Onje kabeh.”
Ini memperlihatkan hubungan emosional: seorang pejabat pusat yang tetap mengakui akar desanya, dan desa yang ikut merasa memiliki kejayaan itu.
Politik Darah Daerah
Sultan Agung terkenal dengan strategi politik darah daerah: mengangkat pejabat berdarah lokal untuk menjaga kesetiaan wilayah bawahan. Jika benar ibu Wiraguna dari Onje, berarti Sultan sengaja memasukkan darah Banyumas ke dalam birokrasi istana.
Dan yang menarik, pola ini ternyata berlanjut. Babad Tanah Jawi mencatat bahwa istri Amangkurat III juga berasal dari Onje. Jadi, dua generasi berbeda dalam dinasti Mataram tetap menggunakan darah Onje sebagai jembatan politik.
Tiga bukti ini membentuk pola besar:
· Wiraguna dengan ibu dari Onje.
· Istri Amangkurat III dari Onje.
· Kadipaten Onje berdiri atas titah Sultan Pajang.
Ini bukan kebetulan. Ini menunjukkan Onje adalah simpul politik penting sejak era Pajang, bukan sekadar desa di kaki Gunung Slamet.
Wiraguna: Patih Pusat atau Pejabat Banyumas?
Apakah Wiraguna di Babad Onje sama dengan patih besar Sultan Agung? Kita mungkin tidak bisa menjawabnya seratus persen. Tapi dua hal pasti:
1. Babad Onje ingin menegaskan bahwa darah Onje pernah sampai ke pusat kekuasaan.
2. Gelar Wiraguna bukan sekadar nama pribadi, tetapi jabatan kehormatan yang menandai pengakuan istana pada seorang tokoh.
Bahkan jika Wiraguna hanyalah pejabat Banyumas yang diberi gelar kerajaan, fakta bahwa Babad Onje menyebut asal ibunya menandakan betapa pentingnya ikatan darah daerah dalam politik Jawa saat itu.
Banyumas dalam Jaringan Kekuasaan
Cerita ini menggeser cara kita melihat sejarah Banyumas. Biasanya Banyumas dianggap sekadar wilayah bawahan Mataram. Tetapi jika darah Onje benar-benar mengalir ke birokrasi Sultan Agung, dan bahkan ke keluarga Amangkurat III, berarti Banyumas adalah bagian dari jaringan inti kekuasaan Jawa.
Babad Onje memberi kita sudut pandang berbeda: ada urat nadi dari lereng timur Gunung Slamet yang ikut menghidupi tubuh politik Mataram.
Penutup
Menggali kisah “ibu Wiraguna dari Onje” bukan sekadar membahas satu tokoh, tapi membuka kembali peta politik Jawa abad ke-16–17. Dari teks ini kita belajar bahwa pusat kekuasaan tak pernah berdiri sendiri. Ada darah daerah yang mengalir ke istana, ada desa yang diam-diam menjadi “tanah ibu” bagi birokrasi kerajaan.
Dan di antara halaman babad itu, Onje berdiri sebagai pengingat: desa kecil bisa menjadi simpul besar sejarah.
6. Babad Onje: 1708 - Surutnya Onje di Era Pakubuwana, Akhir Sebuah Kadipaten.
Kadipaten Onje adalah salah satu wilayah penting di lereng timur Gunung Slamet yang berdiri sejak era Sultan Pajang Hadiwijaya. Selama lebih dari satu abad, Onje menjadi simbol perpanjangan tangan kekuasaan kerajaan pusat di wilayah barat Mataram. Namun seperti halnya banyak kadipaten lain di Jawa, Onje tidak luput dari arus besar politik dinasti. Teks Babad Onje mencatat momen penting ketika daerah ini akhirnya “silep” atau hilang dari peta birokrasi kerajaan, tepat di masa awal pemerintahan Pakubuwana I Kartasura.
Berdiri dari Titah Sultan Pajang
Kadipaten Onje resmi berdiri pada tahun 1580 atas titah Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) Pajang. Seorang anak berdarah istana yang dibesarkan di Onje diangkat menjadi adipati bergelar Kyai Dipati Anyakrapati, lengkap dengan wewenang atas wilayah luas dan upacara bupati. Semenjak itu, Onje menjadi bagian dari jalur kendali Pajang (dan kemudian Mataram) atas kawasan barat yang strategis.
Selama bertahun-tahun, kekuasaan di Onje diwariskan ke pejabat-pejabat yang masih memiliki darah Onje namun tetap loyal pada pusat. Salah satunya adalah Wiraguna, seorang patih berdarah Onje melalui garis ibu. Di bawah kepemimpinannya, Onje tetap tunduk pada kerajaan, sekalipun statusnya perlahan menurun.
Dari Sultan Plered ke Sunan Mas: Onje Tetap Bertahan
Teks babad mencatat perjalanan pergantian raja-raja Mataram dengan rinci: dari Sultan Plered (Amangkurat I) yang wafat di Tegalwangi pada 1703, digantikan Mangkurat Bumi Onje (Amangkurat II, yang menghancurkan Benteng Mesier di Onje) lalu digantikan oleh putranya Sunan Mas (Amangkurat III) yang memerintah di tengah konflik, hingga akhirnya takhta jatuh ke tangan Pakubuwana I (Pangeran Puger) pada 1708 setelah perang takhta yang sengit.
Selama masa ini, Onje bertahan sebagai kadipaten kecil. Meskipun statusnya kian merosot menjadi kawula tengahan dan hanya memiliki “kawula tiga lawe” (sekitar 300 rumah tangga), daerah ini tetap menunjukkan loyalitas kepada pusat dengan dipimpin tokoh-tokoh berdarah Onje.
1708: Kadipaten Onje Surut
Namun, masa sulit itu berakhir pada masa naiknya Pakubuwana I. Teks Babad Onje (halaman 29) menyebut dengan jelas:
“Lan sasurude kanjeng Suhunan sumare ing ing Tegal Wangi, ketampen dhateng kang putra kang jumeneng Suhunan Mangkurat Bumi Onje. Nunten ketampen dhateng putra kang jumeneng Suhunan Mas seda ing Selong, ingkang madeg nata Kanjeng Pakubuwana ingkang punika silep Kabupaten ing Onje.”
Frasa ini mengisyaratkan bahwa Kadipaten Onje resmi “silep” atau hilang pada tahun 1708, bersamaan dengan naiknya Pakubuwana I ke takhta Mataram Kartasura. Tidak disebutkan apakah statusnya berubah menjadi tanah lungguh, dibagi-bagi, atau langsung dilebur menjadi bagian administratif dari daerah lain. Namun jelas, setelah pergantian ini, Onje tidak lagi disebut sebagai kadipaten.
Mewarisi Sejarah, Melupakan Kekuasaan
Berakhirnya Kadipaten Onje adalah contoh klasik bagaimana kerajaan Jawa mengonsolidasikan kekuasaan di era baru. Banyak kadipaten semi-otonom yang awalnya diberi kepada kerabat jauh atau pejabat lokal perlahan dihapuskan untuk memperkuat kontrol keluarga inti kerajaan. Bagi rakyat Onje, hilangnya status kadipaten barangkali tidak terasa besar, tetapi bagi sejarah, peristiwa ini menandai akhir dari 128 tahun sebuah pemerintahan lokal yang pernah berjaya.
Kini Onje hanyalah sebuah desa yang tenang di Purbalingga - Banyumas. Namun, kisahnya sebagai kadipaten yang lahir dari titah Sultan Pajang dan hilang di era Pakubuwana tetap abadi dalam baris-baris babad.
Onje, dari Anyakrapati hingga Pakubuwana: sejarah kecil dari tanah Banyumas yang tetap layak dikenang.
7. Babad Onje: Dendam Pakubuwana dan 150 Tahun yang Dihapus Sejarah
Di lembah-lembah sunyi sebelah timur Gunung Slamet, sebuah nama tua masih hidup dalam bisik sejarah: Onje. Nama itu kini hanya dikenal sebagai desa biasa di Purbalingga - Banyumas, tetapi siapa sangka, ia pernah menjadi pusat kadipaten penting yang berperan dalam percaturan politik Pajang dan Mataram. Dalam rentang 150 tahun, Onje berdiri sebagai simbol loyalitas kepada raja, hingga akhirnya pelan-pelan tenggelam di bawah bayang-bayang kekuasaan baru.
Awal: Legenda Kyai Tepus Rumput
Kisah Onje berawal dari seorang pertapa bernama Kyai Tepus Rumput. Dalam Babad Onje, disebutkan ia hidup sederhana di dusun yang baru dibuka, Onje. Melalui tapa brata panjang, Kyai Tepus Rumput mencapai puncak kesaktian spiritual, hingga akhirnya ia memutuskan untuk sowan ke pusat kekuasaan: Kraton Pajang, tempat Sultan Hadiwijaya bertahta.
Saat itu, Sultan sedang menguji kesetiaan para abdi dalem dengan sebuah tugas yang dianggap hina namun penuh risiko: mengambil pusaka Socaludira wasiyat yang “disembunyikan” di sumur jumbleng (tempat pembuangan). Tak satu pun abdi berani, tetapi Kyai Tepus Rumput menyanggupi. Dengan tenang ia menunaikan tugas itu, menyerahkan pusaka kepada Sultan.
Atas keberanian dan pengabdiannya, Sultan menghadiahi Kyai Tepus Rumput tanah luas, gelar Kyai Ageng Ore-ore, dan seorang istri, putri dari Kyai Dipati Menoreh. Dari sini dimulailah sebuah kadipaten kecil di Onje, sebagai bagian dari mandala Pajang. Dipercaya berdiri sekitar tahun 1560–1580 M, kadipaten ini menjadi semacam satelit Pajang di barat, yang sekaligus menahan pengaruh Galuh dan Pasirluhur.
Onje Sebagai Kadipaten
Babad Onje mencatat bahwa anak angkat Kyai Tepus Rumput kemudian menyandang gelar Kyai Dipati Anyakrapati, memimpin wilayah yang luas, meliputi Purbasari, Bobotsari, Kertanegara, Bodas, Toyareka, Kalikajar, hingga Onje sendiri. Bahkan Sultan Pajang kala itu memberikan bumi karya seluas 830 rumah bebas pajak dan menunjuk sentana-sentana pembantu dari berbagai daerah.
Selama hampir satu setengah abad, Onje mempertahankan statusnya sebagai kadipaten bawahan. Ia tetap tunduk pada siapa pun yang berkuasa di pusat: setelah Pajang runtuh, loyalitas berpindah ke Mataram, melewati masa-masa Pangeran Krapyak, Sultan Agung, Amangkurat, hingga Sunan Pakubuwana. Setiap pergantian raja disambut dengan upeti dan pengukuhan ulang jabatan adipati Onje.
Akhir: Silep di Bawah Pakubuwana
Namun waktu akhirnya menyapu sejarah kadipaten ini. Di bawah pemerintahan Pakubuwana I (1705–1719), tata pemerintahan berubah besar-besaran. Politik sentralisasi kerajaan membuat kadipaten-kadipaten kecil seperti Onje dipangkas kewenangannya dan diintegrasikan ke dalam wilayah Banyumas dan sekitarnya.
Babad menyebut masa silep kabupaten ing Onje bertepatan dengan awal pemerintahan Pakubuwana I, sekitar tahun 1706–1710 M. Sejak itu, status Onje berubah: dari pusat kadipaten menjadi desa biasa, sementara keluarga besar keturunan Kyai Tepus Rumput tetap tinggal di sana sebagai tokoh masyarakat.
Mungkinkah karena Dendam Pakubuwana?
Di balik kebijakan politik itu, ada kisah getir yang jarang diungkap. Keputusan Amangkurat III yang memanjakan Rara Mundhi, gadis Onje, di atas permaisuri, menimbulkan prahara besar. Raden Ayu Lembah tak sanggup menanggung malu, melihat dirinya dikalahkan seorang tawanan perang. Ia pulang ke Kapugeran dan bermain asmara dengan Raden Sukra, putra Patih Sindureja. Perselingkuhan ini berakhir tragis: Raden Sukra dibunuh, dan Raden Ayu Lembah sendiri meninggal secara mengenaskan — atas perintah Amangkurat III yang meminta Pangeran Puger, ayahnya sendiri, untuk mengakhiri hidup sang putri.
Sejak saat itu, bara dendam mendidih di dada Pangeran Puger. Bagi Puger, Rara Mundhi adalah duri dalam daging yang menghancurkan keluarganya, meski ia tahu gadis Onje itu sejatinya korban kerakusan putra mahkota. Saat ia naik takhta menjadi Pakubuwana I, sebagian sejarawan lisan menduga, keputusan melebur Kadipaten Onje bukan hanya strategi politik, tetapi juga cara menghapus jejak luka keluarga. Onje, dengan segala kisahnya, menjadi simbol pengingat yang ingin ia hilangkan dari peta kekuasaan.
Warisan Onje
Kini, jejak kejayaan Onje hanya tersisa dalam naskah-naskah babad dan tradisi tutur sesepuh desa. Masjid tua, batu dakon, makam leluhur, dan nama-nama dusun menjadi saksi bisu perjalanan panjang 150 tahun yang terlupakan. Sejarah Onje mengajarkan kita bahwa kejayaan tidak pernah abadi, tetapi nilai-nilai pengabdian dan keberanian seperti yang dicontohkan Kyai Tepus Rumput tetap hidup sebagai warisan.
Onje memang hanya sebuah titik kecil di peta Jawa Tengah. Namun di balik kesederhanaannya, tersembunyi kisah tentang pengabdian seorang pertapa, kedermawanan seorang raja, dan hilangnya sebuah kadipaten di tengah perubahan zaman. 150 tahun lamanya ia berdiri — sampai akhirnya dilebur oleh waktu.
8. Babad Onje: Membaca Jejak 16 Desember 1681 - Benteng Mesir dan Negeri Salinga
Oleh: Toto Endargo
Di halaman 29 Punika Serat Sejarah Babad Onje, tercatat urutan penguasa Mataram yang kita kenal dalam sejarah resmi: Amangkurat I yang dimakamkan di Tegalwangi, digantikan putranya Amangkurat II, lalu Amangkurat III yang wafat di Selong, dan akhirnya Pangeran Puger yang menjadi Pakubuwana I.
Yang menarik, Amangkurat II disebut dengan gelar berbeda: “Suhunan Mangkurat Bumi Onje.” Tidak ada penjelasan tentang peristiwa militer, apalagi penghancuran Onje, namun penyebutan itu seakan menautkan nama raja Mataram dengan sebuah wilayah yang kemudian hilang dari peta kekuasaan: Bumi Onje.
Antara Halaman 29 dan Halaman 111
Ada satu catatan penting: naskah yang banyak digunakan peneliti sekarang berasal dari halaman 111 Punika Serat Sejarah Babad Onje, bukan halaman 29. Diana Windasari, misalnya, mengambil rujukan dari halaman 111.
Perbedaannya terlihat jelas:
- Halaman 29:
Kanjeng Suhunan sumare ing Tegalwangi, ketampen dhateng kang putra kang jumeneng Suhunan Mangkurat bumi Onje. Nunten ketampen dhateng putra kang jumeneng Suhunan Mas seda ing Selong, ingkang madeg nata Kanjeng Pakubuwana ingkang punika silep Kabupaten ing Onje. Ingkang gumantos Kiyai Ngabei Dhenok ing Pamerden, kersanipun Kiyai Ngabei Dhenok, Ki Pangulu Onje kapacak perdikan. - Halaman 111:
...dhateng kawula iya luwiyah lan sasurude Kanjeng Suhunan sumare ing Tegalwangi, ketampen dhateng ingkang putra kang jumeneng Suhunan Mas seda ing Selong, ingkang madeg nata Kanjeng Suhunan Pakubuwana ingkang punika silep kabupaten ing Onje...
Di halaman 111, Amangkurat II sama sekali tidak muncul. Nama yang di halaman 29 disebut “Suhunan Mangkurat Bumi Onje” hilang. Mengapa? Apakah karena kesalahan penyalinan? Ataukah ada unsur lain: trauma kolektif, atau bahkan kebencian terhadap Amangkurat II sehingga namanya sengaja dihapus atau diralat?
Catatan VOC: 16 Desember 1681
Tanggal ini tidak berasal dari babad, tetapi dari arsip Belanda. Pada 16 Desember 1681, Jacob Couper dari VOC melaporkan penaklukan De Vesting Messier. Benteng ini digambarkan memiliki pertahanan ganda di tepi sungai besar, dengan jembatan kayu lebar yang menghubungkan area luar dan dalam. VOC menandainya sebagai titik strategis untuk menguasai jalur Semarang, Jepara, hingga Kartasura.
Nama lokalnya: Benteng Mesir. Dan di sekitar benteng itu, babad Jawa menyebut sebuah negeri: Salinga.
Babad Trunajaya–Surapati dan Titah Amangkurat II
Babad Trunajaya–Surapati mengisahkan persekutuan baru antara Amangkurat II dan Pangeran Puger setelah keduanya berdamai. Dari sinilah muncul titah keras Amangkurat II:
“Bila si Namrud kalah perang, anak cucunya agar ditumpas semuanya. Yang laki-laki jangan ada yang ketinggalan; yang perempuan semuanya harus diboyong ke Kartasura.”
Nama Namrud, Pangeran Pamenang, dan Adipati Kamandungan muncul sebagai pemimpin Salinga. Mereka maju langsung ke garis depan melawan gabungan Kartasura dan senjata api VOC.
Runtuhnya Pertahanan Salinga
Pada 16 Desember 1681, Benteng Mesir akhirnya jebol. Pasukan Kartasura menyerbu masuk. Namrud, Pamenang, dan Kamandungan gugur di medan perang. Banyak pasukan Salinga tewas dalam pelarian, sisanya ditawan.
Punika Serat Sejarah Babad Onje memang tidak menceritakan penghancuran Bumi Onje, tetapi ingatan lokal dan arsip VOC memperlihatkan satu tragedi: hilangnya sebuah kadipaten dari panggung politik Jawa.
Jika “Suhunan Mangkurat Bumi Onje” di halaman 29 memang merujuk pada Amangkurat II sebagai penghancur Benteng Mesir di Dukuh Mesir, Desa Onje, maka absennya nama itu di halaman 111 menjadi lebih menarik: apakah sebuah koreksi, atau justru jejak psikologis masyarakat lokal yang tidak ingin mengabadikan nama sang penakluk?
Analisis Pendek: Antara Trauma dan Ingatan
Hilangnya nama Amangkurat II di halaman 111 bisa dibaca sebagai sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar variasi naskah. Dalam tradisi babad Jawa, fenomena seperti ini bukan hal baru. Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya, beberapa versi manuskrip menghapus atau mengaburkan nama Trunajaya setelah kekalahannya, dan dalam Babad Surapati ada naskah yang sengaja melemahkan peran Surapati setelah dianggap musuh dinasti.
Penghapusan nama sering menjadi cara diam-diam untuk melawan atau melindungi memori kolektif. Tidak menyebut nama adalah bentuk “menghilangkan kekuasaan simbolik” orang yang dianggap membawa luka.
Bagi masyarakat Onje, 16 Desember 1681 bukan sekadar tanggal perang, tetapi hari hilangnya tanah dan identitas. Menyebut “Suhunan Mangkurat Bumi Onje” mungkin seperti membuka luka lama. Maka ketika halaman 111 memilih diam, kita membaca bukan sekadar perbedaan teks, tetapi sisa trauma yang diwariskan.
Dengan demikian, Punika Serat Sejarah Babad Onje bukan hanya catatan sejarah, tetapi cermin psikologi budaya: bagaimana masyarakat menegosiasikan ingatan, luka, dan cara mereka menyebut—atau justru tidak menyebut—nama seseorang dalam perjalanan sejarah. ===
9. Babad Onje: Runtuhnya Kadipaten Onje dan Lahirnya Perdikan Religius
Oleh: Toto Endargo
Akhir Sebuah Kadipaten
Awal abad ke-18 menjadi titik balik bagi Onje. Dalam Punika Serat Sejarah Babad Onje tercatat: “ingkang punika silep Kabupaten ing Onje”. Kalimat pendek itu menandai berakhirnya status Onje sebagai kadipaten. Masa ini bertepatan dengan kebijakan sentralisasi Pakubuwana I (1705–1719), ketika banyak kadipaten kecil dilebur ke dalam struktur baru kerajaan.
Namun, hilangnya status administratif tidak berarti Onje hilang begitu saja. Ada fase peralihan yang menarik, ketika wilayah ini bertransformasi dari pusat kekuasaan duniawi menjadi pusat pengabdian spiritual.
Ngabei Dhenok alias Dipayuda I
Tokoh kunci masa transisi adalah Kyai Ngabei Dhenok dari Pamerden. Tradisi lokal mengenalnya juga sebagai Ngabehi Dipayuda I. Dialah yang mengambil keputusan penting: mengubah Onje dari kadipaten menjadi perdikan.
Dalam naskah ditulis: “Ingkang gumantos Kiyai Ngabei Dhenok ing Pamerden, kersanipun Kiyai Ngabei Dhenok…” Kalimat ini memberi isyarat bahwa setelah status kadipaten dicabut, otoritas administratif Onje berada di bawah pengaruh Pamerden melalui sosok Ngabei Dhenok.
Onje Menjadi Perdikan Religius
Keputusan Ngabei Dhenok adalah menetapkan Onje sebagai tanah perdikan dengan tiga dusun utama: Tuwanwisa, Pesawahan, dan Onje. Status perdikan membuat wilayah ini bebas pajak, tetapi dengan kewajiban khusus: menjaga pepundhen (pusaka atau tempat sakral) dan mendirikan jumngah (masjid/tempat salat Jumat) untuk komunitas.
“ … Ki Pangulu Onje kepacak perdikan keparingan dhusun tigang gerombol: Tuwanwisa, Pesawahan, Onje, kapidados angreksa pepundhen sarta kon angadegaken jumngah, keparingan nami Kiyai Ngabdullah ing Onje”. (dari: “Punika Seart Sejarah Babad Onje”)
Transformasi ini menandai perubahan identitas Onje. Dari pusat politik menjadi pusat religius, dari kekuasaan duniawi ke pengabdian spiritual.
Ki Pangulu Onje Menjadi Kyai Ngabdullah
Tokoh lain yang penting adalah Ki Pangulu Onje. Atas keputusan Ngabei Dhenok, ia diangkat menjadi pemimpin perdikan dan diberi nama baru: Kyai Ngabdullah ing Onje. Nama ini bukan sekadar gelar. “Ngabdullah” berarti hamba Allah, menandai pergeseran peran Onje dari istana kecil ke pusat spiritualitas Islam lokal.
Sejak itu, sejarah Onje tidak lagi ditulis dengan perang dan politik, tetapi dengan pengabdian dan kesunyian religius.
Jejak yang Masih Terasa
Ketiga dusun perdikan—Tuwanwisa, Pesawahan, Onje—hingga kini masih menjadi pusat cerita lisan. Beberapa tradisi menyebut tanah di wilayah ini sebagai “tanah pusaka” yang tidak boleh sembarangan dipindahtangankan. Belik tua, pepundhen, dan masjid menjadi saksi bisu bahwa Onje pernah memiliki kedudukan istimewa.
Kisah Onje tidak berhenti di sini. Setelah Kyai Ngabdullah, Babad Onje mencatat rangkaian pergantian tokoh-tokoh lain: Ngabei Dhenok, putranya Ngabei Gabug, Cakrayuda dari Toyamas, hingga Dipayuda Pagendholan. Mereka adalah simpul-simpul sejarah yang menjaga kesinambungan Onje di masa pasca-kadipaten. ===
10. Babad Onje: Dari Ngabei Dhenok ke Dipayuda Pagendholan dan Akar Purbalingga
Oleh: Toto Endargo
Setelah Kyai Ngabdullah
Pada artikel sebelumnya kita membahas bagaimana Kadipaten Onje runtuh dan berubah menjadi perdikan religius di bawah pimpinan Kyai Ngabdullah. Namun, sejarah tidak berhenti di sana. Punika Serat Sejarah Babad Onje mencatat fase berikutnya: pergantian tokoh-tokoh yang mengelola wilayah, menjaga kesinambungan Onje dalam bentuk baru.
“…nunten seda Kiyai Ngabei Dhenok ketampen dhateng putra Kiyai Ngabei Gabug. Nunten Kiyai Ngabei kondur, nunten ketampen Kiyai Ngabei Cakrayuda asal saking Toyamas, nunten Kiyai Ngabei Cakrayuda kondur, ketampen dhateng Kiyai Ngabei Dipayuda kang saking Pagendholan”.
Ngabei Dhenok Wafat, Muncul Ngabei Gabug
Ketika Kyai Ngabei Dhenok (Dipayuda I dari Pamerden) wafat, kepemimpinan administratif diteruskan oleh putranya, Kyai Ngabei Gabug. Dalam tradisi setempat ia dikenal juga sebagai Dipayuda II, ditunjuk dari lingkungan keluarga Yudanegara III. Masa jabatannya relatif singkat, dan catatan babad menyebut ia tidak meninggalkan keturunan yang dianggap cocok untuk meneruskan garis kekuasaan.
Cakrayuda dari Toyamas
Setelah Ngabei Gabug “kondur” (mengundurkan diri atau wafat), tampuk kepemimpinan beralih kepada Kyai Ngabei Cakrayuda yang berasal dari Toyamas. Kehadiran tokoh dari luar wilayah menunjukkan bahwa Onje pasca-kadipaten tidak lagi berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari jaringan perdikan dan pusat administratif kecil di sekitar timur Gunung Slamet. Masa jabatan Cakrayuda pun tidak lama. Dalam babad disebutkan, ia akhirnya “kondur”, membuka jalan bagi pergantian berikutnya.
Dipayuda dari Pagendholan
Nama Dipayuda kembali muncul, kali ini disebut sebagai “kang saking Pagendholan”. Tokoh ini sering diidentifikasi sebagai Dipayuda III (Arsayuda), yang berasal dari keluarga Arsantaka. Masuknya Arsayuda menandai fase penting: dari sinilah muncul akar sejarah Kabupaten Purbalingga seperti yang kita kenal sekarang.
Pagendholan dan Arsantaka memiliki tradisi pemerintahan lokal yang kuat, dan keterlibatan mereka memperluas pengaruh Onje ke jaringan politik regional. Jika Dipayuda I identik dengan Pamerden, maka Dipayuda III menghubungkan Onje dengan Arsantaka dan kelahiran pusat kekuasaan baru di Purbalingga.
Tabu Nikah dan Rivalitas Keturunan
Keputusan Tumenggung Yudanegara III (Adipati Banyumas) mengangkat menantunya Arsayuda ternyata bukan hanya langkah administratif. Tradisi lisan Banyumas–Purbalingga menyebut inilah titik awal tabu nikah antar keluarga Banyumas dan Arsantaka. Dengan demikian, bisa dikatakan Yudanegara III adalah tokoh kunci yang—tanpa sadar—memicu dinamika sosial-budaya itu melalui penobatannya.
Catatan tradisi lisan menyebut adanya konflik internal antara garis keturunan Banyumas dan Arsantaka pasca-transisi ini. Rivalitas politik tersebut begitu dalam hingga melahirkan tabu nikah antar keluarga, sebuah cermin bagaimana politik lokal membentuk norma sosial. Dalam konteks sejarah, peristiwa ini menandai pergeseran kekuasaan dari Onje ke pusat baru sambil meninggalkan “bekas luka” dalam jaringan sosial Banyumas–Purbalingga.
Kesinambungan dalam Senyap
Pergantian dari Ngabei Dhenok, Gabug, Cakrayuda, hingga Dipayuda Pagendholan/Arsayuda menunjukkan bahwa meski Kadipaten Onje hilang sebagai kekuatan politik, jaringannya tidak benar-benar terputus. Wilayah ini tetap dipelihara dalam struktur perdikan, dengan tokoh-tokoh lokal yang menjembatani antara masa kadipaten dan era kabupaten.
Di mata sejarah besar Jawa, nama-nama ini mungkin kecil. Tetapi dalam konteks lokal Banyumas dan Purbalingga, mereka adalah pengikat identitas. Mereka memastikan bahwa Onje tidak larut sepenuhnya dalam arus waktu, melainkan menemukan bentuk baru sebagai desa perdikan dengan akar yang akhirnya menyambung ke pusat administratif modern.
Penutup: Jejak di Balik Nama-Nama
Hari ini, mungkin tak banyak yang mengenal nama Ngabei Dhenok, Ngabei Gabug, Cakrayuda, atau Dipayuda Pagendholan/Arsayuda. Namun dalam naskah babad, mereka bukan sekadar tokoh administratif. Mereka adalah jembatan antara sebuah kadipaten yang hilang, sebuah desa perdikan yang bertahan, dan sebuah kabupaten baru yang lahir dari jejak itu.
Kisah ini bukan hanya penutup fase Onje, tetapi juga pembuka bagi narasi lebih luas tentang bagaimana pusat kekuasaan berpindah, bergeser, dan meninggalkan jejaknya dalam struktur sosial Banyumas–Purbalingga hingga hari ini. ===
11. Babad Onje: Onje Dikerdilkan - Menyisakan Onje Pekauman
Oleh: Toto Endargo
Dari Dipayuda III ke Pekauman
Setelah masa Kyai Ngabei Cakrayuda berakhir, kepemimpinan wilayah Onje jatuh ke tangan Kyai Ngabei Dipayuda dari Pagendholan, yang dalam tradisi disebut sebagai Dipayuda III (Arsayuda). Inilah fase terakhir dalam Punika Serat Sejarah Babad Onje yang masih membicarakan politik wilayah.
Namun, bersamaan dengan pergantian ini, sebuah catatan penting muncul dalam naskah:
“Wondenten perdikan Onje inggih kalulusaken mardikanipun nanging dipun elong ingkang kalih gerombol: Tuwansiwa, Pesawahan, ingkang merdika kantun Onje kemawon, dipun elong malih kantun Onje Pekauman kemawon. Taun sadasa dipun bedhal dados sabin, elong sewu ingkang punika inggih merdika.”
Kalimat itu menggambarkan proses bertahap di mana Onje tidak hanya kehilangan status kadipaten, tetapi juga dikecilkan dalam arti sesungguhnya: wilayahnya dipersempit hingga hanya menyisakan Onje Pekauman sebagai pusat religius. Sepuluh tahun kemudian, sebagian tanahnya bahkan diubah menjadi lahan garapan biasa.
Politik atau Dendam?
Masa ini sejajar dengan awal pemerintahan Pakubuwana I (1705–1719). Sentralisasi kekuasaan menjadi kebijakan utama, terutama setelah Perang Suksesi Mataram. Kadipaten-kadipaten kecil yang dianggap tidak strategis atau memiliki sejarah “bermasalah” dipangkas, wilayahnya diatur ulang, dan penguasa baru ditempatkan dari luar lingkaran lama.
Bagi Onje, kebijakan ini terasa lebih dalam. Sejarah mencatat hubungan rumit antara keluarga kerajaan dengan gadis Onje, Rara Mundhi, yang menyebabkan luka pribadi bagi Pangeran Puger—kelak naik takhta sebagai Pakubuwana I. Tidak ada catatan resmi yang menyebutkan dendam itu diekspresikan melalui kebijakan, tetapi pengecilan Onje hingga hanya pekauman memberi kesan kuat bahwa ini bukan sekadar administrasi.
Peran Dipayuda III (Arsayuda)
Dipayuda Pagendholan mengambil alih di tengah situasi itu. Dengan penunjukan ini, pengaruh Pagendholan dan jaringan Arsantaka masuk ke Onje. Tradisi lisan menyebut bahwa pengangkatan Arsayuda oleh Tumenggung Yudanegara III (Adipati Banyumas) adalah titik awal munculnya rivalitas keturunan Banyumas–Arsantaka, yang bahkan melahirkan tabu nikah antar keluarga.
Dengan Arsayuda, Onje kehilangan kemandirian politiknya, tetapi menjadi mata rantai menuju berdirinya pusat kekuasaan baru di Purbalingga. Ironisnya, fase ini sekaligus menandai “penghabisan” Onje sebagai kadipaten lama.
Onje yang Dikerdilkan
Kata dikerdilkan tepat menggambarkan akhir cerita ini. Onje bukan hanya kehilangan kekuasaan, tetapi juga ruang hidupnya sebagai wilayah. Dari kadipaten yang pernah mengatur belasan wilayah, ia dipersempit menjadi perdikan kecil, lalu hanya tersisa pekauman.
Dalam perspektif sejarah lokal, peristiwa ini adalah garis tegas: setelahnya, Punika Serat Sejarah Babad Onje hanya mencatat silsilah keluarga tanpa lagi membahas politik wilayah. Artinya, inilah benar-benar akhir perjalanan politik Kadipaten Onje.
Penutup: Ruh yang Bertahan
Kini, Onje hanya desa kecil di Purbalingga - Banyumas. Namun jejak dalam babad menunjukkan bahwa ia pernah menjadi pusat kadipaten, kemudian perdikan, sebelum akhirnya dikerdilkan. Politik, dendam, dan perubahan zaman bertemu di sini, meninggalkan pekauman sebagai simbol terakhir.
Meski wilayahnya menyusut, ruh Onje tetap hidup melalui naskah, pepundhen, dan ingatan kolektif. Kisah ini mengajarkan bahwa sejarah tidak selalu hilang dalam sekejap; kadang ia dipersempit, dipotong, bahkan dikerdilkan, tetapi tetap meninggalkan jejak bagi mereka yang mau membaca ulang. ===
12. Babad Onje: Dari Anyakrapati hingga Yudantaka, Garis Terakhir Penguasa Onje
Oleh: Toto Endargo
Silsilah dalam Naskah
Di bagian penutup Punika Serat Sejarah Babad Onje, terdapat kalimat sederhana namun sarat arti:
Kiyai embah Dipati
Anyakrapati aputra embah Antinegari,
Antinegari aputra embah Jawangsa,
Jawangsa aputra embah Ngabdullah,
Ngabdullah aputra embah Sutarudin,
Sutarudin aputra Kiyai Samirudin,
Kiyai Samirudin aputra Kiyai Nur Muhammad,
Kiyai Nur Muhammad aputra Kiyai Wiryabetsari,
Kiyai Wiryabetsari maka aputra Kiyai Yudantaka,
sampun dumugi turun kaping sanga ndugine Kiyai Yuda.
Kalimat itu adalah daftar silsilah penguasa Onje dari generasi pertama hingga kesembilan. Nama pertama, Dipati Anyakrapati, diyakini sebagai anak biologis Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang ditempatkan di Onje pada abad ke-16. Dengan menyebut nama ini, Babad Onje menegaskan bahwa Onje bukan sekadar kadipaten bawahan, melainkan cabang darah langsung dari Pajang.
Dari Adipati ke Kyai
Silsilah ini memperlihatkan pergeseran identitas Onje. Generasi pertama masih memakai gelar Dipati, gelar politik yang mengacu pada penguasa kadipaten. Namun, mulai generasi Ngabdullah, gelar berubah menjadi Kiyai. Pergeseran itu selaras dengan transformasi Onje: dari pusat kekuasaan politik menjadi pusat religius dan perdikan.
Nama-nama seperti Ngabdullah, Sutarudin, Samirudin, hingga Nur Muhammad memperlihatkan pengaruh Islam yang semakin kuat dalam garis keturunan ini.
Yudantaka, Penutup Garis
Nama terakhir dalam daftar adalah Kiyai Yudantaka. Dalam naskah disebut juga “ndugine Kyai Yuda”, yang kemungkinan besar bukan tokoh lain, melainkan sebutan pendek untuk Yudantaka sendiri. Itu berarti Yudantaka adalah generasi kesembilan sekaligus penutup garis penguasa Onje.
Berhentinya silsilah di Yudantaka bisa dibaca sebagai tanda berakhirnya era “penguasa” Onje. Setelah generasi ini, Onje bukan lagi pusat kekuasaan, melainkan desa biasa dengan pekauman dan pepundhen yang dijaga. Nama Yudantaka menjadi simbol akhir sebuah babak sejarah.
Jejak Putra Pajang
Jika Anyakrapati adalah putra Sultan Hadiwijaya, maka silsilah ini menghubungkan darah Pajang langsung ke generasi terakhir Onje. Ini membuat Babad Onje bukan hanya catatan lokal, tetapi juga bagian dari mozaik besar sejarah Jawa, menandai bagaimana kebijakan politik abad ke-16 menanam garis keturunan kerajaan di daerah perbatasan.
Penutup: Ruh yang Bertahan
Dengan menutup ceritanya pada Yudantaka, Punika Serat Sejarah Babad Onje seperti ingin mengatakan: “Onje telah berubah. Dari darah raja ke hamba Tuhan.” Dari Anyakrapati, putra Pajang, ke Yudantaka, generasi kesembilan, kita melihat lintasan sejarah 150 tahun Onje: kadipaten kecil yang lahir dari strategi politik, runtuh oleh arus kekuasaan besar, namun tetap bertahan sebagai desa dengan akar spiritual.
Hari ini, Onje mungkin hanya sebuah desa di Purbalingga - Banyumas. Namun di balik nama dusun, pekauman, dan makam tuanya, masih bergema daftar nama itu — garis keturunan yang menghubungkan Pajang dengan Onje, dari Anyakrapati hingga Yudantaka. ===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar