![]() |
| Epos Gerilya di Purwokerto - ChatGPT |
Epos Gerilya Purwokerto: Komando Kesatuan yang Menjaga Nyala Kemerdekaan
Oleh: Toto Endargo
Purwokerto, di kaki Gunung Slamet, pernah menjadi salah satu jantung perlawanan yang berdetak keras dalam tubuh republik muda. Tahun 1947, ketika pasukan Belanda kembali menapakkan kaki di tanah Banyumas, rakyat dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sudah mengerti benar: kemerdekaan bukan sekadar kata dalam teks proklamasi, melainkan sesuatu yang harus dijaga dengan darah, siasat, dan keyakinan.
Belanda datang dengan tekad membangun kembali pemerintahan sipil di daerah-daerah yang mereka duduki. Namun, niat itu tak pernah menemukan tanah yang subur. Rakyat menolak, pegawai sipil Republik meninggalkan kantor-kantor mereka dan menyingkir ke wilayah kekuasaan RI. Mereka tidak sudi menjadi alat penjajah baru. Dari desa-desa di lereng utara hingga kampung di tepian Sungai Serayu, rakyat menutup pintu bagi setiap upaya pendirian pemerintahan kolonial.
Gerilya: Siasat Rakyat yang Menjadi Senjata Negara
Ketika senjata artileri dan tank
Belanda menggelegar di kota-kota, rakyat dan TNI memilih cara lain: bergerilya.
Serangan mendadak, pencegatan konvoi, penghadangan logistik, serta sabotase
komunikasi musuh menjadi denyut kehidupan baru di Banyumas.
Gerilyawan bukan tentara liar, bukan pula massa yang bergerak tanpa arah.
Mereka adalah warga biasa yang tinggal di tengah daerah pendudukan, tapi
menjadi mata dan telinga Republik. Mereka melapor diam-diam ke pos TNI
terdekat, mengabarkan gerak pasukan Belanda, waktu patroli, dan arah konvoi.
“Musuh dalam selimut” — begitu Belanda menyebut para pemuda Banyumas yang tampak tenang di siang hari, namun di malam hari bergabung dengan pasukan rakyat. Mereka adalah penunjuk jalan bagi pasukan TNI yang hendak menyusup, penyelundup informasi, sekaligus penggempur saat fajar.
Keunggulan terbesar TNI bukanlah jumlah senjata, melainkan dukungan rakyat. Tiap rumah menjadi dapur umum, tiap ladang menjadi jalur logistik, dan tiap lumbung menjadi gudang amunisi.
Sidang di Ketenger: Lahirnya Komando Gerilya Purwokerto
Pada tanggal 1 Agustus 1947, ketika Purwokerto tengah digempur Belanda, sekelompok tokoh pimpinan TNI dan sipil berkumpul di Desa Ketenger, di utara kota. Di tempat yang dingin dan berkabut itu, mereka merancang struktur perlawanan baru: Komando Kesatuan Gerilya di Purwokerto.
Pertemuan itu bukan sekadar rapat perang. Ia adalah simbol keteguhan hati: bahwa Banyumas tidak akan menyerah, apa pun yang terjadi. Tiga hari setelah pertemuan itu, Dewan Keamanan PBB memang mengeluarkan anjuran gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Namun di tanah Purwokerto, api perjuangan belum padam — karena mereka tahu, diplomasi belum tentu berarti kebebasan.
Susunan Komando Kesatuan Gerilya itu
disahkan dengan pimpinan utama Letda PTR Soepeno, sosok muda yang
dikenal berani dan strategis. Ia dibantu oleh Kapten PTR Soewagijo
sebagai Wakil I dan Budihardjo sebagai Wakil II.
Di bawah mereka berdiri staf yang terdiri dari perpaduan kekuatan militer dan
sipil:
- Letkol TNI Masjarakat Sutedjo
- Letkol TNI Masjarakat Agus
- Suwarto, SH – Wakil Residen
- Gatot, SH – Kepala Pengadilan Negeri
- Kapten Wirjosendjojo
- Herman, SH – dari Kementerian Dalam Negeri
- Ir. Utji – D.K.A.
- Roni Sulaiman
- Sukosampurno
Mereka bukan sekadar komandan di medan tempur, melainkan pemangku harapan rakyat. Di antara mereka ada ahli hukum, pejabat, dan insinyur — bukti bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan bukan hanya urusan senjata, tapi juga ilmu, pikiran, dan tata kelola negara.
Banyumas: Dari Desa ke Pusat Komando
Gerilyawan Banyumas tidak sekadar bertahan, mereka berkembang. Senjata mereka bukan hanya hasil rampasan dari musuh, tapi juga hasil kerja sama antarwilayah. Laporan intelijen disalurkan secara cepat dan rahasia, lewat kurir yang hafal jalur hutan dan sungai. Dari sisi barat Gunung Slamet sampai ke selatan menuju Sokaraja, jalur komunikasi gerilya berjalan dengan sangat efektif.
Purwokerto, yang saat itu menjadi salah satu pusat Belanda, justru dikepung secara diam-diam oleh pasukan rakyat. Serangan kecil tapi terus-menerus melemahkan moral tentara kolonial. Mereka kehilangan kendali atas wilayah yang di atas peta seolah sudah dikuasai, tetapi di lapangan justru menjadi kuburan bagi konvoi mereka sendiri.
Setiap kemenangan kecil menumbuhkan keyakinan baru: bahwa kekuatan sejati Republik ada di tangan rakyat yang berani.
Semangat yang Tak Pernah Padam
Kini, lebih dari tujuh dasawarsa setelah peristiwa itu, nama-nama seperti Soepeno, Soewagijo, dan Sutedjo mungkin tak banyak dikenal oleh generasi muda. Namun tanpa komando mereka, Banyumas mungkin tak akan menjadi wilayah yang mampu bertahan dalam gelombang agresi militer Belanda.
Epos gerilya Purwokerto bukan hanya catatan perang, tetapi cermin persatuan: antara rakyat, TNI, dan pejabat sipil. Di masa itu, mereka tidak menunggu perintah pusat untuk bertindak. Mereka berinisiatif, berpikir, dan bertempur dengan segala keterbatasan.
Hari ini, ketika kita melintasi Jalan Yosodarmo di Purwokerto — jalan yang dahulu menjadi saksi pergerakan tentara dan rakyat — kita seperti menapak di atas sejarah yang masih berdarah. Ironisnya, Gedung Yosodarmo, salah satu peninggalan bersejarah di kawasan itu, kini tampak kurang terawat. Dindingnya kusam, halaman sepi, dan atapnya mulai lapuk. Padahal, dari tempat-tempat semacam inilah semangat kebangsaan pernah dikobarkan.
Sejarah tidak selalu hidup di museum; ia hidup di ruang-ruang yang kita rawat, di ingatan yang kita teruskan. Bila gedung-gedung perjuangan dibiarkan runtuh, maka pelan-pelan yang ikut runtuh adalah makna kemerdekaan itu sendiri.
Penutup: Warisan Keteguhan
Komando Kesatuan Gerilya di Purwokerto adalah contoh bagaimana perjuangan mempertahankan kemerdekaan bukan hanya soal kemenangan militer, tapi juga tentang keteguhan moral dan kesadaran kolektif.
Dari Ketenger yang berkabut, lahirlah
keputusan penting yang menjaga marwah Republik. Dari desa-desa kecil di
Banyumas, muncul pasukan rakyat yang menyadarkan dunia: Indonesia tidak akan
kembali dijajah.
Dan dari sisa-sisa bangunan tua seperti Gedung Yosodarmo, sejarah berbisik
lirih — bahwa kemerdekaan ini bukan hadiah, tetapi hasil dari kesetiaan tanpa
syarat terhadap tanah air. ===
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar