![]() |
| Poster Film "Harmoni" - Rekam Film |
Harmoni (2025): Surat Terbuka untuk Sang Penjaga Keseimbangan
Oleh: Toto Endargo
Kepada Yuda Kurniawan,
sang perekam kesunyian yang berbicara lewat gambar,
Terima kasih sudah menghadirkan Harmoni (2025), sebuah film yang bukan sekadar kisah dua petani, tetapi dua cermin kehidupan yang memantulkan wajah kita sendiri — manusia yang sering lupa caranya hidup berdampingan dengan alam.
Di Pulau Nusa Lembongan, Bali, ada Made, petani rumput laut yang masih
bertahan di tengah gelombang pariwisata.
Di Desa Saritani, Gorontalo, ada Tuwarno, petani jagung yang menatap langit
kering dan membaca bintang dengan tradisi Panggoba.
Dua manusia dari dua tanah berbeda, namun mereka memanggul beban yang sama:
perubahan zaman yang mengguncang keseimbangan alam.
Sinematografi yang Menyentuh Nurani
Dalam Harmoni, laut biru Bali dan sawah kering Gorontalo bukan
sekadar latar. Mereka adalah karakter yang hidup, bernapas, dan berbicara.
Sinematografi Anda terasa seperti doa yang dibisikkan lewat cahaya — lembut,
tapi menghunjam.
Bahasa daerah, pemeran lokal, dan setting nyata memberi rasa kejujuran yang
jarang ditemui di layar kita hari ini.
Film ini bukan ingin membuat kita kagum, melainkan mengajak kita diam sejenak — mendengar bagaimana bumi berbicara lewat manusia yang sederhana.
Tentang Benturan dan Keseimbangan
Saya suka cara Anda menampilkan konflik tanpa kebencian.
Anak dan orang tua, suami dan istri, tradisi dan modernitas, alam dan industri
— semuanya bukan musuh, melainkan dua sisi kehidupan yang perlu belajar
berdampingan.
“Benturan antara tradisional dan modern bukan soal kalah-menang, melainkan bagaimana keduanya belajar berjalan berdampingan.”
Dan di situlah, kata Harmoni menemukan maknanya.
Suara Lokal yang Mendunia
Bahwa film ini menembus Kolkata International Film Festival (Asian Select NETPAC) dan meraih Best Film Award di My Name is Climate Film Festival (UK)* bukan hanya prestasi, melainkan bukti bahwa kisah kecil dari Nusantara pun bisa menggema sampai ke dunia.
Anda menunjukkan, Yuda, bahwa sinema bisa menjadi jembatan — bukan antara negara, tapi antara manusia dan alamnya sendiri.
Penutup: Doa dari Seorang Peminat Budaya
Saya menulis ini bukan sebagai kritikus film, tapi sebagai seseorang yang
tersentuh oleh kejujuran sebuah karya.
Semoga Harmoni menjadi pengingat bagi kita semua: bahwa jagung di
gunung dan rumput di laut hanya akan tumbuh jika manusia belajar hidup seimbang
dengan semesta.
Terima kasih, Yuda Kurniawan.
Telah merekam bumi dengan hati.===

Tidak ada komentar:
Posting Komentar