Selasa, 28 Oktober 2025

“Satu Nusa Satu Bangsa”: Puisi Persatuan untuk Menyambut Hari Sumpah Pemuda

 

“Satu Nusa Satu Bangsa”: Puisi Persatuan untuk Menyambut Hari Sumpah Pemuda

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda — momen bersejarah ketika para pemuda dari berbagai penjuru nusantara menyatakan diri sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa.

Dalam gema semangat itu, lagu “Satu Nusa Satu Bangsa” ciptaan Liberty Manik menjadi salah satu karya yang paling mampu menangkap ruh Sumpah Pemuda dalam bentuk musikal dan puitis.

Lagu ini sering terdengar dalam upacara, sekolah, dan perayaan kenegaraan. Namun, di balik kesederhanaan nadanya, tersimpan bahasa yang dalam, nyaris mistis, yang menyatukan cinta, harapan, dan janji kebangsaan.

 Mantra Kesatuan: “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Kita”

Baris pembuka lagu ini adalah semacam mantra kebangsaan.
Pengulangan kata “satu” menciptakan irama yang menegaskan kesatuan — bukan sekadar jumlah, melainkan rasa tunggal yang lahir dari keragaman.

“Nusa, Bangsa, Bahasa” — tiga kata ini menjadi pilar simbolik, seperti tripitaka dalam kebudayaan rohani, yang membentuk kesadaran akan jati diri Indonesia. Dalam repetisi itu, terpantul keyakinan bahwa perbedaan hanya dapat bermakna jika diikat oleh kesatuan makna “kita.”

‘Satu’ bukan hanya angka, melainkan ikrar politik dan moral: meniadakan sekat-sekat kedaerahan demi cita-cita bersama. Di masa kini, makna ini seakan mengingatkan kita agar politik identitas tidak kembali merusak tatanan persatuan.

 Janji Kejayaan: “Tanah Air Pasti Jaya, untuk Selama-lamanya”

Baris ini menghadirkan nada profetik — sebuah doa yang berubah menjadi keyakinan politik kebangsaan.
Frasa “tanah air” sendiri begitu puitis: tanah melambangkan pijakan, air melambangkan kehidupan. Ketika keduanya disatukan, lahirlah simbol bangsa yang hidup, berdenyut, dan terus mengalir.

Kata “pasti” menjadi pusat energi dalam baris ini. Ia tidak sekadar optimisme, melainkan kepercayaan terhadap kekuatan rakyat. Bahwa kejayaan Indonesia bukanlah hasil karunia elite semata, melainkan hasil gotong royong, keberanian, dan kejujuran politik.

 Nada Cinta: “Indonesia Pusaka, Indonesia Tercinta”

Pada bagian ini, lagu beralih menjadi lirikal — lembut, namun penuh makna.
Kata “pusaka” mengandung nuansa sakral: warisan yang harus dijaga, tanda kebesaran yang diwariskan para pendahulu. Sementara “tercinta” membawa nada kasih sayang, seperti seorang anak memanggil ibunya.

Pengulangan kata “Indonesia” dua kali menegaskan emosi kolektif: kebanggaan, kesetiaan, dan rasa memiliki.
Nada lagu seolah menunduk hormat, memberi ruang bagi rasa syukur atas tanah air yang bukan sekadar tempat lahir, melainkan rumah batin dan rumah politik bersama.

Di sini, nasionalisme bukan teriakan, melainkan kelembutan rasa dan keteguhan sikap.

 Puncak Semangat: “Nusa, Bangsa, dan Bahasa, Kita Bela Bersama”

Bagian penutup menjadi kulminasi makna — dari pengakuan menuju tindakan.
Struktur tiga unsur (nusa, bangsa, bahasa) diulang kembali, menciptakan simetri puitik, seolah menegaskan bahwa persatuan tidak berhenti pada kata, melainkan diwujudkan dalam pembelaan bersama.

Kata “bela” di sini adalah kata kerja yang menyalakan api: ia memanggil rakyat untuk bertindak, menjaga, dan berkorban demi Indonesia.
Dalam konteks politik modern, “membela” dapat dimaknai sebagai menjaga etika bernegara, melawan korupsi, dan menegakkan keadilan.

Lagu pun menutup dengan nada tegas, membentuk lingkaran utuh antara rasa, kata, dan karya.
Persatuan bukan hanya diucap, tetapi dijaga. Bersama.

 Refleksi Akhir: Lagu sebagai Cermin Sumpah Pemuda

Lagu “Satu Nusa Satu Bangsa” adalah puisi kebangsaan yang hidup dalam bentuk musik. Ia merangkum semangat Sumpah Pemuda dalam diksi yang ringkas, simbolik, dan penuh getaran batin.

Dalam bait-baitnya, kita temukan tiga nilai besar:

  1. Kesatuan — yang mengikat keberagaman.
  2. Cinta Tanah Air — yang tumbuh dari kesadaran dan rasa syukur.
  3. Tanggung Jawab Bersama — yang mendorong setiap warga untuk menjaga warisan bangsa.

Namun lebih dari itu, lagu ini juga mengandung pesan politik yang lembut namun tajam:
bahwa kejayaan bangsa tidak lahir dari sekat partai atau ideologi, melainkan dari kesatuan cita-cita dan keberanian moral rakyat.

Menjelang Hari Sumpah Pemuda, lagu ini bukan sekadar untuk dinyanyikan, tetapi dihayati — agar setiap kata “satu” kembali bergema dalam dada kita, mengingatkan bahwa Indonesia berdiri bukan karena kesamaan darah, tetapi karena kesamaan tekad dan tanggung jawab.

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa — dan satu jiwa: Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar