![]() |
| Chairil Anwar: Persetujuan dengan Bung Karno |
Persetujuan dengan Bung Karno: Puisi dan Politik yang Saling Menyapa
Oleh: Toto Endargo
1. Dua Api dari Satu Zaman
“Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji...”
Bait pembuka itu bukan sekadar panggilan dari seorang penyair kepada presiden. Ia adalah sapaan sejarah, perjumpaan dua nyala yang berasal dari bara yang sama: kata dan perbuatan, bisikan dan teriakan, puisi dan politik.
Chairil Anwar dan Soekarno adalah dua sosok yang dilahirkan oleh zaman yang
membara.
Bung Karno memekikkan kemerdekaan di podium,
Chairil membisikkan keberanian di lembaran kertas.
Yang satu menggetarkan alun-alun,
yang satu mengguncangkan batin bangsa.
Namun keduanya menyalakan nyala yang sama — api kemerdekaan jiwa
manusia Indonesia.
2. Puisi di Tengah Revolusi
Puisi “Persetujuan dengan Bung Karno” lahir sekitar tahun 1948,
ketika Republik muda sedang diguncang oleh konflik, penjajahan kembali, dan
perpecahan batin antara ideologi.
Chairil Anwar, yang sering dianggap individualistis dan sukar tunduk pada
otoritas, justru menulis puisi yang memperlihatkan persetujuan,
bahkan persekutuan batin dengan Bung Karno.
Namun “persetujuan” di sini bukan berarti tunduk,
melainkan pengakuan ideologis: bahwa penyair pun bagian dari
revolusi,
bahwa api yang berkobar di podium juga menyala di dada seorang seniman.
“Aku sudah cukup lama dengan bicaramu,
dipanggang di atas apimu, digarami lautmu.”
Chairil berbicara dari kedalaman pengalaman bangsa —
ia telah dibakar oleh perjuangan, diasinkan oleh penderitaan.
Dan setelah itu, ia berseru:
“Aku sekarang api, aku sekarang laut.”
Ia menjelma unsur dari negeri yang diperjuangkannya:
menjadi semangat itu sendiri.
3. Puisi sebagai Politik yang Dibisikkan
Chairil Anwar tidak berpidato di depan massa,
tetapi setiap puisinya adalah pidato sunyi.
Ia tidak menulis manifesto partai,
namun setiap lariknya mengandung sikap politik batin —
tentang kemerdekaan, martabat manusia, dan keberanian berpikir sendiri.
Puisi baginya adalah politik yang dibisikkan.
Bisikan yang tidak kalah kuat dari teriakan,
karena ia menyentuh wilayah paling dalam: kesadaran dan rasa.
“Bung Karno” dalam puisinya bukan sekadar tokoh,
melainkan simbol jiwa bangsa yang sedang ditempa.
Dalam bisikan Chairil, politik menjadi lembut, manusiawi,
tanpa kehilangan bara ideologinya.
Ia tidak tunduk pada kekuasaan,
tetapi bersetia pada makna kemerdekaan itu sendiri.
Chairil Anwar menggunakan puisi untuk berpolitik dengan berbisik.
4. Politik sebagai Puisi yang Diteriakkan
Sebaliknya, Bung Karno adalah penyair yang berpolitik dengan berteriak.
Bahasanya mengalir seperti irama sajak,
penuh metafora, emosi, dan getaran retoris.
“Beri aku sepuluh pemuda, niscaya
kuguncangkan dunia.”
Kalimat itu bukan sekadar seruan politik,
tetapi baris puisi yang hidup di darah bangsa.
Politik Bung Karno adalah puisi yang mewujud menjadi tindakan.
Ia tidak hanya memimpin negara,
tapi juga menggubah kesadaran.
Ia tahu, revolusi tidak akan hidup tanpa imajinasi,
dan bangsa tidak akan bangkit tanpa daya bahasa.
Bung Karno menggunakan politik untuk berpuisi dengan berteriak.
5. Pertemuan Antara Bisikan dan Teriakan
Pertemuan antara Chairil dan Bung Karno — meski tak selalu fisik —
adalah pertemuan dua kekuatan ekspresi.
Yang satu berbicara pelan kepada nurani,
yang satu menggema lantang di udara merdeka.
Namun keduanya menuju satu arah:
menyatukan bangsa dalam kesadaran dan semangat yang sama.
Dalam bait penutup Chairil:
“Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu
urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh.”
Kata “zat” dan “urat” adalah metafora persaudaraan spiritual —
darah yang sama mengalir di tubuh penyair dan pemimpin.
Mereka berlayar dengan kapal yang sama: kapal Indonesia.
6. Dua Jalan Menuju Keabadian
Politik mungkin berakhir bersama masa jabatan,
namun puisi tak mengenal tanggal pensiun.
Dan ketika keduanya bertemu,
politik menjadi berjiwa,
puisi menjadi bermakna sejarah.
Chairil Anwar menulis untuk memberi ruh pada perjuangan;
Bung Karno berpidato untuk memberi bentuk pada ruh itu.
Satu berbisik di hati bangsa,
satu berteriak di panggung sejarah.
Mereka berdua mengingatkan kita,
bahwa kemerdekaan bukan hanya urusan senjata,
tetapi juga urusan kata —
kata yang menyalakan kesadaran,
kata yang meneguhkan keberanian,
kata yang menumbuhkan cinta pada tanah air.
7. Penutup: Indonesia, Puisi yang Tak Pernah Usai
“Persetujuan dengan Bung Karno”
bukan sekadar puisi politik,
melainkan janji kesetiaan pada semangat bangsa.
Ia menunjukkan bahwa penyair tidak berdiri di luar sejarah,
melainkan menjadi saksi dan penggeraknya.
Dalam setiap “urat” dan “zat” yang disebut Chairil,
kita membaca pesan yang lebih dalam:
bahwa Indonesia lahir dari pertemuan antara bisikan dan teriakan,
antara pena dan podium,
antara Chairil Anwar dan Bung Karno.
Dan hingga kini,
kita masih melanjutkan persekutuan itu —
menulis dan berteriak,
berpikir dan bertindak,
agar Indonesia tetap menjadi puisi yang menulis dirinya sendiri.
---

Tidak ada komentar:
Posting Komentar