Membaca Serat Sejarah Babad Onje

 

Membaca Serat Sejarah Babad Onje - ChatGPT

Membaca Serat Sejarah Babad Onje

Oleh: Toto Endargo, Peminat Budaya

Babad Onje: Onje Lahir dari Laku - Kiyai Tepus Rumput dan Titah Sultan Pajang

Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (1)

Di lereng timur Gunung Slamet, ada satu nama yang tak pernah hilang dari ingatan sejarah Purbalingga - Banyumas: Onje. Banyak orang mengenalnya sebagai desa tua dengan jejak kadipaten, tetapi Punika Serat Sejarah Babad Onje menyimpan lapisan yang lebih dalam. Di halaman awal naskah itu, kita bertemu seorang pertapa, sebuah titah raja, dan wejangan yang menyatukan tanah, tahta, dan sukma.

Membaca Jejak Kadipaten Onje dari Kyai Tepus Rumput sampai Kyai Yudantaka

  

Makam Raden Adipati Anyakrapati di Onje - Toto Endargo

Membaca Jejak Kadipaten Onje dari Kyai Tepus Rumput sampai Kyai Yudantaka

1.     Babad Onje: Membaca Jejak Legitimasi Pajang di Tanah Onje

Teks Babad Onje yang beredar di kalangan masyarakat Onje dan sekitarnya sering disebut sebagai “Punika Serat Sejarah Babad Onje” Baris pembukanya berbunyi jelas:

Mengenal Tugu Juang di Desa Blater – Catatan Bapak Soeparno

 

 MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER – CATATAN BAPAK SOEPARNO

Catatan sejarah ini ditulis oleh Bapak Soeparno Penilik Kebudayaan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kalimanah, Tahun 1988, dan diberi judul “MENGENAL TUGU JUANG DI DESA BLATER”

Benteng Missier dan Pager Banawaty: Dua Lapisan Pertahanan di Onje (1681)

 

Benteng Missier dan Pager Banawaty: Dua Lapisan Pertahanan di Onje (1681)

Pada akhir abad ke‑17, wilayah barat daya Banyumas menjadi salah satu titik strategis dalam perebutan pengaruh antara VOC dan kekuatan‑kekuatan lokal Jawa. Kawasan Onje, yang terletak di tepi Sungai Klawing, dikenal masyarakat setempat sebagai pusat Kadipaten dengan sistem pertahanan tradisional yang disebut Pager Banawaty. Struktur ini berupa benteng bumi dengan parit melingkar dan dinding tanah yang mengelilingi permukiman inti kadipaten, khas pertahanan lokal Jawa pada masa itu.

Stop Bullying Sekolah: Saatnya Kita Bela Institusi Pendidikan

 Stop Bullying Sekolah: Saatnya Kita Bela Institusi Pendidikan

Oleh: Toto Endargo

Kita semua sepakat: bullying itu berbahaya. Itulah mengapa kampanye Stop Bullying digalakkan di sekolah-sekolah — demi melindungi siswa dari kekerasan psikologis dan sosial.

Tapi, ada satu bentuk bullying yang kerap diabaikan: bullying terhadap sekolah itu sendiri.

Di era digital, sebuah unggahan sepihak bisa meluluhlantakkan nama baik sebuah sekolah. Tanpa klarifikasi, tanpa data, hanya berdasarkan narasi personal yang kemudian diviralkan. Komentar netizen pun datang berbondong-bondong, menekan, menghujat, bahkan menuntut sanksi — tanpa proses, tanpa tabayyun.

Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha

 Kisah Jataka: Cerita-Cerita Moral dan Spiritual Menggambarkan Kehidupan Sang Buddha

Jataka Tales atau Kisah Jataka adalah cerita-cerita moral dan spiritual yang menggambarkan kehidupan Sang Buddha dalam berbagai reinkarnasi — bisa sebagai manusia, hewan, atau makhluk lain.

Terdapat 547 hingga 550 kisah Jataka dalam tradisi Theravada (Pali Canon), dan masing-masing mengandung pesan moral atau nilai kebajikan seperti kemurahan hati, kebijaksanaan, dan pengorbanan.

Runtuhnya Raja Namrud dari Salinga

 

RUNTUHNYA RAJA NAMRUD DARI SALINGA

Sebuah cerita yang diambil dari kisah perselisihan antara Pangeran Puger di Pleret dengan Amangkurat II di Kartasura hingga runtuhnya Benteng Mesir dan tewasnya Raja Namrud dari Salinga (Slinga), sebuah wilayah di sekitar Desa Onje, Mrebet, Purbalingga.

Perselisihan Pleret - Kartasura

Pangeran Puger adalah penguasa di Keraton Pleret, telah berselisih dengan kakaknya yang bernama Raden Mas Rahmat, raja di Kerajaan Kartasura. Raden Mas Rahmat bergelar Amangkurat II, dikenal juga dengan nama Sunan Amral karena suka memakai pakaian model Admiral (Laksamana) Belanda.

Politik Dalam Pewayangan (12): Presiden – Semar Mbarang Jantur

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Semar Mbarang Jantur

Semar adalah tokoh bijak dalam pewayangan yang mengasuh dan membimbing Arjuna layaknya anak kandungnya sendiri. Dalam suatu perjalanan, Arjuna terlibat pertarungan sengit dengan seorang raksasa hingga ia jatuh terkapar kelelahan. Untuk melanjutkan perjalanannya, Arjuna membutuhkan energi yang cukup, termasuk makanan sebagai penguat.

Politik Dalam Pewayangan (14): Dana Aspirasi – Aswatama Gasir

 Politik Dalam Pewayangan (13): Dana Aspirasi – Aswatama Gasir

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Aswatama, di penghujung Perang Bharatayuda, menemui Duryudana yang dalam kondisi sekarat. Dalam keadaan kritis itu, Duryudana mengangkat Aswatama sebagai senapati perang yang baru. Dengan amarah membara dan dendam mendalam terhadap Drestajumena yang membunuh ayahnya, serta terhadap anak-anak Pandawa, Aswatama mencari cara membalas dendam tanpa harus menghadapi mereka secara langsung di medan perang. Dengan sumber daya terbatas dan hanya didampingi dua orang sekutu, ia memilih strategi yang tidak lazim.

 

Politik Dalam Pewayangan (14): Terbidik Lemah – Begawan Sempani Tewas

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Cerita Pewayangan

Begawan Sempani adalah seorang pertapa sakti yang memiliki kesaktian luar biasa. Ia mampu menghidupkan kembali anak angkatnya, Jayajatra, meskipun dalam kondisi telah tewas. Dengan kesaktiannya, Jayajatra yang telah mati tetap dapat bergerak seperti robot, kedua tangannya menggenggam keris dan pedang, menebas puluhan prajurit Pandawa.

Politik Dalam Pewayangan (15): Kebohongan dan Kepalsuan – Wisanggeni

 Politik Dalam Pewayangan (15): Kebohongan dan Kepalsuan – Wisanggeni

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Cerita Pewayangan

Wisanggeni adalah tokoh pewayangan yang dikenal sebagai putra Arjuna dan Dewi Dresanala, putri Batara Brama. Sejak lahir, Wisanggeni sudah menunjukkan kecerdikan dan kesaktiannya yang luar biasa. Hal ini membuatnya sering disebut sebagai "dewa terakhir," karena bahkan para dewa di Kahyangan merasa segan terhadap kebijaksanaan dan kekuatannya.

Ketika Ular Kobra Dianggap Biasa, Kepala Babi Jadi Isu Nasional

Ketika Ular Kobra Dianggap Biasa, Kepala Babi Jadi Isu Nasional 

Refleksi atas Ketimpangan Respons terhadap Dua Peristiwa Berbeda  

Oleh: Toto Endargo  

Dua Peristiwa, Dua Realitas Sosial 

Baru-baru ini, dua peristiwa terjadi dalam waktu berdekatan, namun menimbulkan reaksi publik dan institusi yang sangat berbeda. Di satu sisi, ada pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo—yang langsung disambut kehebohan media, investigasi kepolisian, dan gelombang simpati dari berbagai pihak. Di sisi lain, dua kali keberadaan ular kobra yang diduga sengaja dilepaskan di sekitar rumah Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta, hanya disikapi sebagai kabar biasa, tanpa langkah tegas dari lembaga berwenang. 

Kisah Kelahiran Bondan Kejawen Menurut "Serat Carub Kandha"

 Kisah Kelahiran Bondan Kejawen Menurut "Serat Carub Kandha"

Berikut ini adalah kutipan langsung dari sebuah serat “Carub Kandha, Carang Seket” khusu cerita kesepuluh yang di dalamnya terdapat kisah kelahiran Bondan Kejawen.

Penulis buku ini adalah H. Muhamad Pakih, atau Kiyai Tajam, sama dengan H. Abdul Jalil, dari Kampung Pekarungan, Kotamadya Cirebon. Selesai ditulis pada hari Jumat Pon, pukul 17.00, tanggal 26 Julkaidah Tahun He, atau Tahun 1324 H (1906 M).

Power Point Banyumasan Dalam Tradisi Begalan

 

Power Point Banyumasan Dalam Tradisi Begalan

Ternyata model tayangan semacam power point sudah ada sejak kuna-makuna di wilayah Banyumas, cermati saja dalam pertunjukan tradisi Begalan. Banyumas pancen maen!

 

Power Point

Power point adalah adalah bagian dari Microsoft Office, salah satu perangkat lunak di komputer untuk mengolah bahan presentasi, berbentuk dokumen dalam bentuk slide. Slide ini pasti sangat berguna dalam dunia pendidikan, ekonomi, bisnis, pemerintahan, dan tentu saja di bidang yang lain.

Konon Power Point dikenal memiliki kekuatan ekstra efisien, sehingga sangat memudahkan para penggunanya untuk memengaruhi para konsumen presentasinya. Bagi para guru yang tak begitu menguasai bahan ajarnyapun, masih menjadi tetap mudah mentransfer teorinya kepada para siswanya.

KATRESNAN KANG KAPUPUS, PRANACITRA – RARA MENDUT

 

KATRESNAN KANG KAPUPUS, PRANACITRA – RARA MENDUT

I

KI TUMENGGUNG WIRAGUNA

DHANDHANGGULA

I. Raras ruming sarkaranira ris, denta peksa mangapus pustaka, atbuteng tyas tan wrin ing reh, mamrih amardi kayun, dinuk ing don nir deya ugi, kadayan darpa Iimpat, rasikaning kidung, sumengka ngangka pujangga, rarasing kang ukara kang pinarsudi, karya wedharing kata.

2. Nahan nalika murweng kintaki, Respati Manis Rabingulawal, ping slikur Kasa taun Je, Galungan nuju tulus, Naga (8) Trustha (9) Amuji (7) Tunggil (1), enjang gathita nawa, wit paneratipun, manedhak sungging kewala, caritane ni Rara Mendut ing Pathi, duk aneng Wiragunan.

3. Abdi juru citra anengrani, carita lit remeh tinembungan, lagya karsane kang angreh, mundhut carita dhusun, saking wadya sudra met budi, ngalaya ngupa jiwa, ambabarang canglung, andongeng sarwi anggambang, angaludrug kopyah nyamatira kendhi, aran Ki Patraguna.

4. Kang carita pinaringkencarik, kinen dadyak-ken serat wawacan, ing dasih kang tampi seren, kinarya cagak ngantuk, ala nganggur kalaning latri, tinimbang Ian paguywan, ngur macaa lothung, lilingsen karsanira sang, amepeki sanadyan dongeng pan dadi, amuwuhi kagungan.

5. Ingkang mangka purwaning palupi, caritane wong ambarang gambang, duk nguni jaman kartane, nagara ing Mataram, panjenengan kangjeng sang aji, ingkang Sinuhun Sultan, Agung ing Matarum, kana kartining nagara, sawusira bedhahe nagari Pathi, kathah jarahanira.

6. Kang kacandhak lanang den cekeli, kang wadon tuwa nom binoyongan, wus kabekta sadayane, katur rajeng Matarum, brana estri sinung wadya ji, Tumenggung Wiraguna, gung ganjaranipun, hartestri lawan busana, semana wus tentrem harjaning nagari, ya ta ingkang winarna.

7. Ki Tumenggung Wiraguna nenggih, kang kinarya jejering carita, Ki Tumenggung wibawane, wancinira wus sepuh, nanging dereng lungse ing kardi, sarira meksih rosa, kuwat ngembat lawung, sih pupuk pawakanira, de katingal sepuhira jeng kiyai, kagege gutuk waja·.

8. Telas sadaya mung kantun kalih, satunggil sisih nginggil kewala, wus gumapila remane, nging maksih meses besus, awiraga barkat priyayi, ngatingalaken barkah, Dalem sang Sinuhun, denya gung ulah kamuktyan, dhasar dadya kakasih. Dalem sang aji, Tumenggung Wiraguna.

9. Yen ginunggung mangsantuka kalih, kadya ki Tumenggung Wiraguna, sarwa sarwi kabisane, sarwa tumandang rampung, barang karya gagah tan wigih, apunjul ing ngapapak, mrojol ing krepipun, tau tate datan taha, ngrupak jajahaning mungsuh anglar dening, jajahanireng rowang.

10. Yen kinarya rikat anguwisi, kinarya sandi tan kawanguran, bupati bijaksana ngreh, wau ta kalanipun, Ki Tumenggung Wiraguneki, apan lagya pinarak, neng pandhapa ngayun, alenggah lante demangan, kemul kampuh kuluk kanigara wilis, liyangan epekira.

11. Pan ingayap parekanireki, cethinira pipitu badhaya, samya yu-ayu warnane, ngampil pacaranipun, pedhang tameng rotan myang cundrik, talempak Ian panuwak, myang sanjata alus, kang ngampil sel pakecohan, ana tuwa juru dhawuhe jeng kyai, Nyai Centhung wastanya.

12. Wonten langenya dungik kakalih, masih jeben rumucuh kalihnya, lir kembar imbak warnane, sami balerahipun, tumenggene alis pan sami, cabik-cabike padha, manising pandulu, akuning suluh wadana, sisinome amicis anjrah respati, parigel solahira.

13. Pan kinembar busananireki, durung pati kukuh kakembenan, nanging wus dhemes pacake, amepes sila pangung, aneng wurinira tan tebih, sarwi anocoh kinang, pagantenanipun, siji ngampil pakecohan, pan giliran rare ro nocoh angracik, agung liniring tingal.

14. Ki Tumenggung kalangenaneki, ngaben sawung puyuh myang dherekan, tan ana liyane maneh, marma kawulanipun, pan sadaya ngolah kemiri, angulik jago gemak, milala kelangkung, ageng alit pan mangkana, myang kaume milu angolah kemiri, angingu jago gemak.

I5. Ingkang nyeret sinambi makani, puyuh sawung kang sekut dheplokan, myang bekatut woworane, yen wus den utet tembut, ginalintir bunder tir mimis, yen wus makan sawungnya, nutya makan puyuh, sawung puyuh gagadhuhan, wong sa-Wiragunan wrata siji-siji, jago kalawan gemak.

16. Lan samya kinandhutan kemiri, jalu estri samya binubuhan, Ki Tumenggung wibawane, saben angadu-adu, jago gemak tuwin kemiri, sadina ngadu gemak, sadinane sawung, sadina malih dherekan, katangane bedhug bubar wayah magrib, yen datu tan katilan.

17. Barang botohan dipun tarangi, wadya sajroning praja sadaya, winangenan botohane, datu kalawan esuk, prapteng bedhug tan den lilani, lamun ana kang nerak, rinayah ingukum, sanadyan mantri punggawa, linarangan sadaya tan ana wani, marang wawalerira.

18. Ki Tumenggung panggalihireki, marma datu kongsi bedhug siyang, linarangan botohane, pan panggawe nunungkul, tali marang karyeng nagari, singa kang ngadegena, ing katanganipun, apan lurug linurugan, winangenan awit bedhug kongsi mahrib, barang kang tinotohan.

19. Sabab Ki Tumenggung tan ngendhati, denya seba ing sadina-dina, cadhang karsa Dalem mangke, kadhang ngandikan malbu, lamun datan dipun timbali, angayeng mamariksa, kang nambut karyeku, bedhug kondur trap katangan, akasukan ngadu-adu kongsi mahrib, yen dalu langenira.

20. Amung catur kang dipun etohi, langkung tamban sadalu sapapan, sarwi myarsa gametane, singgotan kang anabuh, gendhing ririh dipun kendhangi, abdi runggeng pilalan, samya ayu-ayu, titiga taledhekira, pan kinembar swaranira rum amanis, lir ngalapena jiwa.

21. Ki Tumenggung Wiraguna lagi, pan sineba pawong kulanira, kapedhak miji ngawine, turah prajuritipun, ingkang sami atungguk kemit, prajurit Nameng-dhadha, tawan Trunalawung, Jagabela Trunalana, Singanabda, Jagabaya Anirwesthi, karyandel kapetengan.

22. Patih wasta Mas Prawirasekti, angreh pra mantri punggawa rolas, nama Wira pangajenge, Ngabei Wiratanu, Wiradarpa lan Wirapati, Wiragra Wirareja, lawan Wiraranu, Wirakarsa Wiradarma, Wirarana Wirajaya Wiraniti, lawan Wirakartika.

23. Wirayuda de kapedhakneki, wong patang puluh kakalih lurah, Ki Jagakarya wastane, kalawan Jagasatru, nama Jaga pangajengneki, wong miji pan limalas, Eka wastanipun, lurahnya Ekawijaya, gamel wolu lulurahe Ki Talipranti, sami Tali sadaya.

24. Ngawin rolas lurah Resagati, sami nama Resa sadayanya, sawidak nameng dhadhane, lulurah Wanengkewuh, Wanengbaya Wanengan sami, sawidak jagasura, lurah Suranempuh, kalawan Surapanunjang, jajarira nama Sura sadayeki, sawidak truna lanang.

25. Trunajaya Ian Trunasureki, sami nama Truna jajarira, sawidak truna lawunge, lurah ran Maradalu, Maradipa sajajarneki, dwidasa kapetengan, lurah Jagadalu, patang puluh singandaka, lurah Lembujaya lawan Lembupati, jajar Lembu sadaya.

26. Wolung puluh wadya bela pati, lurah kalih ran Jayamisaya, Jayawisesa sisihe, sadaya kawan atus, pitulikur kulanireki, anjawi wadyanira, arahaning dhusun, guguran lamun lurugan, lan wong magang pinatah dadya prajurit, wong kalih atus ana.

27. Marma langkung santosanireki, sira Ki Tumenggung Wiraguna, rumat pangati-atine, pangawulaning ratu, onjo sasamining bupati, tandho jaga pundhutan, Dalem sang Sinuhun, barang kang pinundhut ana, remeh aeng kang pinangka saking tebih, asimpen sadayanya.

28. Ingkang dadya bektinireng aji, atur-atur dhaharan kang langka, angger kang pinarlokake, punapa kang tan usum, ingaturken marang sang aji, tuwin aneh-anehan, pinilala katur, denira rumekseng nata, haywa kongsi kacuwan ratunireki, sabarang kang kinarsan.

29. Ki Tumenggung dangunira linggih, neng pandhapa tan pati ngandika, tan receh kadi sabene, sineba kulanipun, para lurah sadayaneki, tuwin pra punakawan, sami makan sawung, pepak aneng palataran, miwah mantri panekar kang sami prapti, bekta bombonganira.

30. Nunggil mas patih Prawirasekti, ki mas patih aris ararasan, pra mantri bibisik takon: "Punapa marmanipun, jeng kiyai Tumenggung mangkin, tan pati kadya saban inggal nandhing sawung" Mas patih aris wacana: "Inggih kirang priksa ingkang dados galih, sampun samadya candra.

31. Kula ragi awis den timbali, sarawuhira saking pasowan, yen wus lukar kampuhane, gya siram dhahar sampun, nulya mijil marang pandhapi, adhawuh tatandhingan, puyuh yen tan sawung, mung pikantuk sakembaran, nulya kondur sadalu tan mijil-mijil, kajawi wonten dhawah"

32. Ki Tumenggung Wiraguna mangkin, lagya kemengan badra irawan, yen ta upamakna mangke, kemengan lirnya limut, badra mendhung irawan sasi, lir wulan kagiyungan ing ima ngendhanu, Ki Tumenggung Wiraguna, apan lagya kasmaran tyasira manikin, langkung denya sungkawa.

33. Ingkang dadya bubukaning kingkin, ganjaran Dalem wong boboyongan, saking Pathi duk bedhahe, wasta Ni Rara Mendut, asli saking tanah Trebanggi, anake bakul prada, ing Trebanggi dhusun, marmane wonten santenan, pan pinundhut palara-lara ya maring, Adipati Pragola.

34. Badhe kinarsan kinarya selir, dereng kongsi kinarsan bok lara, kaselak dahuru geger, binoyong mring Matarum, pinaringken Wiraguneki, titiga tunggilira, pat bok Rara Mendut, katri oreyan kewala, mung sawiji ni Rara kang dadya brangti, angin lumuh kinarsan.

35. Marma Ki Tumenggung langkung kingkin, ciptaning driya salaminira, anom tumekeng sepuhe, andulu mring dyah ayu, datan wonten ingkang nyameni, sakojuring sarira, lir Ni Rara Mendut, luwese myang manisira, anununtung ing jajantung amemejing, amejang kalangenan.

36. Ingkang seba celak mungging ngarsi, pan kakalih lurah punakawan, Sapati Wirapatine, jeng Kiyai Tumenggung, sadangune denira linggih, tan kena angandika, gya kang garwa rawuh, Nyai Ajeng Wiraguna, marek ingkang raka marang ing pandhapi, sarwi saos dhaharan.

37. Lah-olahan asri amepeki, tinata tarab andher ing ngarsa, dhadharao jing-enjingane, bikang serabi puthu, lempeng gemblong wug-awug angin, lemper pupudhak ketan, plek-emplek bekatul, pradatan bakaran pisang, ketan salak juwadah jenang Ian wajik, lapis kupat balindrang.

38. Bakaran dhendheng gepukan garing, ledre semar mendem munten kupat, tan kolek apem kocore, garendul jenang kukus, kalong lahang srikaya pipis, jemunak jenang caca, koleh sagu lemu, wedang teh Ian mamanisan, gula aren sampun sumaji ing ngarsi, asri mungging rampadan.

39. Nyai Ajeng Wiraguna uning, yen kang raka lagya sungkaweng tyas, Nyi Ajeng kalangkung jrihe, dhasar pambekanipun, Nyai Ajeng bekti ing laki, bojo jajaka lara, salamine durung, katiban saeler sada, nora tau karya wuwus wawan runtik, tan nate rinengonan.

40. Saking bisa olah nuju kapti, cadhang awas sakarsane priya, kang dadya tyas glis rinukten, nekad-ken kang kinayun, anyingkiri kang den sukeri, septane kinawruhan, kasengsemanipun, ywa kongsi kadho ing karsa, ingkang raka asiha ing kirik genjik, yekti milu sih marma.

.41. Nyai Ajeng aturira aris, angarum-arum wananaira, ngrepepeh anor ature: "Dhuh Jeng Kyai Tumenggung, punapa kang dadya wot galih, punapi angsal duka, Dalem sang Sinuhun, lamun boten makatena, lah punapa ingkang kinarsan Kiyai, kawula dhawuhana".

42. Ki Tumenggung Wiraguna angling, mring kulanya lurah punakawan: "Capati dhawuhna age, mring mas patih yen aku, datan arsa angadu tandhing, padha konep bubaran, kang ambombong sawung". Capati matur sandika, sigra dhawuh ring patih Prawirasekti, mas patih tur sandika.

43. Nulya pra botoh bubaran sami, tuwin kang seba ing palataran, kathah samya bubar muleh, mung kedhik ingkang kantun, para mantri lawan mas patih, Kiyai Wiraguna, lon timbalanipun, marang Nyai Ajengira: "Manira tan dinukan marang sang aji, Nyai weruhanira.

 

 

 

II

GANDRUNGIPUN TUMENGGUNG WIRAGUNA

DHATENG RARAMENDUT

DHANDHANGGULA

I. "Ingkang dadya wode tyasku iki, iya paring Dalem boboyongan, amung bocah siji kae, iya si Rara Mendut, bok iyaa sun karya selir, nanging selir kuwasa, angreh pra selirku, myang kabeh parekaningwang, karereha si Mendut sadaya sami, miwah kagunganingwang.

2. Jroning dalem sun srahaken tuwin, sajabaning omah kaduwea, ya marang si Mendut kabeh, ana dene sireku, mardikaa bae ya becik, ngarah apa wis tuwa, mukti kongsi pikun, momonga awak kewala, haywa susah sapanganira wong siji, mangsa ta kapirana.

3. Yen kalakon pethek-ku ing benjing, layak gelis manak beranahan, ketara menter-mentere, ya saking kepinginku, duwe tuwuh teka sawiji, kang wus padha manawa, durung parengipun, si Mendut yen pinarengna, genjah anak-anak temu lawan mami, dhuh kaya iya uga"

4. Nyai Ajeng mesem matur aris: "Kados leres ing pethek sampeyan, kula gih methek cetheke, madhep uritanipun, sawangane pan sarwa isi, kendho walikatira, ula-ula munggul, angentel sasalangira, kadi datan inang dhukum amastani, methek yen sugih anak.

5. Inggih kang sarwa sarwi pinanggih, ingkang kadya pun Mendut punika, mepeki pepethekane". Ki Tumenggung gumuyu: "Iya-iya bener sireki, lamun sira wus lega, parenging rembugmu, wus mangsa bodhoa sira, nganging aja age-age kokpasrahi, mundhak gedhe tyasira.

6. Lali kawijilane wong cilik, tan rumangsa lamun boboyongan, angkuhe pinasangake, durung karuwan luhung, ya tarinen bae ngong selir, lamun uwis prayoga, agampang jinunjung". Nyai Ajeng aturira: "Lamun pareng sampun makaten Kiyai, penet den bang pasaja.

7. Owel manawi kinarya selir, datan wingwang lamun pinadmia, prayogi sinengkakake, anamaa Mas Ayu, tunggil nama Ian Jeng Kiyai, sanajan wijil sudra, warninipun mungguh, pasemon wangun wibawa, datan pantes dadya seliring bopati, pantes langening nata.

8. Leheng kewala lamun tinari, laju pinasrahan ing kagungan, pan lajeng sinengkakake, supadya dhanganipun, tiyang alit inggih punapi, ngagesang pinadosan, lyan barkahing ratu, sageda mukti wibawa, angayomi kadang wong tuwanireki, inggih sihing narendra.

9. Mendut ngungkuli bojon bopati". Ki Tumenggung mesem angandika: "Nanging iya bener kowe, yen mangkono ya uwus, lumakua nari saiki". Kang garwa tur sandika, lengser saking ngayun, Ki Tumenggung tyasnya lejar, tan sungkawa myarsa turing garwaneki, muwuhi kamukten tyas.

10. Gya dhahar nyamikan kang sumaji, nutug sasenengira kinarsan, wedang teh mamanisane, anolih maring pungkur, mring rare ro kang den bekali, sarwa liniring tingal, kang anocoh crak-cruk, kapagut asmareng driya, amranani ing pandulu angesemi, suka Ki Wiraguna.

11. Ya ta kang dinuta wau prapti, sira Nyai Ajeng Wiraguna, neng gandhok wetan papanggeh, lawan Ni Rara Mendut, Nyai Ajeng denira linggih, neng bale pambathikan, nira Rara Mendut, Ni Rara mingser lungguhnya, Nyai Ajeng ngandika: "Mendut sireki, dimrene alungguha".

12. Ginendeng-gendeng nulya mangarsi, Nyai Ajeng aris angandika: "Mendut ing lakuku kiye, ingutus Ki Tumenggung, marang sira kinen dhawuhi, saiki awakira, karsanya pinundhut, jinunjung kinarya garwa, pinasrahan kagungane Jeng Kiyai, jroning dalem sadaya.

13. Myang jabaning dalem kabeh iki, angreh para selir myang parekan, Jeng Kyai Tumenggung sihe, iya marang sireku, sarta lawan bejanireki, sawuse nuli sira, reresika gupuh, akirab-kiraba rema, lawan kethik-kethika kanaka tuwin, ngadi-adia rupa.

14. Kurah-kuraha wajanireki, ababonyo-bonyoa sarira, sumaosa mengko sore, pinundhut mring dalem gung, iya banjur sira mengkoni". Rara Mendut duk myarsa, Nyai dhawuhipun, tekan tan dadya tyasira, saking nora kaduga lamun nglampahi, alaki wong wis tuwa.

15. Ni Rara Mendut umatur aris: "Inggih Nyai Ajeng tur kawula, ing paduka sayektine, inggih sumangga katur, namung damel sadamel mami, sarehning boboyongan, marang Ki Tumenggung, kinen punapa kawula, nambut damel sasaged kula lampahi, damel kula kewala.

16. Lamun kinarsan kinarya selir, sanget panuwun kula lenggana, naosken pejah gesange, sayekti kula lumuh, tan kadugi kula nglampahi, yen kawula pineksa, ngong pilalah lampus". Nyai Ajeng Wiraguna, duk miyarsa Ni Rara aturireki, sanget ngunguning driya.

17. Angunandika sajroning galih: "Nora kena wong mono den ina, kinaya ngapa karepe, majade lamun sukur, wong lelaran bakal amukti, ran Nyai Wiraguna, sinebut Mas Ayu, mulane wong wus dilalah, kudu nora ana daulating urip, kuwalik karepira."

18. Dangu pangungunira tan angling, ing wusana aris angandika: "Lah iya apa mulane? Teka sira tan ayun, laki oleh Kanjeng Kiyai, apane sira cacad, sugih tur Tumenggung, dhasar kakasihing nata, kaeringan punjul samaning bupati, teka sira tan arsa.

19. Paran wadine karepireki?" Rara Mendut aris aturira: "Inggih tan nacad sugihe, myang kinasihanipun, datan wonten kuciwaneki, mung kawula piyambak, miyat Ki Tumenggung, mengkarag gigithok kula, mulat tiyang sepuh sampun guguh gigi, agigu gila mulat."

20. Nyai Ajeng mesem semu runtik, nalanira lali kawelasan, dadya sengak andikane: "E mengkono si Mendut, celathune mring Jeng Kiyai, clonasan ngala-ala, marang Ki Tumenggung, wani-wani amamada, nora mambu wong sudra anaking cilik, tur dadi boboyongan.

21. lya lamun mangkono sireki, nora wurung ing saatirura, ngong aturken sabarese, puluh-puluh sireku, nora kena ginawe becik, apa wis mantep sira, ing paturanamu?" Ni Rara Mendut turira: "Inggih sampun datan gadhah atur malih, nuwun mopo kewala".

22. Nyai Ajeng wangsul mring pandhapi, prapteng ngarsa aris aturira, mring raka sarwi ngrepepeh, "Kula ingutus sampun, andikak-ken nenggih anari, marang abdi paduka, ni bok Rara Mendut, ature sanget lenggana, mopo nampik tan kadugi anglampahi, naosken pejah gesang.

23. Sampun datan kenging yen pinikir, yen pineksa pinalalah pejah, kalangkung dening lumuhe". Ya ta Kyai Tumenggung, duk miyarsa aturing rabi, kalangkung dukanira, rengu mingut-mingut, asendhu denya ngandika: "lyatalah Tumenggung teka tinampik, mring pidak padarakan.

24. Asu celeng boboyongan Pathi, wani-wani anampik maring wang, si sember ngelewer lewer, dadak nampik Tumenggung, si didhudhuh edan penyakit, kandhuwan ngendi ana, wong nampik Tumenggung,

25. Bilah-bilah wong apa si joprit, aku uga nora idhep mana." Nyat ngadeg nyandhak rotane, pan sarwi beca-becu, ting kalepyur idunireki, sigyarsa mara tangan, nulya Ni Tumenggung, anikep wentising raka, sarwi matur: ''Dhuh sampun-sampun Kiyai, sampun paduka duka.

26. Piyarsakna tur kula rumiyin, sampun age-age amilara, tanpa karya wusanane, mesakaken pun Mendut, lamun kongsi den jemalani, manawi apesira, anemahi lampus, tuwan kelangan parekan, tur ta tiyang patedhan Dalem sang aji, kinarya lara pejah.

27. Tan ngatingalken sihing narpati, angsal cacad ing batin paduka, inggih prayogi kang sareh, mendhet salintiripun, selot-selotipun manawi, ing wingking ta menawa, wonten leganipun." Ki Tumenggung tyasnya lejar, kendel denya arsa mangasta mring cethi, ingaturan kang garwa. kuwalik ngel-ingelira, Tumenggung ngedhangkrang mengkene tinampik, wong manyolen tyasira.

28. Nulya wangsul denira alinggih, nanging maksih duka sarwi mojar: "Setan alas Mendut kuwe, kadarung edan taun, yen mengkono ya uwis nyai, si boyongan manyunyang, asu Mendut iku, aran wong dadi boyongan, wetokena wadale picis saari, telung reyal sadina.

 

29. Lamun ora kaduga naguhi, metokake wadal telung reyal, pesthi sun peksa dheweke, den pilih endi iku, nyangga wadal Ian ingsun selir, tur ta dheweke lola, doh wong tuwanipun, malah mandar memelasa, teka dadak dol ayu nampik bopati, wong kudu nora pakra."

30. Nyai Ajeng aturira aris: "Inggih punapa saged medala, tigang reyal sadinane, wadalipun pun Mendut, inggih medal saking punapi? Tigang reyal pan kathah, ing sadintenipun, anambut damel punapa? Pan kongsia mejen denya nambut kardi, inggih mangsa angsala."

31. Ki Tumenggung angandika wngis: "Iya embuh saguna-gunanya, sabarang le nyambut gawe, manira nora weruh, tan mangeni wong nambut kardi, ngong mung ngawruhi uwang, bae kang sun pundhut, telung reyal telung reyal, manira wus iya apan nora sudi, angambil wong aedan."

32. Ingkang garwa mesem matur aris: "Inggih saking gemi gemet kula, sarehne ingutus mangke, inggih pun Rara Mendut, saking jrihe wadal kinardi, medalken tigang reyal, ing sadintenipun, manawi nekad budinya, wade badan barkat ayu warnaneki, amesthi lamun angsal.

33. Tur angsale temtu klayan gampil. Jeng Kiyai punapa kalilan? Punika supamine." Ki Tumenggung ambekuh, "Ih iku ta ngong tan nglilani, dhuh hem aja ta aja, iku dudu laku, tan prayoga winicara, keh di akeh amung aja siji kuwi, manawa manggih baya.

34. Bisa tan bisa denya ngesoki, saliyane mengkono kewala, denira anambut gawe, ywa kaya iku mau, dudu padon anambut kardi, ya sing lumrah kewala, wong adol tinuku." Nyi Ajeng mesem turira: "Ingggih mangsa antuka wang tigang anggris, yen boten wade badan.

35. Kang den andelken mung ayuneki, pasthi ayu mring putra santana, miwah mring para mantrine, myang wong nom-nom kang bagus, bagus ingkang asugih-sugih, yen datan makatena, pundi angsalipun, inggih yatra tigang reyal." Ki Tumenggung Wiraguna ngandika ris, mrang ing garwanira.

36. "Lah wus Nyai lumakua nuli" Ingkang garwa gya mundur sing ngarsa, marang gandhok wetan gone, nenggih Ni Rara Mendut, Nyai Ajeng mrepeki linggih, aris denya ngandika : "Mendut ngong den utus, Ki Tumenggung marang sira, kinen dhawuhaken marang ing sireki, Kiyai dukanira.

37. Ing saiki dukane Jeng Kyai, lamun sira wus tulus lenggana, pinundhut wadalmu bae, sangganen pametumu, telung reyal ing saben ari, kopilih endi sira, anyangga pametu, kalawan pinundhut garwa?" Rara Mendut manembah umatur aris: "Inggih dhateng sandika.

38. Inggih panuwun kula pan aming, mugi kalilana adhadhasar, neng wande Prawiramantren, lan kaping kalihipun, amba nuwun paitan kedhik, pan inggih mring paduka, sakarsanta asung". Angling: "Kang sira dol apa?" Matur: "Rokok dawa tali sutra inggih, manawi papajengan."

39. Nyai Ajeng mesem ngandika ris: "Sira arsa wade rokok dawa, nadyan mengkonoa kae, apa ta bisa metu, telung reyal ing saben ari, gone adol kaya pa, apa bisa payu? Ewa mengkono manawa, datan kena paribasan girilusi, janma tan kena ngina".

40. Nyai Ajeng Wiraguna angling : "lya Mendut sira aja susah, sun paringi paitane, Ian apa panjalukmu, sedheng pira paitaneki?" Rara Mendut turira: "Gen kawula nyuwun, pawitan dhateng sampeyan, ing sawawrat kawula inggih pan aming, pangaos tigang reyat".

41. Nyajeng angling: "Dene mung sathithik, nora piraa pawitanira, nyanaku teka salawe, yen mengkono sun asung, Wiru mandar Sompok Magiri, sabukmu neng wangenan, ngong wehi sadarum." Nulya marek marang ngarsi, Nyai Ajeng mring raka aturira ris : "Kula sampun dinuta.

42. Andhawahi pun Mendut turneki, pan sandika pinundhutan wadal, tigang reyal sadinane, nanging panuwunipun, nuwun mande pinggiring margi, Prawiramantren denya, adhasar pun Mendut, sade rokok tali sutra, lan panuwun pawitan dhumateng mami, pangaos tigang reyal"

43. Ki Tumenggung Wiraguna angling:"Dene sepele pawitanira, apa sedheng ta kirane? lan apa bisa metu, telung reyal ing saben ari, sainggane bok aja, nganggo amamarung, iya kon bathik kewala, paringana kang akeh mori lan lilin, dimene keh payune".

44. Nyai Ajeng mesem matur aris: "Sakalangkung ing parentah kula, nging wus dadya panyuwune, kedah awade kukus, adhadhasar neng pinggir margi, amalik-malik dhasar, lincak pinggir lurung." Ki Tumenggung Wiraguna, angandika :"Yen mangkono ya wis Nyai, krobongana kewala.

45. Panggonanira dipun awingit, gubahana bango pajangana, katona rokoke bae, wonge aja kadulu, mring wong tuku myang wong lumaris, aja nglela katingal, poma den barukut, iku pawitane kurang, wuwuhana ya teka salawe anggris, Ian padha rowangana.

46. Panggawene rokok dimen gelis, parekanira kang padha bisa, padha kon ngrewangi kabeh. "Sandika Nyai gupuh, lengser saking ngarsa gya maring, gandhok wetan papanggya, Ian Ni Rara Mendut, Nyai Ajeng angandika: "Aturira wus kalilan mring Jeng Kyai, lan sira pinaringan.

47. Cethi samya kinen angrowangi, iya marang ing pangrokokira." Ni Rara nuwun ature, Nyi Ajeng nulya kondur, Rara Mendut gya nambut kardi, ana kang nedang sata, weneh mipis uwur, nglakari besut wirunya. ana ingkang wiwit ngrokok analeni, anumpet ngembang gundha.

48. Tan winarna solahireng kardi, wus angsal kathah sapatadhahan, bokor lengser kuningane, pan sampun sarwa mungguh, myang bangone sampun miranti, ginubah linangsenan, pinajangan brukut, Ni Rara wus kinalilan, sakalangkung suka renanira dening, kalilan panyuwunya.

49. Ya ta Ni Rara Mendut tumuli, abusana ngadi-adi warna, pinapantes panganggone, pan sarwa adi Iuhung, pan asinjang garingsing ringgit, kekemben jingga mangsa, kalpika geng tajug, tasik rinembug sumilak, acangkingan kumbaya kusta mantesi, kenarene salaka.

50. Asengkang bapang panunggul siji, inten bumi tinon gebyar-gebyar, awiwida jenar aden, gaganda amrik arum, netra jait nawang alindri, idep tumenggeng wiyat, uwang nangkal putung, alise ananggal pisan, grana ngrungih kang pipi duren sajuring, lathi manggis karengat.

51. Waja tetesing warih aradin, anapak palu pilinganira, anglunging gadhung janggane, athi-athi angudhup, kaganthengan ing mot wilis, sisinom micis anjrah, gemuhing pambayun, wijang pamidhanganira, sarwa rurus kang asta gandhewa gadhing jariji mucuk tanjang.

52. Panekak madya anawon kemit, mandul-mandul payudaranira, sajari miring tapake, iga wekas anaput, turut pirit raras aramping, marmanira Ni Rara dadya panjang kidung, wong sawetaning Mataram, lor Mataram sakulon Mataram tuwin, sakiduling Mataram.

53. Sandhung jekluk tiba kabruk nenggih, sambat Rara Mendut Wiragunan, wong kukur-kukur angulet, sambat Ni Rara Mendut, myang wong angop klakepan arip, tan na liyan sinambat, namung Rara Mendut, dhasar ayu awiraga, ya ta pikulane kinen andhingini, kang mikul wong pacara.

54. Pangobenge wus kinen rumiyin, abdi parekan tiyang sakawan, Nyai Ajeng paringane, anglinting tuwin besut, wiru weneh ingkang guntingi, naleni nyumpet pisan, ngrujit Ielet bumbu, ngembanggundha sungsun sapta, tali sutra tinali aher bang wilis, prayoga tiningalan.

55. Pangobenge kang samya rumiyin, lajeng kinen tata dhasar pisan, neng warung Prawiramantren, wus mangkat kang rumuhun, gagancangan lampahireki wong wadon kapat bocah, kalima kang mikul, ing marga datan winarna, nimbok Rara Mendut sedyane ngareni, tanpa kanthi priyangga.

 

III

RARA MENDUT DADOS BAKUL ROKOK

KINANTHI

1. Wau ta Ni Rara Mendut, sawuse busana adi, mijil saking gandhok wetan, sadaya kancanireki, pawestri samya tumingal, mring Ni Rara Mendut Pathi.

2. Satuhu kalamun ayu, Ni Rara Mendut linuwih, sa-Warigunan tan ana, nimbangi warnanireki, sadaya angalembana, tuwa nom parekan cethi

3. Samya angaterken laku, prapteng paregolaneki, sung salamet ing lumampah, Ni Rara mesem mangsuli, rewange pagut paguyuan, samya suka aningali.

4. Ya ta wau lampahipun, Rara Mendut aneng margi, lelewanira kinarya, bawera angumbar liring, liringe gebyar keplasan, kadyajemparing ngenani.

5. Mencok ing parglesanipun, wong kang kasundep ing Iiring, kalurung akarengkangan, tan bisa kumingkang tebih, wurung denyarsa lulungan, kadhingklangan atut wuri.

6. Wong jajandhon pinggir lurung, bareng giyak ting barekik, watuk dawa wewahingan, ambetho ngempret ningsoti, keh salahe wong jejawat, inguwuh samargi-margi.

7. "Apa kang gumebyar iku? Apa jin apa apsari?" Weneh ngucap nora jamak, dene kuninge mancening, gumebyar pindha parada, pasemone misih piyi.

8. Saweneh ana amuwus: "Wismane baya ing ngendi? Apa ronggeng yun den tanggap, saupama ingsun iki, duwea bojo mangkana, mendah katrem aneng panti."

9. Sakathahe wong kang dulu, tuwa nom gedhe nyang cilik, Iumayu asalang tunjang, kasusu arsa udani, marang kang lumakyeng marga, ting garuneng denirangling.

10. Kang wus ngarti tutur-tutur: "Selire Kangjeng Kiyai, Rara Mendut wastanira, alumuh kinarya selir, pinilalah adhadhasar, wade rokok pinggir margi."

11. Wau ta Ni Rara Mendut, denya lumampah samargi, tinonton wong lir ambarang, sarnya tembe aningali, keh santri tinggal sembayang, priyayi tilar pok Iampit.

12. Kang dhedhangir pinggir lurung, pacule pijer pinandhi, Ialu mulat mring Ni Rara, wong kang madung pinggir margi, kuwadung gigithokira, kekicer datan tinolih.

13. Wonten wong ran Jaka Lelur, mentas wade pedhet saking, peken Paleret kapapag, nguwuh-uwuh turut margi: "Bakyu kendela sakedhap, kularsa tetaken warti".

14. Nauri Ni Rara Mendut: "Sapa kang nguwuh ing mami? Ngandheg-andheg wong lumampah" Jaka Lelur marek angling "Dika punapa sampuna, laki myang dereng alaki?"

15. Nauri: "Ya aku durung, laki sih parawan sunthi". Jaka Lelur mesem ngucap: "Gih sami kalawan mami, kula gih meksih jajaka, jaka jebug awak mami.

16. Sestu punika bakayu". Ni Rara mesem nauri "Heh jawane anjejawat. Boten jawat bakyu mami, sing dika dol niku napa?" "lya adol rokok wangi"

17. ''Regine pinten bakayu?" "Ya panten yen rokok mami, siji saketon reganya." Uwe kathah regineki, lah tegesane kewala, kang mayar reginireki."

18. "Tegesane pitung suku, nelung reyal iya laris." "He, he biyang nora jamak, regane tegesaneki, ·niku napaa Ni Rara? Teka keh tegesaneki."

19. "Tegesan ngong kebes idu, yen den udud ari Legi, pendhak Legi misih enak, agurih karaseng ati". Saurira: "Yen mangkana, tegesan bae prayogi ''.

20. Rara Mendut mesem muwus: "Ya mengko panten sun doli, neng warung ing Tumenggungan, pikulanaku wus dhisik." "Lah inggih daweg bok Rara, kula andherek wong kuning."

21. Ya ta lajeng lampahipun, jinawat samargi-margi, ana wong bareng lumampah, wong telu sawidji angling : "Daweg adhi tinututan, punika wong ayu kuning."

22. "Lah punapa damelipun? Kapati-pati nututi, pedahe punapa kakang?" "He, anu dhi yen manawi, pira bara jro omahnya, wruha latare sathithik.

23. Pager dhadha bae lothung." Lumayu gancang nututi, wus parek aniba geblak, ngaceceng tengahing margi, niba tangi tangi niba, tinakon rowangireki.

24. "Kenging punapa puniku? Dene teka niba tangi". "Sandhung krikil dhengkul kula." "Sapinten genging karikil? Kongsi nyandhung dhengkul dika." "Lah inggih agengireki.

25. Sagenthong pelen pan langkung". "E dados dede karikil, punika watu walagang, tan weruh pijer punapi?" "Dhuh inggih lagya tumingal, mring Ni Rara Mendut Pathi.

26. Hih norajamak Ni Mendut, nglalek-ken wong mlaku margi, wong ngemalo pinggir dalan, keletho irungireki, pijer andulu bok Rara, Mendut kang andudut ati."

27. Ya ta lajeng lampahipun, Ni Rara Mendut wus prapti, ing warung katumenggungan, Wiramantren pinggir margi, bangone endah rinengga, ginubahan cindhe wilis.

28. Rakite kadya tilam rum, lincak pring langking kinardi, bango limasan trajumas, winelit kakacen wilis, kajang ginapit glamitan, kokrobongira pring langking.

29. Ginelaran kalasa Ius, sasampiran wastra keling, pan wus katemu tinata, mring rowang pangobengneki, Ni Rara wus atrap dhasar, neng warung Prawiramamrin.

30. Dandan malih ngayu-ayu, asinjang garingsing ringgit, kebemben celepan pradan, gadhung kinamudawati, wida jenar gegebegan, arimong limar ketangi.

31. Nginang muket nyanun-nyanun, anyawang banging kang lathi, dhasar sedhenge ni Rara, mepeg birahinireki, kadya gambar wawangunan, liringe anglintang alih.

32. Lir panganten neng jinem rum, duk lagyarsa munggah guling, marma dhasare rinengga, mring Ki Tumenggung supadi, wong lanang ingkang tumingal, aja na kang wani-wani.

33. Ingkang tuku rokokipun, mring Ni Rara Mendut Pathi, nadyan akeh kang tukua, kewala samining estri, ywa kongsi slanggapan ujar, lan wong lanang pinrih ering.

34. Wusana temahan brubul, wong rucah tuwin priyayi, sanadyan ora tukua, rokok mring Ni Mendut Pathi. mandheg anganyang kewala akeh mantri epoke kari.

35. Myang wong mikul wade kayu, tan kongsi payu leh dhuwit, den bruk-ken ing dhasarira, winehken Ni Mendut Pathi, mung oleh esem kewala, tan etung darbekireki.

36. Wong kang kikinthil wau, dhekukul kadya wong ngemis, anglungsar ngareping dhasar, pangucape angririntih : "Dhuh pundi tegesanira, kang klumut idunireki.

37. Daweg yatra sangang suku, gen kula awade sapi." E panten lah iya enya, rasakna tegesan mami." "Dhuh inggih punapa eca? Kula udude semangkin."

38."Enak pisan panten iku, yen diudud dina Legi, pendhak Legi maksih enak, angambar idune wangi, yen diudud bengi iya, telung sasi krasa ngati."

39. Nulya ingakep kang udud, niba beg gumuyu mringis, kiyer-kiyer kikinceran, sambat : "Adhuh biyung mati, tomboka sapiku gerang, mangsa gegetuna mami."

40. Sira Ni Mbok Rara Mendut, denya dodol langkung laris, saben tiyang ingkang prapta, miyak gubah cindhe abrit, caleret gebyar sereyal, saketon ngenem sukoni.

41. Kang cemleret ulatipun, Ni Rara Mendut ing Pathi, saben-saben wong kang tumbas, sinangonan ulat tiring, mila larang-larang nyengka, saketon rokok satunggal.

42. Tegesane pitung suku, jor-ejoran malarangi, sangang suku nelu tengah, anenempuh telung anggris, kang gembong idu anyaran, tegesan ingkang nem nyari.

43. Laris nelung keton payu, kang kotos idunireki, ingkang tuku lunga teka, pangudude den wit-iwit, kang lunga sumping tegesan, rasane nak den kecapi.

44. Akathah kang samya tugur, aneng dhasar nora mulih, angatel kongsi sadina, pangarahe bareng mulih, yen kukut mulih Ni Rara, pating kareyat tut wuri.

45. Kabeh padha ting balilung, tan ana kang nandhang jarit, labete samya bebasan, bebed iket sabuk keris, samya sinungken Ni Rara, Mendut kang andudut ati.

46. Keh kari kathok pok pupu, samya kondhe lir wong baring, angiring marang Ni Rara, Mendut denira umulih, marang ing Kawiragunan, kabeh sedya ngiring-iring.

47. Wanci candhik ala surup, sumilak padhanging langit, layangan layung sagara, nuluhi langening bumi, ngundhaki senening cahya, Ni Rara Mendut ing Pathi.

48. Tuhu yen ayu pinunjul, gumrining kuning mancining, katonton endahing warna, lir pendah prayangan peri, den iring setan thethekan, janggitan galidrah cicir.

49. Ya ta wau lampahipun, ing Kawiragunan prapti, akathah sal-angsalira, tumbu parokokaneki, pikulan kayu katela, tom nila dhawet cao bir.

50. Bature papat barengkut, anggendhong epok lan jarit, langkung kathah antukira. arta busana pangaji, wolung dasa reyal ana, denira dodol saari.

51. Katur Nyi Ajeng Tumenggung, ingaturan Jeng Kiyai, Ki Tumenggung Wiraguna, gumujeng ngandika aris: "Dene kaya wong ngrarayah, dalah dhawet suket ebir.

52. Kapriye surupe iku?" Nyi Ajeng umatur aris: "Pun Rara Mendut aturnya, ngaturken sal-angsalneki, sadaya dipun etanga, lan wedale saben ari.

53. Inggih pinten serepipun, anggenipun tan ngaturi, ing pamedal tigang reyal, ing dalem saarineki, dados pitu likur dina, ana wolung dasa siji."

54. Ki Tumenggung ngandika sru: "lh, ih ngong tan arsa ngambil, nganggo reyal susurupan, barang-bereng den ajeni, manira pan nora arsa, ingsun wus sugih pribadi.

55. Mung arep mring awakipun, kapriye karepmu Nyai, mrih lega tyase adhangan, geleme manira selir, angur baya jajaluka, sabarang kang den karepi.

56. Apa bae kang den jaluk, manira kang minangkani." Nyi Ajeng matur ing raka: "Lamun pinaring Jeng kyai, inggih den sareh kewala, pinendhet salintirneki.

57. Ingugung bae karuhun, tinurut sakayuneki, inggih ing tembe manawa, wonten legane tyasneki, miturut karsa paduka, pinundhut kinarya selir."

58. Ki Tumenggung ngandika rum: ''lya bener sira Nyai, nanging tyasingsun tan kena, kelawasen karep mami, pikirku nuli kenaa, si Mendut manira selir.

59. Teka dadak pinilaur, nyangga wadal telung anggris, yen tutus nampik maring wang, yen mengkono ya wis Nyai, wetokna sapuluh reyal, wadale ing saben ari.

60. Sapira-pira kehipun, ngong anggep sapuluh anggris, yen kurang sapuluh reyal, ngong tikelken slawe anggris, lah wus Nyai dhawuhena, si menyunyang Mendut Pathi.

61. Dene yen nurut maring sun, sun karya garwa pademi, kabeh ing Kawiragunan, kaduwea andheweki, yen pilalah belenderan, kapareng dheweke mati."

62. Nyi Ajeng ajrih kalangkung, sandika lengser sing ngarsi, lumampah mring gandhok wetan, gyane Rara Mendut Pathi, ngling: "Ya Mendut wruhanira, dukane Kangjeng Kiyai.

63. Datan dadya parengipun, gonmu ngaturken lih-olih, surupe pametunira, lawan dandanan pangaji, tan arsa mundhut nganggepa, malah sru dukanireki.

64. Gonira mamarung iku, Jeng Kyai datan marengi, iya karsane mring sira, gegedhangan luwih becik, yen sira nyandikanana, kinarsan kinarya selir.

65. Iya marang Ki Tumenggung, jinunjung kinarya padmi, tinekan sakarepira, yen mungguh ingsun pribadi, ngupaya kamukten apa, wong dadi bojon bupati.

66. Lah turuten uga Mendut, haywa sumelang mring mami, ngong ngempek bae mring sira, sakarsanta ngong turuti, ngarah apa sun wis tuwa, momong bae mring sireki.

67. Yen sira tuhu tan ayun, nuruti karsa Jeng Kyai, lara pa kang sira sandhang, angur pituruta becik, ywa mangkono Mendut sira, timbalane Jeng Kiyai.

68. Yen sira kudu mamarung, adodol pinggiring margi, den tikelken telu sira, sapuluh reyal saari, luwiha sapira-pira, inganggep sapuluh anggris.

69. Yen kurang teka sapuluh, tikel dadi slawe anggris, anggris malorok kewala, tan arsa surup pangaji, iku. Jeng Kyai karsanya, mara sira pilih endi?"

70. Ni Rara Mendut umatur: "Inggih tur kula Jeng Nyai, langkung kasinggihanira, sih marma warah utami, dhumateng kawula dahat, kapundhi ing ngembun mami.

71. Makaten timbalanipun, rakanra Kangjeng Kiyai, yen kawula tan kalilan, amamande pinggir margi, kawula kedah kinarsan, pinundhut kinarya selir.

72. Kawula kalangkung lumuh, boten kadugi nglampahi, leheng kula pinejahan, ameksa wong datan apti, tan rubed datan sumelang, dhateng paduka Jeng Nyai.

73. Tuwin mring sadayanipun, pra maru parekan selir, tan wonten kang dados manah, amung kawula pribadi, sadasa wus takdiring Hyang, datan kabuka ing kapti.

74. Duka Dalem mawinipun, kawula mulat Jeng Kyai, sakalangkung ajrih gila, yen kula pineksa mangkin, aluwung pinejahana, tan kadugi anglampahi.

75. Wondene ing dhawuhipun, ngindhakken pamedal mami, inggih gen kula dhadhasar, sadinten sadasa anggris, lamun maksih kinalilan, neng wande Prawiramantrin.

76. Tan lenggana dhawuhipun, sandika kewala mami, langkunga saking punika, kawula maksih kadugi." Nyi Ajeng ngungun miyarsa, marang kasaguhaneki.

77. "Sira Ni Bok Rara Mendut, nyaguhi sapuluh anggris." Angandika jroning driya: "Si Mendut tuhu tan apti, den pilalah adhadhasar, tan gelem kinarya rabi.

78. Jawane wong urip iku, tan kena dinalih-dalih, baya wus takdiring Suksma, tan dumeh ala Ian becik, kukuh pesthining Pangeran, tan kena kinaryeng janmi."

79. Ni Ajeng aris amuwus, mring Ni Rara Mendut Pathi: "Kalamun mangkono sira, kopilaur luru picis, ya apa saaturira, ngong aturken mring Jeng Kyai."

80. Wus kondur Nyai Tumenggung, ya ta Ni Mendut ing Pathi, boboja mring kancanira, tuwa nom parekan cethi, leh-olehe papanganan, dinumken kabeh waradin.

81. Myang sandhangan angsalipun, jinaluk sinungken sami, sadaya angalembana, saweneh amituturi: "Lah bok inggiha Ni Rara, pinundhut kinatya padmi.

82. Dadi tunggul gandhal-gandhul, nunggang tandhu den payungi, jinajaran asinggahan, kamuktyan sandhang tan bukti, lamun andika bok Rara, puruna kinarya rabi.

83. Marang Jeng Kyai Tumenggung, kula ingkang mara nyai, sadaya puniki padha, tan lenggana dadya cethi. " Ni Rara Mendut saurnya: “Wus banget tarima mami.

84. Apan ra sapuluh-puluh, kudu lenggana tyas mami, nadyan ingsun boboyongan, tan tegel mulat Jeng Kyai, aja kongsi den gerayang, deleng bae gila wedi."

85. Pra cethi gumum gegetun, mring Ni Rara Mendut Pathi, ing latri datan winarna, ya ta enjingira malih, Ni Rara mangkat dhadhasar, mring warung Prawiramantrin.

86. Tan winarna ing marga gung. Gantya kang winuwus malih, kalangan ing Tumenggungan, ki Tumenggung Wiramantri, angadegaken kalangan, sawung neng paseban jawi.

87. Sira Jeng Kyai Tumenggung, Prawiramantri anenggih, apan sadhereke tuwa, Tumenggung Wiraguneki, sami wedana keparak, kaot kakasih kang rayi.

88. Kasih Dalem Jeng Sinuhun, Tumenggung Wiraguneki, kinarya patih jronira, kang·tadhah karsaning aji, tengene Ki Wiraguna, kiwane Prawiramantri.

89. Papantaran sepuhipun, sawange sepuh kang rayi, kaot waja wus keh rumpang, lawan uwane wus putih, kang raka maksih kumrapyak, hele kadhang tan wigih.

90. Siji durung ana runtuh, mung rema sumambel wijin, sarni karemenanira, jago gemak Ian kemiri, denya ngadegken kalangan, pra botoh wus sami myarsi.

91. Ing wulan bakdaning Mulud, para botoh tebih-tebih, botoh sakuloning Praga, sawetaning gunung Mrapi, sakiwa tengen Mataram, wus kathah kang sami prapti.

92. Para kenthol, para bagus, praja dhug kokok ing desi, bekel ngabet myang demang, kang prapta samya priyayi, Antipraya Pakebonan, Jasuting Wanapeti.

93. Kenthol Macan Gogik Merbung, Kartadangsa Tegaltulis, Nalabangsa ing Patalan, Patrawangsa ing Magiri, ing Jodhog Ki Anggapraya, Ki Candramenggala Tasik.

94. Ki Anggayuda ing Bantul, Wiryamenggala ing Taji, Ekajaya Karangbendha, Kenrhol Nantang Yudapakis, ing Mranggen Ki Mandang japlak, de Ganda Gendirpanjalin.

95. Jayawiruta ing Waru, Antilgati Kalibening, Singayuda Pajagalan, Anggajaya ing Pasapin, ing Wotgalih Wanamana, ki Surajaya ing Wedhi.

96. Citrawangsa Kalipenthung, ing Jarakan Surakarti, Ki Lalermengeng ing Pokak, Kemalon Jombla ing Teki, Singayuda ing Prambanan, Sabukgiwang Warak desi.

97. Ing Pajambon Sabukdhadhung, ing Giligan Citragati, Sabukalu ing Prambonan, Sabukjanget Kembangwangi, kang para botoh sadaya, padha wong nonoman sami.

IV

PRANACITRA KEPENGIN ANGLURUG ABEN SAWUNG

DHATENG KAPRAWIRAMANTREN

SINOM.

I. Sigegen ingkang kocapa, pra botoh kang samya prapti, kalangan ing Tumenggungan. Gantya kang winuwus malih, ing padhusunan nenggih, Batakenceng wastanipun, sawetaning Mataram, women wong randha sat unggil, dede randhaning ngabehi rangga demang.

2. Apan randhaning nakoda, juragan kalangkung sugih, asli saking Pangangsalan, Singa Barong wastaneki, darbe suta sawiji, priya warnanira bagus, awasta Pranacitra, jajaka sigit jalenthir, dadi panjang kidunge para biyada.

3. Randha wlanjar prawan desa, keh samya ngunggah-unggahi, marang Bagus Pranacitra, sadaya samya tinampik, anake pra patinggi, sudagaran bakul-bakul, tan ana kinarepan, marma sadaya parestri, samya dahat kasmaran marang ki jaka.

4. Sandhung jekluk Pranacitra, kang turu ngalilir ngimpi, sambat bagus Pranacitra, wong ngulet angop myang wahing, sambat Pranacitreki, wong kapleset tiba ambruk, kajengkang karengkangan, sasambat Pranacitreki, ngising plenet sambet Bagus Pranacitra.

6. Wau ta Ki Pranacitra, amujung kampuh kumitir, sadalu tan antuk nendra, kongsi byar enjing tan tangi, wonten susahing galih, tan sare kewala mujung, kang dadya dalanira, myarsa ujaring pawarti, ternbang rawat-rawat tutur pinajaran.

7. Kang lidhah sinambung karna, binandhung kalamun mangkin, kalangan ageng-agengan, ing mangkya Kangjeng Kiyai, Tumenggung Wiramantri, ngadegken kalangan sawung, akeh pra botoh prapta, pra bagus para ngabehi, para kenthol pating gimyang rangga demang.

8. Sira Bagus Pranacitra, panakawane kakalih, angadhep ing daganira, lagya samyamamakani, sawung puyuhireki, si Jagung makani sawung, Blendhung makani gemak, sawung puyuh kang den ulig, den gegala sawungeki Pranacitra.

9. Ya ta wau nyai randha, Singa Barong kagyat meksi, ing putra Gus Pranacitra, amanggung mujung aguling, ni randha marepeki, maring gyanya putranipun, ni randha aris nabda: "Babo putraningsun kaki, paran ingkang dadya rasaning tyasira?

10. Dingarene sira nyawa, amujung tan arsa tangi, kulup Bagus Pranacitra, wus awan tangia linggih." Pranacitra nglilir, tumungkul amarikelu, nyai randha wacana: "Para sira jaluk kaki? Awecaa haywa, manggung tyas sungkowa.

 

 

11. Sabobot anaking randha, tan kurangan nandhang bukti, apa karep mring wanodya, naking sudagar patinggi, myang sutaning priyayi, manira kang ngebu-ebun, suka wadenen ingwang, yen ana karepireki, anakingsun pira ger pan amung sira."

12. Pranacitra aturira, tumungkul amarikeni, "Inggih bok atur kawula, kang dadya raosing galih, kadalih kula brangti, marang wanodya kang ayu, sutaning pra sudagar, patinggi miwah priyayi, inggih dereng ngrempelu apala krama.

13. Datan kabuka ing manah, mah-imah salaki rabi, saweg karem gegembyakan, ambubungah ati mami, remen angaben tandhing, dherekan puyuh myang sawung, kawula myarsa warta, lamun Ki Tumenggung mangkin, Wiramantri angadegaken kalangan.

14. Akathah kang sami prapti, pra botoh kang tebih-tebih, sami mring Katumenggungan, panuwun kula bok nyai, paitan ngaben tandhing, kula nyuwun reyal satus, kadamel ngabotohan, marang ing Kawiramantrin." Nyai Singa Barong aris awacana.

15. "Aduh nyawa putraningwang, kalingane sira kaki, yun kasukan ngabotohan, jaluk uwang satus anggris, akeh sira karemi, aja ngabotohan kulup, krana wong anom sira, abagus anyandhang nyampir, parek aneng ngarsane priyayi kathah.

16. Kasiku kasaru sira, kaewanan ing priyayi, ya saking panganggonira, sarwadi ngungkul-ngungkuli, sira kulup wong sigit, wong bancer jalenthir bagus, iku kulup manawa, akeh tan seneng sireki, aben-aben andrawasi marang sira.

17 Kulup raose tyas ingwang melang-melang muta watir, aja sira ngabotohan, marang ing Prawiramantrin, malah mandar sireki, adaganga bae kulup, layara mring Malaka, ing Riyo Trengganu Ngacih, paraune dhewe swargi ramanira.

18. Misih aneng Pakalongan, muwara pinggir pasisir, juru kumudhi pandoman, juru masak lan panggiling, ya padha misih urip, aja kaya nak-sanakmu, iya si Kartadeya, wuda kongsi bebet kendhil, ngulandara saparane tinambuhan

19, Pranacitra aturira: "Inggih sapisan puniki, badhe medali kambengan, sawung mring Prawiramantrin, punapa raosneki, ngabotohan ngaben sawung, sarawungan ing kathah, wawan toh lawan priyayi, tan andarung namung sapisan kewala."

20. Ya ta wau nyai randha, Singa Barong sih ing siwi: "Dhuh sutengong Pranacitra, iya kulup sun lilani, sapisan bae kaki, aja maneh ngadu-adu, akarem ngabotohan, dudu kasukaning cilik, iku kasukane priyayi ngawirya.

21. Dudu panggawe pajiwa, panggawe angrusak dhiri, anarik mring kamlaratan, milu-milu kang priyayi, ana ingkang tinolih, marang kasinggihanipun, tan ngeman karusakan, repote anangga kardi, de wong cilik yen wis balindhis duweknya.

22. Tan ana ingadhang-adhang, dadi tiwasing ngaurip, sakathahe kang tumingal, kabeh padha angarani, bangsat durjana maling, marma sira wong abagus, ywa karem ngabotohan, yen kadarung temah lali, nora ana duweke kang rinemenan."

23. Kang putra matur nor raga: "Kados boten yen kadyeki." Ni randha ngling: "Sokur sira," sarwi nyorog pethinekis ngambil wang satus anggris, sinungken tinampan sampun. "Lah kulup wus menyanga, baturmu loro ywa kari, si Balengdhung si Jagung padha milua:"

24. Kenthol bagus Pranacitra, angandika maring abdi: "Biendhung Jagung sira padha, anggawaa jago mami, si Modang den abecik, panggawamu neng marga gung, embanen cindhe kembang, kopohe caweni putih, kokoreke bedholane lar priyangga."

25. Blendhung Jagung tur sandika, sawunge wus den reteni, sira Bagus Pranacitra, wus ngrasuk busana adi. akampuh jingga sari, paningset pathola madu, kokonyoh mementahan, acelana cindle wilis, harja dhuwung kinatah tinatu rengga.

26. Ngagem kuluk kanigara, nyamat cacandhen mas adi, kacu kumbaya kusta bang, asusumping gajah ngoling, wusnya busana adi, ki Pranacitra agupuh, mojar mring rowangira: '"Payo Blendhung Jagung aglis, amucunga marang ing Katumenggungan.''

 

 

V

LAMPAHIPUN PRANACITRA DHATENG KAWIRAMANTREN

 

PUCUNG

I. Ya ta wau lampahira kenthol bagus, Pranacitra ingkang, arsa angabem tandhing, nenggih marang kalangan ing Tumenggungan.

2. Rowangipun sawiji angemban sawung, kang sawiji bekta, reyalira satus anggris, badhe tohnya jagone aran si Modang

3. Rencangipun arane si Blendhung Jagung, wus lajeng lampahnya, langkung padhadhahaneki, ya ta wau pra bakul jeplak langakan.

4. Mondrong canthur begajagan lan kathuyul, jeblogan aluran, embes-embes lan dudungik, ladrang nginthil papara myang sambewara.

5. Samya nguwuh anjajawat nguwuh-uwuh, saking wuri ngarsa, titip toh sadaya sami, angulungken anane sarwi ngujiwat.

6. Ana suku patang reyal myang nem suku, rong reyal sereyal, kang telu tengah setali, kang sapuluh uwang ana rolas uwang.

7. Telung suku patang reyal myang nem suku, telu tengah miwah, pitu tengah wolung anggris, klima tengah nem reyal myang pitung reyal.

8. Sru gumuruh swarane kang nguwuh-uwuh, "Kang gus Pranacitra, niki lo niki lo ngriki, kula titip yatra pecah sangang seka."

9. Kanthongipun pethak dereng kula itung, suwawi punika, tampanana dhuh wong sigit". Anauri sira bagus Pranacitra.

10. "Sampun susah-susah andika bokayu, yen kawon kang ana, gen dika nglumpuk-ken kedhik, kadya ebun anunakaken dagangan.

11. Bathinipun sakedhik saking sajumput, nika bakal ilang, den tohken mring sawung mami". Sareng muwus para bakul sambewata.

12. "Adhuh bagus lah boten ta kajengipun, wus punaginingwang, anggere lega tyas mami, nadyan tuna satak lamun bathi sanak.

13. Lah ta bagus esemana bae ingsun, malah abathia, boya trima sawatawis, nebas eseme wong bagus leng-ulengan.

14. Pan kumepyur nunjem terus marang kempung, dheheme sapisan, nyidham kaworan sayekti, gumuyune kadya patutan nembelas.

15. Mandheg bagus kula ngendhegi rumuhun." Keh solahing jawat, Blendhung Jagung anauri, sarwi sentak gumuyu denira ngucap.

16. "Dhuh bokayu, bae kewala ta canthur, ngandhegi ing sira, aku iki ya wong nyenthing, iya bagus pepenyon ajijingkingan.

17. Dhasar bagus tebes meret wiron mancut, jalenthir jenthara, anjelarat anjelirit, wong gumrining mancening kuning abregas.

18. Bagus alus janjras majas dhasar tulus, meses leng-ulengan, dhemes luwes sarwa manis." Para wadon gumuyu sareng wuwusnya.

19. "Dene iku wong dhapure kaya grumbul, lir memedi sawah, dedegmu iku amirip, ebleg tenong nora nganggo winengkonan.

20. Wangunipun apan kadya paga suwung, lambemu iku ta, lir tumang gempal anjubir, bathuk kadya menyaton irung kukusan.

21. Lah gulumu kaya ugel-ugel buntung, iku janggutira, lir torong sumpung wus lami, endhasira lir kuwali wadhah jangan.

22. Kadya kreweng laweyan kupingireku, pundhakmu telenan, gigithokira pan kadi, empluk uyah kaya kendhi punukira.

23. Mung tanganmu karo iku kaya irus, epek-epekira, lir enthong ireng abusik, darijimu lir buntut parut wus gerang.

24. Mung wetengmu baleneg ngendhil anyempluk, bokongmu iku ta, lir tanggok tan den esuhi, sikilira lir garan siwur protholan.

25. Mung ulatmu kaya terong duk kinulub." Blendhung Jagung ngucap, anyentak sarwi nudingi: "Ya munia maneh yen arsa uninga.

26. Mring tabokku, sothoku Iawan dugangku, ambakna wong mada, neng pawon kabeh wak mami, mara enggal yen wani ge kumecapa".

27. Para wadon ajrih tan ana sumaur, mesem palingukan, Blendhung Jagung ngiwi-iwi, nolih-nolih lakunira pan kinarya.

28. Pranacitra gung jinawat neng dalanggung, ana bakul prawan, nyelak nguwuh-uwuh lirih: "Dika mandheg sakedhap gus Pranacitra.

29. Mring pundi gus? Ngling: "Kularsa ngaben sawung, marang Tumenggungan". Ni bok Rara mesem angling: "Kula titip toh nem reyal dika bekta.

30. Kula wau papajengan jarit sarung, anggen kula babar, wingine punika lagi, kalih wulan pan ambabar kalih kebar.

31. Salirange papajengane nem suku, dereng ngelong sigar, sih wutuh nem reyal niki". Gya ingulungaken wau artanira.

32. "Niki lo gus sakanthonge pisan tulung". Pranacitra mojar: "Ya dimene ditampani, mring si Jagung", den ulungken gya tinampan.

33. Nulya laju Pranacitra lampahipun, ana lanjar mudha, kapangkapang anututi, nguwuh-uwuh: "Dhuh baguse Pranacitra.

34. Lamun bagus inggih arsa ngaben sawung, kula titip arta, wolung suku kathahaneki, mentas payon gen kula sade tenunan.

35. Lurik kepyur sinjang dhasaripun alus, wonten tiyang tempah, duk wingi lagya nyikati, wus rong taun lamine denira mekas."

36. Wonten malih nguwuh: "Kakang kakang bagus, mandhega sakedhap, manawi kenthol marengi, kula turi inggih sipeng griya kula.

37. Lamun pareng sakedhap kewala bagus, wontena nem wulan, griya kula mupung sepi, bojo kula pan saweg kesah adagang.

38. Dadi jagul amikul momot apunuk, sun tedha matia, dipenthungana neng margi, dibegala dirampoga dimen modar.

39. Aneng purug boten susah boten getun, laki wong anyalang, angur lakia wong sigit, patut ingsun rewangi dol sega tumpang.

40. Daweg bagus niki yatra telung suku, dereng pati kathah, kula nyelengi sawarsi, wade pecel amenthel tan pati kathah.

41. Niki lo gus dika gawe ngaben sawung". Wonten randha goprak, celuk-celuk anututi: "Kang gus kang gus dhuh kakang gus Pranacitra.

42. Kula titip yatra pecah mung nem suku, dika go pawitan, ngaben sawung yen marengi, sakanthonge gen kula awade toya.

43. Anggen kula nyelengi satengah taun". Ana wong wis tuwa, nini-nini amarani, grumuh-grumuh lakune asengkayigan.

44. Sarwi nguwuh muwus kaduwul-kaduwul: "Kenthol Pranacitra, andika mandheg tumuli, hes hes adhuh dika ajeng gethuk tela?

45. La wan yatra kathahipun pitung suku, karyanen pawitan, gon kula buburuh niki, usug dadah sakehe wong duwe anak.

46. Daweg ta gus dika gawe ngaben sawung." Ingulungken nulya, Pranacitra anauri: "Lah ta nini bok sampun asusah-susah".

47. Nini pikun angling: "0 boten ta bagus". Nulya tinampenan, ni tuwa bungah tan sipi, "Gih mangkoten" uhu-uhu guyu latah.

48. Aris muwus: "Kula niki tutur bagus, ngong tuwa kelapa, yen kiring keh santeneki". Pranacitra ngling aris si nini jawat.

49. Nulya laju Pranacitra lampahipun, pan kathah wuwuhnya, artane salawe anggris, kajawine arta sangune pribadya.

50. Ya ta wau lampahira prapteng warung, warung Tumenggungan, geger solahireng jalmi, yel-uyelan marani mring wurinira

PANGKUR

I. Kadya gabah inginteran, ingkang samya dhadhasar pinggir margi, sami ngadeg celuk-ceiuk, bakul prunjang myang prada, bakul prunjang ngadeg sarwi nguwuh-uwuh: "Kenthpl bagus Pranacitra, ing ngriki andika linggih."

2. Bakul prada sru wuwusnya: "Ngriki mawon bagus andika linggih, kula ladosi wong bagus, punapa kang kinarsan, sampun susah-susah mawi dika tuku, kula saosi kewala, sarwa gadhah bagus niki."

3. Bakul prunjang sru anyentak: "Wong wis aku ingkang ngaturi dhisik, ngriki mawon gih wong bagus, dhaharan busanarta, papawitan dika gawe ngaben sawung, sekar tuwin jejebatan, suwawi bagus suwawi."

4. Bakul prada ngujar-ujar: "Ambakna wong muwus anggere muni, lagya ngong aturi suguh, kang nguwuh dhingin ingwang, teka dadak dheweke iki dol ayu, amemejang wong angundang, bok sing rada idhep ngisin.

5. Upami sira tenana, mandahnea gonmu brungkut kepati, bakul tang-utangan nyambut, bakul olehmu ngemplang, iya arep kinarya tombok wong bagus, baya dadi boboyongan, mudhun dicancang lir anjing."

6. Bakul pranjang sru angaprak: "Si dipenthang alu dhase trayoli, cocote si asu buntung, lunthe sundel kranjingan, iya nadyan utang-utang anyanyambut, tuwin angemplanga pisan, tan nyambat bathangmu joprit".

7. Bakul prada wengis ngucap: "Sa bisaa sira arep amukir, nek mukir tak dheplok ngalu, wong edan kaya sira, lah munia yen arep rasa tanganku, ora jamak ora jamak, tak kepruk dhasmu ing krambil."

8. "Hi si trayoli binatang, lah bok iya dijajal ngepruk krambil, mrenea mrenea asu." Uleng jambak-jinambak, rame gulet gruwekan rawuk rinawuk, dedreg keket jejenggitan, cakot cinakotan kuping.

9. Arame lir asu kerah, wong sapasar uyel samya ningali, geger samya lok gumuruh, gya pinisah Ki Tandha: "Dhuh elinga bok nganten empun ta empun, anak laki tinoliha, gawe rusuh warung iki."

10 Wus pisah kang tutukaran, ngemu erah pipi bathukireki ingundurken kalihipun, sareh samya alenggah, neng bangone dhewe-dhewe kalihipun, bakul pranjang misih ngucap, mring bakul prada nudingi

11. "Pancen wong kranjingan setan, nora jamak-jamak amejanani, di ditanjir ngalun-alun, endhasmu kongsi ngarang, bedhangaku arep sira aku-aku." Bakul prada wengis ngucap, angadeg ganti nudingi.

12. ''Kowe dhewe sing kranjingan, wong wis kaplak datan idhep isin, bok ya aja adol umuk, sundel wong babedhatan, malah kowee iya ingkang ngaku-aku, dibedhang gus Pranacitra, mangsa weha sun labuhi."

13. Mulyarsa paran pinaran, gya Ki Tandha anikel saking wuri, anggronjal emoh marucut, sami mempeng kalihnya, kapanjingan iblis, lanat ngaru biru, kaku tyasira Ki Tandha, kalihnya dipun gandhuli.

14. Sarwi sanget meta-meta: "Hih wong iki tan kena dinggo becik.'' giya gineret kalihipun, winangsulken gyanira, kyai Tandha sarwi ngucap masra-masru, nutlingi kalawan rotan: "Yen tan manut dakgebugi.

15. Karo padha nora kaprah, gawe rusuh neng warung uleng sami, wong liwat padha rinebut, tur ta durung karuwan, yen dhemena kang liwat marang sireku. angur ta aku kewala, rebutan pasthi muruti.''

16. Kalihe maleruk ewa, esmu ajrih dadya tumungkul nangis, kocapa gegering warung, bangsat ambarung sinang, anarambul bujang pitu sareng ngebut, sru geger uleng-ulengan, tambuh lor kidul myang wuri

17. Wong dol dhawet cao srebat, rondhe tahu rujak legi myang ebir, rujak gobet jenang grendul, sate kupat balendrang, rujak crobo wedang tape samya gugup, tinunjang wong adol andha, adol pring jaran nututi.

18. Bangsat ngutil ngambul samya, pinggan suru mangkok sami den ambil, wong dol wade jarit sarung, lumayu salang tunjang, wong preyalan kocar-kacir dhuwitipun, rinebutan marang bangsat, Kyai Tandha gya nulungi.

19. Bangsat kang samya angrayah, ginebugan kang celak den jejegi, wong ngutil samya lumayu, ajrih marang Ki Tandha, Ya ta wau bangone Ni Rara Mendut, dhasare kongsi apadhang, katunjang wong geger sami.

20. Ni Rara amingkis gubah, cumaleret gumebyar gya kaeksi, Pranacitra sareng- dulu, kalihe wus tumingal, tyase Rara Mendut kalangkung kumepyur. kemenyut Ki Pranacitra, kapagutan ing pangliring.

21. Apan kadya panjang putra, tibeng sela sareng: dulune sami. Ni Rara micareng kalbu: "Botoh ing ngendi baya? Dene teka bagus sigite anuntung, 11111gu mampira sadhela, tukua rokok mring mami.

22. Bayu iku kang sayogya, amupua mring raganingsun yekti. dadyati temen wong iku, yen pinarengna uga, sun tetedha wong bagus asiha mring sun, welasa ing kawlas arsa, sun labuhi lara pati.

23. Ing donya prapteng delahan, "Rara Mendut micara jroning ati: "Sapa baya wastanipun?'' Gya nudingi rowangira: "Sira bibi tatakona den agupuh, mring bature roro ika." Gya mentar tatanya ari.

24. Blendhung Jagung apapajar: "Lamun sira tatanya gih puniki, Baguse Pranacitreku, ingkang taken niku sapa?" Sinauran: ''Gih punika Rara Mendut." Nulya wangsul papajaran, Rara Mendut langkung brangti.

25. Pranacitra tan prabeda, tyasnya wirong kadadak denya wingit, kasaman senuting kalbu, Gus Pranacitra apan, dereng miyat dyah kadya Ni Rara Mendut, Ian dereng tate kagiwang, maring dyah lagya samangkin.

26. Angunandikeng jro driya: "Sapa baya rane kang marung iki? Dene akarya wulangun, anggebang wong lulungan, nging tan larang yen sun tohi lara lampus, sanadyan wedhak ludira, tan gumingsir prapteng pati."

27. Ngandika mring rowangira: "lku sapa?" Balendhung matur aris: "Gih punika Rara Mendut, biyadeng Wiragunan." Dangu denya sawangan pagut pandulu, trenyuh ing driya kalihnya, samya kasmaran ing galih.

28. Liringe angadu rasa, sadlerengan samya cuwa ing galih, ya ta laju lampahipun, meh prapta ing gledhegan, ngancik kori nenggih parentenganipun, kocapa ing pakalangan, anggambuh pra botoh sami.

 

VI

ING KALANGAN KAWIRAMATREN

 

GAMBUH

1. Ya ta Kyai Tumenggung, Wiramantri neng kalanganipun, ing paseban jawi, tinaruban asri, lenggah ing lante klasa Ius, pan sarwi liyangan epok.

2. Kulanira ing pungkur, samya ngampil pedhang tamengipun, rotan miwah talempak lawan jemparing, tanapi sanjata alus, pawedanganya sumaos.

3. Ingkang andher neng ngayun, pra botoh samya ambekta sawung, myang priyayi rangga demang lan ngabei, ambekta bombonganipun, sawung ingkang wus pitados.

4.. Sampun pepak sadarum, angandika Kiyai Tumenggung, mring mas patih Wirakandha kinen tandhing, patih sandika turipun, nulya undhang mring pra botoh.

5. "Lah suwawi ing ngriku, sami tinandhing bombonganipun." Para botoh sandika nulya anandhing, nging dereng wonten kang athuk, panandhinge samya reyon.

6. Ki Tumenggung nglingnya rum, “Padha kapiken anandhing sawung, singa ingkang kaor wis jamaking tandhing. Payo kono goprak-gapruk, mengko gampang arebut toh."

7. Dereng pantara dangu, ingkang samya tatandhingan sawung, ya ta Pranacitra ingkang lagya prapti, kagyat sadaya kang dulu, cingak sagung para botoh.

8. Samya barengan nguwuh, kang basa adhi anak myang putu: "Lenggah ngriki nak ngriki putu mriki dhi, ngriki thol ngriki gus lungguh, ing ngriki angajak lunggoh."

9. Mesem Kyai Tumenggung, ya marmane bakul uleng gelut, jawane Gus Pranacitra ametoni, kang tandhingan rangu-rangu, kadya ngenteni gus kenthol.

10. "Pranacitra sireku, lah majua gonira alungguh, kowe apa anggawa jago sing endi?" Pranacitra aturipun: "Bekta satunggil nging awon."

11. Ngandika Ki Tumenggung: "Ngendi ana jago ala iku, linurugken mring kalangan den etohi? Mulane anggawa sawung, iya becik wus pitados."

12. Pranacitra umatur: "Inggih datan patohan tohipun, "Ki Tumenggung ogling: "Ya padha kedhik-kedhik, mung sasemben ala nganggur, ngiras kinarya guguyon.

13. Thong-ethongan bae wus. Angandika mring mas patih arum: "Wirakandha konen nandhing jago mami, yen lamak Ian jagonipun, si Pranacitra ing kono.

14. Ya jagoku si Kasur, tantingen kono tekemanipun, sapa botoh kang wus jengges gawe tandhing." Mas Wirakandha umatur: "Pun Anggapraya ing Jodhog.

15. Lan Anggayuda Bantul, kalih punika jejenggesipun, kathah botoh tan kadya kalih punika." "Ya wus konen tandhing iku, " Sigra jengges majeng karo.

16. Tinandhing sawungipun, kaot saprapatan rencangipun, rencang sawungipun Pranacitra kedhik, klorogan geng inggilipun, si Kasur kagepok boyo.

17. Lambang tantinganipun, wus kawruhan kang badhe sor unggul, sigra kinen andadekaken kang tandhing, botoh sadaya wus rembug, kawon geng kasangga ngotot.

18. Dadya lan ramenipun, Ki Tumenggung angandika arum: "Ya wus rame singa kaota sakedhik. Kok tohi pira jagomu?" Pranacitra matur alon.

19. "Sumangga karsanipun, andherek ing ngarsanta pukulun, ing sawawrat kawula inggih ngladosi."' "Seket kepriye sireku?" "Inggih seket reyal dados.

20. ''Satus Pranacitreku.." "Inggih satus Kiyai Tumenggung..." Karobelah?" "Inggih karobelah anggris.'' "Rong arus Pranacitreku" "Inggih kalih atus dados."

21. "E kendel toh rong atus, sugih reyal Pranacitra iku, ya marmane pra botoh padha ngenteni, jajadhuging botoh jenggul, wani ngantep toh semono.

22. Heh Wirakandha uwus, kepyakena pro botoh sadarum, sapa ingkang angiloni jago mami, kang ngiloni jagonipun, si Pranacitra ing kono."

23. Mas patih undhang gupuh, timbalane Kiyai Tumenggung, sinten ingkang sami purun kinen nempil, pangajeng toh kalih atus, kajawi jaban jon-anjon.

24. Para botoh sadarum, apan sami sandika turipun, Anggapraya Anggayuda jenggesneki, pra botoh sami tinantun, kang nempil pangajenging toh.

25. "Mupung durung atarung, yen wis tarung ywa nempil pangayun, jago padha becike ingkang tinandhing, kawon menang bejanipun, aran wong pada rebut toh.

26. Kenthol Antiprayeku, tumut pundi?" "Inggih kula tumut, sawungipun Ki Tumenggung wolung anggris" "Ki Jasuta ing Kecubung, tumut pundi dika kenthol?"

27. ''Dho inggih kula tumut, sawunge Ki Tumenggung rong puluh.'' "Nalabangsa ing Patalan tumut pundi?" ''Inggih tumut sawungipun, Ki Tumenggung pitung keton."

28. "Kenthol Jiwasuteku, ing Wanapeti tumut pundi gus?" "Inggih tumut sawunge Kangjeng Kiayi, gangsal reyal reyal wutuh, boten nedya ambalik toh."

29."Ki Jadrepa ing Galur, tumut pundi?" "Inggih kula tumut, Ki Tumenggung. Telas botoh Kilen Pragi, Gya botoh sakidulipun, ing kitha ingkang rebut toh.

30. Nempil pangajengipun, "Ki Demang Anggawangsa punika, tumut pundi?" "Tumut sawunge Jeng Kyai, gangsal welas reyal wutuh, tan balik pothok kimawon.

31. Mangsa liya pun Kasur." "Ki Ngabei Citramanggaleku, tumut pundi?" Tumut sawunge Jeng Kayi, Tumenggung nem likur sepuh, pan sarembat yatra bolong".

32. Mas patih mesem muwus: "Layak yen den rebuta si Kasur, jer si Kasur nglorogi sarwa sathithik, jagone Prancitreku, klorogan mung menang otot.

33 Citrongsa Kalipenthung, tumut pundi?" "Tumut Ki Tumenggung, kawan reyal." "Singamreta tumut pundi?" "Tumut Jeng Kyai Tumenggung, tigang reyal reyal paos."

34. "Jawiruta ing Waru, tumut pundi?" "Tumut Ki Tumenggung." "Kretadangsa Tegal Layung tumut pundi?" "Tumut Jeng Kyai Tumenggung, inggih tigang reyal wutoh."

35. Para botoh ngarubut, mring jagone Kiyai Tumenggung, dene sarwa menang tandhinge sathithik, dhasar si Kasur wus wudhu, kuciwa mung kawon otot.

36. "Macan Gogik ing Mrebung, tumut pundi?" "Tumut sawungipun, Pranacitra lang-ilangan tigang anggris, agampang yen sampun tarung". "Jamblaita ing Kemalon.

37. Tumut pundi?" "Gih tumut, sawungipun gus Pranacitreku, kalih reyal". Ki Nantang Yuda ing Pakis, tumut pundi?" "Inggih tumut, Pranacitra kalih keton."

38. "Kenthol Singacitreku, tumut pundi?" "Tumut sawungipun, Bagus Pranacitra inggih gangsal anggris." "Sabuk Janget Tegal Arum, tumut pundi dika kenthol?"

39. "Gih tumut sawungipun, Gus Pranacitra nem reyal sepuh." "Kenthol Laler Mengeng Pokak tumut pundi?" "Inggih tumut sawungipun, Pranacitra kawan keton."

40. "Prabonan Sabuk Alu, tumut pundi?" "Tumut sawungipun, Pranacitra inggih tiga welas anggris." "Tumut pundi kenthol Bulus?" "Ah boten jaban kemawon."

41. Mangsa kongsia nganggur, nyandhak tantangan toh mangkenipun, begjanipun ngenthel sawung samya becik." Ki Tumenggung ngandika rum: "Kang botohi jagoning ngong.

42 Pun Anggayuda Bantul, pun Anggapraya satunggilipun, iku aja si Anggapraya botohi, jagone Pranacitreku, sapa kang ngadegi kono?"

43. Pranacitra amuwus: "Kenthol Madeganda dika sambut, sawung kula si Modang lamun marengi." Gendirpanjalin amuwus: "Inggih sampun walang atos.

44. Inggih kula kang nyambut, pangajengipun kula rong puluh." Anggapraya muwus: "Ngong sapuluh anggris, kula tan kalilan nambut, sawunge nempil kemawon."

45. Ngandika Ki Tumenggung: "Lah wis mara kerapna den gupuh." Sigra Anggayuda Ian Gendirpanjalin, samya ngeculaken sawung, kang tohan jaban gumuroh.

46. Bae si Kasur sewu, iya dadi bae Modang sewu, bae Modang telung anggris telung anggris, dadi lima bae Kasur, bae maneh satus keton.

47. Ya bae Modang satus, bae Kasur bae Kasur sewu, iya sewu rong ewu rong ewu dadi, limang atus bae Kasur, inggih limang atus dados.

48. Sajampel bae Kasur, iya dadi bae Modang suku, iya suku bae si Modang setali." Tan ana nauri wuwus, ana mojar sarwi bekoh.

49. "Haywa toh setali ku, mundhak mateni kalangan sawung." Nulya sawung kalihe linerep sami, binanyu pinakan sampun, ingumbar kikirap karo.

50. Modang kirap kaluruk, kablak mathentheng mantengah maju. Kasur kirap mathentheng miyak aminggir, nulya inguculken tarung, wus kinen mayok-ken gupoh.

51. Sampun payu gih payu, mara wus dak payokake Kasur, wis dakpayokake Modang ngati-ati, arame denira tarung, tan ana kang unggul asor.

52. Aloke sru gumuruh, ambal-ambalan ambata rubuh, tantangan toh bae endi bae endi, bae Modang bae Kasur, rong atus rong atus dados.

53. Jago wus peluk gulu, gitik ginitik sami dresipun, sarwa bisa si Kasur asru anggitik, andhesek angubek nusul, aderes tan pilih enggon.

54. Modang gawene mundur, yen pinerep angelap anubruk, lamun gulet ameluk malang anggitik, yen benggang marapal nubruk, barkat kawon geng kasosor.

55. Modang kena ginebug, ing embun kena jijilingipun, asru mak bres si Modang mabur kapilis, cinandhak bobotohipun, kang surak rame gumuroh.

56. Reren samya binanyu, Ki Tumenggung langkung sukeng kalbu, ana mojar: "Takapite telung anggris, ngayon-ayoni si Kasur, pedhot gulumu kalakon.

57. Mangsa kongsi rong banyu." Kang nantang toh sami rebut unggul: "Adate si Kasur yen oleh anggitik, tan mindhoni sapisan wus, mungsuhe pasthi yen keyok.

58. Apa tandhinge iku, inggih angapit wonten anelu, ya tak telu ya taktelune si Lurik, niga unggul telung puluh, adho takpate sapuloh."

59. Pranacitra amuwus: "Kados pundi ngriku sawungipun, dene merem punapa mripate kenging?" Gendirpanjalin sumaur: "Ukur kasabet kemawon.

60. Jamake jago tarung, genti katemper asor myang unggul, sampun saras sawunge puniki adhi." "Pundi kakang sawungipun." Pranacitra nyandhak gupoh.

61. Sih penet tantingipun, matur: "Inggih asor ki Tumenggung, sampeyan pat kula tigang dasa anggris." "lya unggul telung puluh, kula nempil bagus asor.

62. Kathah nempil soripun, kang rong reyal telung reyal ngrubut, kang nantang toh sipata sipata malih, sitelua ya tak telu, ditelua maneh payoo

63. Takapite bae wus, takapite takapite unggul, weneh tawa loro lima den ungguli, Pranacitra ririh muwus: "Modang bok den ngatos-atos.

64. Sun tohi keh sireku, ngong sori patan pan telung puluho" Nulya sinungaken mring Gendirpanjalin, mojar: "Lah suwawi sampun, gih daweg sigra cul gupoh"

65. Rame malih atarung, gitik ginitik sami dresipun, Modang saras lir tigas tandangireki, kang nantang toh sru gumuruh, dilimalasana asor.

66. Ya limalasan unggul, Modang taktelu limane telu, Modang Kasur agulet tan ana tebih, Kasur gombel liringipun, sinangga mak bet ngalosod.

67. Ngenggel-enggel pinatuk, pinindho kena pok kupingipun, asru mak bret jebabah ambabanyaki, kang tohan surak gumuruh, modar babar pisan lodong.

68. Sigra cinandhak gupuh, dinandanan mring bobotohipun, den gegeli gulu iring cenggerneki, ngusugan badan sakojur, den degken maksih gedhodhor.

69. Dharodhog sikilipun, botoh kang milu ing sawungipun, Pranacitra abungah-bungah tan sipi, ana kang jengklek makungkung, saiki Kasur katanggor.

70. Takneme-neme Kasur, takwolu dho taksapuluh Kasur, takrong puluh dhuh tak sadhuwit satali, e taksadhuwite suku, iya rong wang rong wang dados.

71. Maneh sadhuwit suku, ya mara taksatuse si Kasur, ya satusen satali dadi satali, satusen suku ya suku, taksatuse maneh payo.

72. Ki Tumenggung gegetun, wus dinuga sawunge kabanjur, angandika: "Heh Pranacitra ngong nempil, nyepuluh bae rong puluho" "Inggih sumangga kemawon."

73. Tanpa rungyan wong muwus: "Taksatuse si Kasur taksatus, adho suwang takpadhani omah mami, dho sadhuwitan keboku, sakandhange pisan ayo.

74. Ya suwang Ian omahku, ya sadhuwit kandhang Ian keboku, "sigra Gendirpanjalin muwus: "Suwawi, ingathuk-ken mulya gupuh, " Kasur kaiah mlayu keyok.

75. Sinurak ger gumuruh, alok, "Balia balia Kasur, ya genea gus Kasur nora anolih, Iah masa kelara Kasur, pan kari patitis ampoh."

76. Kang kalah samya aclum, Ki Tumenggung sangga uwang getun, tan ngandika ana botoh ngemut driji, nglegeyeh seduwa mungkur, ana dheieg-dheleg joto.

77. Ambanda tangan getun, ngulat-ngulet sarwi kukur-kukur, nyamur-nyamur isine kalahireki, pan aras-arasen jupuk, rindhik angudhari kanthong.

78. Ki Tumenggung Iingnya rum, mring mas patih: "Sapa nempil mau, ya wong pira Ian pira dhuwitireki, balikanaku rong puluh, dadi pira bayaring ngong."

79. Mas patih asru muwus: "Sapa nempil Ki Tumenggung mau? Lah, ta mara padha asoka den aglis." Nulya sami bayar sar-sur, pra botoh kang sami kawon.

80. Wus winilang gya katur, pan sawidak gangsal tigang suku, "Inggih kula piyambak kawan dasanggris, sadaya pan dadya satus, gangsal reyal tigang ukon.

81. Dalah wangsulanipun, dados satus slawe tigang suku, bayar dalem pitung dasa Iangkung kedhik, kawan reyal lawan suku." Ki Tumenggung ngandika Ion.

82. "Mas patih sira iku, kalahira thithik rada jenggruk, manira tan anyana bayar sathithik, dene kurang teka satus, sira sabobotmu ombol."

83. Mas patih kucem matur: "Tan kainan gen kawula purun, dene sawung nglorogi sarwa sathithik, kedah kawon bejanipun, badanipun ingkang awon."

84. Ki Tumenggung lingnya rum: "Wus jamake asok uga ngukup, wis bayarna reyale rong atus anggris, marang si Pranacitreku, "Mas patih maringken gupoh.

85. Arta pangajengipun, ingetang wus jangkep kalih atus, gya winaris mring botoh kang samya nempil, telas pitung dasa langkung, gangsal tinampen pra botoh.

86. Warata sadaya wus, botoh kang tohan jaban krumuwuk, ting palecu kang akeh kalahireki. "Ih jagone Ki Tumenggung, si Kasur mudani uwong.

87. Kalah nem reyal wutuh, nora balik takpuguhi tohku, entek kabeh dhuwitku tan ana kari, gonku nguyangake pantun, baya dikrawus ing bojo."

88. Kang sedhakep anjablung: "Yatalah awaku lagi kojur, telung dina kenil bae datan odhil, kalah nem reyal ping pitu, kablong entong kari kanthong."

89. "Kula inggih kadyeku, nem dinten gen kula ngaben sawung, lekas asar menang dumadakan balik, kula balikaken nelu, pancen menang dadya tombok.

90. Hih getun temen aku, aja takbalikna menang mau, cangkem kudu tan ana begjanireki, kudu lamjulat Iamjathus, takkabeh wus begjaning ngong."

91. Tan bisa gugut-gugut, para botoh gumeder kumruwuk, ana botoh ngabar toh nora bayari, ngabar ngapit wong pipitu, ginujeg-gujeg jedhodhog.

92. Datan bisa sumaur, dreg-udregan matur Ki Tumenggung, sapa wonge ngabar toh den bobondheti, pira pangabare iku, karo angabar pirang wong.

93. Matur: ''Tiyang pipitu, nyatus-nyatus dados pitung atus, apitane sewu kawan atus picis." Angandika Ki Tumenggung, "Priye benerane kono."

94. "Yen adat leresipun, ingkang darbe kambengan puniku, sakarsane amarentah yekti dadi, ngejogi lan botenipun, sumangga ing karsa dados."

95. Ki Tumenggung wlas dulu, arsa pinaringan kawonipun, pinambengan ing para kulanireki, mundhak tuman ingkang kantun, kang samya ngabar angradon.

96. Luhung sakajengipun, denya aminta bayaranipun, gya ngandika: "Wus ta sakarepireki." Wong kang ngabar wau gupuh, jinaguran sakehing wong.

97. Sing ngarsa kering pungkur, ana anjambak dhupak anapuk, kalayaban sambat: "Adhuh biyung uwis, nora mindho ingsun besuk, sapisan bae wus kapok."

98. Awake biru emu, binalojodan mulih barundhul, ya ta ingkang sami abayaran picis, ting karempyang ting karupyuk, anggris cawang canthol palos.

99. Akathah warnanipun, Pranacitra satus slawe wutuh, arsa tandhing malih katanggungan wanci, kinen bubaran sadarum, nulya bodhol para botoh.

100. Ki Tumenggung gya kondur, para kulanira datan kantun, namung Bagus Pranacitra ingkang maksih, lan bature Blendhung Jagung, jagongan kalawan jago.

101. Pranacitra ngling arum: "Lah Blendhung sira sun kongkon, gupuh, atukua tegesan salawe anggris, marang Nimbok Rara Mendut, kang kinrobong cindhe ijo.

102. Lan tegesane iku, kang lagya sacengkang panjangipun, ingkang mentas den udud tilasing lathi, sing kalumut idunipun, miliha ingkang kumocor."

103. Sandika kang tinuduh, ki Balendhung enggal prapteng warung, mojar: "Kula dipun utus lurah mami, dhateng andika bokayu, ken tumbas tegesan rokok.

104. Salawe reyal wutuh, ingkang radi kathah idunipun, dipun kongsi kebes ketes-ketes mili, kang ngaleler ileripun, den serot kongsia gumoh."

105. Mesem Ni Rara Mepdut, tyasnya geter naratab kumepyur, ngunandika sarwi anampani anggris. "Nora ana wong atuku, tegesan salawe keton.

106. Kajaba iku mau, dhemen wonge ingkang adol iku, tanggap tatrap grahitanira ngranuhi, ngrasa kasamyaning kalbu, ing pasemone wus katon."

107. Nyandhak tegesanipun, tinulis alit lembut sarambut, ingempakken kinadukan iduneki, gya sinungken mring ki Blendhung, idune kongsi kokotos.

108. Gancangan lampahipun, prapta ngaturken tegesan gupuh, tinampanan sarwi mesem angling aris: "Dene murah temen iku, oleh tegesan kumocor."

109. Ciri tulis sastra Ius, sinuksmeng tyas tan katareng semu, penget. Ingkang serat pangabekti mami, kaatura ing wong bagus, sasampunipun awiyos.

110. Saking tyas dahat wuyung, mring paduka kang tanseng pandulu, mugi-mugi asiha ing kawlas asih, kawula pun Rara Mendut, wit saking Pathi kaboyong.

111. Asli Trebanggi dhusun, sutanipun bakul prada ulun, pan pinundhut Gusti Pragola ing Pathi, tan kongsi sinelir ulun, kaselak dahuru rusoh.

112. Binoyong mring Mataram, pinaringken Ki Wiraguneku, lamun Bagus sudi nampar kawlas asih, suwitaa Ki Tumenggung, tan ewed gen kula temon.

113. Sawanci-wancinipun, neng Kawiragunan pan ing besuk, pager bumi dening kothaking wong mati, luwang sawiji wong bagus, linebon bareng wong loro.

114. Titi tamat srat ulun." Pranacitra tyasnya kadya runtuh, kasabet ing tegesan anggeges ati, kakenan ing pelet idu, dadakan ngajak padudon.

115. Angunandikeng kalbu: "Dhuh mirahe si kakang wong ayu, datan darbe pun kakang tingal kakalih, ngalumpuk mring sira masku, kang ngepak langening wadon.

116. Aja silih wakingsun, dadi panakawan nadyan aku, dadya gamel pakathik ingsun lakoni." Wasana aris amuwus: "Lah Blendhung Jagung wong loro.

117. Ngong ujuri sireku, limang reyal paro edhang Blendung." matur nuwun panakawane kakalih, nelu tengah edhang sampun, ya ta wau para botoh.

118. Kang samya menang wau, bungah-bungah berag solahipun, samya ajak-ajakan mring dhasar mampir, bangone Ni Rara Mendut, sami sedya tuku rokok.

119. Prapteng dhasaranipun, bareng angling lim dalem bokayu, Rara Mendut amingkis gubahireki, Nibok Rara duk andulu, celeret gebyar mencorong.

120. Pra botoh tarap lungguh, sami tanya: "Pundi rokokipun? Satunggile pinten regine bokadhi?" Rara Mendut mesem muwus: "Siji regane saketon."

121. Kang tanya sareng muwus: "Uwe nora jamak reginipun, kula tumbas tegesan kewala mangkin, ingkang miring reginipun, tan kaop wong krengsang-krengsong."

122. "Dene tegesanipun, regi mitung suku nyangang suku." Kang tinutur malongok gumuyu angling: "He he bilah dudu-dudu, regane sangsaya mohol.

123. Punapaa bokayu, kathah regine tegesanipun?" "E punika sabab tabet Iambe mami, myang teles katutan idu, manis anglelet kumocor."

124. "Adho gih kula tuku, sangang suku lah daweg bokayu." Gya dinolan tegesan kang saking lathi, nulya ingakep den udud, sinerot bari mrekongkong.

125. "Hihihih nyata edhul, dudu idu wis bleg madu legi, lagi gurih krasa ngiga misih manis." Nulya pra botoh sadarum, ngerong keton angrong keton.

126. Tegesan myang kang wutuh, sami barengan denira udud, tan ana kang nora udud weneh angling: "Nora kejamak sing udud, wong semene ting kalempor.

127. Kukuse ting karelun, nglendeng kaya ampak-ampak gunung, bok wis payo padha bubaran amulih, mengko dhak kaselak surup, andheprok kaya wong lumpoh."

128. Gya bubar gumarudug, mulih sowang-sowang sarwi udud, ya ta Pranacitra denira anganti, ulehe ni Rara Mendut, neng kering kalingan bango.

129. Wanci sore meh surup, surya ngalarap tirah ing gunung, Rara Mendut ge-age denira mulih, pangobenge kinen kukud, pikulane ambentoyong.

130. Ingkang sami amikul, kinen rumiyin Ni Rara kantun, karsanira ayun mring pasowan jawi, arsa wruh Pranacitreku, dinuga maksih neng kono.

131. Tan wruh pinggiring Iurung, neng sor waringin ampinganipun, Pranacitra Ian Ni Rara sareng meksi, pagut pasanging pandulu, kumepyur tyasira karo.

132. Lir manggih sotya luhung, samya katujon sasmitanipun, Rara Mendut mesem sarwi ngincang alis, angliring sarwi lumaku, sasolahe karya lamong.

133. Parek parikanipun, tilam bumi kothake wong lampus, luwang siji wong roro ingkang ngleboni, sarwi lajeng lampahipun, kang tinilar kari wirong.

134. Sarira nyamar lesu, tyasnya kanyut mring Ni Rara Mendut, awuyungan lir kena guna piranti, langkung denya brangta wuyung, kaya matia ing ngenggon.

135. Blendhung Jagung umatur: "Suwawi Ki Lurah sami mantuk, sampun dalu puniki wanci maherib." Pranacitra aris muwus: "lya Blendhung Jagung payo."

136. Nulya umangkat mantuk, marang Batakenceng wismanipun, Pranacitra pangandikanira aris: "Lah Blendhung Jagung sireku, anggugurita wong loro.

137. lya turut delanggung, supaya kinarya namur wuyung, brangtaningsun tan mendha saya andadi, " Sandika ingkang tinuduh, nulya ambelabak lakon.

BALABAK

I. "Sun anggurit jajakane wong ing Ngemplak, kaplake, jaka kawak turune wong adol opak, angine, rada ladak angaji mring kayu apak, rekane.

2. Kadek ladak angiribi bango buthak, dhapure, nora pijer ngaji pijer nguber banyak, gawene, ting karengak nora kober nocor dhedhak, banyake.

3. Sun anggurit jakane ing Wirasaba, kandhane, jaka dremba saparan anggawa keba, isine, sega wadhang kalawan bobothok urang, lawuhe.

4. Sun anggurit jajakane wong ing Baki, bungkike, angawula mring nagara dadi srati, gajahe, nganggo keris warangkane kayu teki, moglenge.

5. Minthi-minthi irunge sawaluh kenthi, pucuke, kyai jaka karan anake pak Ranti, jarene, yen angguyang gajah mring desa Semangggi, parane.

6. Sun aggurit parawane wong Nusupan, kampunge, esuk sore apepetan aneng lawang, gawene, yen wis petan menyat talusupan marang, tanggane.

7. Sun anggurit prawane wong ing Kauman, gawene, gedhe cilik tuwa anom ambabathik, blocoke, yen maido ayonana ing Kauman, nyatane."

8. Ki Balendhung dhasar bisa naggugurit, cucude, Jagung kang anggambang cangkem urut marga, klenenge, gawe guyu bocah cilik anononton, sumyake.

9. Sumyak-sumyak Blendhung Jagung turut marga, guyune, saya wuwuh ginaguyu ing wong akeh, cucude, guyunira hah hahah hih hih hih hih, ah noh heh.

10. Panjang lamun winarneng tulis sadaya, gurite, Ki Balendhung miwah Jagung tansah karya, guyune, sigeg denya babanyolan turut marga, sukane.

11. Kawuwusa kenthol bagus Pranacitra, lampahe, tan pantara prapteng desa Batakenceng, wismane, sawungira si Modang kinen ngurungi, prenahe.

12. Pranacitra laju mring paturonira, ge-age, nglungsur kampuhira kewala kinarya, mujunge, sru pinantheng kang dodot kaya bedhaha, kencenge.

13. Saking dahat sungkawanireng wardaya, yaktine, datan ana liyane ingkang kacipta, jro tyase, mung bok Rara ing Pathi ingkang akarya, brangtane.

 

VII

DALUNIPUN SASAMPUNIPUN KAPANGGIH WONTEN ING KAWIRAMANTREN

 

ASMARANDANA

I. Sadalu tan antuk guling, sira Bagus Pranacitra, agung abrangta wirage, kang kacipteng driyanira, gumeleng tan na liyan, namung nimbok Rara Mendut, kang andudut-dudut driya.

2. Ing wanci kaluruk siji, gumregah kadya ginugah, lenguk-lenguk lungguh dhewe, kagagas tyasira dahat, kewala mring Ni Rara, rengeng-rengeng angingidung, rerepan asmarandana.

3. "Layon raga wong akuning, gununge wong Padhomasan, kudu ngajak mati bae, dungike Kawiragunan, palwa kandheg samodra, kekembanging jalma lampus, sun labuhi lara pejah.

4. Tatampuning ebun enjing, pameke pari memeyan, apa mulunga tresnane, pancadan mungging tirisan, puspa cemeng ing tegal, tatarane asih mring sun, canthuring Kawiragunan.

5. Waru jene ing wanadri, kang peksi kinarya duta, ayune den pikatake, nanging manira temaha, panu biru ing jaja, sangkelangan wedhung kaum, anggegebang wong botohan.

6. Pitik alit lulut jalmi, kuthuke Kawiragunan, akarya brangta wirage, kayu malang ing dadalan, sun batange wong ika, tumbak tulup gubug dhuwur, angkuhe araranggonan.

7. Dening sangkal wadung pari, kang parikan kunir pita, kapan katemua maneh, marang ingkang gawe brangta, dungike Wiragunan, ujare tegesanipun, wakingsun kinen ngawula.

8. Marang ing kangjeng kiyai, Tumenggung Prawiraguna, wantiwanti wewekase, kinen arah ing sakarsa, tuture si tegesan, rujak tape bibis laut, mangsa ingsun undurana.

9. Amanakawan makathik, kadhal gung ing pakedhungan, srengenge gumiwang ngulon, aja gingsir ing ubaya, kukus gunung upama, wilangan picis sapuluh, kapakena raganingwang."

10. Dangu den ira ngrerepi, sira Bagus Pranacitra, kawratan lara anglamong, menyat yun mijil ing latar, lon mengakaken lawang, panglonging wulan salikur, kang lintang abyor ing tawang.

II. Kumenyut tyasnya ngranuhi, anjejer madyaning latar, mung Kawiragunan bae, kang pinandeng prenahira, kadya kasat mataa, sira Nimbok Rara Mendut, tansah neng padoning tingal.

12. Gremenging kitri kaeksi, kang sadedeg cipta kadya, Ni Rara Mendut dedege, ron pang kumlawe kanginan, ngayut sengkleh pan kadya, lembehane Rara Mendut, undhuking pandam katingal.

13. Kadya barabadireki, Rara Mendut marang wisma, tinututan ageage, Pranacitra melbeng wisma, kagagas nalanira, kadhasih munya anganyut, lir parikane bok Rara

14. Kalane duk arsa mulih, dumeling denya wangsulan, pager bumi wong ambancer, dening kothaking palastra, luwang siji sayogya, linebon wong ro Ian ingsun, sigra metu maring nglatar.

15. Malbu metu wira-wiri, sabarang kang kaplyarsa, myang katon dinalih kabeh, tansah agawang-gawangan, tumemplek ing paningal, mlebu metu Mendut Mendut, turu Mendut kang katingal.

16. Linggih Mendut kang kaeksi, ngadeg Mendut kang katingal, kadya na sumandhing bae, rinungrum ririh rengengan, mesem-mesem ngroropa, "Adhuh mirahe wong ayu, weh wuyung wiyange driya.

17. Tan larang sun tohi pati, biyadaning Wiragunan, katon melok wedanane, yen ingsun tan sida panggya, sun watara wakingwang, karungrungan kudhung sarung, mangarang kasurang-surang.

18. Angur sidaa kapanggih, sun andhemi sira mirah, iya parikanirangger, eman sun tan nyanggemana, wangsalan pager lemah, dening kothaking wong lampus, luwang siji sayogyanya.

19. Wong loro kang angleboni, mangkono panjalukira, kang minangka patukone, patemon aneng ban tala, sira kalawan ingwang, adhuh iya ngong asaguh, patemon aneng bantala.

20. Ingsun tan nedya nyidrani, "sarwi mantheng kampuhira, tansah merem melik bae, tyasira awirandhungan, ki Bagus Pranacitra, sadalu denira mujung, kongsi enjang kasiyangan.

21. Blendhung Jagung lagya sami, angayar jajan warungan, ya ta Nyai Singa Barong, marang kono Pranacitra, tumingal yen kang putra, sih nendra ginugah gupuh, "Duh nakingsun Pranacitra.

22. Dene nemen denya guling, kulup tangia wis awan, aja manggung mujung bae," Ki Pranacitra agepah, ginugah ing bokira, gya tangi lungguh tumungkul, cahya nglalentreh nglong jiwa.

23. Ni randha ngling esmu tangis "Ana kang dadi tyasira, kulup pasajaa bae, manira nora anduga, ngong dulu angganira, agonggong netyanira Ium, kongsi manglingi warnanta."

24. Kang putra umatur aris "Embok yektose kawula, wingi duk angaben jago. Prampuhan priyayi kathah, ngabei rangga demang, neng ngarsane Ki Tumenggung, langkung kapencut kawula.

25. Sumawita Jeng Kiyai, Tumenggung Prawiraguna, magang priyayi yen dados, aneng ing katumenggungan, embok panuwun kula, nyusun sangu reyal satus, kadamel wragad ngawula."

26. Ni Singa Barong duk myarsi, ing ature putranira, sulaya lan panarkane, amicara jroning driya: "Apa wadine baya? Nadyan yen duwea kaul, si Pranacitra ngawula.

27. Kapengin dadi priyayi, anggubet marang wong tuwa, nora mangkono kingkine, kaya yen lara kawongan, abrangta ing wanodya, katara alum ngalayung, sarwa mulung amemela."

28. Wasana awuwus aris: "Yatalah sira bendara, dene kadingaren angger, arep angawula magang, marang Kawiragunan, yen mungguh ngong isih tanggung, angawula ing wadana.

29. Yen wong suwiteng bupati, kalamun kang kaya sira, iya pirangbara kanggo, kadhangan parek cilaka, acepak godhanira, kulup bakal nora tulus, arang kang tutug ngawula.

30. Golek mukti oleh pati, dhuh anakku Pranacitra, aja sira sidakake, ngawula ing Wiragunan, tanggung ing pangawula, yen sira karep satuhu, lah aja tanggunga sisan.

31. Begja dadi mati urip, angur ngawula sang nata, kalamun ana sarate, wragad bandha pira-pira, ya aku ingkang nyangga, yen sira ngawuleng ratu, suka wadenen wakingwang.

32. Nora atanggung toh pati, mikul karyane narendra, yen aneng tumenggung bae, genira yun angawula, angur aja suwita, susah apa sira Bagus, tan kurangan sandhang pangan."

33. Pranacitra matur aris, "Boten bok panuwun kula, ing Wiragunan kemawon, cumanthel neng Tumenggungan, inggih badan kawula, nadyan katura sang prabu, Ki Tumenggung kang ngaturna."

34. Ni randha barebes mili, "lya wus sakarepira, nanging sira haywa goroh, lamun ngawula temenan, aneng Kawiragunan, ya sun wehi reyal satus, lah gonira ngabotohan.

35. Reyalira satus anggris, apa kalah apa menang, genira angadu jago?" Matur, "Gih kawula menang''. Ni randha aris nabda, "Rong atus reyal bae wus, yen kurang sira muliha."

36. "Boten bok panuwun mami, nyuwun wewah satus engkas, pan dadya tigang atuse, mugi paduka den lila, telase punang arta, mrih lastarining rahayu, anggen kula angawula.

37. Manggiha leganing galih, marang ing kanca sadaya". Ya ta Nyai Singa Sarong, duk myarsa aturing putra, tansah angemu waspa, tyas lir tinilar anglangut, ingkang datanpa tuduhan.

38. Dhasar putra mung sawiji, ingugung dinama-dama, datan pinalang karsane, mangkya ayun angawula, marang Kawiragunan, nging tan sakeca tyasipun, lir tinggal rare bandulan.

39. Melang-melang mutawatir, saking adrenging kang putra, tan kena den ampah tyase, mojar sarwi ngembeng waspa: "Dhuh sutengsun bandara, iya enya reyal satus, dadi telung atus reyal.

40. Namung sok temena kaki, ywa goroh marang wong tuwa, nora ilok wekasane." Kang putra aris turira: "Pan inggih boten dora." "Iya uwis sira kulup, salamet pandonganingwang.

41. Balendhung Jagung ywa kari, apa anggawa maneh ta, batur roro myang telune."Pranacitra aturira: "Boten susah ambekta, kewala pun Blendhung Jagung, inggih angangkah punapa?"

42. Kang putra pamitkireki, wus linilan ing bokira, nulya mangkat lan rowange, Blendhung Jagung kinen gawa, arta lawan busana, sigra lajeng lampahipun, ing marga datan winarna.

43. Gantya kang winuwus malih, Rara Mendut Wiragunan, neng gundhok wetan enggone, sinung paturon priyangga, pinggir parek ing lawang, tretip pagedhonganipun, tar wor lan pro selir kathah.

44. Sadhatengira duk wingi, tan kongsi ngaturken wadal, ingkang sadasa reyale, sadalu tan antuk nendra, tan ana lyan kacipta, mung botoh jago kang bagus, aran kenthol Pranacitra.

45. Kalangkung brangtanireki, Ni Rara mring Pranacitra, sadhatengira mamade, sawusira abebeja, marang ing kancanira, gya munggah mring tilamipun, kinancingan korinira.

46. Amujung kampuhireki, bentayangan solahira, rongeh aneng jro paturon, kasabet asmara naya, tyas ura ngayawara, uga tangi uga lungguh, amicara calumikan.

47. Lir kena guna piranti, ketang kang tuku tegesan, disalawe reyal canthel, kenthol bagus Pranacitra, ing Batakenceng desa, anake randha kang komuk, asugih raja barana.

48. Rara Mendut angling ririh: "Adhuh kakang Pranacitra, jaka kang jelanthir bancer, apa madhani tyasingwang, anandhang lara brangta, pan ingsun wus asung pemut, mring dheweke neng tegesan.

49. Kalong alit mangsa puring, gitike sata tarungan, tan nglawani kareping ngong, gudhe pandhak ngara-ara, pangajap septa nala, apa nora duwu kesdu, si jenat mring raganingwang.

50. Sun tetedha siyang latri, kakang Bagus Pranacitra, anekanana marene, bisaa ngalap maring wang, anggawa lunga rangkat, kang adoh mana ngalangut, wong loro aruruntungan.

51. Lamun andika tan prapti, marang ing Kawiragunan, maranga kambengan bae, mampira mring dhasaringwang, ududa rokok dawa, sun bondheti wong abagus, mangsa sun wehana lunga.

52. Marma manira tan apti, sinelir Ki Wiraguna, wong wus gerang ompong geyong, yekti ingsun gawe apa, agigu gila mulat, ngong pilalah prapteng lampus, tan sudi kinarepena."

53. Mangkana ciptaning galih, uga turon uga lenggah, agoreh tambuh polahe, dhat pikir sajroning nala, angunandikeng driya: "Bok ya ngong ngenaki kalbu, mring Tumenggung Wiraguna.

54. Yen kelakon wong asigit, nurut ujaring tegesan, salire basaku kabeh, pasthi yen anuli prapta, suwiteng Tumenggungang, tyas ngong tan ewuh tan rikuh, amitra tunggal bendara."

55. Wus kenceng pikire sandi, sareng enjang Ni Bok Rara, marak Nyai Tumenggunge, ngaturken arta busana, kathah sal-angsalira, royale kewala satus, iya pangajining sinjang.

56. Nya Ajeng ngandika ris, "Wingi sore Mendut sira, de nora marak marene?" Umatur: "Kawula sayah, ngladosi tiyang tumbas, sadhateng kula pan laju, sadalu tilem kewala.

57. Sumedya umarek enjing, angaturanken kang wadal, ingkang sadasa reyale, punika pan satus reyal, pinten kendel kawula, katura Kyai Tumenggung." Nyai Ajeng ris wacana.

58. "Ya mengko sira sun irid, ngong aturken aturira, sun duga tan ngarsakake, marang olehira reyal, nadyan akeh kedhika, luwar tanda sira Mendut, yen tan kesandikanana.

59. Pinundhut kinarya selir, nemu lara apa sira, pituhunen ujaring ngong." Ni Rara Mendut turira, tumungkul namudana, "Amba dereng saged matur, pinten banggi mangkenira."

60. Nyai Ajeng angling aris: "Sun tuturi Mendut sira, yen matur marang wong gedhe, haywa nananggung turira, deksura tan prayoga, " Bok Rara micareng kalbu: "Becik ngong gawe jalaran.

61. Dimen ora ngetarani, goningsun adarbe karsa, mring Bagus Pranacitra, ngong matur sandi bengesan, lamis lemesing basa." Wasana aris umatur: "Nyai Ajeng tur kawula.

62. Inggih sandika wak mami, pan ulam mungging rampadan, sakarsa kewala dados, " Nyai Ajeng suka tyasira, angling: "Ya sokur sira, anurut pituturingsun, payo marek maring ngarsa."

63. Anulya kerid Jeng Nyai, wus prapta ing ngasanira, Jeng Kyai Wiragunane, ing paningrat paringgitan, kang garwa matur nembah: "Punika pun Rara Mendut, ngaturaken wadalira.

64. Ing sadinten sadasanggris, pan punika satus reyal, kaetang pinten kendele." Jeng Kyai megos lenggahnya, menjep nyingkur kang garwa, ngandika sarwi ambakuh, "Hih emoh takgawe apa?

65. Nora butuh ingsun iki, Tumenggung mangsa kuranga, duwe pirang-pirang mene, teka dhewe tan ngupaya, barkah Dalem maring wang, met barkahe wong bubruwun, yekti tan sudi manira.

66. Balikan si Mendut iki, dhangkal wangkale kang kiyal, yen misih kaya sabene, aran iku wong boyongan, pan wis dadi kakingwang, raraine si menjerut, dadak anampik maring wang.

67. Kalamun mangkono Nyai, sun undhakken wadalira, satus reyal sadinane, wus ya mara iya mara, wetokna satus reyal, rasakna nampik Tumenggung, bisa tan bisa wetokna.

68. Yen tutus nampik mring mami, milalua nyangga wadal, satus reyal sadinane, jaluk lara apa sira, kalamun ora bisa, dadi sesasine iku, metu telung ewu reyal.

69. Lah iku lagi sesasi, setaune pira mara? Itungen dhewe ing kono, wong ora kena den eman." Jeng Kyai Wiraguna, sarwi ngliring Rara Mendut, kecap ngawet tebah jaja.

70. "Hih hem yatalah si Pathi, lamun tan kena den eman, priye bae priye bae, iba-iba e yatalah, si didhuh adubilah, wewe setan ra jin biyung, dene teka tan kayaa."

71. Nyi Ajeng mesem turnya ris: "Punika abdi paduka, pun Mendut tyasipun mangke, naosken sumanggeng karsa, kumambang ing wisesa, sampun lega manahipun, miturut karsa paduka."

72. Tumenggung Wiraguneki, kagyat mesem angandika: "Lo apa nyata mengkono?" Ni Ajeng matur: "Sumangga, kadangua pribadya, apan wonten tiyangipun." Ki Tumenggung Iangkung suka.

73. Mesem kacemut ngling aris: "Iya nDut kowe wus lega? Atimu nora aile?" Ni Rara Mendut turira: "Inggih dhateng sumangga, ing karsa Kyai Tumenggung, kawula datan lenggana.

74. Jrih kawula tiyang alit, ing panjenengan sampeyan, punapa sakarsa dados, amundhut ing pejah gesang." Pan sarwi ingeseman, eseme semu gumuyu, aberag Ki Wiraguna.

75. Mathentheng denira linggih, kacemut ces ilerira, dubang dalewer janggute, den usap saya warata, sarwi mesem ngandika, ting kalepyur idunipun, lir kaul panggrecekira.

76. Langkung wiraganireki, sarya ngling: "Sokur nDut sira, lah iya nDut mengko sore, manira nDut mring gyanira, nDut sira cacadhanga, sing mlok-melok ya nDut ya nDut." Ni Rara Mendut turira.

77. ''Inggih sandika Jeng Kyai, nging kawula nyuwun inah, saweg mapag tanggal mangke." Ki Tumenggung kagyat mojar: "E lagi kel nDut sira, wong kel mene sabenipun, pira adate laminya?"

78. Ni Rara umatur aris: "Adatipun tigang Ruwah." "E dene lawas kele. Ya wis nDut wedhak pupura, rina wengi nDut sira, adi-adinen warnamu, lah Nyai paparingana.

79. Unggyan patileman becik, myang busana kang sarwendah, tuwin gawaning panganten, haywa kongsi kukurangan." Eca denya ngandika, kasaru kang duduk wuluh, kenthol ing Batakencengan.

 

VIII

PRANACITRA NGAWULA ING KAWIRAGUNAN

DUDUKWULUH.

I. Ya ta wau Pranacitra lampahipun, ing Kawiragunan prapti, anjujug ing regol ngayun, kagyat ingkang tungguk kemit, ambagek-ken sarwi takon.

2. Pranacitra angling: "Wisma kula dhusun, ing Batakenceng pan mami, yen wonten sudi anguwuh, Pranacitra wasta mami, wondene ing sedyaning ngong.

3. Arsa ngabdi marang Jeng Kyai Tumcnggung ing sakarsa anglampahi, wangsul andika puniku, dadya priyayi punapi?" Sumaur ingkang tinakon.

4. "Inggih kula lurah panakawan sepuh, Secapati wasta mami." Ki Pranacitra amuwus: "Yen pareng kula marsudi, gih katuripun kemawon.

5. Mring bendara Kanjeng Kiyai Tumenggung, katampen Ian boteneki, apan inggih bejanipun, daweg yatra kawan anggris, kadamel patumbas dodot.

6. Kula dika aturaken Ki Tumenggung. "Secapati anampeni, sarwa ngunandikeng kalbu: "Belaba temen wong iki." Mojar: "Sampun walang atos.

7. Dika lenggah kula umarek ing ngayun." Ki Pranacitra naguhi, Secapati gya mangayun, andhadhap wus prapteng ngarsi, kagyat Ki Tumenggung anon.

8. Secapati nembah aris aturipun: "Kawula ngaturi uning, wonten gebal Dalem dhusun, ing Batakenceng mariki, Pranacitra wastaning wong.

9. Arsa angawula paduka pukulun, samangke wonten ing jawi." Ki Tumenggung ngandika rum: "Apa becik warnaneki?" Matur: "Inggih bagus anom."

10. "Yen mangkono timbalana marang ngayun." Secapati sigra mijil, panggih lan Pranacitreku, mojar: "Dika den timbali, marang Ki Tumenggung gupoh."

11. Pranacitra sukeng tyas aris umatur: "Inggih kula dandos dhingin, "salin kampuh jingga madu, paningset pathola wilis, acelana cindhe ijo.

12. Kris kinatah kuluk kanigara luhung, sumping malathi sapelik, sawusira dandan gupuh, nulya angirid mangarsi, Blendhung Jagung datan adoh.

13. Lampahira andhadhap tindaknya alus, wus parek Tumenggung linggih, parestri cingak andulu, mring Pranacitra kang sigit, anjelanthir bagus anom.

14. Pranacitra tumungkul sarwi mabukuh, Ni Rara Mendut anglirik, pagut lungiding pandulu, kumenyut tyasira kalih, kaluluhan ing pandulon.

15. Amicara jroning tyas Ni Rara Mendut: "Anyata temen wong sigit, nut welinge tegesaku, wong bagus nuhoni janji, adhuh pangajapaning ngong."

16. Ki Tumenggung ngandika: "Ngendi omahmu, Ian majua gonmu linggih." Kang liningan gya mangayun, nembah lir konjem ing siti, mepes tumungkul mabukoh.

17. Ki Tumenggung eram ing driya andulu, amicara jroning galih: "Bocah desa dene bagus, bobote wong desa sugih, dhasar bagus amerabot."

18. Ki Tumenggung malih angandika arum: "Lah sapa aranireki? Ing ngendi wismanireku? Lan sedyanira punapi? Denya prapta ngarsaning ngong."

19. Pranacitra manembah aris umatur: "Inggih kawula Jeng Kyai, kang sotah mastani ulun, Pranacitra wasta mami, wismamba wastaning dhukoh.

20. Apan inggih ing Batakencenganipun, marma kawula Jeng Kyai, angelesod prapteng ngayun, ulun sumedya angabdi, atadhah saliring tudoh.

21. Ing sakarsa paduka Kyai Tumenggung, lamun pinareng wak mami, anggegebal ngawu-awu, makathik andhudhuk teki, juru pambucaling uwoh.

22. Nadyan kinarsakna jagi juru kasud, datan lenggana kang abdi." Ngling malih Kyai Tumenggung: "Sapa wong tuwanireki? Apa rangga demang kenthol?"

23. Lon umatur: "Pan kawula sutanipun, gebal Dalem randha desi, inggih dede randhanipun, rangga demang myang ngabei, randhaning nakoda pun bok.

24. Asli saking Pangangsalan dhusunipun, mah-imah angsal neng ngriki, ing Banonkenceng karuhun, tilar maksih aneng ngriki, awasta Ki Singa Barong."

25. Ki Tumenggung aris pangandikanipun: "Sira ngawula mring mami, eman rupamu abagus, arsa ngawuleng bupati, sagawe-gawene abot

26. Apa gelem yen sira dadi gamelku?" Matur: "Sandika nglampahi, sakarsa-karsa sihipun, kawula dhatenga inggih, tan lenggana ing sapakon."

27. "Iya lamun kaya mangkono sireku, apa sun dadek-ken mangkin, lurahe panakawanku, patang puluh gedhe cilik, kabeh kang tuwa kang anom."

28. Pranacitra nembah sandika turipun, Ki Tumenggung dhawuh maring: "Capati kancanireku, kabeh punakawan mami, padha angluraha kono.

29. Iya marang si Pranacitra sadarum, Capati sun lih wong miji, Pranacitra gentinipun, lurah panakawan mami." Matur sandika pra wong-wong.

30. "Sapa wong kang tan manut datan piturut, amasthi lamun bilahi," Ki Tumenggung wusnya dhawuh, kondur malbeng dalem aglis, Ni Rara Mendut neng gandhok.

31.  Aparentah marang parestri sadarum, mangkya cadonganireki, marang lurah anyar rawuh, sega iwake kang becik. sandika kang sinung dhawoh.

32 Ya ta Pranacitra mundur saking ngayun, marang pagedhonganeki, ingiring kancanireku, tuwa anom gedhe cilik, gumeder dhawoh dhinawoh

33. "Sapa-sapa kanca kang nora piturut, mring ki lurah anyar iki, pasthi anemahi ukum, marma ywa na wani-wani, marang paremahe kenthol

34. Pranacitra kalangkung lega tyasipun, punagi mring kancaneki, sinungan arta sadarum, nyanggris-nyanggris wong sawiji, rong reyal antuk wong roro.

35. "Lah punika kula sung patumbasipun, bebed sadayanireki." Kancanya asaur manuk: "Gih nuwun gih nuwun" sami, angalem sadaya kang wong.

36. "Nora jamak belabane kenthol bagus, weweh kongsi nyanggris-nyanggris, ngungkuli paparingipun, Jeng Kiyai maring mami, pan mung sajampel wong sithok.''

37. "Lah wus awan iki wayahe meh bedhug, padha anyadhonga nangsi, lurah cadhongena iku, sega iwake kang becik, sajekna dhewe haywa wor.

38. Payo sira Celek Gober Jibus Cegus, kanca cilik bae becik, marang pawon nyadhong sekul, si Jibus ingkang angirid, sigra mangkat gawa tanggok."

39. Ya ta wau warnanen Ni Rara Mendut, neng gandhok pipining kori, Ni Rara sareng andulu, mring panakawan kang prapti, andelidir sami nyadhong.

40. Ni bok rara anilibken rowangipun, ngawe panakawan siji, kang ingundang mara gupuh, prapteng ngarsa den takoni: "Gus Jibus ingong atakon.

41. Jare sira duwe lurah anyar bagus." Matur: "O inggih sayekti, kula kang nyadhongken sekul, ing panjang ulame piring, kinen maringi kang raos.

42. Kang sembada dhahare wong bagus tulus, wong ambancer anjelanthir, bangkek kekek kokok kukuk, wangking tarincing ambenthing, anjelanet marong jamprong."

43. Rara Mendut sarwi mesem denya wuwus: Iya sapa kang nguyahi, kajaba kang duwe iku, lurah ingkang anyar sigit, '' Matur: "Wus,kantenan yektos.''

44. Rara Mendut aris pangandikanipun: "Jibus ngong nyambat sireki, ingsun kirim ganten arum, aturna lurahireki, ywa kongsi kawruhan ing wong."

45. Matur: "Inggih" ganten gya tinampan gupuh, Jibus durung wruh ing wadi, angling: "Ingsun salawasku, durung tau den wewehi, iki kang lagya dumrojog.

46. Gya sinungan ganten arum semprit pucuk, wus begjane lurah mami, " Rara Mendut mesem muwus: “Ya wong mono datan keni, puluh-ruluh begjaning wong.

47. Wus den age aturna lurahireku." Pun Jibus nulya lumaris, kalawan sarowangipun, kang nyadhong wus sareng mijil, kabeh padha gawa tanggok.

48. Prapteng gedhong arubung mangan akembul, ting kucapah gedhe cilik, neng emper gedhonganipun, mung Pranacitra tan bukti, simungken rowangnya karo.

49. Jibus matur: "Ki lurah kula ingutus, ring bok Rara Mendut Pathi, punika kang ganten arum, katur ing paduka nenggih." Ki Pranacitra duk anon.

50. Api kagyat: "Sinten ingkang weweh niku? Teka gelem anampani." Matur: "Lah bok kajengipun, tiyang weweh ganten wangi, lothung wonten kang gumatos."

51. Gya tinampan ganten wonten seratipun, winaca sinukmeng galih, "Penget punika srat ulun, Rara Mendut ingkang brangti, katura wong bagus anom.

52. Kakang Pranacitra pager bumi nengguh, dene kothaking wong mati, luwang siji wong abagus, linebon bareng wong kalih, yen dika asih maring ngong.

53. Dika prapta sun cacadhang burat arum, mangke sirep wanci janmi, paringa jampining wuyung, sadalu kewala enjing, andika mijil sing gedhong."

 

IX

ING KAWIRAGUNAN WANCI SONTEN

SADERENGIPUN SIREPTIYANG

MIJlL

I. Titi tamat surasaning tulis, sastra mungging conthong, Pranacitra micareng jro tyase: "Yekti tuhu tan ngendrani janji, trus ujaring tulis, ing tegesanipun.

2. Parikane datan angowahi, tegesan myang conthong, wangsalane pager bumi dene, kothaking wong mati luwang siji, wong loro ngleboni, adhuh mirahingsun.

3. Nadyan manira tan angoncati, ubayengsun tanggon, dahat tresna marang ing dheweke, upamengsun methik puspita di, neng teleng jaladri, rinekseng naga gung.

4. Datan wurung manira langeni, angalap sang sinom, datan ngeman ing pati nah angger, saking dening tyas subrangta kingkin, tan ana lyan keksi, mung sira pujanku."

5. Pranacitra nalanira kadi, pinuntir pinethot, thel kacinthung ing conthong kacanthel, entheng tyasira denya nglanggati, kadya gea panggih, nganti mangke dalu.

6. Karsanira Ki Pranacitreki, wanci lingsir kulon, amepakken kancanira kabeh, patang puluh rerehanireki, wus pepakan sami, tan ana kang kantun.

7. Pranacitra awacana aris, "Kabeh kancaning ngong, marma manira pepak-ken mangke, apan arsa ngong aturi picis, suwawi punika, ngrong reyal sadarum."

8. Kancanira andheku nampani, sadaya tatakon, "Yatra punapa niki surupe? Dene dereng ki lurah atampi, gaganjaran saking, .Jeng Kyai Tumenggung.''

9. Pranacitra aris anauri: "Yen andika takon, arta saking kareping ngong dhewe, namung kanca sadaya puniki, manira manawi, kasisipan laku.

10. Nuju boten meningi ing kardi, inggih mangsa borong anggen denya angalingi mring ngong mangke, pandangune Jeng Kyai mring mami, "Kancanya nauri, sagah saur manuk.

11. "Inggih ki lurah sampun kuwatir, wus aneng wak ingong, badhe muter jambe benjing emben, sampun tumut-tumut Jika benjing, tuwin bok manawi, boten wontenipun.

12. Yen kadukan kula kang ngalingi." Kabeh sami sagoh. Wus mangkana ing wanci ngasare. Kyai Tumenggung mijil mring Jawi, lenggah ing pandhapi, sarwi rimong kampuh.

13. Pan ingayap pra parekan cethi, lir ngadat tuwa nom, dhadhaharan sumaji ngarsane, patih Ngabei Prawirasekti, lan panekar mantri, samya neng sor jambu,

14. Tinimbalan lan patih mangarsi, gya majeng wot sinom, Ki Tumenggung aris andikane: "Sun tuturi sira Wirasekti, ngong leh bocah ngabdi, taruna abagus.

15. Apa durung weruh sira patih?" Mas patih turnya Ion: "Inggih dereng uninga warnine, amung myarsa kewala ing warti, botoh angungkuli, mring botoh sadarum.

16. Pranacitra abagus tur sugih, ameses kendel toh, neng kambengan ing Prawiramantren, menang kongsi kalih atus anggris, datan molak-malik, pened sawungipun."

17. Ki Tumenggung Wiraguna angling: "Heh Centhung den gupoh, timbalana si Pranacitra ge." Tur sandika nulya den timbali, Pranacitra aglis, umarek ing ngayun.

18. Kinen ajajar lawan mas patih, ingingseran lunggoh, Pranacitra amepes silane, binagek-ken marang ki mas patih, andheku turneki, pasaja ing wuwus.

19. Cingak sagung parekan myang cethi, ting karintip nonton, mring wong anyar kang bagus rupane, ting barisik samya mancer liring, berag ambesusi, supaya kadulu.

20. Ki Tumenggung myat Pranacitreki, sihing tyas gumolong, denya bagus jetmika solahe, pasemene ruruh amriyayi, arsa den bakali, kapriyayenipun.

21. Lawan arsa dipun tarimani, santana kinaet, ingkang pantes lan Pranacitrane, saking resepira aningali, ciptanireng galih, yen ingambil sunu.

23. Lawan apa nyata sira wingi, menang ngadu jago, neng kalangan ing Kawiramantren, kabar menang toh reng atus anggris, jago teka ngendi, ingkang menang iku?"

24. Pranacitra nembah matur aris: "Pan inggih sayektos, amba menang neng Kawiramantren, nanging kathah ingkang sami nempil, kula apan naming, satus pitulikur.

25. Pan kawula saestu pan lagi, tembe ngaber jago, tan uninga sawung won penede, inggih namung sapisan puniki, sawung duk sih alit, sinamber ing wulung.

26. Kula kukuthuk langkung anjanmi, lami-lami dados, lurik sana lancur mubal puteh, buntut jamprong mepet lir ginapit, pra botoh ngremeni, sami kinen ngingu.

27. Kawula aben pagriyan asring, amenang kemawon, nun ten kawula lurugken age, mring kambengan ing Prawiramantrin, ing begja narengi, m enang sawung ulun.

28. Kagalih yen kawula puniki, kawastanan botoh, datan remen inggih sayektose, amung gegembyakan ngaben tandhing, kalawan raryalit, geredan tohipun."

29. Ki Tumenggurig gumujeng ngling aris: "Dudu gembyak guyon, gembyak domba rong atus tohane, apan dudu gegeredan pitik, pan anggeret gigir, nak rayat tinukup."

30. Pranacitra nembah matur aris: "Tur kawula yektos, anggen kula menang botohane, saking dening kawula kapengin, srawungan priyayi, sami ngaben sawung."

31. Ki Tumenggung mesem ngandika ris, nging sajroning batos, ngalembana mring Pranacitrane, mulat kabagusanira tuwin, prak ati patitis, pitembunganipun.

32. Ageng gagantunganira kang sih, Jeng Kyai gumolong, anging maksih sinimpenan bae, eman Prancacitra yen tan dadi, abdi dalem mantri, pasemone mungguh.

33. Nanging Pranacitra jroning ati, kang tansah kadulon, tan lyan namung Rara Mendut bae, ingkang muntel aneng kulung ati, paliket kumanthil, amejeg jejantung.

34. Aturira tan inangan kardi, ananggapi runtoh, kuwur-kuwur katawuran tyase, ketang kang asung mengkolan semprit, kasemprot ing liring, wingine neng warung.

35. Datan wurung ciptanya nglabuhi, parikan neng conthong, tuwin ingkang mungging tegesane, kadhedher neng kulunging kang ati, nerya anyumuki, wenes wilis semu.

36. Amardapa senening akingkin, anglonging pasemon, Ki Tumenggung aris andikane: "Ya wong mono tan kena dinalih, kaya ta sireki, mas patih lawasmu.

37. Ngabotohan apa wus nglakoni, wani toh samono?" Matur: "Dereng," "Ya mulane kuwe, tur ta botohamu angluwihi, durung anglakoni, toh kongsi rong atus."

38. Ki mas patih nembah matur aris:'"Inggih dereng ngantos, satus kemawon pan dereng nate, setun seket peng-pengan manawi, angsal menang tandhing, sawung kang wus wudhu."

39. Ki Tumenggung angandika aris: "Payo jajal jago." Tur sandika gya ngambil sawunge, panakawan gupuh angladeni, ana ingkang ngambil, kopoh korok banyu.

40. Bandhung patang kembaran neng ngarsi, denya ngrapken jago, para lurah kang banyu sawunge, Pranacitra tan wengweng ningali, jatmika tan apti, mulat jago tarung.

41. Pratandha yen budinira tani, yekti datan goroh, lamun dudu botoh sayektine, Ki Tumenggung tyasira saya sih, mring Pranacitreki, denya tyas rahayu.

42. Ingkang jajal sawung kinen uwis, apan mung sabanyon, Ki Tumenggung amaringi age, dhadhaharan mring Pranacitreki, lorodan nem piring, kang pinaring gupuh.

43. Nembah majeng anampani piring, nitya sapandulon, Ki Tumenggung mesem suka tyase, mulat sarira rurus aramping, pamulunya kuning, tuhu yen abagus.

44. Lungiding imba idep tumenggi, netra liyep tinon, lindri tungtung wadon pamulune, wenes suluh ing wadana manis, lathi menges mengis, thi-athi angudhup.

45. Anglempung karas wangunireki, tan ana winaon, Ki Tumenggung micareng driyane: "Tan jamak baguse rare iki, nging kakiren thithik, kaliwat rumucuh."

46. Ki Tumenggung juwed ing pangliring, mring Pranacitra non, kadya maring kenya di ciptane, saking daqat sihira jro galih, kaletheke kadi, arsa kinalethuk.

47. Ya ta wanci surywatunggang wukir, Jeng Kyai ngling alon: "Pranacitra nenga kono bae, jagongana kalawan mas patih, iki wus maherib, manira yun wektu."

48. Kang liningan sandika turneki, samya nembah karo, Ki Tumenggung nulya kondur age, Pranacitra kalawan mas patih, munggah ing pandhapi, ingkang ngadhep mundur.

49. Kantun lurah sajajarireki, ingkang sami caos, was antara ing bakda ngisane, Ki Tumenggung pan amundhut bukti, parestri ngladeni, myang Ni Rara Mendut.

SO. Ki Tumenggung dhahar Ian kang rayi, Ni Ajeng ngling alon: "Mendut den kapareng ngarsa kene, apan sira wus kaparingan sih, marang Jeng Kiyai, ngreh estri sadarum.

51. Den abecik sira angladeni, mring Jeng Kyai mangko, pan wis begjanira sira niken, haywa ewuh rikuh maring mami, sira den bakali, ajeneng Mas Ayu.

52. Den narima badanira mangkin, pan pinundhut bojo, pira-pira sira sabobote, den abanget sukurireng Widi, nugraha sayekti, alaki Tumenggung."

53. Rara Mendut andheku turnya ris, ngenaki kemawon, ing batine seje panyiptane, tan ana lyan paraning wiyadi, mung Pranacitreki, kang kacipteng kalbu.

54. Haywa kongsi kawengku liyaning, ngamungna sawiyos, Kenthol bagus Pranacitra bae, ingkang dadya telenging wiyadi, tumancep ing ngati, muntel ing jajantung.

55. Cipteng driya kadya gea panggih, mring kang karya lamong, Ki Tumenggung aris angandikane mring kang garwa: "Sainggane Nyai, si Mendut kon bukti, dimen ngong pikantuk."

56. Gupuh Nyai Ajeng ngacarani; ''Heh mendut den gupoh, dimarene sandhing aku kene, sira kinarsak-ken kembul bukti, lah wisuha aglis, lo iki ambengmu''

57. Matur: "Nuwun, ginendeng mangarsi,  gya majeng wot sinom, pan tinarik parek dhedhengkule, Nyai Ajeng langkung rahapneki : "Wis, payo abukti, mas ayu lan ingsun.''

58. Ki Tumenggung mesem aningali, mring garwane karo, dhasar Ni Rara Mendut sasore, abusana sarwa di linuwih, sinjang gringsing ringgit, kemben jingga madu.

59. Gelung senteg lulungsen tinitih, ing sekar agulo, sengkang bapang kinatipa ing her, apanunggul ageng inten bumi, wida jenar amrik, gebegan sumunu.

60. Netra jait sinawang alindri, tuhu yen kinaot, angungkuli para dyahe kabeh, datan ana ingkang angiribi, mung pantes-anyethi, mring Ni Rara Mendut.

61. Ki Tumenggung datan pijer bukti, malongok anjomblong, denya miyat Ni Rara warnane, kang liniring tanpa tinanduki, mung ewa ing batin, marang Ki Tumenggung.

62. Ni Rara Mendut denira bukti, acicik tan dhokoh, Nyai Ajeng anyeblek wentise · "Bok sing nemen gonira abukti." Niken matur sarwi, mesem marikelu.

63. Jeng Kiyai pangepelireki, nutul sambel lethok, denya muluk kaliru janggute, sambel gubras neng janggut den sapi, wrata marang pipi, kepel jur ngaluwur.

64. Sakarine puluk wus den bukti, parestri kang anon, ngampet guyu tumungkul ajrihe, Rara Mendut mesem aningali, ing batin moyoki, puluk susar susur.

65. Ki Tumenggung mesem animbangi, eseme sinenggoh, tunggal sire ing batin ciptane, tan wruh lamun luput ing pandalih, nanging Jeng Kiyai, sih mathem ing kalbu.

66. Wus antara denira abukti, gya sami tuturoh, cinarikan ambeng rampadane, Ki Tumenggung angandika aris, mring parekaneki: "Si Pranacitreku.

67. Paringana Iawan ki mas patih, lolorodaning ngong." Kang liningan sandika ature, wus rinakit pinaringken nuli, wus tinampan kalih, aturira nuhun.

68. Ya ta wonten panekarnya mantri, prapta samya lunggoh, priyayi nem ingacaran age, mopo pineksa samya abukti, Jeng Kyai gya mijil, sukeng tyas andulu.

69. Mring kancanira mantri kang prapti, anggandika alon, "Sapa kanca ingkang teka kuwe?" Matur: "Nun kula pun Wongsagati, lawan pun Ngabei, Jayawiraneku.

70. Lan Ngabei Simbarjaya tuwin, pun Ngabei Bobos, lawan Ngabei Wiratmakane, kanem pun Ngabei Brajapati, sadaya pan sami, sowan Ki Tumenggung."

71. Gupuh ngandika marang ing cethi: "Sapa bocah wadon, mundhuta sega sarampadane, lawan waragang ya dhahar mami, sadhasarireki, bumbung mas sinelut.

72. Lan mundhuta palenggahan mami." Tan dangu sumaos, Ki Tumenggung nulya lenggah age, angandika mring kancanya mantri : "Lah wus kono sami, amangana kembul."

73. Ki Tumenggung ngunjuk ananduki, sadhasar rumengkoh, saben kadhatengan panekare, tinamu-tamu nadyan wong siji, anginum myang bukti, geng alit kinembul.

74. Denya karsa amet tyasing alit, tan ana kinaot, kabeh kinawruhan sakarsane, marma kancanira para mantri, sadaya jrih asih, ambek sabiyantu.

75. Denya mikul karyaning nagari, rumekseng karaton, samya golong gumulung ciptane, angestok-ken ing parentah sami, tan cengil cinengil, nadyan gecul kumpul.

76. Denya ngunjuk antuk tigang larih, Pranacitra gupoh, aris matur: "Ywan pareng karsane, amba nyuwun aso ing panglarih, tan tahan mring awis, reh tembe anginum."

77. Ki Tumenggung mesem ngandika ris: "Ywa sumelang mangko, dimen pundhuh lan kanca mantri keh." "Inggih langkang anuwun Jeng Kyai, sih tuwan kapundhi, ing mastaka ulun."

78. Gya mas patih lan panekar mantri, samya nambrama lon: "Lah suwawi adhi pasihane, sumangga nak pasihanireki, Jeng Kyai samangkin, ngong belani nginum."

79. Warna-warna ucaping pra mantri, barkating kawuron, apan samya ngalembana kabeh: "Anyar katon abdine Jeng Kyai, sapa sinten nenggih, kang sinambat ing rum."

80. "Apan kula pun Pranacitreki." Samya bareng dongong, mesem angling: "E kiye jawane, Pranacitra kang komuk jelanthir, tan linyok ing warti, nyata bagus lugu.

81. Punapa andika sampun krami?" "Inggih dereng ingong." "Adhuh nadyan ta sampuna mangke, meksih ajeng mendhet mantu mami, suwawi inggih dhi, o inggih saestu."

82. Ki Tumenggung mesem ngandika ris: "Sapa wonge anon, mring si Pranacitra pasthi bae, arsa met mantu myang ipe yekti." Samya matur: "Inggih, leres Ki Tumenggung."

83. Dungkap sakawan dhasar kang larih, sami nambrama Ion: "Wawi bagus Pranacitra lareh." Ngling: "Kawula andika alimi, kula tan kuwawi, barkat tiyang dhusun.

84. Kula andherek amung wedang tih, Ian samben anggadho." Kang liningan asuka guyune, "E lah pinter kenthol bagus iki, dhuh ngong kang nalangi, sumangga Kyai gung."

85. Gya linarih kalih dhasar alit, wuwuse angoko: "Lah payo ki lurah larih maneh, kaya wragang ingumbe dhedhemit, tan na baneneki, lir munggeng wana gung."

86. Ki Tumenggung mesem ngandika ris: "Ya bener sirengko." Gya nimbali niyaga lan runggeng, gupuh kang liningan gya miranti, gamelan lan ringgit, kang wasta pun Ganggu.

87. Lan pun Malathi samya mangarsi, kalihe yu anom, lajeng mapan marang gyan adate, niyaga gya dhinawuhan wiwit, sandika anuli, munya Ladrang Mangu.

88. Gendhing ririh sarwi den gendhengi, jawilan kang naboh, kang rada sru pan amung rebabe, kalih gambang katrinira suling, ricike kur jawil, ngalep nganyut-anyut.

89. Ambiyantu panabuhireki, padha krasa alon, bonang pinjal lawan paneruse, demung nibani bonang ngeracik, tarung panerusing, imbal lan gong andul.

90. Gambang amecalang wiletneki, angglebeg lan kagol, rangkep rikat tan caruk anggrandhel, suling ngelong lagu amegoni, asri angedhasih, pangelikanipun.

91. Gender anyalupak gumarining, senggolan gumolong, kapinjalan akathah cengkoke, calempungnya sesendhalan nggrinding, kendhang amberagi, rarasiblon besus.

92. Rebab ngangkang tutupane mathis, nyamleng tan balero, amet raras ajeg wiwitane, rengating kawat tetering mijil, kosokan lestari, lamba muput alus.

93. Gendhenging runggeng andudut ati, telon apupunton, rebab suling lawan panggendhenge, swara merit methit anjalirit, lir suling wrat sari, nuntung manis arum.

94. Berag wiraga kang para mantri, ngigel sarwi lunggoh, myarsa gendheng ilang riringane, ketang tresnanira mring Jeng Kyai, mijil tyasireki kaantepanipun.

95. Datan mengeng lair batineki, wutah tyase kasok, marang Kangjeng Kyai Tumenggunge: "Dhuh ki Lurah lamun ana kardi, ayahaning aji, ananggulang mungsuh.

96. Suka binijiga awak mami, tanggorna ing mungsoh, eman nganggur Brajawangsa kiye, kaya ngapa rasane upami, mati anglakoni ayahaning ratu.

97. Wus timbange mukti Iawan mati, wis gantunganing ngong, ala mati bubuken sun kiye, pan sadaya samya adol kardi." Sukeng tyas Jeng Kyai, gumujeng angguguk.

98. Amuwuhi kamuktenireki, yen ana wong sagoh, wani mring ayahan Dalem bote, nulya ginanjar sabuk kulambi, wus ambeke Kyai, sih mring kancanipun.

99. Kabeh tan ana ingkang cinengil, geng alit rinengkoh, yen ana kang cengilan kancane, tinuturan sakalihireki, mari-mari yen wis, rukun atut runtut:

100. Pinurih ywa na kang benceng pikir, ing lair myang batos, amrih guyuba kabeh tekade, dadya entheng pamikuling kardi, pinet tyasireki, sadaya rinengkuh.

101. Nulya sami linarihan malih, "Lo iki sih ingong." "Inggih nuwun Kiyai paringe." Anampani sarwi beksa linggih, "Enak temen iki, gendhing Arum-arum."

102. Nulya ginembong awanti-wanti, wong pitu ngelosod, aneng enggon asanget endeme, nulya sami kinen bekta mulih, kulanya Jeng Kyai, kang ambayang metu.

103. Ambeng nulya cinarikan aglis, sinungken pra wong-wong, Ki Tumenggung alon andikane: "Pranacitra pa mendem sireki, nginum waraganggrit." Kang liningan matur.

104. "Inggih radi karaos sakedhik, amumet kang panon." Ki Tumenggung mesem Ion delinge: "Ya turokna neng gedhongireki." Nembah kang sinung ngling: "Inggih selotipun."

105. Ki Tumenggung ngandika: "Ngong iki, ya rada keraos, tur tan pati animbangi ngombe, kur ngempyangi marang kanca mantri, nadyan thithik-thithik, nandheg dadya wuru."

106. Gya ngandika aris marang cethi: "Sapa bocah wadon, amundhuta kalasa bantale, paringena si Pranacitreki." Nulya Jeng Kiyai, kondur mring dalem gung.

107. Tan anjujug pasareyaneki, laju maring gandhok, gyaning Rara Mendut ing karsane, prapta sarwi dhodhog kori ririh, kagyat duk miyarsi, sira Rara Mendut.

108. Mojar: “sapa ingkang minta kori?" Nauri: "Dut ingong, jaluk Iawang Dut sadhela bae, manira yun temu Ian sireki." Ni Rara nauri: "Dhuh Kyai Tumenggung."

109. "lya aku Dut kang jaluk kori, mring sira yun panggoh." Matur: "Sampun mriki tanpa gawe, kula saweg ewed mapag sasi, benjing yen wus mari, kawula umatur."

110. "Pira lawase adatireki, kang uwis kalakon?" "Inggih tigang Ruwah ing lamine." "E e teka lawase tan sipi." Ni Rara turnya ris: "Sampun adatipun.

111. Boten kenging yen dereng wus suci, tur kula sayektos, nganti tan nganti tigang Ruwahe." "Ya wis sokur kalamun kadyeki." sarwi wangsul amring, pasareyanipun.

112. Nimbali dyah kinen ngisik-isik, sarwi mujung kampoh, Ki Tumenggung apan lajeng sare, ya ta Pranacitra kang winarni, sangsaya wiyadi, kadya mas tumimbal.

 

 

 

 

 

 

X

PAPANGGIHANIPUN RARA MENDUT KALIYAN

PRANAClTRA ING WANCI DALU

MASKUMAMBANG

I. Titi sonya lirnya wayah sirep janmi, ya ta Pranacitra, wungu denira aguling, mulat marang kancanira.

2. Gedhe cilik kabeh tan ana ngulisik, myang punakawanya, Blendhung Jagung lir wong mati, sami ngorok asengguran.

3. Mudhar kampuh dandan babasahan malih, ingapti trapira, cancutan kodhok sinebit, ngongkong saking pawentisan.

4. Sanginggiling jengku sacengkang tri nyari, paseronganira, miwir anggubah kawingkis, tan ngalengkin gedhedhernya.

5. Kepuh tumpang amuwer wiron anggribig, pangasih landhungan, angayuapu mara pit, bubuntaring pasingsetan.

6. Wiru medhok lir laring walang waleri, penangga taliban, turut amepet malirid, angentheng neng palambungan.

7. Pasendhalan mungser ambokong cemuris, tepung pawingkingan, mancut adu mancung mathis, kunca landhung telung asta.

8. Medhok kadya wuluning walang waleri, pan angumbar kunca, wiwiron water tap tipis, kinawengaken curiga.

9. Pranacitra sawusira busana di, tanpa wida sumpang, angunandika ing galih: Paran misih durung nendra.

10. Apan ingsun ubaya madyaning latri, mirahe pun kakang, akarya brangta wiyadi, biyadaning Wiragunan.

11. Lagya pulang liring durung pulang gati, ujaring tegesan, Ian conthong amituturi: tan liya panedhanira.

12. Tuwin parikane datan angowahi, neng conthong tegesan, padha muni pager bumi, dening kothaking palastra.

l3. Luwang siji wong Ioro kang ngleboni." Ya ta Pranacitra, ngadeg mengakaken kori, anjejer madyaning latar.

14. Sidhem kayon tan ana walang asisik, kang tunggu pandhapa, wus samya turu kapati, angglasah kadya tinuba.

15. Wus pitaya tan ana janma kang tangi, nulya Pranacitra, tumindak lampahira ris, amalipir pager bata.

16. Dalah gamel ing gedhogan samya guling, jaran si Jemunak, titihanira Jeng Kyai, watangan myang palurugan.

17. Muni ambengingeh gereng-gereng ririh, yen bisa angucap, yen janma amituturi: "Adhuh sira Pranacitra.

18. Sira iku ayun anyidra ing resmi, iku tan prayoga, ngrusak pager ayu yekti, amejang sih ing bandara.

l9. Nora becik temah kang sira lakoni, tan wurung cilaka, wong kalap sira labuhi, haywa kadarung tyasira."

20. Pranacitra duk myarsa swaraning wajik, kumesar tyasira, karasa sasmiteng wajik, angunandika ing driya.

21. "Ya grahita kang mangkono iku becik, nanging kapriye ta, wus nedya nuhoni jangji, eman cidra ing ubaya.

22. Si tegesan ujare awanti-wanti, myang conthong tan beda, iya parikanireki, wali-wali datan owah.

23. Eman-eman wong ayu yen den cidrani." Sira Pranacitra, laju lampahira ririh, prapteng tritis gandhok wetan.

24. Pranacitra mrepeki anethek kori, ririh datan kendhat, Ni Rara kagyat ing galih wus dinuga ing wardaya.

25. Lamun Pranacitra gya sinapa aris: "Sinten ingkang prapta, dalu-dalu minta kori, dudu wayahe wong sanja."

26. Pranacitra duk myarsa swara cermengkling, kumenyut tyasira, kadya tan kalingan dening, inebing kori kancingan.

27. Lir satmata wantah kaeksi neng ngarsi, lumeketing angga, pangrasanira ing galih, mangkana Ki Pranacitra.

28. Anauri nanduki Prana ngling ririh: "Kang warga piluta, andaut driya mamrih sih, wruh sabda tan wruh ing rupa.

29. Haywa tambuh iya Pranacitra mami, ing Batakencengan, kadya tan ana kakalih, amara sandi ubaya."

30. Rara Mendut kumepyur sarwi nauri, samudaneng sabda, papanggil sangkribing estri: "E si jenat dikeramat.

31. Lae-lae sampun andika mariki, kalamun ameksa, kula jeritaken yekti, temahan dadya keburan.

32. Konangan mring Ki Tumenggung dika mati." Sira Pranacitra, mesem anauri aris: "Yatalah nora kayaa.

33. Ngong labuhi adoh elok sun parani, tan etung petengan, hernawa jro sun langeni, ing Kali Gajah Wong bena.

34. Labet saking tresna mring dhewekireki, ing mangkya wus prapta, neng kene den pitambuhi, Pranacitra dimejana.

35. Mring wong wadon mesema bae wak mami, ana ing Kauman, tan kongsi mindhoni pasthi, oleh prawan pirang-pirang.

36. Kumarutug ting taremplok padha kinthil, kang padha kedanan, gumrudug ngunggah-unggahi, anggulasah tanpa sela.

37. Wong atresna kapati tan den langgati, iya wus ngong lunga." Ni Rara mengak-ken kori, Pranacitra kampuhira.

38. Binondhetan mring Rara Mendut ing Pathi, sarwi angrerepa, wuwusira awor tangis: "Dhuh dhuh kakang Pranacitra.

39. Lah suwawi malbeng pagedhongan mami, ing tilam pamrikan, sun cacadhang burat wangi, sun sumpingi surengpatya.

40. Nora kena wong gogorohan sathithik, endang arsa lunga, sumakehan kang asigit, linulutan ing para dyah.

41. Bok karsaa nampar wong kang kawlas asih, kakang Pranacitra, tarak brata ngong rewangi, datan dhahar datan nendra.

42. Apa ukur-ukur tresnengsun dinalih, baya wus begjeng wang, asih nora den timbangi, leheng sun matia ngendhat."

43. Pranacitra angandika rum amanis: "Mirahe pun kakang, wong cethi-cethi cuwiri, wong ayu tanpa sasana."

44. Dyan pinondhong binekta mring jinem wangi, sinrenggara raras, lir bramara nguswa sari, linungguhken madyeng tilam.

45. Nimbok Rara Mendut malap burat wangi, Ian samping puspita, gugubahan surengpati, Pranacitra binuratan.

46. Pranacitra tuhu bagus anjalenthir, kadi lempung karas, Nibok Rara Mendut kadi, sang Dewi Kumudaningrat.

47. Tan winuwus Iangen jroning tilam sari, wus sami kapraptan, kang dados raosing galih, wangwang sami lelenggahan.

48. Nibok Rara anaosaken sasaji, dhadhaharanira, wowohan kang adi-adi, dhuku manggis Iawan duryan.

49. Pelem jambu jirak nangka Ian kuweni, myang olah-olahan, gugurihan miwah manis, andher sumaos ing ngarsa.

50. Nibok Rara Mendut alon ngacarani: "Lah sumangga kakang, dika dhahar nyanyamikan, kang manis-manis segeran."

51. Pranacitra ngalap nyanyamikan nuli, ing sasenengira, ya ta kalihira sami, nutug sakarsaning driya.

52. Duk samana wus kalalu lingsir wengi, Pranacitra yatna, yen wus sedhengira mijil, alon denira manabda.

53. "Yen sembada wong ayu ngong pamit mijil, lamun kabangunan, enjang kawruhan ing janmi, temahan manggih tan yogya.

54. Mengko bengi bae ingsun bali malih, nutugaken karsa, wayah sore ingsun prapti, wengine sira sun gawa.

55. Lunga rangkat kang adoh marang pasisir, anyabrang ngasingan, mring Johor yen ora Ngacih, pasthi mangsa kapangguha."

56. Rara Mendut asendhat denya nauri, saking cuwanira "Inggih kakang den amasthi, ambekta rangkat maring wang."

57. Pranacitra nauri: "Ywa susah yayi, yekti ingsun gawa, pan wus sedya ngong langeni." Sarwi dandan kampuhira.

58. Sareng denya abusana wong kakalih, kamantyan ing warna, kakung tumingal ing estri, rangu-rangu anilara.

59. Rara Mendut non mring Pranacitra kadi, kadi ngukuhana, kalangkung awrat ing galih, ngrungkeb neng tilam kewala.

60. Pranacitra alun denira apamit: "Yayi lilanana, manira arsa umijil." Bok Rara "Inggih" saurnya.

61. Arsa mangkat Pranacitra den bondheti, gya wangsul angaras, dangu denya bola-bali, kongsi meh kaluruk sata.

 

XI

SIYANGIPUN SASAMPUNIPUN PAPANGGIHAN

ING WANCI DALU

 

PANGKUR

I. Nulya wau Pranacitra, alon denya amengakaken kori, gya mijil sing gedhongipun, ing tilam gandhek wetan, pan meh bae karainan denya metu, marang ing panggonanira, gedhong sawetan pandhapi.

2. Kancanira punakawan, kabeneran durung ana kang tangi, mung wong roro Blendhung Jagung, kagyat lurahe prapta, mojar. "Wau saking pundi dika bagus?" Pranacitra aris nabda: "Aku mentas anemoni.

3. Rara Mendut gandhok wetan." "Inggih wau punapa kongsi panggih?" Nauri "lya katemu, ning ywa dadak tatanya, haywa lunga tunggunen sun arep turu. Nulya mujung kampuhira, supaya katona guling.

4. Angganya rapuh kaleswan, tanpa karkat bayu lir den lolosi, kasaut dahat geng wuyung, lir kena sampirena, datan nendra kewala pan namung mujung, ingkang kacipteng wardaya, mung Ni Rara Mendut Pathi.

5. Ya ta wus raina enjang, punakawan sadaya wus atangi, nyapu palataranipun, myang raresik padhapa, nuju ari Respati paseban agung, Ki Tumenggung Wiraguna, dandan pan arsa anangkil.

6. Prestri medalken ampilan, wus tinampan marang kang juru ngampil, tuwin para kulanipun, wus pepak sami seba, miwah putra wandawa pepak ing ngayun, andher munggeng palataran, kang badhe andherek sami.

7. Ki Tumenggung Wiraguna, nulya mijil lenggah rawa pandhapi, wibawa saengga ratu, siniweng wadya bala, lir kaneka Ki Tumenggung paminipun, nimbali mas patih sira, Ngabei Prawirasekti.

8. Andhadhap majeng mring ngarsa, prapta nembah aneng tritis pandhapi, Ki Tumenggung ngandika rum: "Ki patih karsaning wang, bocah anyar si Pranacitra karsengsun, parabote ngong kekembar, lawan si Jaka Pangasih.

9. Gajege tunggal wangunya, Pranacitra lawan Jaka Pangasih, dumancung padha dumancung, anom tuwane padha, ingsun karya kekembang aneng marga gung, iya layake prayoga." Mas patih umatur aris.

10. "Abdi dalem Pranacitra, Ian putranta Bagus Jaka Pangasih, inggih sami bagusipun, tuwin wiraganira, inggih sami amung kedhik kaotipun, pun Pranacitra pideksa, antar Gus Jaka Pangasih.

11. Yen sampuna kaot antar, inggih tidha kalintu kang mastani." "Lah iya bener sireku, ing mengko apa seba? Si Pangasih timbalana den agupuh, Sandika ingkang liningan, datan dangu nulya prapti.

12. Jaka Pangasih punika, putranira Tumenggung Wiramantri, nanging wus pinundhut sunu, marang Ki Wiraguna, sampun kadya gyanira yoga satuhu, Ki Tumenggung aris nabda: “Kulup ki Jaka Pangasih.

13. Kadingaren kulup sira, telung dina datan ana kaeksi, marang ngendi sira kulup?" Kang putra matur nembah: "Datan kesah kawula pan saweg ngelu." "Sira sun tuduhi bocah, anyar ngawula mring mami.

14. Sun pundhuhken lawan sira, kakadangen sira ywa walang ati, apa sira durung weruh?" Matur: "Dereng uninga." Ki Tumenggung nuding panakawanipun, "Timbalana Pranacitra.” Sandika ingkang tinuding.

15. Prapta gyaning Pranacitra: "Dhuh ki lurah andika den timbali, marang Jeng Kyai Tumenggung, lenggah mungging pandhapa." Pranacitra lungguh maksih kemul kampuh, sumaur sarwi ngrerepa: "Dika matur mring Jeng Kyai.

16. Kula datan saged sowan, mring ngajengan miwah andherek nangkil, ngong pamit sakit angelu, sanget sayah alesah, benjing malih kula dherek Ki Tumenggung, mangkya nuwun pangaksama, pamit sapisan puniki.

17. Masa borong atur dika, mring Jeng Kyai kula dika alingi." Kancanira sampun saguh, ngrasa wus kalebonan. "Inggih sampun ki lurah sumelang kalbu, apan sampun wonten kula, " Sigra matur ing Jeng Kyai.

18. Pamitira Pranacitra, sakit ngelu sarta rumat panas tis, sirahe tan saged lungguh, badan tan saged kesah, myang tan saged ebah kuping irungipun. Ki Tumenggung ngungun myarsa, apa denya mendem wingi.

19. "Wong arsa ingsun kekembar, iya lawan Bagus Jaka Pangasih, karya sekaring marga gung, dumadak pamit lara, pundhutena pilis lawan parem rapuh, mring bocah juru racikan, mesakake anyar prapti."

20. Sandika kang dhinawuhan, wus pinaring parem kalawan pilis, ya ta wau Ki Tumenggung, jumeneng nulya tedhak, ginarebeg pra kulanya ngarsa pungkur, asri upacaranira, ing ngarsa kang ngampil-ampil.

.21. Ing marga datan winarna, ya ta Pranacitra kang api sakit, sadaya kancanireku, pan sami dherek seba, amung kari si Gober Iawan si Celus, Pranacitra aris nabda: "Dhi Gober lamun marengi.

22. Dika manira resaya, inggih marang gandhok wetan samangkin, matura mring Rara Mendut, anuwuna tatamba, lara uyang mangsa borong jampinipun, jampine wus aneng kana, andika kari marani."

23. Gober matur: "Gih ki lurah." Nulya mangkat mring gandhok wetan panggih, kalawan Ni Rara Mendut, mojar: "Kula dinuta, mring ki lurah Pranacitra kinen nyuwun, jampinipun sakit uyang, turene wus aneng ngriki.

24. Kinen nyuwun sapunika." Rara Mendut mesem garjiteng ngati: "Adhuh lae wong abagus, waskitha nuju karsa, datan beda dheweke kalawan ingsun." Ni Rara mesem ngandika: "Ngong puniki uga sakit.

25. Laraku lara parungsang, priyang-priyang kang ati Poyang-paying, ngong jaluk tamba ngalayung, marang ing lurahira, uga uwis aneng kana jampinipun." Gober tan wruh ing sasmita, apan amung inggah-inggih.

26. Rara Mendut mring pamrikan, karya ganda wida myang ganten wangi, mengkol lan semprit anglayung, madyeng conthong sinerat, lan dhaharan kang adi sadhulang munjung, tinup saji kakarangan, sinungken mring Gober nuli.

27. ''Gober iki aturena, mring lurahmu denya mundhut jajampi, pan wis aneng conthong suruh, tambane lurahira." Matur "Inggih" gya tinampan pawehipun, umangkat manggul dhadhulang, tan dangu prapta gyanekL

28. Gya matur ing lurahira: "Kula sampun kinon anuwun jampi, pan sakathah-kathahipun, wus mungging tarecet bang, lawan aneng ing dhulang sadayanipun, " Pranacitra duk tumingal, mesem sarwi anampeni.

29. Ganten wangi neng trecet bang, ingudharan kongas gandanya wangi, conthongira ganten arum, amung patang kenyehan, suruh semprit rinacik mengkos angrayung, ing conthong tinulis raras, cinandhak sinuksmeng galih.

30. "Wusing pangabekti amba, myosipun lamun parenging galih, paduka mring regol ngayun, tan sompok papanggihan, Ian kawula mamrih sangkribing asinglu, supadya ywa kawanguran, inggih marang liyan janmi.

31. Kakang Bagus Pranacitra, pager bumi de kothaking wong mati, luwang sawiji ywa wurung, linebon lawan kula." Titi tamat wus prapteng parikanipun, Pranacitra mesem mojar: "Gober ngong arsa mring kori.

32. Sira karia kewala, manira yun manggihi kadang mami, sadhela anuli wangsul," "Lah inggih karsandika." "Payo Blendhung Jagung aterna mring pintu." Kang liningan tur sandika, sigra mangkat marang jawi.

33. Wus prapta ing paregolan, ya ta wau Ni Rara Mendut Pathi, angrasuk busana luhung, angling mring kancanira: "Bakyu Podhi pan kawula arsa metu, sung jampi mring Pranacitra, sampun dika corah janmi.

34. Kula sung arta rong reyal, wang pasumpel sampun dika baribin." Kang liningan aris muwus: "Inggih sakarsa dika. Inggih nanging dika sampun dangu-dangu, punika pan sampun siyang, yen selak rawuh Jeng Kyai.

35. Sayakti mangko konangan, datan wande dika kang manggih bilahi, saiba Kyai Tumenggung." Ni Rara Mendut sigra, lajeng medal prapteng kori apapangguh, kalawan Gus Pranacitra, sepi datan ana jalmi.

36. Pareng denira tumingal, pyuh ing driya wulangunira sami, Ni Rara mangrangkul gapyuk, gulet eyang-eyungan, Rara Mendut mesem denira amuwus: "Kakang Bagus Pranacitra, turene andika sakit.

37. Pan inggih sakit punapa?" Pranacitra mesem denya nauri: "Kula yayi sakit esur, sur monten pundi witnya, inggih saking awit kencet kencengipun, mrambat mring cingklok kencengnya, otot gung samya ngencengi."

38. "Yen nuju angot sur dika, ingkang dipun damel jampi punapi? Apan inggih adatipun, jampine ati podhang. Ngong tan bisa amet podhang lir wong jalu." "Gih lamun tan wonten podhang, ati kucing mawon kenging.

39. Butuhan kinarya tamba." Ni Rara ngling: "Punapa angger kucing?" "Pan inggih kalamun antuk, ingkang Iorek ireng bang, daler putih terus bundhel buntutipun, gih puniku candramawa, mawa ingkang ngingu kucing."

40. "Kang ngingu priyayi napa?" "Inggih dede rangga demang ngabei, ingkang ngingu Ki Tumenggung, tan kena singa wonga, saking Pathi kucinge ran Rara Mendut, anggalibed neng ngarseng wang." Ni Rara anjiwit ririh.

41. "E si jenat dikeramat, bisa temen karya wangsalan angling." Pranacitra aris muwus: "Ni Rara ngong ngresaya, pijetana awaku kalangkung ripuh, inggih sakedhap kewala, demene lemes sathithik.

42. Wit badan kliwat kakunya, raosipun kadya dipun gebugi, " Rara Mendut mesem muwus: "Dhuh kakang Pranacitra, wonten ngriki pan inggih kathah wong langkung, tan wande kawruhan tiyang, wawi mring wismanireki.

43. Lurah panandhon kewala, sampun siyang lamun kondur Jeng Kyai, tan wande dados sapikul, dika kalawan kula." Pranacitra ngling: "Inggih daweg wong ayu, marang panandhon kewala, nging tan saged ngadeg mami.

44. Dika junjung badan kula." Nulya ngadeg gapyuk rangkulan sami, sareng denira Iumaku, sarwi kakanthen asta, sampun prapta ing wismane lurah nandhu. Rara Mendut nembung basa: "Mas lurah lamun marengi.

45. Ngong kendel ing griya dika, sakedhap arsa angusadani, Ki Bagus Pranacitreku, wit sakit awakira." lurah nandhu nauri: "O boten niku, kalangkung ajrih kawula, tan wande ambilaheni.

46. Angilangken kalungguhan, inggih dados punapa awak mami, dene pabenan puniku, sampun mring griya kula, dika golek panggonan ing liyanipun." Pranacitra aris mojar: "Sakedhap kemawon kyai.

47. Manira arsa tatamba, datan suwe sung jampi ing ngasakit, "sumaur: "Ah boten Bagus, sanget ajrih kawula, yen konangan marang Jeng Kyai Tumenggung, tan wande jinarah rayah, amejahi mring wak mami."

48. Pranacitra aris mojar: "lah punika kyai kula ngaturi, yatra patumbasing kampuh, pan kawan reyal wetah, kula reren griya dika datan dangu." Lurah panandhon agepah, anampani sarwi angling.

49. "Dhuh inggih sakarsa dika, ajajampi wonten ing wisma ngriki, ngong tan malangi sakayun, lajenga mring jro wisma, kula aneng ing jawi kemawon tunggu." Lega tyase Pranacitra, lan Ni Rara Mendut nuli.

50. Sareng malebet ing wisma, manjing senthong sareng tiyang kakalih, nelasken sakayunipun, tan wruh ing isin wirang, tan kelingan pringga bayanireng laku, wus kalap mring kaluputan, katarik dhinadhung eblis.

51. Lali marang kira-kira, Pranacitra Ian Rara Mendut Pathi, lagya nutugaken kayun, kasaru rawuhira, Ki Tumenggung gumredeg sawadyanipun, jajaran mara atata, punakawan kang angampil.

52. Prapteng paregolanira, Ki Tumenggung tumurun saking wajik, lajeng malbeng dalem agung, ingkang bekta ampilan, sami masrahaken upacaranipun, kanca ampilan-ampilan, parestri sami nampeni.

53. Ki Tumenggung Wiraguna, kusung-kusung pangandikanireki, "Mendut kopyahku kiye Dut, krisku Dut wedhungku ya, Dut kacuku Dut sabuk-ku Dut dodotku, Dut sruwalku Dut culana, Dut ngong jaluk salin nyamping.

54. Jaluk ngornbe Dut den enggal, banyu kendhi Dut ing beker kang putih, Dut raupana aku Dut, tanganku Dut suhana, dene suwe Dut sira lagi apa Dut, gage Dut gage Dut sira, Dut selak weruh sireki.

55. Parestri samya kewuhan, ting calinguk sadaya samya ajrih, Ki Tumenggung ngandika sru, "Thung si Mendut enggalna." Nyai Centhung gelagepan aturipun: ''Kala wau sanjang medal, inggih arsa anjampeni.

56. Marang lurah panakawan, Pranacitra sanget denira sakit, ing samangke dereng wangsul, duka dalem unggyanya, yen ing gandhok wetan tan wonten kadulu, manawi sanes panggenan, kawula datan udani."

57. Ki Tumenggung Wiraguna, duk miyarsa aturing para nyai, angatirah netranipun, pasuryan lir sinecang, mencep-mencep kang lathi, kejot kumedut, lir sinebit talinganya, mawinga-winga mawengis.

58. Sru sengak denya ngandika, beca-becu ting klepyur iduneki, suraweyan astanipun, getem-getem angonta: “Hih mangkono asu Mendut edan taun, wong keparat kena sibat, nora patut den uripi.

59. Kadekna nampik maring wang, aken-akeh semaya awat lagi, mapag tanggal anu-anu, ana kang kinarepan, nyata bagus Pranacitra karo aku, mulane sun ajak seba, piapi ngelu si anjing.

60. Datan idhep kabecikan, denya kari ana kang dikarepi." Gya nimbali patihipun, andangu prapteng ngarsa, Ki Tumenggung pangandikanira asru: "Golekana Pranacitra, lan si asu Mendut Pathi.

61. Kono ubresen sadaya, wong sa-Wiragunan konen goleki, endi enggono katemu, cekelen karo pisan, iya padha bandanen aturna mring sun, yen budi sembadanana, patenana ywa uripi."

62. Mas patih rnatur sandika, kancanira kang mentas dherek maksih, pepak durung ana mundur, wus sami dhinawuhan, pareng tandang opyak sadaya anggrugut, paling baleber solahnya, keh wisma den galedhahi.

63. Jro kelir jaban keliran, pan sadaya sami den galedhahi, ling baleber ling garubyug, prajurit ingkang tenggak, apan samya tumandang sakancanipun, omah gedhe cilik samya, tiniti den balengkrahi.

64. "Lah kanca-kanca sadaya, aja ana welas daging dinaging, tan wurung melu dosa gung, ywa aling-ingalingan." "Inggih boten adhi kula boten weruh, den galedhaha sumangga, kula tan uning sayekti."

65. Gumuruh ingkang ngupaya, "Mara kono-kono umpetan ngendi, Pranacitra Rara Mendut, dhuh aja kongsi gagal, jaban regol ing panandhon yen neng ngriku." Sigra abdi punakawan, mring panandhon angulati.

66. Gumeder sami tatanya: "Ngriki napa wonten Pranacitreki? Kalawan Ni Rara Mendut? Lo sapa kang kanggonan, aja ana kumbi tumulia ngaku." Nauri: "Boten uninga, kula boten boten uning."

67. Ana kang tutur uninga: "Jege mawon mriku mring gyanireki, lurah nandhon angslupipun." Nulya pra punakawan, asru tanya marang sira lurah nandhu: "Ngriku wonten Pranacitra?" Nauri, "Tan wonten ngriki."

68. Punakawan asru ngucap: "Arsa goroh dika niku kiyai, pasthi bilahi sireku, ngalingi wong bedhangan, panakawan Ian selire Ki Tumenggung, payo padha digaledhah, kancing kori den tatasi."

69. Lawange sinendhal bubrah, Pranacitra Ian Rara Mendut duk keksi, giyak pra sami amuwus: "Hah ana Pranacitra, nyata bener ana lawan Rara Mendut, dika cegati ing nglawang, kula trajange pribadi."

70. Dhogol sigra narik pedhang, karsanira arsa pinedhang wani, Jibus ngalangi ing ngayun, ngling: "Mangke mangke ta, dika napa tan ngrasa kadanan iku, kadarmane Pranacitra, sadaya dipun beciki."

71. Dhogol kapagol tyasira: "Yen makaten inggih kadi punendi, yen rembug kula puniku, Pranacitra ginusah, dimen lujeng males kabecikanipun." Nulya sami pinaranan, sarwi tinuturan ririh.

72. "Pranacitra dika lunga, dukanipun Jeng Kyai anglangkungi, Ki Tumenggung dhawuhipun, pundi gene kacandhak, kinen nyepeng bandan katur ing Tumenggung, yen bangga kinen nguwisna, marma andika lungani.

73. Punika kanca sadaya, ting bathithit kang sami angulati, den age dika lumayu, dene yen dika tresna, mring bok Rara Mendut sarnpun walang kalbu, ing mangke dalu kewaJa, dika bali mriki malih.

74. Kula ingkang asung marga, pojok bata kidul wetan puniki." Pranacitra srep tyasipun, sami aris wacana, "Inggih adhi mangke dalu kula wangsul, yen wonten bence lan tekak, atawa tuwu kokolik.

75. Den rikat dika weh andha, Dhogol Jibus sami anaguhi, Pranacitra kesah gupuh, amiyak gedhegira, pan ambolos wong telu lan Blendhung Jagung, sakadar maksih rinaksa, wong kang ngepung tan udani.

76. Punakawan samya opyak, alok ngetan ana ngulon lumaris, alok ngalor weneh ngidul, samya tinut ing kathah, sru gumuruh tanpa rungyan swara seru, ya ta wau nibok Rara, lir pinucung tyasireki.

 

XII

RARA MENDUT DIPUN P ALA KY AI TUMENGGUNG

 

PUCUNG

I. Rara mendut kalangkung ngungun ing kalbu, tinilar ing priya, Pranacitra angoncati, ngunandika Ni Rara sajroning driya.

2. "Kakang bagus teka tinggal colong playu, tan enget roaring wang, ujare tresna mring mami, ya pagene ragengsun nora ginawa."

3. Rara Mendut minggu sarwi kumembeng luh, ketang Pranacitra, punakawan samya angling: "Lah suwawi kula dherek-ken bok rara.

4. Marang ngayun kula turken Ki Tumenggung, pinupus kewala, sadasa-dasa dos pundi, saweg bejanipun linakon kewala.

5. Dene wau raka dika sanggupipun, mangke dalu prapta, panggihan lan dika malih, binetah-betahken tan panggih sadina.

6. Sampun dangu suwawi marek ing ngayun." Ni Rara tan pojar, gya lumampah tinut wuri, panakawan sekawan ingkang lumampah.

7. Dhogol Jibus lumaku andhesek sikut, kathah solahira, ting salengkrah amberagi, tur ta iku tan rinewes mring Ni Rara.

8. Malah rengu Ni Rara Mendut sru muwus: "Haywa na sembrana, maring ngong mengko wak mami, inggih wangsul aneng ing ngriki kewala.

9. Datan purun mring ngarsane Ki Tumenggung, nadyan pinejahan, inggih kawula lampahi, sampun dumeh kula saweg nemu papa."

10. Lon sumaur: "Apunten dika bokayu, sampun age duka, inggih kawula kang sisip, sakeh lepat inggih nyuwun pangapura."

11. Ya ta laju Rara Mendut lampahipun, kerid punakawan, wong akeh samya ngaruhi: "He he ika Ni Rara Mendut kapanggya.

12. Dene amung Rara Mendut kang katemu, aselen kewala, lanangane ana ngendi, ila kae jarene mau wis lunga.

13. Kang binuru nora kacandhak lumayu, sida babal ilang, ingubres datan kapanggih." Ana para nyai liwat kadumelan.

14. "Nora patut wong Kawiragunan iku, eman jeneng lanang, ting patenteng nganggo keris, tanpa gawe godheg wok abrengos capang.

15. Ambuburu wong siji thil bae luput, cabar tan sembada, gagahe ngepung gendhuri, yen jajawat tan kena wadon kumlebat."

16. Sru sumaur: "Iku sapa kang calathu, angger bisa ngucap, nguwus-uwus ngisin-isin, yan bacutna nek ora sun kuya-kuya."

17. "Meneng wuwus iya mung iku wanimu, nora isin padha, kinawulak-ken Jeng Kyai, ana mungsuh akeh maneh yen bojosa."

18. Samya guyu guyune rumangseng kalbu, marenges akemba, ya ta Rara Mendut Pathi, prapteng kori kendel wirang myat ing janma.

19. Kang tinuduh punakawan gupuh matur, mring Ki Wiraguna: "Kawula sampun tinuding, angulati Rara Mendut Pranacitra.

20. Mangke sampun kapanggih neng wismanipun, lurah nandhon gyanya, naming pun Pranacitreki, sampun minggat tinututan tan kacandhak.

21. Kang kacepeng pan amung Ni Rara Mendut, lungguh tanpa rewang, Iagya kendel aneng kori." Ki Tumenggung Wiraguna angandika.

22. "Lah gawanen mring ngarsa si Rara Mendut." Gupuh kang liningan, Ni Rara kinen mangarsi, gya mangayun kadya tan bisa lumampah.

23. Prapteng ngayun tyasira lir tanpa dulu, katingal ing kathah, tumungkul denira linggih, Ki Tumenggung duk rniyat marang Ni Rara.

24. Langkung bendu ngunggut kadya ''inaringut, tanpa sameng duka, lir legi raosing getih, Ki Tumenggung sedya anekakken duka.

25. Saking murubing tyas dening Rara Mendut, riwut tanpa ngucap, sigra anyandhak cemethi, pan ingikal-ikal kumitir neng asta.

26. Gya pinupuh asru nibok Rara Mendut, tan bisa sasambat, sinabetan wanti-wanti, pedhot alisira anjungkel Ni Rara.

27. Pet sumaput tan emut papanonipun, aniba kantaka, kalosodan kuthah siti, angganira erem angemu rudira.

28. Rara Mendut magep-magep senggruk-senggruk, tangise tilepan, tan sambat srunireng sakit, Ki Tumenggung tan kendhat denya milara.

29. Rara Mendut sasambat sajroning kalbu: "Kakang Pranacitra, tumuli rebuten mami, kaya paran andika cidra ubaya.

30. Yen satuhu nora tresna mring wakingsun, sokur ngong matia, saking tibaning gigitik, lamun asih kakang pulungen wak ingwang.

31. Pager lempung dening kothaking wong lampus, luwang siji kakang, wong loro ingkang ngleboni, donya ngakir haywa pisah lan andika."

32. Rara Mendut langkung denya kawlas ayun, asanget pinata, marang ing Kangjeng Kiyai, Nyai Ajeng kalangkung welas tumingal.

33. Arawat luh ketang tepaning tumuwuh, Nyai Ajeng nulya, amengkul lambung mrih lilih, rerembeyan sarwi matur kathah-kathah.

34. "Adhuh sampun sampun Jeng Kyai Tumenggung, anelasken duka, pinten kuwating pawastri, kinen anadhahi rekasarting priya?"

35. Sarwi niyung-niyung pangastaning tembung, Nyi Ajeng krep kampat, pan kasabet ing cemethi, kenging pupu kempolira tan rinasa.

36. Pama ranu binuncang rurumbutipun, sangkrah lalarahan, sinimpar marang ing tepi, sakathahing suker wangsul ingusapan.

37. "Paduka wus kasebut bupati agung, gegedhuging praja, sinten kang kadya Jeng Kyai, pan kawasa angapura ing ngadosa.

38. Layanipun ingkang dosa mring sang ratu, yekti lamun bisa, mengku wewengkon pribadi, karya ala ayu myang papa waluya.

39. Pan pun Mendut tiyang punapa puniku, sudra ina papa, kapati-pati pinurih, kados kirang tiyang estri tinakekna.

40. Kang yu-ayu anglangkungi Rara Mendut, paduka kuwasa, angupaya kang prayogi, tur utama boten gempil kawibawan.

41. Tiyang sampun kalampahan dipun ukum, pan satengah pejah, denya nglabuhi doseki, owel duka lir kirang kang dinukanan.

42. Datan ciyut nagarinipun sang ratu, inggih taksih wiyar, sampun kalempit Jeng Kyai, datan pantes andhedhepa mring wong nistha."

43. Ki Tumenggung lilih dukane rinapu, sarwi ginoyotan, ing garwa wentisireki, kathah-kathah denya nenggalangi duka.

44. Ki Tumenggung Wiraguna ngandika sru: "Bocah punakawan, gereden si asu iki, lebokena ing gedhong ywa wehi pangan.

45. Dimen lampus aneng jro gegedhong iku, angur ya modara, pisan haywa katon urip." Sigra punakawan ngundurken bok rara.

46. Saking ngayun linebetken gedhong gupuh, kinunci korinya, ya ta wau Jeng Kiyai, malbeng dalem acucul busananira.

47. Mundhut santun nyamping dhestar Iawan sabuk, gya lenggah Ian garwa, Ki Tumenggung ngandika ris: "Yen ajaa sira ingkang malangana.

48. Kaya banjur modar sun pupuh si Mendut, dening astaningwang, sun langga getihireki, iya saking panasing tyasingsun mulat."

49. Nyajeng matur: "Kula tan saged andulu, langkung welas mulat, tepa-tepa sami estri, jinemalan ing priya kawelas arsa.

50. Pan katingal pun Mendut memelasipun, denya pinilara, wong lola nandhang bilahi." Ki Tumenggung ngandika:" Ya tambanana.

51. Parem rapuh dhoging pitik ireng mulus, lawan openana, pangane saben ngong bukti, paringana sega loloradaningwang.

52. Yen sireku welas mring si Rara Mendut, ya manira welas, ngapura sadosaneki." Matur: "Inggih kados pundi malihira.

53. Polanipun tiyang lepat pangwuleku, amanggih sangsara, mangsa tobiha kadyeki, pan kawula punika dereng kantenan.

54. Nandhang luput mangsa luputa kadyeku, kathah liring dosa, tan kenging binestu ugi, dosa lara dosa pati pan pinanggya.

55. Wusnya lipur dukane Kyai Tumenggung, ketang asihira, ya marang garwanireki: "Payo Nyai becik padha mamadhangan."

56. Nyai Ajeng anuduh pawonganipun, kinen saos dhahar, sandika ingkang sinung ngling, para selir neng ngarsa tata -rampadan.

57. Wusnya rampung nulya dhahar Ki Tumenggung, kala wan kang garwa, anutug denira bukti, aluwaran ambeng nulya cinarikan.

58. Ki Tumenggung angling: "Lo Nyai si Mendut, wehana lorodan, kon ngapiki lawuhneki; paru bae Ian dhendheng gepuk: bakaran."

59. Nyai Ajeng ngandikeng pawonganipun: "Lah kiye paringna, mring Ni Rara Mendut Pathi, kon ngapiki lagya lara ywa careban."

60. Ki Tumenggung ngandika: "Jaremu mau, mesakake welas, ya marang si Mendut Pathi." Matur: "Inggih sayekti kawula welas."

61. Wusnya gupuh ingundurken ladenipun, linggar denya lenggah, Ki Tumenggung tyasireki, sih karasa wirangronge mring Ni Rara.

 

 

 

Xlll

RARA MENDUT KABEKTA LUMAJENG PRANACITRA

 

WIRANGRONG

I. Tan winarna solahneki ya ta genti winiraos, sira Pranacitra kang lumayu, ningkiri bilahi, kalawan rewangira, Blendhung Jagung datan tebah.

2. Wus pitaya denya ningid, saking kawiragunan adoh, aneng pangindhungan dhodhotipun, lamun den takoni, tan ngaku Wiragunan, ngaku wong ing Pajagalan.

3. Ing wanci surya wus lingsir, Pranacitra ngandika Ion: "Blendung Jagung sira ingsun tuduh, muliha pribadi, marang Batakencengan, manira kari priyangga.

4. Lamun wus prapta sireki, aneng wisma yen si embok, tatanya maring wang Blendhung Jagung, matura yen mami, kari neng Tumenggungan, nging sira aja balaka.

5. Sasolah manira iki, yen dadi susahe simbok, marma alingana wawadiku, lah poma sireki, haywa wengweng ing wekas." Blendhung Jagung aturira.

6. "Inggih sandika wak mami, kinen amulih wong roro, lah punapa kula boten wangsul, gih benjang punapi, gen kula nusul dika, punapa inggih botena."

7. Ki Pranacitra nauri: "Haywa susah sira karo, nadyan tinudinga marang ibu, ywa sira lakoni. Lah wus sira mangkata, yen kadalon aneng marga."

8. Blendhung Jagung gya lumaris, mulih gagancangan wong ro, tan winarneng marga ya ta wau, Pranacitra pamit, maring kang darbe wisma, linilan nulya lumampah.

9. Ing wanci surya wus lingsir, Pranacitra lampahnya Ion, rereh mung nganti surupipun, saking genging brangti, tan lyan ingkang kacipta, mung Ni Mendut Wiragunan.

10. Wus surup remeng ing margi, sineru lampahnya gupoh, prapta Wiragunan ing lulurung, andarung nut margi, ngubengi Wiragunan, kaping tri atepung gelang.

II. Enget semayanireki, kang asung marga ing pojok, bata kidul wetan nulya gupuh, pinaranan prapti, ing pojokan prenahnya, gya amatak sirepira.

12. Sirepe si wewe putih, winatek neng pojok banon, klongkang klangking ana bathang alum, pan ingsun sendheni, sapadha padhaning janma, rep sirep sa-Wiragunan.

13. Sidhem adhem lir wong mati, kabeh padha dhekok ngorok, wus matak japa wancinipun, pan wus lingsir wengi, bence tekak sauran, kolik tuwu sasamberan.

14. Ya ta ganti kang winarni, bok rara kang aneng gedhong, sakalangkung dening kawlas ayun, tan ana lyan keksi, kang sinambat karuna, amung Bagus Pranacitra.

15. "Dhuh kakang Pranacitreki, apa tan asih maring ngong, dene lirwa ing pamuwusipun, tan welas ing mami, yen kakang tulus tega, suka matia wakingwang.

16. Hyawa kongsi manggih urip, yen aweta nandhang wirong, sun tedha sira kakang bagus, nuhonana jangji, ywa cidra ing ubaya, adhuh pager bumi kakang.

17. Dening kothaking wong mati, luwang sawiji wong roro, kang ngleboni kocapa ta wau, dangu denya nangis, punakawan kang tengga, Jibus Dhogol anggrahita.

18. Bence tekak anamberi, enget kalamun wus sagoh, marang Pranacitra gya amuwus: "Payo Dhogol aglis, mring pojok kidul wetan, ing mau ngong saguh andha.

19. Payo pinaran manawi, Pranacitra prapta yektos." Gya ambekta andha tinrap sampun, ingungak kaeksi, sinapa sinauran, andha linungken mring jaba.

20. Pranacitra munggah nuli, mring andha wus prapta ing jro, gya sung arta marang Dhogol Jibus, apan ngawan anggris, nampani sarwi mojar: "Lurah sami kalujengan?"

21. Sumaur: "Gih sami-sami." Dhogol Jibus muwus alon: ''Suwawi ki lurah dika tumut, kula kang angirid, sampun dika sumelang, kalamun taksih manira.''

22. Pranacitra anauri: "Lah inggih sokur dhi karo.'' Nulya lampahira tan adangu, prapta ing gyaneki, Pranacitra ris nabda : "Pundi enggene Ni Rara'?"

23. Dhogol Jibus: angling aris: "Pan inggih wonten ing gedhong, katiwasan Ni Rara ing wau, saungkur dika glis, ni bok Rara pinala, langkung denya kawlas arsa.

24. Kula tan saged ningali, kongsi kalemper aneng gon, sinapih kang garwa Nyai Menggung, yen tan den tulungi, pasthi kalajeng pejah, puniku sesuk wikana.

25. Kintene pinala malih, tan lega yen dereng layon." Sira Pranacitra langkung ngungun, ketang wlas sireki, dangu jejer neng nglatar, bence tekak sasamberan.

26. Myang tutuwu lawan kolik, wong kemit kabeh gugah wong, "Lah padha tangis kanca batur, kaya ana maling, lah ta padha meleka, nulya kendhangan gambangan.

27. Rebaban ana anyuling, ura-ura ting galembor, lah dingaren iki manuk tuwu, bence tekak kolik, patute bae ana, maling sapa kamalingan.

28. Ana kang ngrebab Ian linggih, myang gambangan klang-klong klang-klong, kang nyuling thuthitan ngendhang blang-blung, tan genah kang gendhing, warna-warna lek-lekan, ana ingkang ngura-ura.

29. "Biyadane wong Magiri, heng heng heng heng, " banjur ngorok, myang ngantuk renggotan sarwi lungguh, sendhen saka sami, weneh turu ing lemah, lir tinuba anggalasah.

30. Mangkana Pranacitreki, ngintip sajawining gendhong, katon durung nendra Rara Mendut, sasambat anangis: "E yatalah si kakang, tega temen tilar mring wang.

31. Sun sidhep nuhoni jangji, tan weruh lamun mangkono, benere dupara yen ta lamun, cidraa ing jangji, bok aja gene kakang, welasa wong kawlas arsa."'

32. Pranacitra duk miyarsi, tangise kang aneng gedhong, lir tinatas tyasnya gigal runtuh, langkung ngungun myarsi, mring sambate Ni Rara, Pranacitra awecana.

33. "Adhuh angger mirah mami, wong ayu kang asih mring ngong, haywa susah-susah sira masku, pasthi ngong labuhi." Sarwi anethek lawang, cep meneng denya karuna.

34. Kapyarsa sajroning tangis, lamat-lamat swaraning wong, anambrama sarwi dhodhog pintu, gya sinapa aris: "Sapa wonge ing jaba, wengi-wengi minta lawang.

35. Baya ta utusaneki, Ki Tumenggung apa kinon, mateni maring wang iya sukur, ngur nulia mati, dhasar sun ajap-ajap, ya untape patining wang."

36. Pranacitra anauri: "Haywa tambuh mirahing ngong, ingsun Pranacitra kang satuhu, anuhoni jangji, tan cidra ing ubaya, bocah ing Batakencengan."

37. Rara Mendut duk miyarsi, tan samar swaranya yektos, lamun Pranacitra ingkang rawuh, byar tyasira kadi, kasatan manggih toya, asreping wardayanira.

38. Gupuh denya anauri: "Jawane iku pak Bodong, kang tinggal gelanggang colong playu, nora tolih wuri, si jenat dikeramat, adhuh pager bumi kakang.

39. Dene kothake wong mati, luwang sawiji wong loro, kang ngleboni kakang, " Ion sumaur, Ki Pranacitreki: "Emane jeneng lanang, lamun cidra ing ubaya."

40. Rara Mendut matur aris: "Kados pundi denya panggoh, aneng jro Ian bapa pasthi rikuh, korinya kinunci." Pranacitra saurnya: "Haywa kuwatir tyasira.

41. Manira ingkang mengani, ambuka lawanging gedhong." Gya matek Iamporan katrima wus, gegreg punang kunci, gya manjing Pranacitra, gapyuk angrangkul Ni Rara.

42. Ingarasan wanti-wanti: "Adhuh gusti mirahing ngong." Ni Rara karuna sarwi matur: "Kakang ywa ngekepi, langkung sakit waking wang, inggih labeting pinala.

43. Tan saged ngadeg wak mami, sadaya rapoh pinupoh, kados pundi kakang karsanipun, kawula ing mangkin?" Pranacitra ris nabda: "Ya mirah sira sun gawa.

44. Sun tambani sira yayi, supaya ywa sanget rapoh." Ni Rara arising aturipun: "Sumangga," anuli, gya ingelus minantran, dinamu sariranira.

45. Karaos saras sing sakit, meh ilang rasaning rapoh, lir nulya sakala mesem matur: "Wus tan kraos sakit." "Ya sokur mirahing wang, " pan sarwi ingarasan.

46. Pranacitra angling aris: "La wus payo yayi gupoh, ingsun gawa lunga mumpung dalu." Ni Rara turnya ris: "Inggih suwawi kakang, kawula sumanggeng karsa." ·

47. Anulya binekta mijil, punakawan Jibus Dhogol, anrapaken andha sarwi muwus: "Lah sampun den aglis, Dherek-ken lujeng marga." Pranacitra saurira.

48. "Kalangkung tarima mami, inggih mring pun adhi karo." Wusnya papamitan nulya laju, munggah andha aglis, tumurun prapteng jaba, Pranacitra undurira.

 

XJV

ING KAWIRAGUNAN OPYAK KAPANDUNGAN

KYAI TUMENGGUNG NYEBAR TIYANG

DURMA

I. Asusumbar sira Bagus Pranacitra, aneng jaban cepuri: "Heh wong Wiragunan, aja Keri kelangan, Ni Rara Mendut ing Pathi, rereksanira, manira ingkang ngambil.

2. Lamun sira wani padha nututana, iya sawengi iki, haywa tambuh ingwang, kang ngambil nibok rara, Pranacitra aran mami, sasananing wang, ing Batakenceng desi.''

3. Sawusira susumbar sigra umangkat, nanging tan sedya mulih, mring Batakencengan, ciptanireng wardaya, ayun lajeng mring pasisir, sumedya nabrang, Palembang miwah Ngacih.

4. Nanging ngidul lampahira Pranacitra, pikirira supadi, analimped marga, ywa kasusul ing lampah, pinarah pinggir pasisir, kidul sedyanya, mangulon namur wangsit.

5. Tan cinatur lampahira Pranacitra. Wuwusen ingkang kari, wong Kawiragunan, kang tungguk tangi nganglang, kang bekta obor neng ngarsi, awas tumingal, gedhong unggyanireki.

6. Rara Mendut katingal lawange menga, kang nganglang sigra manjing, gedhong ingoboran, Rara Mendut tan ana, gupuh sami alok maling, abdi kang jaga, sadaya sami tangi.

7. Sru gumuruh sami takon tinakonan: "Endi malinge endi? Lah cekelen enggal, bandanen den akekah." Ting barekuh mriksa kori, kuncinya menga, tan na babahan keksi.

8. Lajeng samya angubengi padaleman, sikep gagaman jurit, mangulon mangetan, denira angupaya, gumuruh samya Iok maling, ana kapapag, "Lah iki malingneki.

9. Lah cekelen cekelen ceg dang binanda." "I kula dede mating." "Wong apa wong apa?" "Wong Lemah Dhuwur kula." "Lemah Dhuwur priye iki?" "Gih Dhuwur padha, batur kewala sami.

10. Padha kanca hatur ing Kawiragunan." Ana kapapag malih. ''Lo iki malingnya. payo bandanen enggal, gage tali gage tali, Ian cinekelan, ywa luput nyekel maling."

11. ''Dede rnaling kula dede maling kula, dede dede kiyai." "Lah wong apa sira” Lo wong apa wong apa?  ''Kula Kayu Malang kyai." '' Malang priye ta?" "Padha wode wong ngriki."

12. Langkung rame swaranira janma kathah, denya lok maling maling, parestri gumerah, myarsa aloking kathah, samya gumeter awing-wrin, ciptaning driya. maling wus den pateni.

13. Langkung kagyat Ki Tumenggung Wiraguna, wungu denira guling, garagapan nyandhak, pedhang lawan talempak, tanpa dhestar sabuk nyamping, wuda mung lawan, saruwal kombor putih.

14. Atangginas denira nyandhak gagaman, pedhangira kinempit, talempak liniga, gugup denya ngandika: "Apa heh apa heh iki?" Pawestri turnya: "Ing jawi angsal maling.

15. Tiyang seket ngamuk sami cinepengan." Agupuh Jeng Kiyai, sigra arsa medal, Nyai Ajeng tumingal, kang raka den bondheti, asru turira: "Dhuh mangke ta Jeng Kyai.

16. Pan paduka mijil datan mawi dhestar, tuwin paningset nyamping, nadyan umijila, lamun sampun sanega, punapa supe Jeng Kyai, nadyan mijila, kalamun wus miranti.

17. Kasesa kang den kasesani punapa, paduka dandos dhingin." Ki Tumenggung mojar: "Lah iya bener sira, kasusu kewala mami, tan kongsi dandan."Anulya sikep aglis.

18. Ki Tumenggung sawusnya ngrasuk busana, gya mijil mring pandhapi, wong Kawiragunan, masih ayang-uyungan, Ki Tumenggung asru angling: "Lah maling apa, kang padha kocekeli?.

19. Endi kabeh malinge kang sira banda? Aturna ngarsa mami." Matur kang liningan: "Boten wonten kang angsal, ngaturken tiwase sami, abdi paduka, sadaya ingkang kemit.

20. Andadosna kauningan jeng paduka, apesipun kang abdi, denira rumeksa, ngaturken pejah gesang, mring paduka Jeng Kiyai, abdi paduka, pun Rara Mendut Pathi.

21. Aneng gedhong cinidra ing duratmaka, tan wonten kang udani, abdidalem nganglang, sama kaget kewala, uninga wenganing kori, tan wruh musnanya, Ni Rara Mendut Pathi.

22. Nanging wonten swaraning janma susumbar, sru aken anututi, wong Kawiragunan, tinantang ken nusula, tetela ingkang angambll, pun Pranacitra, tan samar swaraneki."

23. Duk miyarsa Ki Tumenggung Wiraguna, langkung dukanireki, dadya sru ngandika: "Mas patih timbalana. Tan dangu mas patih prapti, andhodhog lawang, myarsa gumedering janmi.

24. Wus winengan lajeng umarek ing ngarsa, Ki Tumenggung sru angling, sarwi ngagar-agar, pedhang suduk liniga : "Heh patih Prawirasekti; sun katiwasan, ing mau kalbon maling.

25. Pakartining sampeka kang satru kala, pangendra jala sekti, kilat blehan ajag, durdig maling aguna, pramodereng mara sandi, si Pranacitra, anyidra ing ngaresmi.

26. Paribasan manungsa tan keneng ngina, iku warnanireki, de lagi rong dina, si pidak padarakan, ngicak-icak majanani, mring jeneng ingwang, nora katon bupati.

27. Katon pitik pileren kacemplung lenga, si Wiraguna iki, ya si Pranacitra, patut sinempal-sempal, karya jajalaning keris, nora kejamak, angepak ngamek wani.

28. Pangrasane kabeh wong Kawiragunan, tan ana lanang siji, wadon kabeh padha, pikun-pikun tan kongang, dhasar nyata tanpa kardi, kinen rumeksa, kongsi ilang ing wengi."

29. Kulanira Ki Tumenggung Wiraguna, samya tumungkul ajrih marang dukanira, Tumenggung Wiraguna, sadaya tan darbe getih, rumangsa tiwas, kinawulaken sami.

30. Awit bangun prapta enjang pukul sapta, denya duka Jeng Kyai, dereng arsa lenggah, lumampah jaga-jaga, gya ngandika mring mas patih : "Sapa kabeh kang, kemit sawengi iki?.

31. Lurah bekel sajajare gedhongana, lurah nandhon ywa kari, gedhongan pribadya, Ian bocah lurah-lurah, padha pedhakna den aglis, mring ngarsaning wang." Sandika kang sinung ogling.

32. Dhawuh kinen angumpulken kancanira, myang santana geng alit, datan dangu samya, prapta pepak ing ngarsa, sadaya cumadhong kardi, Ki Wiraguna, asru denira angling.

33. "Mas patih patahen kancanira lurah, lakune ingsun tuding, ya wong papat-papat, padha lurah kewala, bekel jajar wolu sami. dadya wong rolas, kang ngulon ngetan sami.

34. Kang mangidul sira dhewe lumakua, lawan wong rolas sami, amiliha lurah, papat ingkang prayoga, myang bekel jajarireki, ya pilihana, kang padha sureng kardi.

35. Tekakena iya lalakon sadina, den prayitna ing margi, kang mangulon rolas, ingkang mangetan rolas, kulup Ki Jaka Pangasih, sira sun duta, mangalor angulati.

36. Biyungira Rara Mendut kang minggat, rangkad den iwar dening, anjing Pranacitra, wong patut dipupurak, sira kulup sun kantheni, iya wong rolas, ngalor lakon saari.

37. Ya marmane mangkono si Pranacitra, iya asalireki, wong ing Pakalongan, lamun mulih merana, mring Pakalongan pasisir, lamun kacandhak, bandanen turneng mami.

38. Lamun bangga iya banjur rampungana, cangkingen dhasireki." Sira kae Jaka, Pangasih duk miyarsa, pangandikane Jeng Kyai, langkung bramatya, andik netranireki.

39. Gereng-gereng matur sarwi gigit waja: "Inggih lamun kadyeki, ing lampah kawula, suka tan mawi rowang, amba lumampah pribadi, lamun kapanggya, neng paran samya siji.

40. Kaya apa rupane si Pranacitra, dene kaduli-duli, nglalanangi jagad, ngepak wong Wiragunan, durung wruh cingire mami, ambune ngambar, getihe legi gurih.

41. Kaulingsun yen kacandhak aneng marga, sun uja padha siji, agenti curiga, kaya pa warnanira, dene ta keluwih-luwih, pratingkahira, kaya lanang pribadi."

42. Ki Tumenggung myat putra Rahaden Jaka, langkung sih jroning galih, wasana ngandika: "Lah wus padha mangkata." Sadaya ingkang tinuding, matur sandika, nembah lengser sing ngarsi.

43. Telung rolas kang ngulon ngidul mangetan, namung Jaka Pangasih, ngalor tanpa rewang, sareng denira budhal, ingkang mangidul mas patih, Ian kalih lurah, Wirabraja Capati.

44. Bekel kalih lawan wolu jajarira. Kang sinedya mas patih, pan mangidul ngetan, sabrangan kali Oya, ing Lanteng tuwin Drekaki, myang Dhukuh Wana, Kabumen Gowong Prigi.

45. Kang mangetan Resajaya Kretiresa, lawan bekel kakalih, wolu jajarira. Ingkang sinedyeng lampah, ing Malandang Ngawen Munthil, Ponjong Pongangan, Sima Semanu pinrih.

46. Kang mangulon wong rolas kalebu lurah, ngalor Jaka Pangasih, siji tanpa rowang, angancas Pandhanarang, mangajap samargi-margi, yen katemua, lawan Pranacitreki.

47. Sun ajake genti kris taker ludira, sun uja padha siji, kaya pa warnanya, kang aran Pranacitra. Ing solah datan winarni, Rahaden Jaka, lepas lampahireki.

48. Nasak wana anenggul tumurun jurang, nir pringganing awerit, tan kandheg lampahnya, langkung amurang marga, saking murubing panggalih, angonta-onta, dalu rerep wanadri.

49. Saya lepas Jaka Pangasih lampahnya, lamun kapethuk janmi, tan ngaku dinuta, ngaken santri tirakat, ciptaning tyas sang apekik, yen tan kapanggya, lawan Pranacitreki.

50. Linajengken ngulon tan sedya mantuka, wirang marang Jeng Kyai, myang mring kulanira, kabeh wong Wiragunan, denira sampun kawijil sasanggupira, marang Kangjeng Kiyai.

51. Pan sakethi wirang yen tan antuk karya, lawan tan bisa nyangking, dhase Pranacitra, suka matiyeng paran, semana Jaka Pangasih, sengsem neng wana, kerep tampi mamanis.

 

 

XV

PRANACITRA KACEPENG WONTEN ING PINGGJR

LEPEN OYA

 

DHANDHANGGULA

I. Tan cinatur Ki Jaka Pangasih, lampahira nusup ngayam wana, ya ta kang winuwus maleh, wau Ni Rara Mendut, lawan Bagus Prancitreki, randhat angon iriban, ing sakesahipun, saking ing Kawiragunan, datan ngambah marga gung duluran janmi, manawa kasusula.

2. Kang ingambah marga trusan alit, sisimpangan anur padhadhahan, tan kampir ing dhusun gedhe, yen kawanguran laku, arsa kampir ing dhusun alit, kang tan kathah wismanya, setun roro telu, punika ingkang ingampiran, ing samarga-marga parerenireki, milih kang sepi janma.

3. Tan kena benggang sairing nyari, Rara Mendut lawan Pranacitra, yen rarywan neng sor wreksane, Rara Mendut aturu, ababantal pangkoning laki, trekadhang kalihira, yen sayah kalangkung, anendra neng palindhungan, lamun dalu rerep aneng desa alit, milih kang ragi kiwa.

4. Saking dahatira sami asih, aneng teba karangulu kisma, alemek suket grintinge, pangrasanireng kalbu, asor kasor ing tilam amrik, miwah neng panginepan, tan lambaran salu, amanggih galar prasasat, aneng jinem arum jinebatan amrik, mangkana ciptanira.

5. Ya ta lepas lampahireng margi, Rara Mendut lawan Pranacitra, prapta ing dhusuning Nglanteng, kendel kapengkok ranu, kali Oya pinuju banjir, sira Ki Pranacitra, amicareng kalbu: "Wong agen-agen lumampah, kabencana kali Oya dadak banjir, dene masa katiga.

6. Teka sumentug raosing galih. Pranacitra mulat kali Oya, toya cacap celangape, angres tyas lir winuluh, kesar-kesar amutawatir, melang-melang naratab, teteg rebut dhucung, cipta kadi katiwasan, Rara Mendut dhupepel geyotan wentis, Ian tansah ingarasan.

7. Rara Mendut awacana aris: "Kados pundi kakang Pranacitra, ing Iampah kapengkok Iepen, pundi malih jinujug, ngong jrih mulat ing kali banjir, sumaput kahenesan, mring bena toya gung." Pranacitra ngling angaras: "Adhuh mirahingsun babo wong akuning, aja maras tyasira.

8. Ingsun bae tingalana yayi, birat salir sandeyaning driya, tungtum kadi ranta engger. Haywa watir wong ayu, Iamun sira akanthi mami, payo reren sadhela, yayi soring kayu, manawi ing mengko ana, pitulunging Suksma sung marga lumaris." Bok Rara nut ing karsa.

9. Dangu sami ararywan wong kalih, Ienggah aneng soring kayu kalak, Pranacitra Ion delinge: "Saben sabrangan iku, ana wonge kang anambangi, Ki Dogong aranira." Anuiya inguwuh, uwuh marang Pranacitra: "Kyai Dogong Ki Dogong sabrangna mami, manira arsa nabrang."

10. Kang cineluk-celuk nulya keksi, neng brang kidui ing dhusun Tirebah, Ki Dogong ingawe-awe, kae Dogong andulu, janma ngawe-awe brang pinggir, nulya nglampahken Iawak, winelahan banjur, prapteng brang Ier pakandhasan, Pranacitra Iega tyasira tan sedhih, acipta bisa nabrang.

11. Pranacitra awacana aris: "Ki Dogong rika sabrangna ingwang, lah gih pinten umbalane, manira yun mangidul, prau dika niku dimriki." Ki Dogong dongong mulat, mring Ni Rara Mendut, kang rimong kembene jingga, Dogong jomblong cangkeme bak laler muring, mata kumedhep tesmak.

12. Saking katemben denya ningali, cipta sajege urip dumelah, wruh wong ayu-ayu kuwe, maksih mangkruk neng prau, ageyotan welahireki, Ki Pranacitra mojar: "Dogong sabrangnengsun." Dogong tan nauri ujar. "E lah budheg Dogong kuwe tan nauri. Dogong sabrangna ingwang.

13. Iya apa sira dhemen maring, Rara Mendut ingkang kemben jingga." Ki Dogong pijer andombe, Pranacitra sru muwus: "Nyata banget budhegireki, samangsa dakkeprasa, cangkemmu ing parung, yen sira dhemen temenan, marang Rara Mendut kang ayu linuwih, arep ngambung ngambunga.

14. Ngambung pipi tengen bae becik, aja sira ngambung pipi kiwa, Pranacitra ingkang duwe, iku laranganaku." Kae Dogong gupuh nauri: "Pun daweg dika numpak, ing baita ngriku." Anulya Ki Pranacitra, lingira rum, lah payo wus mirah mami, amrau nabrang ayo."

15. Rara Mendut mesem matur aris :"Kula maksih tan kawawa mulat, kang lepen Oya toyane, bok nganti alitipun, supadya tyas kula tan wigih, aneng ngriki kewala, pundi gyan dumunung, sedheng kenging ingebyakan, Iepenipun boten sisah amraoni, Iuhung inganti kakang."

16. Pranacitra lingira rum manis, sarwi nangga wang janggutanira: "Adhuh mirahingsun angger, tan kayaa wong ayu, Iaku agen-agen manawi, katututan ing lampah, awon temahipun, wong amrih lestari lampah, sadaya-daya iya nabrang ing kali, kalingan kali Oya.

17. Nungkema bae neng pangkon mami, haywa tumingal toyaning Oya, supaya tan wangwang ing we." Bok Rara nut ing kakung, munggab marang perau aglis, neng galanging canthikan, tanseng pangkonipun, sarwi nutupi mripatnya, wit tan bisa umiyat ombaking warih, sawusnya mapan lenggah.

18. Kyai Dogong nulya den abani, prau mancal lumarap winelah, datan dangu pantarane, meh dungkap cacap kidul, Dogong mulat mring Mendut Pathi, anggathung tanganira, tan melahi prau, praune keli tan krasa, pijer mulat wong ayu kuning gumrining, Pranacitra ris mojar.

19. "Heh Ki Dogong praunira keli." Dogong kagyat sarwi awacana, "Kapan ane keli kiye." Dyan winelahan wangsul, mudhik ngalor aminggir malih, tumekeng pasabrangan, sinabrangken ngidul, sarwi lagon dhadhayungan, "ela elo aha aha amarengi, nabrang ing kali Oya.

20. Randha miwah wlanjar prawan sunthi, nyata randha destun Iigas wlanjar, katara barang solahe." Pranacitra amuwus, "Anjajawat jawane iki, Ki Dogong mring kang nabrang, para wadon iku." Bok Rara Ian Pranacitra, neng baita mungging galanging cacanthik, sami ayem ing driya.

21. Ciptanira wong kakalih kadi, lelenggahan neng tilam pamrikan, datan pae pangrasane, nir sandeyaning kalbu, nyipta luwar saking pawesthi, laraping palwa nabrang, lir iyuning bandul, sanget hascaryaning manah, ya ta prau tekeng sabrang kidul malih, bali ngalor lampahnya.

22. Pranacitra mojar: "Priye iki, prapteng kidul binalek-ken tengah, paran ta iki wadine?" Ki Dogong Ion sumaur: "Pan kasempyok ombaking warih, wus minggir wangsul larap, Iarap lampahipun." Mila praune kinarya, wangsul-wangsul Ki Dogong karepireki, aweta tiningalan.

23. Dangu denya praon bola-bali, Pranacitra aneng panambangan, kasupen mutawatire, eca denya neng prau, yen nginanga pan durung abrit, idua durung asat, ya ta dutanipun, Ki Tumenggung Wiraguna, ki mas patih Ngabei Prawirasekti, Ian lurah Wirabraja.

24. Secapati bekel jajarneki, prapteng Pundhungan parek ing Oya, sami sumedya areren, neng soring krasula gung, ki mas patih sareng ningali, kang kali Oya bena, ana wong merau, sami angangge wastra bang, arsa nabrang katelu kang anambangi, mas patih kagyat mulat.

25. Narka lamun Pranacitra kalih, Rara Mendut mas patih angucap: "Lo lo mata-mata kapen, gajeg ya uga tuhu, Rara Mendut Pranacitreki, mrau yun nabrang Oya, wus neng iring kidul, paran iya myang dudua." Kancanira sami matur: "Inggih, inggih, yektos pun Pranacitra.

26. Payo padha ditututi aglis." Gupuh wong rolas lumayu gancang, samya celuk-celuk kabeh: "Kyai prau parau, balekena mangalor maning, yen ora kobalekna, tak bedhil endhasmu, miwah sun rarampog sira." Jejer wayang wong rolas neng pinggir kali, ngajrihi tandangira.

27. Ngembat lawung pan angincer bedhil, kang nambangi ulate gyayasan, kalangkung dening ajrihe, mulat wong ting bagitu, kabeh padha ngathungi bedhil. Dogong wantu wong desa, dherodhog andulu, sarwi melahi praunya, datan kongang melahi praunya rindhik, wau Ki Pranacitra.

28. Ciptaning tyas rumangsa tan urip, mulat marang wong Kawiragunan, wus pinuntu tyas pupuse, ngunandika ing kalbu: "Wus jamake mondhong wong kuning, masthine ginantungan, lara lawan lampus, tan larang sun tohi pejah, biyadane wong Kawiragunan iki, kang bisa weh wigena."

29. Rara Mendut mingseg-mingseg nangis, "Kados pundi kakang Pranacitra, polah andika ing mangke, temah lampah kasusul, datan wande manggih bilahi, yen aja meraua, tan kacandhak mau, payo ingandhemi kakang, pager bumi dening kothaking wong mati, luwang sawiji kakang.

30. Ya wong roro kang sami ngleboni." Pranacitra ngling aris angaras, "Adhuh mirahingsun dhewe, panu biru wong ayu, nora wurung sun tohi pati, wus angrasa manira, yen amanggih lampus, kang jalaran saking sira, nanging uwis ngong andhemi awit dening, sihingsun marang sira."

31. Datan wangwang kadulon ing janmi, wong anjirap nantang nganta-anta, mapanaken gagamane, ciptanira ing kalbu, pinadhak-ken wastra sumampir, jinejer neng pajangan, yeku paminipun, palwa wus parek pinggiran, sarebahe landheyan datan dumugi, rong landheyan dohira.

 

32. Wirabraja asru denira ngling: "Pranacitra becik temen sira, angangelake wong akeh, temu kene sireku, yen ajaa kalangan kali, denya minggat arangkat, bablas tan kasusul, lah mentasa Pranacitra, ngong dinuta kinen nimbali sireki, barenga lakuning wang."

33. Pranacitra datan anauri, eca denira aras-arasan, sarwi alunglungan ganten, lawan Ni Rara Mendut, kabeh ngungun mulat sarya ngling: "Dubilah nora jamak, ujar tan rinungu, nak-enak loloh-lolohan, wong keh iki pinadhak-ken socaning pring, neng prau bung-ambungan."

34. Secapati mojar ngarih-arih: "Anak Pranacitra dika mentas, kula dika alangake, yen kongsi manggih dudu, ing bedhahe bebedireki, gempale wrangka dika, kula kang katempuh, lamun misih rama dika, Secapati boten-botene bilahi, den pitaya kewala."

35. Maksih eca-eca tan nauri, kang katonton pan amung Ni Rara, Ki Dogong anjomblong bae, lali nambangi prau, ki mas patih Prawirasekti, langkung bramantyanira, myat Pranacitreku, anggung angaras kewala, nulya sami wong rolas nantang nyumbari: "Pranacitra mentasa.

36. Laha dene wonge kang nambangi, apa dhasar arep geblasena, ya marang wong minggat kuwe, mengko tak bedhil dhasmu." Dogong ajrih minggirken aglis. ya ta iki Pranacitra, ebah genya lungguh, sareng kalawan Ni Rara, nulya ngadeg ningseti busananeki, mentas saking baita.

37. Rara Mendut pinondhong neng kering, asta kanan anarik curiga, sarwi asantak wuwuse, "Sapa wonge kang nusul, aja na wong tambuh kuwanin, mulane Pranacitra, anggawa wong ayu, tan wedi taker ludira, Rara Mendut pan wus sun tuku ing pati, payo barenga mara."

38. Wong Kawiragunan alok sami: "Ilah ngamuk-ngamuk Pranacitra, payo tinadhahan age." Wong rolas pareng ambyuk, kang anuduk numbak ambedhil, rinampok lir wayangan, Pranacitra kiwul, tandange kebat acukat, datan rikuh mondhong pawestri sinambi, prang ruket binut kathah.

39. Pan sinosog tumbak lawan keris, datan pasah kadya panjang putra, sinosog alang-alange, maleset tan tumanduk, anglir prenjak kesit tinaji, sikatan dinamonan, dhali nyampar banyu, singa kang jinangkah giwar, lurah Wirabraja tan kongsi ngindhani, sinuduk jajanira.

40. Arnbruk lurah Wirabraja mati, nulya Secapati anerajang, wantiwanti panuduke, gya winales sinuduk, salangira niba wus mati, bekel tutulung numbak, ginoco gya lampus, lan jajar satunggil pejah, mengkap wong Kawiragunan samya wingwrin, tan na wani pareka.

41. Nulya ki mas patih Angabehi, Prawirasekti langkung bramantya, dadya angikal lawunge, watangira rinangsul, Pranacitra binuntar kenging, tangan ugelanira, jimpe krisnya runtuh, pinindho walikatira, ingkang kiwa kagyat anjingkat ngipati, Rara Mendut kasingsal.

42. Kodhun saking popondhonganeki, Pranacitra dhedhangkak gloyoran, nulya den ebyuk ing akeh: "Payo kanca den gupuh, gage tali gage den aglis, digawe tali apa, nora nana dhadhung. Gawea tampar sadhela. Hih kesuwen bok ya sabuke pribadi, iku kinarya banda."

43. Nulya sabukira cindhe sari, inguculan kinarya musara, kinukuhan pambandane, mas patih ngandika sru: "Cengkalaken den amiranti, satang iku kewala, tugelen den gupuh." Ingkang dhinawuhan sigra, ngambil satang ngling: "Pring iku teka ngendi?" Ki Dogong aturira.

44. "Gen kulangsal saking lepen Ajir, tebih-tebih radi amilala, kenceng apenet warnane, wet rosa anggenipun." Mas patih ngling mring wong nambangi: "Heh wong nambangi sira, sapa ranireku?" Matur: "Pan inggih kawula, karan anak pak Dogong kawula gusti, dhusun ing Siti Rebah.

45. Kalalating Nglanteng krajaneki." "Yen mengkono ya pak Dogong sira, sun gawa ngong aturake, marang Kyai Tumenggung, sira thithik milu leh kardi, krana si Pranacitra, kacandhake iku, aneng panambanganira, aprasasat sira milu anyegati." Dogong nuwun turira.

46. "Inggih sumangga didalem alit." Angling malih mring kawulanira: "Apa wus kukuh bandane." Samya umatur: "Sampun, kekah datan amutawatir." Mas patih angandika: "Kanca ingkang lampus, Secapati Wirabraja, miwah kanca bekel siji jajar siji, wong papat iku padha.

47. Buruhena kon gawa wong bumi, mring nagara ngong turaken marang, Jeng Kiyai kawulane, wruh anak rajatipun." Kang tinuduh nimbali aglis, wong desa prapteng ngarsa, sandika turipun, bangke wus binarukutan, Pranacitra wus binanda aneng ngarsi, kukuh tan bisa obah.

48. Pranacitra ciptanira kadi, tibaning pusara neng angganya, lir Ni Rara pangekepe, mring tibaning kang tunjung, duk binuntar walikatneki, tangan ugelanira, lir Ni Rara Mendut, angenyet-enyet sarira, neng tilam rum saking dahatira kalih, Rara Mendut karuna.

49. Sarwi asinglir sekar inganggit, anggrek lan menur sinureng patya, pasentegan ing gelunge, gambir ingkang kinayun, pangunceyan gajah angoling, sinangsang mungging karna, tibeng jaja landhung, Pranacitra sinumpingan, rinimongan jingga Ni Rara tan tebih, lir panganten papanggya.

 

XVI

DADOS TAWANAN

DANDANGGULA

I. Rara Mendut asinjang guringsing, kembenira jingga pinarada, kencana sengkang bapange, cundhuk anggrek Jan menur, Pranacitra sekaring gambir, binekta mring Mataram, tinalenan sampur, binanda ing cindhe kembang, cinengkalak pring tutul ing kali Ajir, arimong kampuh jingga.

2. Mas patih Ngabei Wirasekti, mojar: "Lah wus payo angkatena." Ingkang liningan nulya ge, sadaya mangkat sampun, saking Lanteng genya lumaris, kadya ngarak pangantyan, samarga dinulu, wong akeh datan anyana, yen lalaran ingiringaken priyayi, wong loro angrimong bang.

3. Kang wadon ayu kang lanang sigit, tansah lumaku abobondhetan, Ni Rara nyawang kakunge, tan pegat kumembeng luh, sarwi asung ganten sing lathi, mulung narimeng waja, randhat lampahipun, saben satengah onjotan, Rara Mendut alalathen ganten wangi, lawan Ki Pranacitra.

4. Wong papagan mandheg aningali, marang lampahira Pranacitra, sami anyengguh panganten, ana rarasan muwus: "Iku baya panganten ngendi? Bagus temen sing lanang, hi wadone ayu, emane gone angarak, nora nganggo wawadonan ingkang ngiring, mung lanangan kewala."

5. Ing padesan kang kamargan sami, ting garubyug pan sami ajakan: "Payo anonton panganten. Endi payo andulu. Heh Ia kuwe penganteneki, bagus temen sing lanang, wadone ya ayu. Ayune nora gejamak. Hih hih iya baya panganten priyayi, ketara wangunira.

6. Penganten apa dudu pengantin, yen penganten nganggo kembar mayang, Ian jalwestri tuwa nome, myang rare keh neng ngayun. Yen penganten sepasar mulih. Senadyan sepasara, kiraku ya dudu, layake runggeng ditanggap, sing lanang iku baya badhutireki, ditanggap mring nagara."

7. Ana nauri: "Ah dudu ringgit, kebagusen badhute warnanya, ketara pasang semune. Dudu dhapuring badhut, wangunira dhapuring mantri, aranana kusuma, layak iku patut." Ana kang patitis mojar: "Aku ngrungu warta selire Jeng Kyai, Tumenggung Wiraguna.

8. Den inggalken mring kulanireki, botoh kang aran Ki Pranacitra, Rara Mendut wadonane. Kabeh kawulanipun, apan samya kinen ngulati, sapa kang nemokena, geng ganjaranipun, menek iku kang kacandhak." Samya angling: ''Ya layak bener sireki, kang ngiring prajuritan."

9. Nulya ing wuri semada tebih, ana wong mikul jisim sakawan, tinakon tinuturake, ing mula bukanipun, langkung ngungun ingkang miyarsi, ana mojar: "Lah iya, abener tuturmu, nyata wong minggat kacandhak." Keh warnane kang samya rarasan angling, ya ta ingkang lumampah.

10. Katanggungan kadalon neng margi, reren dhusun pinggir kali Umpak, Bendungan panginepane, sira Ni Rara Mendut, datan tebih denira linggih, sarwi anggubah sekar, pasumpinganipun, kang wus layon sinalinan, sarwi asung ganten sinungken sing lathi, tinampen dening waja.

11. Tan winarneng dalu ya ta enjing, mangkat saking dhusun ing Bendungan, samarga tinonton ngakeh, yen lagya wruh ing ngayun, sami angarani pangantin, yen wruh ing wurinira, bangke kang pinikul, anyana lamun prakara, Rara Mendut samarga-marga anangis, mulat mring Pranacitra.

12. Sarwi angsung ganten saking lathi, tinampen ing waja sarwi ngaras, sadaya kang ngiringake, samya eram amuwus: "Aneng marga kobere sami, adu cangkem lolohan, ngampirake irung, tan ering marang wong kathah, pinadhak-ken pager jarak wong keh iki, malah dadya grumbulan."

13. Kancanira mesem weneh angling: "Wis bangetan pan dubilah setan, belis balaka srandune, sayekti dudu manus, kapanjingan budi serani, jajal lanat ideran, Pranacitra iku, wong binanda cinengkalak, dadak bisa anu-anu turut margi, menthelane adena."

14. Sinauran: "Buh embuh sireki, bok cik bena sakerah-kerahnya, wong uwis padha denene, kinarya sangu lampus, tinutugken mupung sih urip, tan wurung Pranacitra, iku ihnil lampus, embuh wadone iku ta, iya durung karuwan milune mati, yen uripa ya layak."

 

15. Tan cinatur lampahireng margi, kawuwusa ing Kawiragunan, Kyai Tumenggung kingkine, kadya upaminipun, suduk gunting atatu kalih, kalamun kaengetan, mring Pranacitreku, tan uwus raosing duka, nganta-anta lir legi getihireki, katon ngalunyatira.

16. Kabupatene den mejanani, mring wong bence pece rerecehan, yen tan katemua mangke, lir punagi den jujul, saking marab-marabing galih, sakdhatan kaengetan, mring Ni Rara Mendut, kadya tan kolu ngukuma, saking dahatira Ki Tumenggung brangti, tan kapadhan ing karsa.

17. Kadi sokur lamun tan kapanggih, Pranacitra tulus minggat rangkat, amung Rara Mendut bae, katemua liniru, ingapura sadosaneki, sanadyan bedhad liwar, kaduga amengku, sok uga bangun turuta, haywa mulat teying mring bedhangireki, mituruta maring wang.

18. Robat rabet pan ora pinikir, maksih inganggep prawan kencingan, kang durung mangsa kembene, lan durung surup ing yun, pan mangkana ciptaning galih, lakon kang wis kalakyan, semada kaduwung, nguni wadone kewala, kinen bali lanange nora praduli, dimen kendhang ngalendhang

19. Ya ta wau wanci surya wukir, Ki Tumenggung pinarak pandhapa, kang seba mung sakarine, lan punakawanipun, andher mungging plataran ngarsi, Ki Tumenggung ngandika, marang garwanipun: "Kiramu si Pranacitra, apa bisa kacandhak inggatireki, sinusul wong maju pat?"

20. Nyai Ajeng aris turireki: "Leresipun inggih katututan, tiyang jinala ing akeh, mring pundi purugipun, minggat rangkat lawan pawestri, pasthi randhat ing marga, tan lepas ing purug, angger langkung ing pomahan, Rara Mendut Pranacitra pan katawis, lamun wong minggat rangkat."

21. Ki Tumenggung Wiraguna angling: "Ya majade bener ujarira, menekne sekti kapriye? Lamun ber bisa mabur, tuwin bisa nora kaeksi." Nyi Ajeng aris turnya: "Selak mendahipun, begejil saged digdaya, tiyang alit dhasar dosa lampah silip, mokal darbe yuwana."

22. "Ya menekne sekti angluwihi, dene wani ngrebut bojoning ·wang, kaya wis jitus tandhinge." Eca agunem wuwus, Ki Tumenggung lawan sakancanira, tur uninga prapta kandheg aneng kori, gya lurah punakawan.

 

23. Matur: "Punika mas patih prapti, aneng kori ngantya katimbalan." Ki Tumenggung sru wuwuse: "Timbalana den gupuh. Datan dangu mas patih manjing, andhadhap prapteng ngarsa, santak aturipun: "Kawula sampun dinuta, anututi Pranacitra lampahneki, kang minggat kesah rangkat.

24. Inggih lawan Rara Mendut Pathi, ing samangkya pan sampun kacandhak, neng lepen Oya ing Nglanteng, lagya sami marau, gebal dalem ingkang nambangi, pak Dogong aranira, prau wangsul-wangsul, nabrang kadi alulumban, yen sampuna wonten pak Dogong wus tebih, bablas tan katututan.

25. Kinen minggirken praunireki, Pranacitra mentas nedya bangga, nulya kaebyuk ing ngakeh, sura pangamukipun, Pranacitra amrejayani, pun Secapati pejah, Ian Wirabrajeku, bekel satunggil myang jajar, ingkang pejah sakawan jisimireki, sami kawula bekta.

26. Pranacitra mangke wus katali, Ian Rara Mendut kawula bekta, sumangga ing karsa mangke." Ki Tumenggung angungun, duk miyarsa aturing patih, langkung pangowelira, kulanya kang lampus, ngandika: "Ya nora talah, Wirabraja sun gawa prang ngendi-endi, kabeh padha digdaya.

27. Prang Ian wong mengkono bae mati, bocah Iawas milu lara lapa, ngong durung males gawene, kaabdekna sang ratu, abdi dalem boboting cilik, yen mengkono gentekna, anake kang lampus." Mas patih matur sandika, Jeng Kiyai angling malih marang mas patih: "Lah iya parenekna.

28. Wong lalaran leh-olehireki, Pranacitra kawuk ajokena, takdelenge raraine, ya karo si menjerut, si semereh suweh si dawir, bisa gawe bencana, si uwong ra urus, cepakna mring ngarsaning wang." Gya mas patih Ngabei Prawirasekti, mring kori Pananggungan.

29. Dhawuh kinen naosken mangarsi, Rara Mendut lawan Pranacitra, jinagan kiwa tengene, sumpingira tan alum, Rara Mendut ingkang nyumpingi, binurat dhandhan-dhandhan, gegarutanipun, ajenar galar konusan, Rara Mendut sarwi sung ganten sing lathi, tinampan Pranacitra.

 

 

 

 

 

 

XVII

PRANAOTRA DIPUN LUNASI.

RARA MENDUT AMBELANI

 

I. Kalihira wis kerid mangarsi, Rara Mendut lawan Pranacitra, mas patih tansah keringe, ya ta Kyai Tumenggung, blero driyanira ningali, nepsu mring Pranacitra, sih marang Ni Mendut, Ki Tumenggung angandika, mring kang garwa: "Lah Nyai si Mendut iki, jaken mring gandhok wetan."

2. Nyai Ajeng angandika aris: "Lah payo Mendut nyang gandhok wetan, Jeng Kiyai timbalane." Esmu wrat Rara Mendut, pan pineksa nulya wis kerid, marang ing gandhok wetan, sira Rara Mendut, tansah alara karuna, soca balut jait sinawang alindri, ya ta kang neng pandhapa.

3. Kyai Tumenggung Wiraguneki, duk ningali marang Pranacitra, sakelangkung bramantyane, tanbuh paraning bendu, ngawet-awet soca anggeni, sengak denya ngandika: "Heh mas patih gupuh, si Pranacitra ajokna." Sigra mas patih Ngabei Wirasekti, anguger Pranacitra.

4. Ki Tumenggung gya ngadeg narik kris, sarwa pinandhi ingembat-embat, tinatap-tatap landhepe, asendhu denya muwus: "lki wekasamu ngaurip, sambata kang ayoga, wong tuwanireku, tumengaa ing ngakasa, tumungkula pratiwi," sigra marpeki, tumempuh kang curiga.

5. Wiraguna wau anelasi, dhuwung dalem panimbal luk sanga, Ki .Jigja ika tangguhe, sinuduk jajanipun, murub muncar ludiraneki, Pranacitra glangsaran, sambat Rara Mendut, "Lah age sira nusula, sun anteni ing bangun pangarib-arib, dhuh mirahe pun kakang."

6. Rara Mendut karuna mlas asih, myarsa lamun Pranacitra lunas, tinuweg neng pandhapane, marang Kyai Tumenggung, wus angekes sedya belani, Rara Mendut karuna: "Kakang milu lampus, labete tresna ing dika, luwang siji wong roro bareng ngleboni, andika lawan kula."

7. Rara Mendut sareng aningali, Pranacitra denya kelosodan, kuthah ludira jajane, aneng ing ngarsanipun, Ki Tumenggung Wiraguneki, dhuwung maksih liniga, pan dereng tinuruh, Ni Rara Mendut agepah, saking gandhok lumayu narajang wani, mring dhuwung maksih pasang.

 

8. Pan tumembel kagyat Jeng Kiyai, Rara Mendut garonjal gya niba, gelangsaran sakalihe, pramana tatunipun, apan samya kukulung ati, magep-magep sasambat, "Kakang kula nusul, ing made pangaribaya, pager bumi dening kothaking wong mati, luwang sawiji kakang.

9. Ya wong roro kang sami ngleboni." Dangu denya sami kalosodan, timpah-tinimpah kalihe, Pranacitra wus mucuk, panglayapanireng pangeksi, kejep lathi cincingan, pan kadya calathu, pan inganti pasemayan, wus andungkap marang kalanggenganeki, Pranacitra palastra.

10. Kalihira wus samya ngemasi, Rara Mendut lawan Pranacitra, tatu jaja sakarone, Ki Tumenggung ambekuh, kipat asta getun tan sipi: "Dubilah nora talah, priye iku mau, Si Mendut dadak katuwak, ing kris ingwang manira dene tan uning, ingsun kaget kewala."

11. Sarwi amundhut toya ing kendhi, kinarya nurub curiganira, ingkang kuthah ludirane, sawusira tinuruh, sinarungken nulya winangking, Tumenggung Wiraguna, maksih bendu ngungun, "E lah mati karo pisan. Priye mono eman temen Dut sireki, akaton warnanira.

12. Ing gandhok apa nora na janmi, dene bendhetan sapirang-pirang, anyengoh apa gawene." Nyai Ajeng umatur: "Inggih kathah pawestri naming, weya datan uninga, pun Mendut genipun, lumayu marang ngajengan, ingwang datan anyana lamun kadyeki, ambedhang tunggal bathang."

13. Ki Tumenggung Wiraguna angling: "Heh mas patih priye karepira, si mengkonok anggrok kuwe, linampu milu lampus, ambelani kancanireki, si pedhot bedhat liwar, lalu modar tatu, emoh dadi seliringwang, banget temen gone tan dhemen lan mami." Mas patih matur nembah.

14. "Inggih tekdir pan sampun pinasthi, kedah tan kenging kinarya wirya, manggih papa pantakane, inggih pun Rara Mendut, tanpa damel lamun ginalih, apan wus prapteng temah, angandhemi kukum, namung anggaliha tama, wajib prelu anyampurnakaken mayit, ngamalaken ngakerat.

15. Kurmating suksma atilar jisim, amumule pangulihe ajal, jisim marang bumi mangke, ingkang kalawan kubur, panjenengan dalem .Jeng Kyai, pedah wakap sidhekah, kautamanipun, sung penet ing kemlaratan, jisim laip bongsislam pan inggih ugi, paduka kawajiban.

 

16. Yen kadugekena tyas kang runtik, mring jisim karsa pinurak-purak, nuhun kewala karsane, kirang utameng ngelmu, amba datan mamanceni, mokal yen kalempita, paduka wus mengku, saliring reh kautaman, inggih masa kilapa paduka kyai, sanget atur kawula."

17. Ki Tumenggung angandika aris: "Iya bener mas patih turira, iyengsun miturut bae, kang dadya prayogamu." "Inggih lamun pareng kiyai, pun Mendut Pranacitra, tinunggilken kubur, wong kalih dados satunggal, karantene tiyang punika manawi, sampun secan janjeyan.

18. Kula suwun anguburireki, wontena ing gadhuhan kawula, ing dhusun Ceporan mangke." Ki Tumenggung nglingnya rum: "lya apa karepireki, ingsun paring salawat, bae mring Ni Mendut, rong puluh reyal wragadnya, Ian maninge ngong paring salawat maring, kancanira kang pejah.

20. Lurah loro iya nyeket anggris, bekel rong puluh jajar limalas, iki paringena age, kancamu ingkang lampus, anglakoni pakaryan mami, padha sidhekahana, satutuge iku, tekane ing sewu pisan, apan iku pratandha asihing mami, kongsi prapteng antaka."

21. Nyai Ajeng mundhut arta nuli, prapta lajeng katur ingkang raka, gya pinaringken mas pateh "Banjur paringna gupuh, mring rayate kang sami mati." Mas patih tur sandika, gya parentah gupuh, kuwandane Pranacitra, lawan Rara Mendut kinen bekta maring, wismanira mas patya.

22. Wus sinucen layonira kalih, gya pinetak mring dhusun Ceporan, kinubur dadya sijine, terus parikanipun, luwang siji wong ro ngleboni, apan wus tunggal karas, Pranacitra Mendut. Patine Ki Pranacitra, wanci surup kinubur sireping janmi, aneng dhusun Ceporan.

23. Dadya katelah prapta ing mangkin, kuburira Bagus Pranacitra, yen Jumuwah Grakasihe, asring katingal murub, lelabete wong mantep budi, suka rena asura, legawa ing lampus, narima marang kukuman, tan kumedhep ing pati pangidhepneki, tan kadung kaduwangan.

24. Tan kaisen liyaning pangeksi, nir rasane tibaning curiga, samyanglayap pangidhepe, tan dhompo tekadipun, Rara Mendut, bae kaliling, nora kalang alangan, gumelenging kalbu, kang murba raseng asmara, wus tumanem telenging wardaya keksi, prapta ing padhekikan.

 

25. Tan pae paesaning pangeksi, Ian Rara Mendut pabelanira, ing pati tan mangun mengeng, setya ubaya tuhu, pucuking kris cinipta resmi, kawawas ing asmara, ing pananjakipun, tan dhompo panthenging driya, angandhemi wangsalan parikaneki, among Ki Pranacitra.

26. Lan Rara Mendut roroning tunggil, geleng gumulung galang gulungan, kalihe tan na bedane, dadya budinya kumpul, marma murub kuburireki, ing dina kang utama, mangunah ing kubur, kabul dadya pakaulan, kaoling wong sapa kang arsa alaris, denira babakulan.

27. Anyadrani ing kuburireki, Rara Mendut ing dina utama, pasthi laris dodolane, lan sapa ingkang kaul, amumule nyadrani ngijing, kubure Pranacitra, laris mring wong ayu, tuwin yen arsa angiwat, myang panganten yen tan atut palakrami, padha sira nadara.

28. Myang wong remen kasukan amain, tirakata marang kuburira, pasthi sumbon krep menange, witne yen ngadu sawung, glis katrima panedhaneki, sawarnaning botohan, dherekan myang puyuh, kecik jangkrik myang daluwang, keplek kecek gimer miwah dhadhu posing, tuwin traping ngawula.

29. Purneng catur jajanturaneki, panedhake serat Pranacitra, rikala wus panerate, lek Ruwah kaping telu, Mandhasiya misih Dal warsi, awaling Manggakala, enjang tabah wolu, Guwa (9) Terus (9) Sabdeng (7) Nata (1), caritanya sadaya mung nedhak sungging, dene srat Pranacitra.

30. Nenggih ingkang karsa mangyasani, Jeng Sinuhun Prabu kaping gangsal, kang jujuluk Sunan Sugeh, dene sugih kalangkung, garwa putra brana mas picis, duk mangapus ruwiya, durung madeg prabu, masih Pangeran Dipatya, Anom Mengkunegara dibya putraji, narendra ing Mataram.

31. Nulya tinedhak marang kang rayi, kang Sinuhun Prabu kaping sapta, gugula renggeng karsane, winuryan kang panuju, binengkas ing gita kang tan wrin, tinulad pan tinula, tulaning pangapus, winangun ing basa jarwa, mrih tumuntur pakaryaning kang utami, mring nak putu kang maca.

---ooOoo---

Purbalingga, 6 Mei 2025